Jumat, 26 September 2014

Cerbung | Impian Bola Basket Part 15


Hari demi hari berlalu dengan cepat. Pekan ulangan yang sudah dimulai beberapa hari yang lalu membuat semua murid SMP sibuk belajar. Kantin yang biasanya selalu penuh menjadi agak sepi karena lebih banyak murid yang tinggal di kelas untuk menyicil pelajaran yang akan diuji. Lapangan yang biasanya dipenuhi oleh para anak basket dan murid-murid yang menyoraki mereka juga tampak kosong semenjak pekan ulangan dimulai. Sama sekali tidak ada suara kegaduhan yang meramaikan area sekolah.

Namun, berbeda dengan Cakka dan teman-temannya. Mereka tidak belajar di kelas masing-masing. Sesuai dengan rencana mereka waktu itu, mereka akan belajar bersama selama pekan ulangan. Dan atas ide tambahan dari Ray, mereka memanfaatkan jam istirahat untuk berkumpul di kantin. Jarang-jarang mereka bisa mendapatkan suasana damai seperti sekarang.
“Bagaimana dengan pekan ulangan kalian?” tanya Alvin ketika mereka sudah mengambil tempat duduk di kantin.
“Susah,” keluh Ray. “Aku benar-benar pusing mengerjakan soal matematika dan IPS nya. Mungkin untuk tiga mata pelajaran yang kemarin, aku akan mendapatkan nilai jelek!”
“Apalagi yang kelas dua.” kata Gabriel. “Walaupun sudah belajar keras, tapi tetap saja tidak bisa mengerjakan. Kau tak tahu sudah berapa kali aku dan Rio mencari-cari teman untuk contekan.”
“Ya, untungnya teman-teman kita sangat baik, bukan begitu, Gabriel?” tanya Rio sambil tertawa. “Waktu ulangan Biologi kemarin, kami semua membuat siasat agar guru kami keluar kelas. Dan kami semua saling membantu.”
“Ah, parah sekali kalian, Yel, Yo. Kalian akan dihukum jika tertangkap guru.” kata Alvin sambil menggelengkan kepalanya. “Bagaimana denganmu, Kka? Apa pekan ulanganmu lancar?”
“Ah, Cakka tak perlu ditanya. Di antara kita berlima, dialah yang paling pintar. Setiap kali selesai ulangan, wajahnya selalu cerah. Dia pasti bisa mengerjakan semuanya. Benar kan, Kka?” kata Ray.
Cakka hanya tersenyum mendengarnya. “Aku memiliki beberapa keraguan.”
“Kalau begitu, mari kita bahas sekarang.” kata Alvin. “Apa jadwal kalian besok?”
“Inggris dan PKn.” kata Ray.
“Bahasa Indonesia dan Kimia.” kata Gabriel dan Rio hampir bersamaan.
“Oke, untungnya aku hanya satu mata pelajaran besok, jadi aku bisa santai mengajari kalian. Sekarang mari kita belajar, kalau ada yang tidak mengerti, kalian bisa tanya padaku. Terutama kalian, Ray, Cakka.” kata Alvin.
“Ya, aku bisa mengajari kalian bahasa inggris. Rio juga kebetulan cukup mengerti soal politik.” kata Gabriel sambil tersenyum. Ia menoleh ke arah Alvin. “Vin, kau bisa mengajariku Kimia, kan?”
“Aku tidak terlalu mengerti soal kimia, tapi sebisa mungkin akan kuajari.” kata Alvin. Ia membuka buku paketnya yang cukup tebal. “Sudah, ayo kita mulai. Waktu kita sudah habis banyak.”
Semuanya mengangguk. Masing-masing dari mereka membuka buku paket dan buku tulis mereka dan memulai belajar dengan seru. Suasana di kantin tiba-tiba berubah seperti suasana kelas tambahan. Alvin yang notabene anak paling tua di antara mereka, sibuk mengajari dan membimbing adik-adik kelasnya agar bisa mengerti materi yang sedang mereka pelajari. Sesekali Gabriel dan Rio juga mengajari Ray dan Cakka. Semua itu untuk membantu meningkatkan prestasi dan mempertahankan persahabatan mereka.
Dan Cakka merasa rencana mereka itu cukup efektif. Bahkan Bunda yang mengetahui rencana anaknya merasa sangat bangga. Kesibukan Cakka belajar bersama dengan teman-temannya terbukti membuat nilainya meningkat. Beberapa ulangan yang dibagikan duluan di sela-sela pekan ulangannya cukup memuaskan. Paling tidak nilainya lebih tinggi sepuluh skor dari biasanya. Dari yang biasanya hanya tujuh puluhan, sekarang menjadi delapan puluhan. Yang biasanya delapan puluhan menjadi sembilan puluhan. Bahkan berkat ajaran Gabriel, ulangan PKn Cakka menjadi sempurna!
 “Kka, aku benar-benar tidak percaya. Baru pertama kali aku mendapatkan angka sembilan puluh di atas kertas ulanganku.” kata Ray sambil memperlihatkan hasil ulangannya. “Kita harus berterima kasih kepada Gabriel, Rio dan Alvin nanti.”
Cakka tersenyum. Ia mengacak rambut Ray sembarangan dan segera mengambil tasnya untuk meninggalkan kelas. Ray yang tak ingin ditinggal langsung buru-buru menyusul. Sambil merapikan rambutnya, ia berteriak. “Hei, tunggu, Cakka! Aduh, pakai memberantakkan rambutku lagi!”
Begitu Ray sampai di lapangan, ternyata semuanya sudah memulai latihan. CRAG Team sedang berlari keliling lapangan, tim basket putri sibuk latihan bertanding, sementara yang lainnya latihan shooting sendirian di lapangan lainnya. Namun, yang pasti adalah Ray sudah terlambat. Pak Jo yang memergokinya baru datang langsung menghampirinya.
“Dari mana saja kau? Teman-temanmu sudah datang dari tadi. Letakkan tasmu dan segera ikut berlari keliling lapangan dua kali. Hari ini kita akan uji coba pertandingan agar kalian bisa semangat di SMPN 1.” kata Pak Jo.
“Baik, Pak!” kata Ray langsung buru-buru menaruh tasnya di pinggir lapangan dan segera berlari mengejar keempat temannya. Sementara Pak Jo kembali memberi semangat dan instruksi kepada anak-anak yang sedang latihan bertanding.
“Hei, Ray! Akhirnya kau datang juga! Dari mana kau?” kata Gabriel ketika Ray sudah berlari di antara mereka.
“Ah, aku tidak dari mana-mana! Aku hanya sedang mengagumi nilai ulanganku yang begitu tinggi. Tapi, Cakka meninggalkanku sendirian di kelas.” kata Ray sambil menggembungkan pipinya.
“Dasar berlebihan. Ingat, kita memiliki pertandingan di SMPN 1 dua minggu lagi. Kau harus fokus pada latihan.” kata Alvin sambil berlari.
“Ya, aku tahu, Alvin. Tapi, aku benar-benar merasa berterima kasih kepadamu, Gabriel dan juga Rio. Bantuan kalian sangat berguna di pekan ulangan. Kalau bukan karena kalian, aku tidak akan bisa mendapatkan nilai yang begitu memuaskan.”
Rio tertawa. “Bukankah itu gunanya teman?”
“Ya, tentu saja. Aku beruntung bisa memiliki teman-teman yang dapat diandalkan seperti kalian semua. Kalau begini, di rumah aku sudah tak perlu belajar mati-matian lagi.” kata Ray.
“Enak saja! Kau tetap harus belajar sendiri di rumah. Paling tidak ulanglah apa yang telah kami ajarkan kepadamu agar kau lebih mengerti. Aku jamin itu akan membantu.” kata Alvin. “Kau akan kesulitan di kelas tiga kalau kau tak terbiasa belajar keras.”
“Uh, kau cerewet sekali, Vin!”
“Aku cerewet untuk kebaikanmu, Raynald Putra. Kau tidak akan menemukan kakak kelas yang akan membagi pengalamannya sendiri agar adik-adik kelasnya tidak stress ketika sudah kelas tiga.”
Gabriel dan Rio tertawa hampir berbarengan mendengar ucapan Alvin. Gabriel menyahut setelahnya, “Kau harus mengakui itu benar, Ray.”
“Ya, ya. Terserah kau!”
“Hei, jangan berbicara sendiri! Cepat lari atau kalian akan kekurangan waktu untuk latihan basket! Kalian ingin menjadi yang terbaik tidak?!” teriak Pak Jo tiba-tiba membuat mereka kaget.
“Ma.. Maaf, Pak!” sahut mereka berlima segera mengunci mulut dan mempercepat lari mereka. Benar-benar sial. Bisa-bisanya Pak Jo sempat memperhatikan mereka selagi ia melatih anak-anak yang lain.

J L J

PRIIIIT....!!!
CRAG Team segera kembali ke pinggir lapangan setelah peluit milik Pak Jo berbunyi keras. Mereka menghela nafas lega dan segera berkumpul di hadapan pelatihnya. Bunyi peluit tersebut menandakan bahwa latihan hari ini sudah selesai dan saatnya mengevaluasi apa yang sudah mereka tunjukkan.
“Baik, semuanya sudah berkumpul.” kata Pak Jo. Ia memasukkan menaruh kedua tangannya di pinggang dan melanjutkan ucapannya. “Dari apa yang telah kita lakukan selama ini, Bapak sangat senang melihat kerja sama kalian yang sangat kompak. Dan dengan kemampuan kalian masing-masing, Bapak yakin kalian sudah cukup siap untuk pertandingan di SMPN 1.”
“Saran Bapak untuk kalian cuma satu. Di pertandingan nanti, kalian harus bekerja sama seperti tadi. Jangan pernah bermain sendiri karena basket bukan olahraga individual. Dan kalian harus saling percaya satu sama lain. Ingat, pertandingan tinggal dua minggu lagi. Kalaupun kalian memiliki masalah pribadi, jangan pernah sekali-kali masalah itu terbawa saat bermain basket. Fokus! Oke?”
“Baik, Pak!” kata CRAG Team serentak.
“Oke, sekarang kalian boleh pulang. Simpanlah stamina kalian sampai pertandingan. Tetap jaga jatah prioritas sekolah, basket dan istirahat. Jangan sampai kalian kurang tidur karena belajar sampai larut malam.” kata Pak Jo yang langsung diangguki kelimanya. “Oke, kalau begitu, Bapak pulang duluan.”
CRAG Team segera berkemas dan bersiap-siap pulang. Jam sudah hampir menunjukkan angka lima. Hanya tertinggal mereka berlima dan tim basket putri saja di lapangan basket.
“Guys.” tiba-tiba Ray bersuara. “Hari Senin aku ulangan IPA. Ada yang bisa mengajariku tidak? Sabtu dan Minggu besok mungkin aku tidak memiliki banyak waktu untuk belajar, jadi kalau kalian bisa, ajari aku sekarang. Sekalian kita belajar bersama.”
“Kau tidak lelah, Ray?” tanya Gabriel.
“Terpaksa, Yel.” kata Ray. “Besok dan Minggu aku harus pergi seharian. Mungkin hanya cukup waktu untuk mengulang. Aku hanya sempat belajar hari ini. Tapi, kalau kalian tidak bisa, aku akan belajar sendiri.”
“Hei, kalian, ada apa?” Tiba-tiba Biru datang menghampiri mereka. Ia berdiri di samping Cakka yang sedang meneguk minumannya.
“Yang lain sudah pulang, Bi?” tanya Alvin.
“Ya, baru saja. Jadi katakan padaku, ada apa?”
“Tidak ada. Ray mengajak belajar bersama sekarang, ia minta diajari IPA untuk ulangan hari Senin. Dua hari besok sibuk katanya.” kata Alvin. “Tapi, aku hanya takut mereka terlalu lelah karena latihan kita hari ini sangat menguras tenaga.”
“Kalau begitu datanglah ke rumah kami. Tidak apa-apa jika hanya belajar ringan. Lagipula, Bunda pasti menyediakan banyak makanan dan minuman agar kalian dapat semangat belajar.” kata Biru.
“Ide yang bagus!” kata Ray sambil tersenyum. Ia menoleh ke arah teman-temannya. “Bagaimana? Ada yang mau ikut? Aku tidak memaksa jika kalian ingin istirahat.”
“Tentu saja ikut. Kita sudah berjanji akan belajar bersama selama pekan ulangan. Dan membiarkan kau kesusahan belajar sama saja dengan ingkar janji.” kata Gabriel.
“Ya, aku setuju dengan Gabriel.” kata Rio.
“Baiklah, kalau kalian merasa masih kuat, aku juga ikut. Tapi, jangan belajar terlalu keras, oke? Hari ini tanyakan semua yang kalian tidak mengerti. Materi yang sudah dikuasai bisa dipelajari besok, agar kita juga tidak pulang terlalu malam. Bagaimana?” tawar Alvin.
“Setuju!” kata semua serempak.
“Kalau begitu ayo pulang. Kalian naik mobil kami saja. Kak Elang pasti sudah menunggu di gerbang sekolah.”
Semuanya segera berkemas dan cepat-cepat meninggalkan lapangan basket karena hari sudah mulai gelap. Mereka semua pulang menaiki mobil Elang dan menempuh perjalanan sekitar setengah jam untuk sampai di rumah Cakka. Mereka menghela nafas lega ketika akhirnya mereka bisa turun dari mobil.
Namun, wajah Biru dan Elang tidak secerah wajah mereka. Mereka sangat terkejut ketika melihat sebuah mobil terparkir di depan rumah mereka. Dan mereka sudah tahu mobil siapa itu. Tapi, demi kebaikan tamu mereka, mereka berpura-pura tidak tahu. Mereka berdua langsung mengajak Cakka dan teman-temannya masuk ke dalam rumah. Akhirnya, sambil sibuk mengobrol dan bercanda tawa, mereka semua masuk ke dalam. Namun, canda tawa mereka seketika terhenti ketika mendengar seseorang berteriak.
“Cakka!”
 Mereka semua langsung menatap ke arah sumber suara dan diam menatapnya. Di hadapan mereka sekarang telah berdiri seorang laki-laki paruh baya yang menatap mereka dengan mata setajam pisau. Biru dan Elang mengunci mulutnya, tidak berani berkomentar apa-apa. Sementara Cakka hanya bisa terdiam. Ayah. Waktu kepulangannya benar-benar tidak tepat.
 “Jadi, ini yang Ayah dapat setelah Ayah pulang? Ternyata kau masih berhubungan dengan teman-teman basketmu ini?” tanya Ayah sebal sambil mendekati anak bungsunya.
Cakka menundukkan kepalanya tidak ingin menjawab.
Ayah menatap satu per satu anak yang ada di hadapannya. Semuanya berbaju basket kecuali Elang. Emosinya seketika naik. “Bagus. Kau sama sekali tidak mendengarkan Ayah ya? Kau tidak menjauhi teman-temanmu, kau juga masih bermain basket! Benar-benar anak yang hebat!”
“Ayah, Cakka itu...” Elang mencoba bersuara, namun Ayah segera memotongnya.
“Diam, Lang! Kau tak perlu membela adikmu!” kata Ayah membuat Elang bungkam. Ayah menoleh kembali ke arah teman-teman Cakka. “Kalian tidak ada kapok-kapoknya mengganggu anak saya? Lebih baik kalian pergi dari sini sekarang! Jangan menjerumuskan anak saya ke hal-hal buruk!!”
Cakka mengangkat kepalanya kaget mendengarnya. Dengan reflek ia membantah, “Jangan usir mereka, Yah!”
“DIAM KAU, CAKKA!” teriak Ayah nyaring.
Cakkapun akhirnya ikut bungkam. Ia menoleh ke arah teman-temannya yang kaget dengan perlakuan Ayah. Benar-benar tidak tahu harus bagaimana. Kedatangan Ayah terlalu mendadak.
Dari Alvin, Gabriel, Rio dan juga Ray serentak kaget melihat sikap Ayah yang jauh berbeda dibandingkan dengan saat mereka bertemu dengan beliau terakhir kali itu. Beliau begitu ramah kepada mereka dan dengan senang hati membiarkan Cakka berangkat bersama dengan mereka ke sekolah. Tapi, sekarang, tatapan ramah itu sudah tertutup dengan amarah yang terpancar di wajahnya. Dahinya berkerut parah, matanya melotot seakan-akan ingin keluar. Entah apa yang terjadi selama mereka tidak melihatnya.
Biru yang melihat ketegangan ini merasa tidak tahu apa yang harus ia lakukan lagi. Ia menoleh ke arah Alvin dan kawan-kawan adiknya. “Vin, semuanya, sepertinya lebih baik kalian keluar dulu. Biar aku dan Cakka yang akan berbicara kepada Ayah.”
“Tak ada yang perlu dibicarakan!” kata Ayah keras. “Lebih baik kau masuk, Biru, Elang. Ayah ingin berbicara dengan Cakka.”
“Tapi, Yah...”
“Ayah bilang masuk!”
Biru diam. Elang yang sudah tak ingin memperpanjang masalah langsung merangkul adik perempuannya masuk ke dalam, meninggalkan Cakka bersama Ayah dan teman-temannya. Tak lama kemudian, Bunda tiba-tiba muncul di belakang Ayah.
“Kau marah lagi pada mereka?” tanya Bunda pada Ayah.
“Kau tak perlu ikut campur. Anakmu ini sudah mulai kurang ajar. Lancang sekali dia melawanku. Mentang-mentang sudah SMP, dia merasa sudah hebat!” kata Ayah dengan kesal.
“Tapi, dia tak bermaksud membuatmu marah, Ayah. Dia hanya ingin kau mengerti bahwa basket sudah melekat dalam dirinya. Dia bahagia berada di dalam dunia basket. Apalagi bersama teman-temannya.” kata Bunda berusaha menenangkan Ayah.
“Jadi kau menyalahkanku juga?” tanya Ayah menatap ke arah Bunda dengan geram. “Atau jangan-jangan selama ini kau yang mengajari dia untuk tetap bermain basket selama aku pergi?!”
“Itu...” kata-kata Bunda terputus.
Melihat Bunda tidak menjawab, Ayah mengangguk-anggukkan kepalanya, seakan mengerti apa yang sedang terjadi. “Baiklah. Aku mengerti sekarang. Ini balasan kalian untuk kerja kerasku. Kalian bersekongkol untuk membohongiku! Ternyata, sia-sia saja aku membanting tulang untuk kalian. Aku kecewa pada kalian semua.”
“Bukan begitu, Yah...” lagi-lagi ucapan Bunda terputus.
“Diam kau!” seru Ayah keras. Ia segera mengayunkan tangannya dengan penuh tenaga.
Cakka yang semakin ketakutan melihat pertengkaran Ayah dan Bunda langsung berlari untuk melindungi tubuh Bunda dengan tubuhnya yang bergetar. “Awas, Bunda!”
PLAK!!
Semuanya yang ada di sana tercengang melihat adegan tersebut. Alvin, Gabriel, Rio dan Ray sampai membekap mulut mereka karena benar-benar tidak menyangka Cakka bisa begitu spontannya berlari dan merelakan dirinya ditampar Ayah demi melindungi Bunda. Lama-kelamaan keadaan ini semakin memburuk saja.
Cakka memegang pipi kanannya yang panas dan merah karena tamparan Ayah. Ia menatap Ayah dengan mata yang berkaca-kaca. Bendungan air matanya hampir saja pecah. Mulutnya meringis pelan karena rasa sakit yang amat terasa di pipinya. “Jangan sakiti Bunda.... Ayah.”
Ayah diam saja melihat anak bungsunya. Ia melangkah masuk ke dalam rumah tanpa perduli apapun yang akan terjadi kepadanya. Sepeninggalan Ayah, Bunda dan teman-teman Cakka langsung mengerubunginya dengan penuh rasa khawatir.
“Kau tidak apa-apa?” tanya Alvin.
“Pipimu merah sekali, Kka!” kata Ray ngeri melihat bekas tamparan itu.
“Sudah, ayo ke dalam dulu. Bunda akan mengobati lukamu. Kalian juga, masuklah.” kata Bunda.
“Tapi, Bunda tidak apa-apa, bukan?” tanya Cakka cemas.
“Bunda tidak apa-apa, sayang.” kata Bunda sambil tersenyum. Ia merangkul Cakka masuk ke dalam rumah, diikuti oleh Alvin, Gabriel, Rio dan Ray. Tadinya mereka ingin segera pulang, namun Bunda dengan berbaik hati menerima mereka. Mereka juga tetap belajar bersama di ruang tamu setelah luka Cakka diobati. Padahal, mereka khawatir kalau mereka akan membuat keadaan semakin runyam. 

TO BE CONTINUED...
Penasaran? Baca sampai tamat ya! :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Makasih ya udah baca cerpenku. Silahkan tinggalkan komentar kamu ya.
Semua kritik dan saran aku terima. Pujian juga boleh :p