Minggu, 21 September 2014

Cerbung | Impian Bola Basket Part 14


Pesta ulang tahun Cakka berlangsung hingga jam delapan malam. Tadi setelah makan kue bersama di taman, rumahnya seketika menjadi ramai karena teman-teman satu kelas dan ekskul basketnya makan malam bersamanya. Makanan yang dimasak oleh Bunda tadi benar-benar lezat seperti biasanya. Bahkan tak hanya nafsu makan Ray yang bertambah, yang lainnya juga. Bakat memasak Bunda memang tidak bisa diragukan lagi. Hampir tak ada yang makan hanya satu porsi. Semuanya menambah. Makanya, semua orang tampak lelah hari ini. Bunda, Biru, Elang, bahkan dirinya pun juga lelah melayani mereka.

Cakka baru dari tidurnya untuk beranjak ke balkon. Sudah sekitar satu jam ia berbaring di tempat tidurnya tersebut untuk mengistirahatkan tubuhnya. Tapi, ia belum juga bisa tidur.
Angin sepoi-sepoi terasa berhembus sejuk begitu Cakka membuka pintu menuju balkon. Cakka tersenyum merasakannya. Perlahan-lahan ia menutup matanya dan membiarkan tubuhnya merasakan bagaimana damainya suasana malam.
“Cakka...”
Cakka membuka matanya mendengar suara itu. Ia tersenyum, tanpa membalikkan badannya, ia sudah hafal siapa yang memanggilnya itu. Siapa lagi kalau bukan kakak laki-lakinya.
“Kau tidak tidur? Bukankah kau lelah?” tanyanya lagi sambil mendekati adiknya. Ia berdiri di belakang Cakka, menatapnya dengan penasaran.
“Angin malam hari ini benar-benar sejuk, Kak.” kata Cakka.
“Ya, angin malam selalu membuatmu terasa damai.” kata Elang. “Tapi, kau juga butuh istirahat. Besok kau harus sekolah. Bukankah sebentar lagi kau akan menjalankan pekan ulangan? Kau butuh banyak energi.”
“Ya, kau benar.”
Suasana hening sejenak. Cakka tampak sibuk menikmati angin sepoi-sepoi yang masih membuat rambut dan bajunya menari-nari mengikuti arah angin berhembus. Elang juga tetap diam, mungkin menunggu Cakka untuk berbicara lagi. Selain itu, dia juga berusaha mencari pembicaraan lain agar dapat memecah suasana hening di antara mereka.
“Kak...” Tiba-tiba Cakka bersuara sambil menatap ke arah langit.
“Hm?”
“Terima kasih. Untuk hari ini.”
Elang tersenyum. “Tak perlu. Kau adalah adikku, sudah sepantasnya kita mengadakan acara itu. Kita ingin kau melupakan segalanya hari ini, agar kau dapat bahagia di hari pertama kau tumbuh ke umur tiga belas.”
Cakka diam. Sedetik kemudian dia menghela nafasnya sejenak. “Kenapa?”
“Kenapa apanya?” tanya Elang bingung.
“Kau tak perlu pura-pura bodoh. Kau tahu apa maksudku.”
Kini giliran Elang yang menghela napas. “Kami berdua kakakmu. Aku dan Biru tahu kau tertekan dengan larangan Ayah. Kau tak bisa menyembunyikannya, Kka. Kami berdua tak mungkin diam saja.”
“Ternyata begitu.” kata Cakka. Tak sedikitpun senyum terbesit dalam wajahnya. Wajahnya menunjukkan raut wajah yang tak bisa diartikan.
Elang berjalan mendekati adiknya, kemudian menepuk pundaknya dari belakang. “Maaf kalau aku dan Biru terlalu mencampuri urusanmu, tapi kau tahu kita berdua perduli padamu.”
Cakka tertawa kecil mendengarnya. Ia menyingkirkan tangan kakaknya dan segera membalikkan badannya menghadap Elang. “Kau terlalu khawatir denganku, Kak. Tenang saja.”
Elang tersenyum, kemudian mengangguk mengerti. Kemudian, segera pamit untuk tidur. Tapi, langkahnya terhenti ketika ia teringat sesuatu. Sambil memegang pintu, ia menoleh ke arah adiknya kembali. “Kka, jujur, saat kau meniup lilin tadi. Kau pasti mengharapkan Ayah datang ke pestamu, bukan?”
Cakka tersenyum.
Elang menggelengkan kepalanya sambil tersenyum, kemudian langsung meninggalkan kamar Cakka. Cakka memamerkan giginya sejenak, berjalan mendekati meja belajarnya. Ia mengambil sebuah kotak yang ada di sana. Kotak yang tadi pagi ia terima dari teman sekolahnya. Ia belum membukanya. Tapi, entah kenapa, kotak tersebut membuatnya teringat akan Ayah. Ingin sekali ia mendapatkan kado seperti itu dari Ayah.
Ia menoleh ke arah keluar jendela. Yah, meskipun kau tidak ikut berbahagia bersamaku, kau pasti ingat dengan ulang tahunku, bukan? Aku yakin kau mendoakanku di luar sana, bukan?


---

Ekskul basket kali ini masih tetap santai seperti minggu lalu. Setelah kemampuan anggota CRAG Team diuji satu per satu, mereka diberikan istirahat dua puluh menit di pinggir lapangan selama Pak Jo melatih anak-anak yang lain. Nanti setelah selesai, Pak Jo akan melatih mereka kembali dalam hal bekerja sama dalam kelompok. Begitu juga dengan tim basket putri dengan pelatih mereka.
Selama jam istirahat, terdengar suara canda tawa dari kelima laki-laki tersebut di pinggir lapangan. Cakka yang memangku buku pelajaran di kedua kakinya, Gabriel dan Rio yang sesekali meneguk air mineral, Ray yang hanya duduk bersandar di dinding dan juga Alvin menopang dagunya dengan kedua tangannya sibuk mengobrol bersama sambil menunggu jam istirahat selesai. Tadi tim basket putri sempat menghampiri mereka sebentar, namun mereka sudah kembali ke lapangan sebelah, tempat latihan mereka, karena tidak ingin mengganggu jam istirahat CRAG Team.
“Kka, apa kau tak pernah kenal dengan rasa lelah?” tanya Ray sambil menggelengkan kepalanya melihat temannya tersebut sibuk membaca dan komat-kamit sendiri menghafal rumus matematika.
“Minggu depan pekan ulangan sudah mulai. Tentu saja dia belajar. Memangnya Cakka seperti kau yang malas!” kata Alvin sambil tertawa. “Aku tahu kau pasti membuka buku jika sudah malam tiba, bukan?”
“Jahat kau, Vin. Aku melakukan itu karena aku butuh istirahat, tahu!”
“Ya, aku tahu. Tapi, kau jelas tak mengatur waktumu antara belajar dan istirahat. Ingat, walaupun kau sibuk dengan akademik dan kegiatan luar sekolah, setidaknya kau harus memiliki sedikit waktu untuk belajar.” kata Alvin. “Kau tidak akan percaya betapa sibuknya kau nanti saat kau sudah kelas tiga sepertiku.”
“Kalau begitu, bagaimana kalau sekali seminggu kita belajar bersama? Karena aku dan Cakka kelas satu, Gabriel dan Rio kelas dua dan kau kelas tiga, kita bisa saling mengajari satu sama lain.” usul Ray.
“Ide yang bagus. Mungkin nilai pekan ulangan kita bisa membaik dengan hal itu.” kata Rio sambil mengangguk setuju. Ia menoleh ke arah Cakka. “Bagaimana pendapatmu, Kka?”
Cakka menoleh ke arah teman-temannya dan tersenyum. “Kalau itu semua membantu kalian, aku setuju saja.”
“Karena kita latihan basket setiap Senin dan Jumat, lebih baik kita belajar bersama setiap Selasa dan Rabu. Pulang sekolah. Bagaimana?” tanya Gabriel yang langsung diangguki oleh semuanya. Gabriel tersenyum. “Baik, sudah sepakat! Mulai Selasa depan, kita akan mulai rencana kita ini untuk menjaga nilai kita!”
“Ya!” kata Gabriel, Rio, Ray, Alvin dan Cakka bersamaan sambil mengangkat tangan kanan mereka dengan semangat. Setelah itu, mereka tertawa bersama dan saling memberikan high five satu sama lain.
“Omong-omong, sudah hampir tiga bulan kita bersama, menjadi satu tim dalam tim inti basket. Berusaha tetap membanggakan nama CRAG Team. Aku boleh tahu tidak, apa harapan kalian untuk tim kita ini?” tanya Alvin sambil tersenyum.
“Kalau aku pribadi, aku hanya ingin tim ini tetap solid dan kompak, apapun yang terjadi. Persahabatan harus ada di urutan nomor satu. Apapun yang terjadi, kita tidak boleh menomorduakan persahabatan kita. Karena sejak masuk ke tim inti, kalian berempat adalah saudaraku.” kata Gabriel.
“Kalau tim tetap kompak itu sudah pasti harapan semuanya, tapi aku ingin tetap selamanya menjadi teman-teman main kalian. Nanti kalau Alvin sudah lulus, dan mungkin bisa saja kita beda sekolah, aku hanya ingin kita tetap main basket bersama. Walaupun bukan di sekolah.” kata Rio.
“Aku juga sama. Tapi, alangkah kerennya kalau kita bisa menjadi salah satu dari pemain basket nasional. Aku ingin sekali ikut DBL. Kemudian, kita bisa bersama-sama berjuang untuk masuk ke NBL.” kata Ray. “Aku sudah lama ingin menjadi pebasket nasional. Dan aku harap kalian ingin meraihnya bersamaku.”
“NBL ya...” kata Alvin pelan, namun tetap tersenyum. Kemudian, ia menoleh ke arah Cakka. “Bagaimana denganmu, kapten? Apa kau mempunyai keinginan pribadi untuk CRAG Team?”
Cakka diam sejenak, tampak sedang berpikir. Ia menatap teman-temannya satu per satu, kemudian tersenyum. “Aku hanya ingin bersama kalian selamanya.”
"Kau tak ingin menjadi pebasket nasional?" tanya Ray.
Cakka diam saja mendengar ucapan Ray. Ia menepuk pundak sahabatnya itu pelan dan mengeluarkan satu kalimat pendek dari mulutnya sambil tetap mempertahankan senyumannya. "Semuanya tergantung kehendak Tuhan."
Hening seketika. Semuanya sibuk dengan pikiran masing-masing, hingga Pak Jo tiba-tiba memanggil mereka dari kejauhan agar segera kembali ke lapangan. Dengan keheningan tersebut, mereka beranjak dari tempat duduk mereka secara bergiliran. Dari Alvin, Rio, Gabriel dan seterusnya. Tak ada yang berbicara sampai mereka dipanggil berdua-berdua untuk bertanding 2 on 2.

J L J

“Ayo kita pulang, Kka.” kata Biru sambil menggantungkan tasnya di pundak dan menyampirkan handuknya di sekeliling lehernya ketika jam pulang sudah tiba.
Cakka yang baru saja beres-beres dan mengeringkan rambutnya yang sudah basah kuyup karena keringat yang mengalir deras, segera cepat-cepat memasukkan handuknya ke dalam tas dan menghampiri kakaknya dalam diam. Ia menoleh ke arah keempat temannya yang masih sibuk.
Ray yang menyadari tatapan Cakka segera menatap balik ke arahnya. Ia melambaikan tangannya. “Pulanglah jika kau buru-buru, Kka. Kami juga akan segera pulang sebentar lagi.”
Cakka tersenyum. Ia balas lambaian sahabatnya itu, kemudian langsung meninggalkan teman-temannya di lapangan basket. Ray, Alvin, Gabriel dan Rio saling berpandangan ketika bayangan sahabat mereka telah hilang. Mereka menghela nafas bersama-sama.
“Guys, ini semua di luar dugaan pikiran kita.” Ray bersuara.
Semuanya mengangguk.
“Bagaimana dengan nasib tim basket kita selanjutnya kalau seperti ini caranya?”
“Maksudmu apa berkata seperti itu?” tanya Alvin menatap Ray tajam. “Jangan putus asa. Bagaimanapun juga dia sahabat kita. Kalian juga memiliki cita-cita dengan CRAG Team. Kalian tidak bohong soal harapan kalian tadi, bukan?”
Ray, Gabriel dan Rio menggeleng.
“Kalau begitu, lakukan ucapan kalian dengan penuh semangat. Masalah ini sudah cukup dalam. Dan yang bisa kita lakukan hanyalah melakukan yang terbaik untuk CRAG Team. Juga untuk Cakka.” kata Alvin. “Dan jangan lupa ingat ucapan Biru. Oke?”
"Aku kasihan padanya, dia begitu tegar menghadapi pertentangan yang terjadi dalam hidupnya." kata Gabriel.
Rio mengangguk setuju. "Dia selalu tersenyum di hadapan kita, seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Padahal, kalau dia cerita kepada kami, kita pasti akan membantunya, kan?"
"Dia hanya tak ingin mengkhawatirkan kita, Yel, Yo. Kalian tahu itu." kata Ray. "Biarkanlah dia menyelesaikan masalahnya sendiri. Kita hanya perlu mendukungnya. Bukan ikut campur dalam urusan keluarganya. Jika memang perlu, baru kita akan maju untuk membantunya. Kau bukannya tidak tahu Cakka adalah laki-laki mandiri. Dia tidak suka merepotkan orang lain."
Gabriel menghela nafas. “Sudah, kita tidak boleh berpikir yang tidak-tidak. Apalagi sebentar lagi ujian. Kita harus percaya diri dan memegang teguh cita-cita kita. Kita pasti bisa menjadi pebasket nasional bersama. Masalah ini hanyalah salah satu tantangan yang harus kita hadapi. Ayo kita pulang, sudah sore!”
Semuanya mengangguk. Mereka segera meninggalkan sekolah tanpa banyak bicara lagi.
Sementara itu, Cakka dan Biru sudah sampai di rumah. Mereka segera mandi dan beristirahat di kamar masing-masing sambil menunggu makan malam. Berbeda dengan Biru yang langsung mengerjakan PR, Cakka justru berbaring di tempat tidurnya sambil melamun sendiri. Entah memikirkan apa.
Di kamarnya yang gelap itu, Cakka berbaring menghadap ke arah jendela kamarnya dan sibuk melihat bulan yang tampak bersinar terang di langit sana. Pikirannya melayang ke masa lalu, seolah-olah memutar video tentang masa kecilnya yang indah bersama Ayah. Ya, Ayah. Dia rindu sekali kepadanya. Rasanya sudah lama sekali tak melihatnya di rumah. Mungkin sekarang dia masih sibuk dengan pekerjaannya. Entah kapan lagi ia akan pulang ke rumah seperti kemarin. Cakka ingin sekali memiliki waktu untuk berbicara dengannya.
“Cakka...”
Cakka segera bangkit dari tidurnya dan menatap ke arah pintu. Ternyata, Biru yang memanggilnya barusan. Ia tampak memakai piyama sambil memegang boneka beruang kesayangannya.
“Bunda menyuruhku untuk memanggilmu ke bawah. Sudah waktunya makan malam.” kata Biru lagi ketika wajah adiknya sudah terlihat di hadapannya.
“Oh.” kata Cakka singkat, langsung beranjak dari tempat tidurnya dan mengikuti kakaknya keluar dari kamar.
Menu makan malam hari ini sangat enak. Semua makanan kesukaan mereka terhidangkan di atas meja. Biru dan Elang sampai ingin menambah terus dan terus. Berbeda dengan Cakka yang tetap diam dan makan dengan pelan dan sopan. Suasana jam makan malam hari ini begitu tenang dan damai, berbeda dengan saat ada Ayah di rumah yang pastinya akan bertanya ini-itu kepada anak-anaknya.
"Bunda, terima kasih makan malam enaknya. Kalau Bunda selalu memasakkanku makanan seperti ini setiap hari, aku pasti semangat latihan basket!" kata Biru sambil tersenyum ketika ia sudah selesai melahap jatah makannya.  
"Aku juga, aku pasti semangat kuliah terus!" kata Elang setuju dengan pendapat Biru.
Bunda tertawa mendengarnya. "Bunda senang kalian menyukainya."
"Kalau begitu, aku dan Kak Elang akan ke kamar duluan, Bunda. Kami berdua memiliki banyak tugas yang harus dikerjakan." kata Biru yang langsung diangguki oleh Bunda. Mereka berdua langsung meninggalkan ruang makan, menyisakan Cakka dan Bunda yang masih ada di sana.
Suasana hening menyelimuti ruang makan setelah Biru dan Elang pergi. Yang terdengar hanyalah suara gesekan antara piring dan sendok yang disebabkan oleh Cakka dan Bunda yang masih melahap makanannya. Sekitar lima belas menit mereka diam, hingga pada akhirnya, Bunda membuka suara setelah piring beliau telah bersih. "Cakka..."
Cakka menghentikan aktivitasnya sejenak untuk menjawab. "Ya, Bunda?"
"Ayah akan pulang beberapa hari lagi."

TO BE CONTINUED..
Penasaran? Baca sampai tamat ya! :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Makasih ya udah baca cerpenku. Silahkan tinggalkan komentar kamu ya.
Semua kritik dan saran aku terima. Pujian juga boleh :p