Hari demi
hari berlalu dengan cepat. Pekan ulangan yang sudah dimulai beberapa hari yang
lalu membuat semua murid SMP sibuk belajar. Kantin yang biasanya selalu penuh
menjadi agak sepi karena lebih banyak murid yang tinggal di kelas untuk
menyicil pelajaran yang akan diuji. Lapangan yang biasanya dipenuhi oleh para
anak basket dan murid-murid yang menyoraki mereka juga tampak kosong semenjak
pekan ulangan dimulai. Sama sekali tidak ada suara kegaduhan yang meramaikan
area sekolah.
Namun,
berbeda dengan Cakka dan teman-temannya. Mereka tidak belajar di kelas
masing-masing. Sesuai dengan rencana mereka waktu itu, mereka akan belajar
bersama selama pekan ulangan. Dan atas ide tambahan dari Ray, mereka
memanfaatkan jam istirahat untuk berkumpul di kantin. Jarang-jarang mereka bisa
mendapatkan suasana damai seperti sekarang.
“Bagaimana
dengan pekan ulangan kalian?” tanya Alvin ketika mereka sudah mengambil tempat
duduk di kantin.
“Susah,”
keluh Ray. “Aku benar-benar pusing mengerjakan soal matematika dan IPS nya.
Mungkin untuk tiga mata pelajaran yang kemarin, aku akan mendapatkan nilai
jelek!”
“Apalagi
yang kelas dua.” kata Gabriel. “Walaupun sudah belajar keras, tapi tetap saja
tidak bisa mengerjakan. Kau tak tahu sudah berapa kali aku dan Rio mencari-cari
teman untuk contekan.”
“Ya,
untungnya teman-teman kita sangat baik, bukan begitu, Gabriel?” tanya Rio
sambil tertawa. “Waktu ulangan Biologi kemarin, kami semua membuat siasat agar
guru kami keluar kelas. Dan kami semua saling membantu.”
“Ah, parah
sekali kalian, Yel, Yo. Kalian akan dihukum jika tertangkap guru.” kata Alvin
sambil menggelengkan kepalanya. “Bagaimana denganmu, Kka? Apa pekan ulanganmu
lancar?”
“Ah, Cakka
tak perlu ditanya. Di antara kita berlima, dialah yang paling pintar. Setiap
kali selesai ulangan, wajahnya selalu cerah. Dia pasti bisa mengerjakan
semuanya. Benar kan, Kka?” kata Ray.
Cakka hanya
tersenyum mendengarnya. “Aku memiliki beberapa keraguan.”
“Kalau
begitu, mari kita bahas sekarang.” kata Alvin. “Apa jadwal kalian besok?”
“Inggris dan
PKn.” kata Ray.
“Bahasa
Indonesia dan Kimia.” kata Gabriel dan Rio hampir bersamaan.
“Oke, untungnya aku
hanya satu mata pelajaran besok, jadi aku bisa santai mengajari kalian.
Sekarang mari kita belajar, kalau ada yang tidak mengerti, kalian bisa tanya
padaku. Terutama kalian, Ray, Cakka.” kata Alvin.
“Ya, aku bisa
mengajari kalian bahasa inggris. Rio juga kebetulan cukup mengerti soal
politik.” kata Gabriel sambil tersenyum. Ia menoleh ke arah Alvin. “Vin, kau bisa
mengajariku Kimia, kan?”
“Aku tidak terlalu
mengerti soal kimia, tapi sebisa mungkin akan kuajari.” kata Alvin. Ia membuka
buku paketnya yang cukup tebal. “Sudah, ayo kita mulai. Waktu kita sudah habis
banyak.”
Semuanya mengangguk.
Masing-masing dari mereka membuka buku paket dan buku tulis mereka dan memulai
belajar dengan seru. Suasana di kantin tiba-tiba berubah seperti suasana kelas
tambahan. Alvin yang notabene anak paling tua di antara mereka, sibuk mengajari
dan membimbing adik-adik kelasnya agar bisa mengerti materi yang sedang mereka
pelajari. Sesekali Gabriel dan Rio juga mengajari Ray dan Cakka. Semua itu
untuk membantu meningkatkan prestasi dan mempertahankan persahabatan mereka.
Dan Cakka merasa
rencana mereka itu cukup efektif. Bahkan Bunda yang mengetahui rencana anaknya
merasa sangat bangga. Kesibukan Cakka belajar bersama dengan teman-temannya
terbukti membuat nilainya meningkat. Beberapa ulangan yang dibagikan duluan di
sela-sela pekan ulangannya cukup memuaskan. Paling tidak nilainya lebih tinggi
sepuluh skor dari biasanya. Dari yang biasanya hanya tujuh puluhan, sekarang
menjadi delapan puluhan. Yang biasanya delapan puluhan menjadi sembilan
puluhan. Bahkan berkat ajaran Gabriel, ulangan PKn Cakka menjadi sempurna!
“Kka, aku benar-benar tidak percaya.
Baru pertama kali aku mendapatkan angka sembilan puluh di atas kertas
ulanganku.” kata Ray sambil memperlihatkan hasil ulangannya. “Kita harus
berterima kasih kepada Gabriel, Rio dan Alvin nanti.”
Cakka tersenyum. Ia
mengacak rambut Ray sembarangan dan segera mengambil tasnya untuk meninggalkan
kelas. Ray yang tak ingin ditinggal langsung buru-buru menyusul. Sambil
merapikan rambutnya, ia berteriak. “Hei, tunggu, Cakka! Aduh, pakai
memberantakkan rambutku lagi!”
Begitu Ray sampai di
lapangan, ternyata semuanya sudah memulai latihan. CRAG Team sedang berlari
keliling lapangan, tim basket putri sibuk latihan bertanding, sementara yang
lainnya latihan shooting sendirian di
lapangan lainnya. Namun, yang pasti adalah Ray sudah terlambat. Pak Jo yang
memergokinya baru datang langsung menghampirinya.
“Dari mana saja kau?
Teman-temanmu sudah datang dari tadi. Letakkan tasmu dan segera ikut berlari
keliling lapangan dua kali. Hari ini kita akan uji coba pertandingan agar
kalian bisa semangat di SMPN 1.” kata Pak Jo.
“Baik, Pak!” kata Ray
langsung buru-buru menaruh tasnya di pinggir lapangan dan segera berlari
mengejar keempat temannya. Sementara Pak Jo kembali memberi semangat dan
instruksi kepada anak-anak yang sedang latihan bertanding.
“Hei, Ray! Akhirnya
kau datang juga! Dari mana kau?” kata Gabriel ketika Ray sudah berlari di
antara mereka.
“Ah, aku tidak dari
mana-mana! Aku hanya sedang mengagumi nilai ulanganku yang begitu tinggi. Tapi,
Cakka meninggalkanku sendirian di kelas.” kata Ray sambil menggembungkan
pipinya.
“Dasar berlebihan.
Ingat, kita memiliki pertandingan di SMPN 1 dua minggu lagi. Kau harus fokus
pada latihan.” kata Alvin sambil berlari.
“Ya, aku tahu, Alvin.
Tapi, aku benar-benar merasa berterima kasih kepadamu, Gabriel dan juga Rio.
Bantuan kalian sangat berguna di pekan ulangan. Kalau bukan karena kalian, aku
tidak akan bisa mendapatkan nilai yang begitu memuaskan.”
Rio tertawa.
“Bukankah itu gunanya teman?”
“Ya, tentu saja. Aku
beruntung bisa memiliki teman-teman yang dapat diandalkan seperti kalian semua.
Kalau begini, di rumah aku sudah tak perlu belajar mati-matian lagi.” kata Ray.
“Enak saja! Kau tetap
harus belajar sendiri di rumah. Paling tidak ulanglah apa yang telah kami
ajarkan kepadamu agar kau lebih mengerti. Aku jamin itu akan membantu.” kata
Alvin. “Kau akan kesulitan di kelas tiga kalau kau tak terbiasa belajar keras.”
“Uh, kau cerewet
sekali, Vin!”
“Aku cerewet untuk
kebaikanmu, Raynald Putra. Kau tidak akan menemukan kakak kelas yang akan
membagi pengalamannya sendiri agar adik-adik kelasnya tidak stress ketika sudah
kelas tiga.”
Gabriel dan Rio
tertawa hampir berbarengan mendengar ucapan Alvin. Gabriel menyahut setelahnya,
“Kau harus mengakui itu benar, Ray.”
“Ya, ya. Terserah
kau!”
“Hei, jangan
berbicara sendiri! Cepat lari atau kalian akan kekurangan waktu untuk latihan
basket! Kalian ingin menjadi yang terbaik tidak?!” teriak Pak Jo tiba-tiba
membuat mereka kaget.
“Ma.. Maaf, Pak!”
sahut mereka berlima segera mengunci mulut dan mempercepat lari mereka.
Benar-benar sial. Bisa-bisanya Pak Jo sempat memperhatikan mereka selagi ia
melatih anak-anak yang lain.
J L J
PRIIIIT....!!!
CRAG Team segera
kembali ke pinggir lapangan setelah peluit milik Pak Jo berbunyi keras. Mereka
menghela nafas lega dan segera berkumpul di hadapan pelatihnya. Bunyi peluit
tersebut menandakan bahwa latihan hari ini sudah selesai dan saatnya
mengevaluasi apa yang sudah mereka tunjukkan.
“Baik, semuanya sudah
berkumpul.” kata Pak Jo. Ia memasukkan menaruh kedua tangannya di pinggang dan
melanjutkan ucapannya. “Dari apa yang telah kita lakukan selama ini, Bapak
sangat senang melihat kerja sama kalian yang sangat kompak. Dan dengan
kemampuan kalian masing-masing, Bapak yakin kalian sudah cukup siap untuk
pertandingan di SMPN 1.”
“Saran Bapak untuk
kalian cuma satu. Di pertandingan nanti, kalian harus bekerja sama seperti
tadi. Jangan pernah bermain sendiri karena basket bukan olahraga individual.
Dan kalian harus saling percaya satu sama lain. Ingat, pertandingan tinggal dua
minggu lagi. Kalaupun kalian memiliki masalah pribadi, jangan pernah
sekali-kali masalah itu terbawa saat bermain basket. Fokus! Oke?”
“Baik, Pak!” kata
CRAG Team serentak.
“Oke, sekarang kalian
boleh pulang. Simpanlah stamina kalian sampai pertandingan. Tetap jaga jatah
prioritas sekolah, basket dan istirahat. Jangan sampai kalian kurang tidur
karena belajar sampai larut malam.” kata Pak Jo yang langsung diangguki
kelimanya. “Oke, kalau begitu, Bapak pulang duluan.”
CRAG Team segera
berkemas dan bersiap-siap pulang. Jam sudah hampir menunjukkan angka lima.
Hanya tertinggal mereka berlima dan tim basket putri saja di lapangan basket.
“Guys.” tiba-tiba Ray
bersuara. “Hari Senin aku ulangan IPA. Ada yang bisa mengajariku tidak? Sabtu
dan Minggu besok mungkin aku tidak memiliki banyak waktu untuk belajar, jadi
kalau kalian bisa, ajari aku sekarang. Sekalian kita belajar bersama.”
“Kau tidak lelah,
Ray?” tanya Gabriel.
“Terpaksa, Yel.” kata
Ray. “Besok dan Minggu aku harus pergi seharian. Mungkin hanya cukup waktu
untuk mengulang. Aku hanya sempat belajar hari ini. Tapi, kalau kalian tidak
bisa, aku akan belajar sendiri.”
“Hei, kalian, ada
apa?” Tiba-tiba Biru datang menghampiri mereka. Ia berdiri di samping Cakka
yang sedang meneguk minumannya.
“Yang lain sudah
pulang, Bi?” tanya Alvin.
“Ya, baru saja. Jadi
katakan padaku, ada apa?”
“Tidak ada. Ray
mengajak belajar bersama sekarang, ia minta diajari IPA untuk ulangan hari
Senin. Dua hari besok sibuk katanya.” kata Alvin. “Tapi, aku hanya takut mereka
terlalu lelah karena latihan kita hari ini sangat menguras tenaga.”
“Kalau begitu
datanglah ke rumah kami. Tidak apa-apa jika hanya belajar ringan. Lagipula,
Bunda pasti menyediakan banyak makanan dan minuman agar kalian dapat semangat
belajar.” kata Biru.
“Ide yang bagus!”
kata Ray sambil tersenyum. Ia menoleh ke arah teman-temannya. “Bagaimana? Ada
yang mau ikut? Aku tidak memaksa jika kalian ingin istirahat.”
“Tentu saja ikut.
Kita sudah berjanji akan belajar bersama selama pekan ulangan. Dan membiarkan
kau kesusahan belajar sama saja dengan ingkar janji.” kata Gabriel.
“Ya, aku setuju
dengan Gabriel.” kata Rio.
“Baiklah, kalau
kalian merasa masih kuat, aku juga ikut. Tapi, jangan belajar terlalu keras,
oke? Hari ini tanyakan semua yang kalian tidak mengerti. Materi yang sudah
dikuasai bisa dipelajari besok, agar kita juga tidak pulang terlalu malam.
Bagaimana?” tawar Alvin.
“Setuju!” kata semua
serempak.
“Kalau begitu ayo
pulang. Kalian naik mobil kami saja. Kak Elang pasti sudah menunggu di gerbang
sekolah.”
Semuanya segera
berkemas dan cepat-cepat meninggalkan lapangan basket karena hari sudah mulai
gelap. Mereka semua pulang menaiki mobil Elang dan menempuh perjalanan sekitar
setengah jam untuk sampai di rumah Cakka. Mereka menghela nafas lega ketika
akhirnya mereka bisa turun dari mobil.
Namun, wajah Biru dan
Elang tidak secerah wajah mereka. Mereka sangat terkejut ketika melihat sebuah
mobil terparkir di depan rumah mereka. Dan mereka sudah tahu mobil siapa itu.
Tapi, demi kebaikan tamu mereka, mereka berpura-pura tidak tahu. Mereka berdua
langsung mengajak Cakka dan teman-temannya masuk ke dalam rumah. Akhirnya,
sambil sibuk mengobrol dan bercanda tawa, mereka semua masuk ke dalam. Namun,
canda tawa mereka seketika terhenti ketika mendengar seseorang berteriak.
“Cakka!”
Mereka semua langsung menatap ke arah
sumber suara dan diam menatapnya. Di hadapan mereka sekarang telah berdiri
seorang laki-laki paruh baya yang menatap mereka dengan mata setajam pisau.
Biru dan Elang mengunci mulutnya, tidak berani berkomentar apa-apa. Sementara
Cakka hanya bisa terdiam. Ayah. Waktu kepulangannya benar-benar tidak tepat.
“Jadi, ini yang Ayah dapat setelah Ayah
pulang? Ternyata kau masih berhubungan dengan teman-teman basketmu ini?” tanya
Ayah sebal sambil mendekati anak bungsunya.
Cakka menundukkan
kepalanya tidak ingin menjawab.
Ayah menatap satu per
satu anak yang ada di hadapannya. Semuanya berbaju basket kecuali Elang.
Emosinya seketika naik. “Bagus. Kau sama sekali tidak mendengarkan Ayah ya? Kau
tidak menjauhi teman-temanmu, kau juga masih bermain basket! Benar-benar anak
yang hebat!”
“Ayah, Cakka itu...”
Elang mencoba bersuara, namun Ayah segera memotongnya.
“Diam, Lang! Kau tak
perlu membela adikmu!” kata Ayah membuat Elang bungkam. Ayah menoleh kembali ke
arah teman-teman Cakka. “Kalian tidak ada kapok-kapoknya mengganggu anak saya?
Lebih baik kalian pergi dari sini sekarang! Jangan menjerumuskan anak saya ke
hal-hal buruk!!”
Cakka mengangkat
kepalanya kaget mendengarnya. Dengan reflek ia membantah, “Jangan usir mereka,
Yah!”
“DIAM KAU, CAKKA!”
teriak Ayah nyaring.
Cakkapun akhirnya
ikut bungkam. Ia menoleh ke arah teman-temannya yang kaget dengan perlakuan
Ayah. Benar-benar tidak tahu harus bagaimana. Kedatangan Ayah terlalu mendadak.
Dari Alvin, Gabriel,
Rio dan juga Ray serentak kaget melihat sikap Ayah yang jauh berbeda
dibandingkan dengan saat mereka bertemu dengan beliau terakhir kali itu. Beliau
begitu ramah kepada mereka dan dengan senang hati membiarkan Cakka berangkat
bersama dengan mereka ke sekolah. Tapi, sekarang, tatapan ramah itu sudah
tertutup dengan amarah yang terpancar di wajahnya. Dahinya berkerut parah,
matanya melotot seakan-akan ingin keluar. Entah apa yang terjadi selama mereka
tidak melihatnya.
Biru yang melihat
ketegangan ini merasa tidak tahu apa yang harus ia lakukan lagi. Ia menoleh ke
arah Alvin dan kawan-kawan adiknya. “Vin, semuanya, sepertinya lebih baik
kalian keluar dulu. Biar aku dan Cakka yang akan berbicara kepada Ayah.”
“Tak ada yang perlu
dibicarakan!” kata Ayah keras. “Lebih baik kau masuk, Biru, Elang. Ayah ingin
berbicara dengan Cakka.”
“Tapi, Yah...”
“Ayah bilang masuk!”
Biru diam. Elang yang
sudah tak ingin memperpanjang masalah langsung merangkul adik perempuannya
masuk ke dalam, meninggalkan Cakka bersama Ayah dan teman-temannya. Tak lama
kemudian, Bunda tiba-tiba muncul di belakang Ayah.
“Kau marah lagi pada
mereka?” tanya Bunda pada Ayah.
“Kau tak perlu ikut
campur. Anakmu ini sudah mulai kurang ajar. Lancang sekali dia melawanku.
Mentang-mentang sudah SMP, dia merasa sudah hebat!” kata Ayah dengan kesal.
“Tapi, dia tak
bermaksud membuatmu marah, Ayah. Dia hanya ingin kau mengerti bahwa basket
sudah melekat dalam dirinya. Dia bahagia berada di dalam dunia basket. Apalagi
bersama teman-temannya.” kata Bunda berusaha menenangkan Ayah.
“Jadi kau menyalahkanku
juga?” tanya Ayah menatap ke arah Bunda dengan geram. “Atau jangan-jangan
selama ini kau yang mengajari dia untuk tetap bermain basket selama aku
pergi?!”
“Itu...” kata-kata
Bunda terputus.
Melihat Bunda tidak
menjawab, Ayah mengangguk-anggukkan kepalanya, seakan mengerti apa yang sedang
terjadi. “Baiklah. Aku mengerti sekarang. Ini balasan kalian untuk kerja
kerasku. Kalian bersekongkol untuk membohongiku! Ternyata, sia-sia saja aku
membanting tulang untuk kalian. Aku kecewa pada kalian semua.”
“Bukan begitu,
Yah...” lagi-lagi ucapan Bunda terputus.
“Diam kau!” seru Ayah
keras. Ia segera mengayunkan tangannya dengan penuh tenaga.
Cakka yang semakin
ketakutan melihat pertengkaran Ayah dan Bunda langsung berlari untuk melindungi
tubuh Bunda dengan tubuhnya yang bergetar. “Awas, Bunda!”
PLAK!!
Semuanya yang ada di
sana tercengang melihat adegan tersebut. Alvin, Gabriel, Rio dan Ray sampai
membekap mulut mereka karena benar-benar tidak menyangka Cakka bisa begitu
spontannya berlari dan merelakan dirinya ditampar Ayah demi melindungi Bunda.
Lama-kelamaan keadaan ini semakin memburuk saja.
Cakka memegang pipi
kanannya yang panas dan merah karena tamparan Ayah. Ia menatap Ayah dengan mata
yang berkaca-kaca. Bendungan air matanya hampir saja pecah. Mulutnya meringis
pelan karena rasa sakit yang amat terasa di pipinya. “Jangan sakiti Bunda....
Ayah.”
Ayah diam saja
melihat anak bungsunya. Ia melangkah masuk ke dalam rumah tanpa perduli apapun
yang akan terjadi kepadanya. Sepeninggalan Ayah, Bunda dan teman-teman Cakka
langsung mengerubunginya dengan penuh rasa khawatir.
“Kau tidak apa-apa?”
tanya Alvin.
“Pipimu merah sekali,
Kka!” kata Ray ngeri melihat bekas tamparan itu.
“Sudah, ayo ke dalam
dulu. Bunda akan mengobati lukamu. Kalian juga, masuklah.” kata Bunda.
“Tapi, Bunda tidak
apa-apa, bukan?” tanya Cakka cemas.
“Bunda tidak apa-apa,
sayang.” kata Bunda sambil tersenyum. Ia merangkul Cakka masuk ke dalam rumah,
diikuti oleh Alvin, Gabriel, Rio dan Ray. Tadinya mereka ingin segera pulang,
namun Bunda dengan berbaik hati menerima mereka. Mereka juga tetap belajar
bersama di ruang tamu setelah luka Cakka diobati. Padahal, mereka khawatir
kalau mereka akan membuat keadaan semakin runyam.
TO BE CONTINUED...
Penasaran? Baca sampai tamat ya! :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Makasih ya udah baca cerpenku. Silahkan tinggalkan komentar kamu ya.
Semua kritik dan saran aku terima. Pujian juga boleh :p