Pesta ulang tahun
Cakka berlangsung hingga jam delapan malam. Tadi setelah makan kue bersama di
taman, rumahnya seketika menjadi ramai karena teman-teman satu kelas dan ekskul
basketnya makan malam bersamanya. Makanan yang dimasak oleh Bunda tadi
benar-benar lezat seperti biasanya. Bahkan tak hanya nafsu makan Ray yang
bertambah, yang lainnya juga. Bakat memasak Bunda memang tidak bisa diragukan
lagi. Hampir tak ada yang makan hanya satu porsi. Semuanya menambah. Makanya,
semua orang tampak lelah hari ini. Bunda, Biru, Elang, bahkan dirinya pun juga
lelah melayani mereka.
Cakka baru dari
tidurnya untuk beranjak ke balkon. Sudah sekitar satu jam ia berbaring di
tempat tidurnya tersebut untuk mengistirahatkan tubuhnya. Tapi, ia belum juga
bisa tidur.
Angin sepoi-sepoi
terasa berhembus sejuk begitu Cakka membuka pintu menuju balkon. Cakka
tersenyum merasakannya. Perlahan-lahan ia menutup matanya dan membiarkan
tubuhnya merasakan bagaimana damainya suasana malam.
“Cakka...”
Cakka membuka matanya
mendengar suara itu. Ia tersenyum, tanpa membalikkan badannya, ia sudah hafal
siapa yang memanggilnya itu. Siapa lagi kalau bukan kakak laki-lakinya.
“Kau tidak tidur?
Bukankah kau lelah?” tanyanya lagi sambil mendekati adiknya. Ia berdiri di
belakang Cakka, menatapnya dengan penasaran.
“Angin malam hari ini
benar-benar sejuk, Kak.” kata Cakka.
“Ya, angin malam
selalu membuatmu terasa damai.” kata Elang. “Tapi, kau juga butuh istirahat.
Besok kau harus sekolah. Bukankah sebentar lagi kau akan menjalankan pekan
ulangan? Kau butuh banyak energi.”
“Ya, kau benar.”
Suasana hening
sejenak. Cakka tampak sibuk menikmati angin sepoi-sepoi yang masih membuat
rambut dan bajunya menari-nari mengikuti arah angin berhembus. Elang juga tetap
diam, mungkin menunggu Cakka untuk berbicara lagi. Selain itu, dia juga
berusaha mencari pembicaraan lain agar dapat memecah suasana hening di antara
mereka.
“Kak...” Tiba-tiba
Cakka bersuara sambil menatap ke arah langit.
“Hm?”
“Terima kasih. Untuk
hari ini.”
Elang tersenyum. “Tak
perlu. Kau adalah adikku, sudah sepantasnya kita mengadakan acara itu. Kita
ingin kau melupakan segalanya hari ini, agar kau dapat bahagia di hari pertama
kau tumbuh ke umur tiga belas.”
Cakka diam. Sedetik
kemudian dia menghela nafasnya sejenak. “Kenapa?”
“Kenapa apanya?”
tanya Elang bingung.
“Kau tak perlu
pura-pura bodoh. Kau tahu apa maksudku.”
Kini giliran Elang
yang menghela napas. “Kami berdua kakakmu. Aku dan Biru tahu kau tertekan
dengan larangan Ayah. Kau tak bisa menyembunyikannya, Kka. Kami berdua tak
mungkin diam saja.”
“Ternyata begitu.”
kata Cakka. Tak sedikitpun senyum terbesit dalam wajahnya. Wajahnya menunjukkan
raut wajah yang tak bisa diartikan.
Elang berjalan
mendekati adiknya, kemudian menepuk pundaknya dari belakang. “Maaf kalau aku
dan Biru terlalu mencampuri urusanmu, tapi kau tahu kita berdua perduli
padamu.”
Cakka tertawa kecil
mendengarnya. Ia menyingkirkan tangan kakaknya dan segera membalikkan badannya
menghadap Elang. “Kau terlalu khawatir denganku, Kak. Tenang saja.”
Elang tersenyum,
kemudian mengangguk mengerti. Kemudian, segera pamit untuk tidur. Tapi,
langkahnya terhenti ketika ia teringat sesuatu. Sambil memegang pintu, ia
menoleh ke arah adiknya kembali. “Kka, jujur, saat kau meniup lilin tadi. Kau
pasti mengharapkan Ayah datang ke pestamu, bukan?”
Cakka tersenyum.
Elang menggelengkan
kepalanya sambil tersenyum, kemudian langsung meninggalkan kamar Cakka. Cakka
memamerkan giginya sejenak, berjalan mendekati meja belajarnya. Ia mengambil
sebuah kotak yang ada di sana. Kotak yang tadi pagi ia terima dari teman
sekolahnya. Ia belum membukanya. Tapi, entah kenapa, kotak tersebut membuatnya
teringat akan Ayah. Ingin sekali ia mendapatkan kado seperti itu dari Ayah.
Ia menoleh ke arah
keluar jendela. Yah, meskipun kau tidak
ikut berbahagia bersamaku, kau pasti ingat dengan ulang tahunku, bukan? Aku
yakin kau mendoakanku di luar sana, bukan?
---
Ekskul basket kali
ini masih tetap santai seperti minggu lalu. Setelah kemampuan anggota CRAG Team
diuji satu per satu, mereka diberikan istirahat dua puluh menit di pinggir
lapangan selama Pak Jo melatih anak-anak yang lain. Nanti setelah selesai, Pak
Jo akan melatih mereka kembali dalam hal bekerja sama dalam kelompok. Begitu
juga dengan tim basket putri dengan pelatih mereka.
Selama jam istirahat,
terdengar suara canda tawa dari kelima laki-laki tersebut di pinggir lapangan.
Cakka yang memangku buku pelajaran di kedua kakinya, Gabriel dan Rio yang
sesekali meneguk air mineral, Ray yang hanya duduk bersandar di dinding dan
juga Alvin menopang dagunya dengan kedua tangannya sibuk mengobrol bersama
sambil menunggu jam istirahat selesai. Tadi tim basket putri sempat menghampiri
mereka sebentar, namun mereka sudah kembali ke lapangan sebelah, tempat latihan
mereka, karena tidak ingin mengganggu jam istirahat CRAG Team.
“Kka, apa kau tak
pernah kenal dengan rasa lelah?” tanya Ray sambil menggelengkan kepalanya
melihat temannya tersebut sibuk membaca dan komat-kamit sendiri menghafal rumus
matematika.
“Minggu depan pekan
ulangan sudah mulai. Tentu saja dia belajar. Memangnya Cakka seperti kau yang
malas!” kata Alvin sambil tertawa. “Aku tahu kau pasti membuka buku jika sudah
malam tiba, bukan?”
“Jahat kau, Vin. Aku
melakukan itu karena aku butuh istirahat, tahu!”
“Ya, aku tahu. Tapi,
kau jelas tak mengatur waktumu antara belajar dan istirahat. Ingat, walaupun
kau sibuk dengan akademik dan kegiatan luar sekolah, setidaknya kau harus
memiliki sedikit waktu untuk belajar.” kata Alvin. “Kau tidak akan percaya
betapa sibuknya kau nanti saat kau sudah kelas tiga sepertiku.”
“Kalau begitu,
bagaimana kalau sekali seminggu kita belajar bersama? Karena aku dan Cakka
kelas satu, Gabriel dan Rio kelas dua dan kau kelas tiga, kita bisa saling
mengajari satu sama lain.” usul Ray.
“Ide yang bagus.
Mungkin nilai pekan ulangan kita bisa membaik dengan hal itu.” kata Rio sambil
mengangguk setuju. Ia menoleh ke arah Cakka. “Bagaimana pendapatmu, Kka?”
Cakka menoleh ke arah
teman-temannya dan tersenyum. “Kalau itu semua membantu kalian, aku setuju
saja.”
“Karena kita latihan
basket setiap Senin dan Jumat, lebih baik kita belajar bersama setiap Selasa
dan Rabu. Pulang sekolah. Bagaimana?” tanya Gabriel yang langsung diangguki
oleh semuanya. Gabriel tersenyum. “Baik, sudah sepakat! Mulai Selasa depan,
kita akan mulai rencana kita ini untuk menjaga nilai kita!”
“Ya!” kata Gabriel,
Rio, Ray, Alvin dan Cakka bersamaan sambil mengangkat tangan kanan mereka
dengan semangat. Setelah itu, mereka tertawa bersama dan saling memberikan high five satu sama lain.
“Omong-omong, sudah
hampir tiga bulan kita bersama, menjadi satu tim dalam tim inti basket.
Berusaha tetap membanggakan nama CRAG Team. Aku boleh tahu tidak, apa harapan
kalian untuk tim kita ini?” tanya Alvin sambil tersenyum.
“Kalau aku pribadi,
aku hanya ingin tim ini tetap solid dan kompak, apapun yang terjadi.
Persahabatan harus ada di urutan nomor satu. Apapun yang terjadi, kita tidak
boleh menomorduakan persahabatan kita. Karena sejak masuk ke tim inti, kalian
berempat adalah saudaraku.” kata Gabriel.
“Kalau tim tetap
kompak itu sudah pasti harapan semuanya, tapi aku ingin tetap selamanya menjadi
teman-teman main kalian. Nanti kalau Alvin sudah lulus, dan mungkin bisa saja
kita beda sekolah, aku hanya ingin kita tetap main basket bersama. Walaupun
bukan di sekolah.” kata Rio.
“Aku juga sama. Tapi,
alangkah kerennya kalau kita bisa menjadi salah satu dari pemain basket
nasional. Aku ingin sekali ikut DBL. Kemudian, kita bisa bersama-sama berjuang
untuk masuk ke NBL.” kata Ray. “Aku sudah lama ingin menjadi pebasket nasional.
Dan aku harap kalian ingin meraihnya bersamaku.”
“NBL ya...” kata
Alvin pelan, namun tetap tersenyum. Kemudian, ia menoleh ke arah Cakka.
“Bagaimana denganmu, kapten? Apa kau mempunyai keinginan pribadi untuk CRAG
Team?”
Cakka diam sejenak,
tampak sedang berpikir. Ia menatap teman-temannya satu per satu, kemudian
tersenyum. “Aku hanya ingin bersama kalian selamanya.”
"Kau tak ingin
menjadi pebasket nasional?" tanya Ray.
Cakka diam saja
mendengar ucapan Ray. Ia menepuk pundak sahabatnya itu pelan dan mengeluarkan
satu kalimat pendek dari mulutnya sambil tetap mempertahankan senyumannya.
"Semuanya tergantung kehendak Tuhan."
Hening seketika.
Semuanya sibuk dengan pikiran masing-masing, hingga Pak Jo tiba-tiba memanggil
mereka dari kejauhan agar segera kembali ke lapangan. Dengan keheningan
tersebut, mereka beranjak dari tempat duduk mereka secara bergiliran. Dari
Alvin, Rio, Gabriel dan seterusnya. Tak ada yang berbicara sampai mereka
dipanggil berdua-berdua untuk bertanding 2 on 2.
J L J
“Ayo kita pulang,
Kka.” kata Biru sambil menggantungkan tasnya di pundak dan menyampirkan
handuknya di sekeliling lehernya ketika jam pulang sudah tiba.
Cakka yang baru saja
beres-beres dan mengeringkan rambutnya yang sudah basah kuyup karena keringat
yang mengalir deras, segera cepat-cepat memasukkan handuknya ke dalam tas dan
menghampiri kakaknya dalam diam. Ia menoleh ke arah keempat temannya yang masih
sibuk.
Ray yang menyadari
tatapan Cakka segera menatap balik ke arahnya. Ia melambaikan tangannya.
“Pulanglah jika kau buru-buru, Kka. Kami juga akan segera pulang sebentar
lagi.”
Cakka tersenyum. Ia
balas lambaian sahabatnya itu, kemudian langsung meninggalkan teman-temannya di
lapangan basket. Ray, Alvin, Gabriel dan Rio saling berpandangan ketika
bayangan sahabat mereka telah hilang. Mereka menghela nafas bersama-sama.
“Guys, ini semua di
luar dugaan pikiran kita.” Ray bersuara.
Semuanya mengangguk.
“Bagaimana dengan
nasib tim basket kita selanjutnya kalau seperti ini caranya?”
“Maksudmu apa berkata
seperti itu?” tanya Alvin menatap Ray tajam. “Jangan putus asa. Bagaimanapun
juga dia sahabat kita. Kalian juga memiliki cita-cita dengan CRAG Team. Kalian
tidak bohong soal harapan kalian tadi, bukan?”
Ray, Gabriel dan Rio
menggeleng.
“Kalau begitu,
lakukan ucapan kalian dengan penuh semangat. Masalah ini sudah cukup dalam. Dan
yang bisa kita lakukan hanyalah melakukan yang terbaik untuk CRAG Team. Juga
untuk Cakka.” kata Alvin. “Dan jangan lupa ingat ucapan Biru. Oke?”
"Aku kasihan
padanya, dia begitu tegar menghadapi pertentangan yang terjadi dalam hidupnya."
kata Gabriel.
Rio mengangguk
setuju. "Dia selalu tersenyum di hadapan kita, seolah-olah tidak terjadi
apa-apa. Padahal, kalau dia cerita kepada kami, kita pasti akan membantunya,
kan?"
"Dia hanya tak
ingin mengkhawatirkan kita, Yel, Yo. Kalian tahu itu." kata Ray.
"Biarkanlah dia menyelesaikan masalahnya sendiri. Kita hanya perlu
mendukungnya. Bukan ikut campur dalam urusan keluarganya. Jika memang perlu,
baru kita akan maju untuk membantunya. Kau bukannya tidak tahu Cakka adalah
laki-laki mandiri. Dia tidak suka merepotkan orang lain."
Gabriel menghela
nafas. “Sudah, kita tidak boleh berpikir yang tidak-tidak. Apalagi sebentar
lagi ujian. Kita harus percaya diri dan memegang teguh cita-cita kita. Kita
pasti bisa menjadi pebasket nasional bersama. Masalah ini hanyalah salah satu
tantangan yang harus kita hadapi. Ayo kita pulang, sudah sore!”
Semuanya mengangguk.
Mereka segera meninggalkan sekolah tanpa banyak bicara lagi.
Sementara itu, Cakka
dan Biru sudah sampai di rumah. Mereka segera mandi dan beristirahat di kamar
masing-masing sambil menunggu makan malam. Berbeda dengan Biru yang langsung
mengerjakan PR, Cakka justru berbaring di tempat tidurnya sambil melamun
sendiri. Entah memikirkan apa.
Di kamarnya yang
gelap itu, Cakka berbaring menghadap ke arah jendela kamarnya dan sibuk melihat
bulan yang tampak bersinar terang di langit sana. Pikirannya melayang ke masa
lalu, seolah-olah memutar video tentang masa kecilnya yang indah bersama Ayah.
Ya, Ayah. Dia rindu sekali kepadanya. Rasanya sudah lama sekali tak melihatnya
di rumah. Mungkin sekarang dia masih sibuk dengan pekerjaannya. Entah kapan
lagi ia akan pulang ke rumah seperti kemarin. Cakka ingin sekali memiliki waktu
untuk berbicara dengannya.
“Cakka...”
Cakka segera bangkit
dari tidurnya dan menatap ke arah pintu. Ternyata, Biru yang memanggilnya
barusan. Ia tampak memakai piyama sambil memegang boneka beruang kesayangannya.
“Bunda menyuruhku
untuk memanggilmu ke bawah. Sudah waktunya makan malam.” kata Biru lagi ketika
wajah adiknya sudah terlihat di hadapannya.
“Oh.” kata Cakka
singkat, langsung beranjak dari tempat tidurnya dan mengikuti kakaknya keluar
dari kamar.
Menu makan
malam hari ini sangat enak. Semua makanan kesukaan mereka terhidangkan di atas
meja. Biru dan Elang sampai ingin menambah terus dan terus. Berbeda dengan
Cakka yang tetap diam dan makan dengan pelan dan sopan. Suasana jam makan malam
hari ini begitu tenang dan damai, berbeda dengan saat ada Ayah di rumah yang
pastinya akan bertanya ini-itu kepada anak-anaknya.
"Bunda,
terima kasih makan malam enaknya. Kalau Bunda selalu memasakkanku makanan
seperti ini setiap hari, aku pasti semangat latihan basket!" kata Biru
sambil tersenyum ketika ia sudah selesai melahap jatah makannya.
"Aku
juga, aku pasti semangat kuliah terus!" kata Elang setuju dengan pendapat
Biru.
Bunda
tertawa mendengarnya. "Bunda senang kalian menyukainya."
"Kalau
begitu, aku dan Kak Elang akan ke kamar duluan, Bunda. Kami berdua memiliki
banyak tugas yang harus dikerjakan." kata Biru yang langsung diangguki oleh
Bunda. Mereka berdua langsung meninggalkan ruang makan, menyisakan Cakka dan
Bunda yang masih ada di sana.
Suasana
hening menyelimuti ruang makan setelah Biru dan Elang pergi. Yang terdengar
hanyalah suara gesekan antara piring dan sendok yang disebabkan oleh Cakka dan
Bunda yang masih melahap makanannya. Sekitar lima belas menit mereka diam,
hingga pada akhirnya, Bunda membuka suara setelah piring beliau telah bersih.
"Cakka..."
Cakka
menghentikan aktivitasnya sejenak untuk menjawab. "Ya, Bunda?"
"Ayah
akan pulang beberapa hari lagi."
TO BE CONTINUED..
Penasaran? Baca sampai tamat ya! :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Makasih ya udah baca cerpenku. Silahkan tinggalkan komentar kamu ya.
Semua kritik dan saran aku terima. Pujian juga boleh :p