Selasa, 09 September 2014

Cerbung | Impian Bola Basket Part 13


“Aku pulang!” teriak Cakka ketika dia sampai di rumah. Ia segera membuka sepatu dan kaus kaki sekolahnya dan segera masuk ke dalam rumah.
Hari ini rumah tampak berbeda. Selain Biru dan Elang yang memang belum pulang, Cakka tidak melihat batang hidung Bunda. Padahal, biasanya dia selalu menyambut kedatangannya jika dia pulang sekolah. Atau paling tidak ia akan menyahut dari dapur. Tapi, kali ini dapur juga kosong. Pantas saja tadi tidak ada yang menjawab. Tapi, pertanyaannya sekarang, kemana Bunda? Tidak biasanya dia pergi di siang hari.

Cakka berjalan menuju kulkas dan menemukan kertas yang ditempelkan di sana. Ternyata dari Bunda. Ia segera melepaskannya dan segera bersandar di dinding terdekat. Mulutnya bergerak tanpa suara, membaca kata-kata yang tertulis di sana dengan cepat.
Bunda akan pergi sebentar. Makanlah jika kau lapar. Di meja makan sudah tersedia makan siang. Dan jangan lupa untuk segera tukar baju dan mandi ya! Baik-baik di rumah, Cakka sayang.
Dari Bunda
Cakka hanya tersenyum dan menggelengkan kepalanya setelah selesai membacanya. Ia menyimpan kertas kecil itu di dalam saku celananya dan segera berjalan menuju ruang makan dan melahap makan siangnya. Seperti biasa, Bunda selalu membuatkannya makanan-makanan lezat.
Omong-omong soal makanan, Cakka jadi teringat lagi dengan anak-anak jalanan yang dia temui tadi. Hidup mereka jelas berbeda dengan hidupnya. Demi bisa mengisi perut, mereka harus bekerja siang dan malam. Penghasilan mereka yang kecil mungkin hanya bisa mampu memenuhi pangan mereka sekali sehari. Benar-benar kasihan.
Belum lagi, anak-anak panti asuhan. Walaupun mereka memiliki rumah, teman yang seperti saudara dan ibu panti yang seperti ibu, mereka pasti merindukan orang tua kandung mereka. Sungguh berbeda dengan Cakka yang masih memiliki keluarga yang lengkap.
Cakka tersenyum sejenak setelah menelan makanan yang sedang dikunyahnya. Walaupun dia memiliki Ayah yang keras, dia jelas patut bersyukur dengan apa yang ia punya sekarang. Setidaknya dia masih memiliki Ayah dan Bunda. Setidaknya dia masih bisa makan tiga kali sehari. Kalau lapar, dia bisa meminta mereka untuk membeli makanan. Kalau anak-anak itu? Entah harus bagaimana.
Cakka membawa piring kotornya ke dapur dan sekaligus mencucinya. Setelah itu, dia langsung melaksanakan perintah Bunda untuk membersihkan badannya. Lagipula, badannya juga terasa lengket. Mau tak mau memang harus mandi. Setelah itu, dia berencana akan tidur siang. Siapa tahu, setelah dia bangun nanti, rumah sudah tidak sepi lagi.

J L J

“Akhirnya kalian datang juga!” kata Biru sambil menyalami dan menepuk pundak mereka satu-satu. Dari Gabriel, Rio, Ray dan juga Alvin. Ya, dia memang bisa dibilang mirip laki-laki walaupun rambutnya panjang sekalipun. Mungkin pengaruh dari keluarganya yang lebih banyak laki-laki dan juga teman dekatnya, Alvin.
“Tentu saja, kita tidak akan datang kalau saja ini tidak penting, Kak.” kata Ray sambil tertawa. “Jadi, apa yang harus kita kerjakan sekarang?”
“Kalian sudah berjanji untuk mengerjakan apapun untuk hari ini, bukan?”
“Ya, tentu. Hal penting seperti ini harus kita kerjakan semaksimal mungkin!” kata Alvin semangat. Ia menoleh ke arah teman-temannya. “Betul tidak, teman-teman?”
“Bagus. Nanti teman-teman tim basket putri dan juga Bunda akan menyusul. Jadi, kita pasti akan mendapatkan banyak bantuan. Sekarang, ayo kita mulai bekerja!” kata Biru ikut bersemangat.
“Tapi, nanti kita pasti dikasih makan kan, Kak?” tanya Ray lagi.
“Makan terus pikiranmu!” kata Rio sambil menjitak kepala Ray.
“Tak sopan! Ibarat meminta rezeki sebelum melakukan kebaikan!” kata Alvin.
“Tapi, kau tak perlu menjitakku kan, Rio?” kata Ray sambil manyun dan melotot ke arah Rio dengan tatapan tajam. Ia segera menjitak balik kepala temannya itu.
Biru tertawa melihat tingkah laku mereka. “Tenang saja, kalian boleh makan sepuasnya setelah bekerja. Aku yang traktir!”
“Bagus!”

J L J

Welcome to the real she said to me, condescendingly... Take a seat, take your life,  plot it all in black and white...
Cakka tersentak ketika mendengar suara berat John Mayer yang membuyarkan semua mimpi indahnya. Ia menoleh ke arah ponselnya yang sedang berbunyi dan segera melihat siapa yang menelepon sambil mengucek-ngucek matanya, setelah itu dia langsung menekan tombol gagang telepon berwarna hijau.
“Hei, lama sekali kau mengangkatnya!” omel suara di seberang sana.
Cakka nyengir mendengarnya. “Maaf, Vin, aku sedang tidur siang. Ada apa?”
“Oh, maaf kalau begitu! Aku tidak tahu kau sedang beristirahat. Tadinya kupikir ingin mengajakmu dan yang lain berkumpul di kafe dekat sini. Memangnya kakakmu belum pulang, Kka?”
“Entahlah. Bunda juga tidak ada.” kata Cakka sambil beranjak dari tempat tidurnya. Ia berjalan keluar kamar dan mendapati rumah masih saja sepi. Tidak ada tanda-tanda bahwa ada yang sudah pulang. Ia menghela nafasnya sebelum melanjutkan ucapannya. “Kalau mereka sudah pulang, seharusnya mereka memanggilku untuk makan malam.”
“Jangan-jangan terjadi sesuatu kepada mereka. Perlu bantuan? Kita bisa berkumpul di lapangan dekat rumahmu, kita cari mereka bersama-sama.” tawar Alvin.
Cakka tersenyum.
“Hei, kenapa kau diam saja? Baiklah, aku anggap kau setuju ya? Kutunggu kau di lapangan, oke? Aku akan segera berangkat sekarang. Oh ya, jangan lupa bawa baju basket ya. Bye, Kka!” kata Alvin langsung memutus sambungan.
Cakka tertawa kecil mendengarnya. Ia menggelengkan kepalanya sejenak kemudian langsung bersiap-siap untuk ke lapangan. Ia mengganti bajunya dengan kaus hitam berlengan panjang dan celana pensil berwarna putih, menyisir rambutnya yang berantakan akibat tidur tadi dan juga mencuci wajahnya yang masih terlihat mengantuk. Setelah semua yang dibutuhkan telah siap, dia langsung meninggalkan rumah.
Saat ia sampai di lapangan, Alvin tampak sudah bersandar di bawah ring basket sambil memainkan ponselnya. Sore itu dia terlihat sangat berbeda dengan memakai kemeja biru muda dengan celana panjang hitam. Jarang bisa melihatnya terlihat dewasa karena dia sehari-harinya lebih sering memakai baju basket dan baju tidur.
“Cakka!” kata Alvin ketika menyadari temannya itu sudah tiba. Ia segera menyimpan ponselnya di saku celana dan tersenyum. “Kau sudah membawa baju basket kita?”
Cakka mengangguk mantap.
“Kalau begitu ayo kita cari keluargamu. Tadi Biru hanya memintaku untuk mengatakan kepadamu bahwa dia memiliki urusan dengan temannya. Di taman. Entah urusan apa.” kata Alvin. “Kita pelan-pelan saja, kakiku masih sedikit pegal karena urusan menyebalkanku tadi.”
Cakka tertawa. “Baiklah.”
Mereka berdua langsung berjalan meninggalkan lapangan untuk pergi ke taman terdekat yaitu taman komplek. Tadi selama di perjalanan, Alvin bilang bahwa kakak perempuannya tersebut akan ke taman itu. Tapi, tidak. Taman komplek saat itu ternyata sepi. Ada beberapa anak-anak yang sedang berkejar-kejaran dan orang tua mereka, tapi tidak ada tanda-tanda bahwa kakaknya ada di sana.
“Aneh. Padahal, tadi dia bilang dia ingin mengerjakan sesuatu di sini.” kata Alvin sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Ia membalikkan badannya menghadap Cakka. “Apa mungkin dia mampir ke suatu tempat?”
Cakka mengangkat bahunya.
Alvin berpikir sejenak. “Bagaimana dengan Bundamu? Apa dia juga tidak meninggalkan catatan atau semacamnya?”
Cakka mengangguk. “Kata kertas itu Bunda hanya pergi sebentar.”
Alvin manggut-manggut mengerti. Kemudian, memasang pose berpikir lagi, sementara Cakka tetap saja diam menatap sahabatnya tersebut. Tak terbesit kekhawatiran sedikitpun di wajahnya.
Sejujurnya, Cakka tidak terlalu khawatir dengan dimana Biru dan Bunda berada. Walaupun rumah tak biasanya kosong sampai sore, tapi sebagai bagian dari keluarga Karayne, Cakka cukup yakin mereka pasti baik-baik saja. Tapi, karena Alvin sudah berbaik hati membantunya, Cakka jadi tak enak hati menolak kebaikannya.
Kruyuuk... tiba-tiba suara itu membuyarkan lamunannya. Secara refleks, Cakka menoleh ke arah teman sekaligus kakak kelasnya tersebut. Alvin pun langsung menoleh ke arah Cakka dengan tatapan tak berdosa.
“Ups, kurasa perutku sudah meminta diberi makan. Kau lapar tidak? Bagaimana kalau kita cari makan?” kata Alvin sambil nyengir.
Cakka tertawa geli, kemudian mengangguk saja menyetujui usulnya. Dia menepuk-nepuk punggung Alvin maklum dan merangkulnya meninggalkan taman komplek. Memang, sekarang sudah hampir gelap. Sudah jam enam sore. Tak heran dia lapar. Hitung-hitung balas budi, setelah Alvin dengan rela menawarkan bantuan untuknya di saat dia masih kelelahan. Bagi Cakka, itu adalah hal yang luar biasa.
Selama perjalanan, Cakka dan Alvin berbincang-bincang seru. Sesekali mereka tertawa bersama karena candaan mereka sendiri. Hingga pada akhirnya mereka sampai di sebuah taman yang agak jauh dari komplek rumah Cakka. Berbeda dengan taman komplek, taman itu tampak indah dengan berbagai hiasan. Namun, hiasan yang paling banyak tergantung di sana adalah balon warna-warni. Mata Cakka sampai berbinar-binar melihatnya.
“Kau tampak takjub dengan tempat ini, Kka.” kata Alvin menyenggol Cakka sambil tersenyum.
Cakka menggaruk tengkuknya malu-malu. “Tempat ini indah sekali.”
“Ya, tentu saja. Karena ini adalah hasil pekerjaanku.” kata Alvin bangga.
“Benarkah?” kata Cakka.
“Ya. Aku dan teman-teman tim basket merancang ini semua. Dengan bantuan tim basket putri juga, termasuk kakakmu.” kata Alvin sambil tertawa. “Semua ini kita rancang untukmu.”
Cakka mengerutkan dahinya heran, tidak mengerti. Tapi, bibirnya tetap menyunggingkan senyuman. Sampai detik ini, Cakka baru merasakan sesuatu yang aneh dari ucapan Alvin.
Alvin yang melihatnya justru tertawa. Ia jitak kepala Cakka sambil berkata, “Wajahmu tak perlu sampai seperti itu. Ayo kita makan, aku sudah lapar. Di dalam taman ada satu restoran yang sangat enak.”
Tanpa menunggu jawaban, Alvin langsung menarik tangan Cakka masuk ke dalam taman tersebut. Di tengah taman tersebut ada beberapa meja kayu yang panjang beserta kursinya. Tapi, tak ada tanda-tanda bahwa di sana ada restoran. Hanya sebuah lapangan terbuka, seperti taman-taman biasanya.
“Tamu berharga kita sudah datang, guys!” Alvin berteriak nyaring. Sedetik kemudian, Segerombolan orang keluar dari balik semak-semak sambil bernyanyi. Di antara mereka ada yang membawa balon, ada juga yang membawa kotak. Orang yang berdiri paling depan membawakan kue dengan lilin angka tiga belas. Benar-benar mengejutkan! Di sana ada Bunda, Biru, teman-teman ekskul basket dan juga teman-teman sekelasnya. Bahkan Elang juga ada! Pantas saja tadi rumah kosong. Ternyata, mereka semua sibuk mempersiapkan ini semua untuknya. Ia bahkan baru ingat kalau hari ini adalah ulang tahunnya. Pantas saja tadi ada yang memberinya kado di sekolah.
“Ayolah, cepat! Aku sudah lapar dari tadi!” canda Alvin sambil tertawa.
“Makan terus! Lama-lama kau ketularan Ray, Vin!” kata Rio sambil menjitak Alvin. Tapi, yang dijitak hanya nyengir.
“Hei, sudah, sudah! Bukankah aku sudah berjanji akan mentraktir kalian semua? Sekarang biarkan Cakka meniup lilinnya dulu!” kata Biru yang memegang kue tart besar di tangannya.
“Ya, Biru benar. Ayo Nak, tiup lilinnya dulu.” kata Bunda.
Cakka mengangguk. Ia mengatup tangannya untuk berdoa sejenak, kemudian langsung meniup lilin ketiga belasnya sampai padam. Semua yang ada di sana bertepuk tangan dan bersorak karenanya. Kemudian, mereka langsung menyalami dan memberikan ucapan selamat ulang tahun kepada Cakka. Ada beberapa orang juga yang memberikan kado.
“Selamat ulang tahun, adikku tersayang! Semoga semakin tampan, pintar dan bisa menjadi pemain basket nasional.” kata Elang sambil memeluk adik bungsunya. Disusul oleh Biru yang memeluk dari sisi lain. Cakka tampak terdesak di tengah. Bunda sampai tertawa melihat tingkah anak-anaknya.
“Selamat ulang tahun, kapten! Semoga kau bisa menjadi kapten tim basket kita sampai lulus! Percayalah, kau adalah kapten terbaik yang pernah kita punya!” kata Ray sambil menepuk pundak Cakka pelan.
“Betul itu, Kka! Semoga kau juga bertambah dewasa dan sayang pada keluarga. Ingat, kedua orang tuamu adalah alasan mengapa kau bisa sehebat ini.” kata Gabriel.
“Wah, tumben Gabriel bijak!” celetuk Rio.
“Sialan kau, Yo!” kata Gabriel langsung memukul punggung saudara kembarnya.
Cakka hanya tersenyum melihat tingkah mereka berdua.
“Selamat ulang tahun, bro. Doa-doaku sudah disebutkan semua oleh yang lain tadi. Yang pasti, aku pasti mendoakan yang terbaik untukmu.” kata Alvin menyalami Cakka.
Cakka mengangguk. “Terima kasih, Vin.”
“Baiklah, ini sudah malam. Ayo kita makan! Nanti tante akan mempersiapkan makan malam yang sangat lezat untuk kalian! Juga makanan kesukaan Cakka, Biru dan Elang!” kata Bunda. Semuanya langsung bersorak gembira. “Tapi, sebelum pesta makan, ayo kita makan kue dulu! Cakka, ayo potong dan bagikan kuenya untuk teman-temanmu ya. Bunda akan membantu.”
Cakka mengangguk-angguk cepat.
“Kita juga ingin membantu, Bunda!” kata Biru dan Elang antusias.
Bunda tersenyum. “Baiklah, terima kasih, Bi, Lang.”
“Ayo kita duduk di kursi dan meja kayu yang tersedia. Kita bisa mengobrol sambil menunggu Cakka dan keluarganya selesai memotong kue.” kata Alvin. “Kalian semua makan, bukan?”
Semua mengangguk hampir bersamaan. Kemudian, mereka semua mengikuti Alvin untuk duduk. Masing-masing meja terdiri dari sekitar delapan orang. Alvin sendiri semeja dengan teman-teman basketnya. Dari tim basket putra juga tim basket putri. Seketika taman menjadi gaduh dengan suara-suara mereka semua mengobrol seru satu sama lain.
Mereka semua tidak menunggu lama. Cakka sudah datang membawa sebuah baki penuh dengan puluhan kue tart yang siap dibagikan kepada teman-temannya. Masing-masing dari mereka berterima kasih setelah Cakka membagikannya. Bahkan ada beberapa yang bercanda dengan meminta lebih, hingga mereka dijitak oleh teman-teman semejanya. Namun, Cakka hanya tertawa. Setelah selesai membagikan, Cakka dan Elang juga bergabung dengan meja Alvin dan teman-temannya.
“Kue ini enak sekali.” kata Ray sambil melahap potongan kue Cakka dengan cukup cepat. “Hei, Kka, kuharap makan malam setelah ini juga selezat kue kecil ini. Aku sudah sengaja mengosongkan perut untuk berpesta.”
Semua yang ada di sana tertawa.
“Tapi, aku tidak menyangka kalian melakukan ini untukku.” kata Cakka.
“Tentu saja, kenapa tidak?” kata Alvin sambil tersenyum. “Lagipula, ini semua ide kakak-kakakmu. Kami hanya membantu mereka berdua agar semua ini berjalan dengan lancar.”
“Ya, kau pasti tak sadar bukan bahwa Alvin hanya berpura-pura membantumu mencari Kak Biru dan Bundamu? Itu hanya siasat agar kita bisa membawamu ke tempat acara.” kata Gabriel.
“Ya, kau tertipu, Chase Karayne.” kata Rio. “Kau juga pasti heran mengapa teman-teman sekelas bisa ada di sini. Itu juga karena kami. Mereka sudah tahu kau ulang tahun sejak kemarin, kami yang meminta mereka agar diam-diam saja sampai acara dimulai.”
Cakka tertawa kecil mendengarnya. Ternyata jalan hidupnya hari ini sudah diatur sejak dia bangun tidur. “Ya, sepertinya begitu.”
“Padahal anak yang memberimu kado tadi sore sudah menjadi petunjuk.” kata Ray sambil bertopang dagu. Ia tertawa kecil. “Ternyata, kau terlalu polos. Jauh lebih polos dari yang aku kira.”
“Tapi, tidak apa-apa. Yang penting rencana kita sukses untuk membuat Cakka bahagia di hari ulang tahunnya, bukan?” kata Karin akhirnya bersuara.
“Ya, sukses sekali. Terima kasih untuk bantuannya semua.” kata Biru sambil tersenyum. “Pokoknya kalian tinggal sebutkan tempat untuk traktiran besok. Tapi, jangan mahal-mahal! Dompetku bisa benar-benar kempes!”
“Kalau begitu, bagaimana kalau McDonalds?” tanya Ray.
“KFC saja!” kata Gabriel.
“Ah, biasa! Lebih baik ke food court saja! Lebih banyak pilihan!” kata Rio.
“Memangnya food court itu tidak biasa bagimu? Setiap minggu juga bisa ke sana!” Gabriel langsung menjitak saudara kembarnya tersebut. Rio hanya nyengir menatapnya.
“Kalau begitu, bagaimana kalau kamikaze? Aku sangat suka dengan ayamnya!” kata Alvin.
“Sama saja itu di food court!” kata Biru sambil menggelengkan kepalanya. “Sudahlah, aku saja yang tentukan tempatnya. Kalian seperti anak kecil saja memilih tempat makan.”
Anak-anak tim basket putri langsung tertawa kompak dan menyetujui ucapan Biru tersebut. Alvin, Gabriel, Rio dan Ray langsung bersorak kepada kapten tim basket putri sekolah mereka tersebut. Sementara Cakka seperti biasa, hanya tersenyum melihat keseruan teman-temannya. Sungguh menyenangkan melihat mereka begitu akrab satu sama lain.

TO BE CONTINUED...
Penasaran? Baca sampai tamat ya!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Makasih ya udah baca cerpenku. Silahkan tinggalkan komentar kamu ya.
Semua kritik dan saran aku terima. Pujian juga boleh :p