“Aku pulang!” teriak
Cakka ketika dia sampai di rumah. Ia segera membuka sepatu dan kaus kaki
sekolahnya dan segera masuk ke dalam rumah.
Hari ini rumah tampak
berbeda. Selain Biru dan Elang yang memang belum pulang, Cakka tidak melihat
batang hidung Bunda. Padahal, biasanya dia selalu menyambut kedatangannya jika
dia pulang sekolah. Atau paling tidak ia akan menyahut dari dapur. Tapi, kali
ini dapur juga kosong. Pantas saja tadi tidak ada yang menjawab. Tapi, pertanyaannya
sekarang, kemana Bunda? Tidak biasanya dia pergi di siang hari.
Cakka berjalan menuju
kulkas dan menemukan kertas yang ditempelkan di sana. Ternyata dari Bunda. Ia
segera melepaskannya dan segera bersandar di dinding terdekat. Mulutnya
bergerak tanpa suara, membaca kata-kata yang tertulis di sana dengan cepat.
Bunda akan pergi sebentar. Makanlah jika kau lapar. Di
meja makan sudah tersedia makan siang. Dan jangan lupa untuk segera tukar baju
dan mandi ya! Baik-baik di rumah, Cakka sayang.
Dari Bunda
Cakka hanya tersenyum
dan menggelengkan kepalanya setelah selesai membacanya. Ia menyimpan kertas
kecil itu di dalam saku celananya dan segera berjalan menuju ruang makan dan
melahap makan siangnya. Seperti biasa, Bunda selalu membuatkannya makanan-makanan
lezat.
Omong-omong soal
makanan, Cakka jadi teringat lagi dengan anak-anak jalanan yang dia temui tadi.
Hidup mereka jelas berbeda dengan hidupnya. Demi bisa mengisi perut, mereka
harus bekerja siang dan malam. Penghasilan mereka yang kecil mungkin hanya bisa
mampu memenuhi pangan mereka sekali sehari. Benar-benar kasihan.
Belum lagi, anak-anak
panti asuhan. Walaupun mereka memiliki rumah, teman yang seperti saudara dan
ibu panti yang seperti ibu, mereka pasti merindukan orang tua kandung mereka.
Sungguh berbeda dengan Cakka yang masih memiliki keluarga yang lengkap.
Cakka tersenyum
sejenak setelah menelan makanan yang sedang dikunyahnya. Walaupun dia memiliki
Ayah yang keras, dia jelas patut bersyukur dengan apa yang ia punya sekarang.
Setidaknya dia masih memiliki Ayah dan Bunda. Setidaknya dia masih bisa makan
tiga kali sehari. Kalau lapar, dia bisa meminta mereka untuk membeli makanan.
Kalau anak-anak itu? Entah harus bagaimana.
Cakka membawa piring
kotornya ke dapur dan sekaligus mencucinya. Setelah itu, dia langsung
melaksanakan perintah Bunda untuk membersihkan badannya. Lagipula, badannya
juga terasa lengket. Mau tak mau memang harus mandi. Setelah itu, dia berencana
akan tidur siang. Siapa tahu, setelah dia bangun nanti, rumah sudah tidak sepi
lagi.
J L J
“Akhirnya kalian
datang juga!” kata Biru sambil menyalami dan menepuk pundak mereka satu-satu.
Dari Gabriel, Rio, Ray dan juga Alvin. Ya, dia memang bisa dibilang mirip
laki-laki walaupun rambutnya panjang sekalipun. Mungkin pengaruh dari keluarganya
yang lebih banyak laki-laki dan juga teman dekatnya, Alvin.
“Tentu saja, kita
tidak akan datang kalau saja ini tidak penting, Kak.” kata Ray sambil tertawa.
“Jadi, apa yang harus kita kerjakan sekarang?”
“Kalian sudah
berjanji untuk mengerjakan apapun untuk hari ini, bukan?”
“Ya, tentu. Hal
penting seperti ini harus kita kerjakan semaksimal mungkin!” kata Alvin
semangat. Ia menoleh ke arah teman-temannya. “Betul tidak, teman-teman?”
“Bagus. Nanti
teman-teman tim basket putri dan juga Bunda akan menyusul. Jadi, kita pasti
akan mendapatkan banyak bantuan. Sekarang, ayo kita mulai bekerja!” kata Biru
ikut bersemangat.
“Tapi, nanti kita
pasti dikasih makan kan, Kak?” tanya Ray lagi.
“Makan terus
pikiranmu!” kata Rio sambil menjitak kepala Ray.
“Tak sopan! Ibarat
meminta rezeki sebelum melakukan kebaikan!” kata Alvin.
“Tapi, kau tak perlu
menjitakku kan, Rio?” kata Ray sambil manyun dan melotot ke arah Rio dengan
tatapan tajam. Ia segera menjitak balik kepala temannya itu.
Biru tertawa melihat
tingkah laku mereka. “Tenang saja, kalian boleh makan sepuasnya setelah
bekerja. Aku yang traktir!”
“Bagus!”
J L J
Welcome to the real she said to me, condescendingly... Take a seat, take your life, plot it all in black and white...
Cakka tersentak
ketika mendengar suara berat John Mayer yang membuyarkan semua mimpi indahnya.
Ia menoleh ke arah ponselnya yang sedang berbunyi dan segera melihat siapa yang
menelepon sambil mengucek-ngucek matanya, setelah itu dia langsung menekan
tombol gagang telepon berwarna hijau.
“Hei, lama sekali kau
mengangkatnya!” omel suara di seberang sana.
Cakka nyengir
mendengarnya. “Maaf, Vin, aku sedang tidur siang. Ada apa?”
“Oh, maaf kalau
begitu! Aku tidak tahu kau sedang beristirahat. Tadinya kupikir ingin
mengajakmu dan yang lain berkumpul di kafe dekat sini. Memangnya kakakmu belum
pulang, Kka?”
“Entahlah. Bunda juga
tidak ada.” kata Cakka sambil beranjak dari tempat tidurnya. Ia berjalan keluar
kamar dan mendapati rumah masih saja sepi. Tidak ada tanda-tanda bahwa ada yang
sudah pulang. Ia menghela nafasnya sebelum melanjutkan ucapannya. “Kalau mereka
sudah pulang, seharusnya mereka memanggilku untuk makan malam.”
“Jangan-jangan
terjadi sesuatu kepada mereka. Perlu bantuan? Kita bisa berkumpul di lapangan
dekat rumahmu, kita cari mereka bersama-sama.” tawar Alvin.
Cakka tersenyum.
“Hei, kenapa kau diam
saja? Baiklah, aku anggap kau setuju ya? Kutunggu kau di lapangan, oke? Aku
akan segera berangkat sekarang. Oh ya, jangan lupa bawa baju basket ya. Bye,
Kka!” kata Alvin langsung memutus sambungan.
Cakka tertawa kecil
mendengarnya. Ia menggelengkan kepalanya sejenak kemudian langsung bersiap-siap
untuk ke lapangan. Ia mengganti bajunya dengan kaus hitam berlengan panjang dan
celana pensil berwarna putih, menyisir rambutnya yang berantakan akibat tidur
tadi dan juga mencuci wajahnya yang masih terlihat mengantuk. Setelah semua
yang dibutuhkan telah siap, dia langsung meninggalkan rumah.
Saat ia sampai di
lapangan, Alvin tampak sudah bersandar di bawah ring basket sambil memainkan
ponselnya. Sore itu dia terlihat sangat berbeda dengan memakai kemeja biru muda
dengan celana panjang hitam. Jarang bisa melihatnya terlihat dewasa karena dia
sehari-harinya lebih sering memakai baju basket dan baju tidur.
“Cakka!” kata Alvin
ketika menyadari temannya itu sudah tiba. Ia segera menyimpan ponselnya di saku
celana dan tersenyum. “Kau sudah membawa baju basket kita?”
Cakka mengangguk
mantap.
“Kalau begitu ayo
kita cari keluargamu. Tadi Biru hanya memintaku untuk mengatakan kepadamu bahwa
dia memiliki urusan dengan temannya. Di taman. Entah urusan apa.” kata Alvin.
“Kita pelan-pelan saja, kakiku masih sedikit pegal karena urusan menyebalkanku
tadi.”
Cakka tertawa.
“Baiklah.”
Mereka berdua
langsung berjalan meninggalkan lapangan untuk pergi ke taman terdekat yaitu
taman komplek. Tadi selama di perjalanan, Alvin bilang bahwa kakak perempuannya
tersebut akan ke taman itu. Tapi, tidak. Taman komplek saat itu ternyata sepi.
Ada beberapa anak-anak yang sedang berkejar-kejaran dan orang tua mereka, tapi
tidak ada tanda-tanda bahwa kakaknya ada di sana.
“Aneh. Padahal, tadi
dia bilang dia ingin mengerjakan sesuatu di sini.” kata Alvin sambil
menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Ia membalikkan badannya menghadap
Cakka. “Apa mungkin dia mampir ke suatu tempat?”
Cakka mengangkat
bahunya.
Alvin berpikir
sejenak. “Bagaimana dengan Bundamu? Apa dia juga tidak meninggalkan catatan
atau semacamnya?”
Cakka mengangguk.
“Kata kertas itu Bunda hanya pergi sebentar.”
Alvin manggut-manggut
mengerti. Kemudian, memasang pose berpikir lagi, sementara Cakka tetap saja
diam menatap sahabatnya tersebut. Tak terbesit kekhawatiran sedikitpun di
wajahnya.
Sejujurnya, Cakka
tidak terlalu khawatir dengan dimana Biru dan Bunda berada. Walaupun rumah tak
biasanya kosong sampai sore, tapi sebagai bagian dari keluarga Karayne, Cakka
cukup yakin mereka pasti baik-baik saja. Tapi, karena Alvin sudah berbaik hati
membantunya, Cakka jadi tak enak hati menolak kebaikannya.
Kruyuuk...
tiba-tiba suara itu membuyarkan lamunannya. Secara refleks, Cakka menoleh ke
arah teman sekaligus kakak kelasnya tersebut. Alvin pun langsung menoleh ke
arah Cakka dengan tatapan tak berdosa.
“Ups, kurasa perutku
sudah meminta diberi makan. Kau lapar tidak? Bagaimana kalau kita cari makan?”
kata Alvin sambil nyengir.
Cakka tertawa geli,
kemudian mengangguk saja menyetujui usulnya. Dia menepuk-nepuk punggung Alvin
maklum dan merangkulnya meninggalkan taman komplek. Memang, sekarang sudah
hampir gelap. Sudah jam enam sore. Tak heran dia lapar. Hitung-hitung balas
budi, setelah Alvin dengan rela menawarkan bantuan untuknya di saat dia masih
kelelahan. Bagi Cakka, itu adalah hal yang luar biasa.
Selama perjalanan,
Cakka dan Alvin berbincang-bincang seru. Sesekali mereka tertawa bersama karena
candaan mereka sendiri. Hingga pada akhirnya mereka sampai di sebuah taman yang
agak jauh dari komplek rumah Cakka. Berbeda dengan taman komplek, taman itu
tampak indah dengan berbagai hiasan. Namun, hiasan yang paling banyak
tergantung di sana adalah balon warna-warni. Mata Cakka sampai berbinar-binar
melihatnya.
“Kau tampak takjub
dengan tempat ini, Kka.” kata Alvin menyenggol Cakka sambil tersenyum.
Cakka menggaruk
tengkuknya malu-malu. “Tempat ini indah sekali.”
“Ya, tentu saja.
Karena ini adalah hasil pekerjaanku.” kata Alvin bangga.
“Benarkah?” kata
Cakka.
“Ya. Aku dan
teman-teman tim basket merancang ini semua. Dengan bantuan tim basket putri
juga, termasuk kakakmu.” kata Alvin sambil tertawa. “Semua ini kita rancang
untukmu.”
Cakka mengerutkan
dahinya heran, tidak mengerti. Tapi, bibirnya tetap menyunggingkan senyuman.
Sampai detik ini, Cakka baru merasakan sesuatu yang aneh dari ucapan Alvin.
Alvin yang melihatnya
justru tertawa. Ia jitak kepala Cakka sambil berkata, “Wajahmu tak perlu sampai
seperti itu. Ayo kita makan, aku sudah lapar. Di dalam taman ada satu restoran
yang sangat enak.”
Tanpa menunggu
jawaban, Alvin langsung menarik tangan Cakka masuk ke dalam taman tersebut. Di
tengah taman tersebut ada beberapa meja kayu yang panjang beserta kursinya.
Tapi, tak ada tanda-tanda bahwa di sana ada restoran. Hanya sebuah lapangan
terbuka, seperti taman-taman biasanya.
“Tamu berharga kita
sudah datang, guys!” Alvin berteriak
nyaring. Sedetik kemudian, Segerombolan orang keluar dari balik semak-semak
sambil bernyanyi. Di antara mereka ada yang membawa balon, ada juga yang
membawa kotak. Orang yang berdiri paling depan membawakan kue dengan lilin
angka tiga belas. Benar-benar mengejutkan! Di sana ada Bunda, Biru, teman-teman
ekskul basket dan juga teman-teman sekelasnya. Bahkan Elang juga ada! Pantas
saja tadi rumah kosong. Ternyata, mereka semua sibuk mempersiapkan ini semua
untuknya. Ia bahkan baru ingat kalau hari ini adalah ulang tahunnya. Pantas
saja tadi ada yang memberinya kado di sekolah.
“Ayolah, cepat! Aku
sudah lapar dari tadi!” canda Alvin sambil tertawa.
“Makan terus!
Lama-lama kau ketularan Ray, Vin!” kata Rio sambil menjitak Alvin. Tapi, yang
dijitak hanya nyengir.
“Hei, sudah, sudah!
Bukankah aku sudah berjanji akan mentraktir kalian semua? Sekarang biarkan
Cakka meniup lilinnya dulu!” kata Biru yang memegang kue tart besar di
tangannya.
“Ya, Biru benar. Ayo
Nak, tiup lilinnya dulu.” kata Bunda.
Cakka mengangguk. Ia
mengatup tangannya untuk berdoa sejenak, kemudian langsung meniup lilin ketiga
belasnya sampai padam. Semua yang ada di sana bertepuk tangan dan bersorak
karenanya. Kemudian, mereka langsung menyalami dan memberikan ucapan selamat
ulang tahun kepada Cakka. Ada beberapa orang juga yang memberikan kado.
“Selamat ulang tahun,
adikku tersayang! Semoga semakin tampan, pintar dan bisa menjadi pemain basket
nasional.” kata Elang sambil memeluk adik bungsunya. Disusul oleh Biru yang
memeluk dari sisi lain. Cakka tampak terdesak di tengah. Bunda sampai tertawa
melihat tingkah anak-anaknya.
“Selamat ulang tahun,
kapten! Semoga kau bisa menjadi kapten tim basket kita sampai lulus!
Percayalah, kau adalah kapten terbaik yang pernah kita punya!” kata Ray sambil
menepuk pundak Cakka pelan.
“Betul itu, Kka!
Semoga kau juga bertambah dewasa dan sayang pada keluarga. Ingat, kedua orang
tuamu adalah alasan mengapa kau bisa sehebat ini.” kata Gabriel.
“Wah, tumben Gabriel
bijak!” celetuk Rio.
“Sialan kau, Yo!”
kata Gabriel langsung memukul punggung saudara kembarnya.
Cakka hanya tersenyum
melihat tingkah mereka berdua.
“Selamat ulang tahun,
bro. Doa-doaku sudah disebutkan semua oleh yang lain tadi. Yang pasti, aku
pasti mendoakan yang terbaik untukmu.” kata Alvin menyalami Cakka.
Cakka mengangguk.
“Terima kasih, Vin.”
“Baiklah, ini sudah
malam. Ayo kita makan! Nanti tante akan mempersiapkan makan malam yang sangat
lezat untuk kalian! Juga makanan kesukaan Cakka, Biru dan Elang!” kata Bunda.
Semuanya langsung bersorak gembira. “Tapi, sebelum pesta makan, ayo kita makan
kue dulu! Cakka, ayo potong dan bagikan kuenya untuk teman-temanmu ya. Bunda
akan membantu.”
Cakka
mengangguk-angguk cepat.
“Kita juga ingin
membantu, Bunda!” kata Biru dan Elang antusias.
Bunda tersenyum.
“Baiklah, terima kasih, Bi, Lang.”
“Ayo kita duduk di
kursi dan meja kayu yang tersedia. Kita bisa mengobrol sambil menunggu Cakka
dan keluarganya selesai memotong kue.” kata Alvin. “Kalian semua makan, bukan?”
Semua mengangguk
hampir bersamaan. Kemudian, mereka semua mengikuti Alvin untuk duduk.
Masing-masing meja terdiri dari sekitar delapan orang. Alvin sendiri semeja
dengan teman-teman basketnya. Dari tim basket putra juga tim basket putri.
Seketika taman menjadi gaduh dengan suara-suara mereka semua mengobrol seru
satu sama lain.
Mereka semua tidak
menunggu lama. Cakka sudah datang membawa sebuah baki penuh dengan puluhan kue
tart yang siap dibagikan kepada teman-temannya. Masing-masing dari mereka
berterima kasih setelah Cakka membagikannya. Bahkan ada beberapa yang bercanda
dengan meminta lebih, hingga mereka dijitak oleh teman-teman semejanya. Namun,
Cakka hanya tertawa. Setelah selesai membagikan, Cakka dan Elang juga bergabung
dengan meja Alvin dan teman-temannya.
“Kue ini enak
sekali.” kata Ray sambil melahap potongan kue Cakka dengan cukup cepat. “Hei,
Kka, kuharap makan malam setelah ini juga selezat kue kecil ini. Aku sudah
sengaja mengosongkan perut untuk berpesta.”
Semua yang ada di
sana tertawa.
“Tapi, aku tidak
menyangka kalian melakukan ini untukku.” kata Cakka.
“Tentu saja, kenapa
tidak?” kata Alvin sambil tersenyum. “Lagipula, ini semua ide kakak-kakakmu.
Kami hanya membantu mereka berdua agar semua ini berjalan dengan lancar.”
“Ya, kau pasti tak
sadar bukan bahwa Alvin hanya berpura-pura membantumu mencari Kak Biru dan
Bundamu? Itu hanya siasat agar kita bisa membawamu ke tempat acara.” kata
Gabriel.
“Ya, kau tertipu,
Chase Karayne.” kata Rio. “Kau juga pasti heran mengapa teman-teman sekelas
bisa ada di sini. Itu juga karena kami. Mereka sudah tahu kau ulang tahun sejak
kemarin, kami yang meminta mereka agar diam-diam saja sampai acara dimulai.”
Cakka tertawa kecil
mendengarnya. Ternyata jalan hidupnya hari ini sudah diatur sejak dia bangun
tidur. “Ya, sepertinya begitu.”
“Padahal anak yang
memberimu kado tadi sore sudah menjadi petunjuk.” kata Ray sambil bertopang
dagu. Ia tertawa kecil. “Ternyata, kau terlalu polos. Jauh lebih polos dari
yang aku kira.”
“Tapi, tidak apa-apa.
Yang penting rencana kita sukses untuk membuat Cakka bahagia di hari ulang
tahunnya, bukan?” kata Karin akhirnya bersuara.
“Ya, sukses sekali.
Terima kasih untuk bantuannya semua.” kata Biru sambil tersenyum. “Pokoknya
kalian tinggal sebutkan tempat untuk traktiran besok. Tapi, jangan mahal-mahal!
Dompetku bisa benar-benar kempes!”
“Kalau begitu,
bagaimana kalau McDonalds?” tanya Ray.
“KFC saja!” kata
Gabriel.
“Ah, biasa! Lebih
baik ke food court saja! Lebih banyak
pilihan!” kata Rio.
“Memangnya food court itu tidak biasa bagimu?
Setiap minggu juga bisa ke sana!” Gabriel langsung menjitak saudara kembarnya
tersebut. Rio hanya nyengir menatapnya.
“Kalau begitu,
bagaimana kalau kamikaze? Aku sangat suka dengan ayamnya!” kata Alvin.
“Sama saja itu di food court!” kata Biru sambil
menggelengkan kepalanya. “Sudahlah, aku saja yang tentukan tempatnya. Kalian
seperti anak kecil saja memilih tempat makan.”
Anak-anak tim basket
putri langsung tertawa kompak dan menyetujui ucapan Biru tersebut. Alvin,
Gabriel, Rio dan Ray langsung bersorak kepada kapten tim basket putri sekolah
mereka tersebut. Sementara Cakka seperti biasa, hanya tersenyum melihat
keseruan teman-temannya. Sungguh menyenangkan melihat mereka begitu akrab satu
sama lain.
TO BE CONTINUED...
Penasaran? Baca sampai tamat ya!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Makasih ya udah baca cerpenku. Silahkan tinggalkan komentar kamu ya.
Semua kritik dan saran aku terima. Pujian juga boleh :p