Malam ini benar-benar malam yang panjang untuk Cakka. Walaupun ia sudah
berkali-kali menutup matanya, ia tetap saja tidak bisa terlelap. Padahal,
langit di luar sana sudah semakin gelap. Jam dinding yang digantung di dekatnya
sudah menunjuk ke arah angka sepuluh, menunjukkan hari sudah semakin larut. Dan
besok bukanlah hari libur. Kalau dia tidak segera tidur, ia pasti akan susah
bangun pagi.
Seharian ini sudah menjadi hari yang penuh kegelisahan. Hatinya selalu
mengatakan bahwa ini bukan hidupnya. Ini bukan hidup Chase Karayne, kapten
basket energik yang selalu tersenyum dan optimis.
Seperti saat jam makan malam tadi. Bahkan menyantap makanan kesukaan yang
dibuat oleh Bunda tidak membuatnya lebih baik. Sepanjang menikmati suasana
keluarga, Cakka sama sekali tidak berbicara sepatah katapun kepada kedua kakak
dan Bundanya. Ia hanya mendengarkan dengan saksama pembicaraan yang mereka
bertiga bicarakan dengan seru. Sama sekali tak ada niat untuk berceloteh.
“Aku tahu ada masalah yang tidak beres di dalam dirimu.” kata Biru waktu
jam makan malam tadi, mengetahui Cakka hanya diam. “Kau baik-baik saja, Kka?”
Bahkan Bunda juga ikut berbicara kepadanya. “Bicaralah jika kau ada
masalah, Cakka. Kedua kakakmu pasti bisa membantu. Atau kau bisa berbicara
kepada Bunda.”
Tidak. Cakka bukannya tidak ingin berbicara kepada mereka tentang apa yang
dirasakannya sekarang. Ia hanya tak ingin merepotkan orang-orang yang
disayanginya dengan masalah yang sedang dihadapinya. Ia yakin bisa
menyelesaikan masalah ini sendiri. Rasa gelisah yang ada di hatinya sekarang,
lebih baik tak ada yang mengetahuinya. Dan untuk menyembunyikan semua itu,
Cakka jelas harus sedikit banyak menghindar dari mereka semua.
Ia membalikkan badannya berkali-kali di balik selimutnya, berusaha mencari
posisi yang lebih enak untuk tidur. Namun, sekeras apapun ia mencoba, dia tetap
saja tak menemukannya. Hati dan pikirannya masih sibuk berbincang-bincang,
lebih baik ia mengecewakan teman-temannya untuk berbakti kepada Ayah atau
membiarkan Ayah kesal karena ia harus mengejar mimpinya?
Ia segera bangkit dari tidurnya dan segera menatap ke arah jendela. Ia
segera membuka jendela tersebut untuk melihat ke arah langit yang ditemani oleh
ribuan bintang bertaburan. Benar-benar indah. Seindah kehidupannya selama ini.
Tentu saja sebelum hari ini. Ia teringat lagi akan Ayah. Ya, beliau pasti sudah
ada di pesawat, menuju negara Eropa sana untuk bersusah payah mencari nafkah.
“Ayah, kenapa kau tak mengizinkanku mengejar mimpi?” tanya Cakka sambil
menatap langit di luar sana. Berharap Ayah yang sudah berada di luar negeri
mendengar pertanyaannya dan menjawab. Tapi, tentu saja itu mustahil.
Rasa sesal di dasar hati
Diam tak mau pergi
Haruskah aku lari dari kenyataan
ini
Pernah kumencoba tuk sembunyi
Namun senyummu tetap mengikuti
(Iwan Fals – Yang Terlupakan)
-----
“Huh! Capeknya!” kata
Ray sambil cepat-cepat duduk di pinggir lapangan dengan wajah manyun. Rambut
cepaknya sudah basah karena keringat yang bercucuran. Kedua tangannya tampak
menahan tubuhnya yang sudah lemas.
Ya. Mereka memang
sedang di sekolah, tepatnya jam ekskul basket. Dan setelah latihan yang santai
untuk tim inti kemarin, sekarang Pak Jo membiarkan anak-anak lain yang santai
agar tim inti bisa ia latih sampai jam ekskul selesai. Bergantian agar mereka
semua tidak terlalu lelah mengikuti ekskul. Apalagi tim inti, mereka harus
tetap fit setidaknya sampai pertandingan dengan SMPN 1 itu selesai.
“Kau selalu
mengatakan itu setelah bertanding, Raynald Putra.” kata Alvin sambil memberikan
temannya tersebut sebotol minum air mineral. “Kalau latihan saja kau tak tahan,
bagaimana kalau kau berada di pertandingan besar seperti NBL?”
“Ah, sejak kapan kau
suka menceramahiku, Vin?” tanya Ray setelah menenguk habis botol tersebut.
“Berlari keliling lapangan tiga kali, kemudian berlatih tembakan tiga angka dan
bertanding dengan Obiet dan teman-temannya, kau pikir itu tidak berlebihan?”
“Biasa saja.” kata
Alvin sibuk mengeringkan rambut dan pelipisnya yang basah dengan keringat.
“Ingat Ray, kita adalah tim inti. Latihan kita tidak bisa bersantai-santai
seperti yang lain. Apalagi sebentar lagi kita akan bertanding di sekolah lain.”
“Ya, benar. Pak Jo
tidak akan sekejam ini jika bukan karena ingin kami melakukan yang terbaik
dalam pertandingan itu.” kata Gabriel nimbrung.
“Ya, ya! Kalian pikir
aku sebodoh itu? Aku juga tahu! Padahal, aku mengeluh lelah bukan untuk
diceramahi kalian.” kata Ray ngambek. Namun, wajah ngambeknya berubah menjadi
heran ketika ia menoleh ke arah teman-temannya. “Hei, dimana Cakka?”
“Oh, di sana.” kata
Rio sambil menunjuk ke arah tempat di belakangnya. Di sana tampak Cakka sedang
berbicara dengan beberapa anak-anak. Dua laki-laki dan satu perempuan.
Sepertinya mereka supporter CRAG Team. Setelah berbincang-bincang, mereka
tampak memberikan Cakka sebuah kotak yang telah dibungkus rapi. Ray yang
melihatnya sampai tersenyum dan menggelengkan kepalanya.
Ya, walaupun sudah
dilarang Ayah, tapi Cakka tetap saja bermain basket. Sesuai dengan keinginan
hatinya. Dia masih bingung antara harus rela berhenti bermain basket atau harus
tetap berjuang dengan mimpinya. Selain karena dia butuh basket, dia juga tak
mau mengecewakan siapapun di dunia ini. Tapi, dia tak bisa mendapatkan keduanya
jika dia berhenti maupun melanjutkan mimpinya. Entahlah.
“Kapten kita itu
terlalu populer.” kata Ray. Bibirnya menyinggungkan senyum.
“Kepopulerannya
meningkat drastis karena hari ini adalah hari yang spesial untuknya.” kata Alvin
sambil tersenyum. “Kalian ingat bukan apa yang dikatakan Biru kemarin? Setelah
ini kita harus pergi ke taman.”
Ketiga temannya
mengangguk.
Tak lama kemudian,
Cakka datang menghampiri mereka dengan membawa sebuah kotak dan satu plastik
penuh berisi bungkus makanan. Ia menaruh kotak tersebut di dalam tasnya dan
membagi-bagikan beberapa bungkus makanan tersebut kepada teman-temannya.
“Tertimpa rezeki
lagi?” tanya Gabriel pura-pura tidak tahu.
Cakka tertawa kecil.
“Aku juga tidak tahu mengapa mereka memberikanku lebih banyak makanan kali ini.
Mereka bilang ini semua untuk kalian juga. Atas kemenangan kita.”
“Rasanya banyak
sekali makanan yang dibeli dari luar sekolah. Kurasa mereka benar-benar
mengagumimu, Kka.” kata Rio sambil mengintip isi plastik yang dibawa Cakka.
Kemudian, mengambil beberapa yang ia suka untuk dibawa pulang.
Cakka tersenyum
menanggapi ucapan Rio.
“Bagaimana kalau
sebagian makanan ini kita sumbangkan kepada anak-anak jalanan?” tanya Gabriel.
“Kita tidak akan habis melahap sebanyak ini. Dan mereka jelas lebih membutuhkan
makan daripada kita.”
“Ide bagus, Yel!”
kata Alvin sambil mengacungkan jempol. Kemudian, dia mengembalikan dua bungkus
makanan ringan yang ia pegang ke dalam plastik Cakka. Disusul oleh Gabriel, Rio
dan Ray. “Kka, bisakah kau melakukannya sendirian? Kami berempat harus pergi
duluan karena ada urusan masing-masing. Aku dengar Biru juga harus pergi dengan
temannya.”
Cakka mengangguk
cepat. “Jangan khawatir.”
“Kalau begitu, kami
pulang dulu, Oke?” pamit Gabriel sambil menggantungkan tasnya di pundak. Begitu
juga dengan teman-temannya.
Cakka mengangguk
mengerti. Kemudian, dia melambaikan tangannya sambil tetap tersenyum melihat
punggung keempat temannya terus menjauh, meninggalkannya sendirian di lapangan
basket. Kemudian diapun segera membereskan barang-barangnya yang masih di luar
tas dan segera pulang. Berjalan kaki karena hari ini Elang tidak bisa
menjemput. Kuliahnya pulang sore katanya.
Selama perjalanan
pulang, Cakka terus melihat ke kanan-kiri, kalau-kalau dia menemukan seorang
anak jalanan yang bisa diajak berbagi makanan dengannya. Sungguh menyenangkan.
Bukan hanya itu, ia juga merasa bahagia bisa melihat senyuman mereka yang
rasanya jarang terjadi. Benar-benar pengalaman yang berharga untuknya. Sayang
sekali teman-temannya tak bisa ikut.
“Terima kasih, Kak.”
kata seorang anak perempuan kecil yang ia temukan di pinggir trotoar. Bajunya
lusuh, wajahnya juga ternodai dengan air kotor yang terciprat dari mobil yang
berlalu lalang. Dan tubuhnya tampak kurus, seperti orang yang benar-benar
jarang makan. Dan tentu saja, ia tersenyum lebar mendapatkan beberapa bungkus
makanan darinya.
Cakka tersenyum
manis, kemudian mengelus rambut anak itu dengan penuh sayang sebelum ia
melanjutkan perjalanannya kembali. Hanya beberapa meter saja ia sudah sampai di
rumah. Namun, makanan yang ia bawa masih ada beberapa bungkus. Akhirnya, dia
melewati rumahnya dan mampir ke sebuah tempat yang mungkin membutuhkan
makanan-makanan tersebut.
“Permisi!” seru Cakka
begitu ia sampai di tempat itu. 'Panti Asuhan Kasih' tampak tertulis
besar-besar di plang yang tertancap di sebelah pagar. Seorang wanita paruh baya
yang mendengarnya yang langsung segera membukakan pintu untuknya.
“Ya, ada apa ya?”
tanya wanita paruh baya tersebut.
“Namaku Cakka. Aku
mendapatkan rezeki ini di sekolah. Meskipun sudah dibagi kepada teman-teman dan
anak jalanan, tetap saja tidak habis. Kupikir anak-anak di sini akan senang
menerimanya, Bu.” kata Cakka sambil tersenyum dan menyodorkan plastik yang
dipegangnya.
“Wah, terima kasih,
Nak. Kamu baik sekali.” kata wanita paruh baya tersebut. Dengan senang hati ia
menerima plastik itu dan memanggil anak-anak yang sedang bermain di taman panti
asuhan. Mereka tampak senang mendengar mereka mendapatkan snack tambahan.
Cakka hanya tersenyum
menatap kebahagiaan mereka.
TO BE CONTINUED...
Penasaran? Baca sampai tamat ya!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Makasih ya udah baca cerpenku. Silahkan tinggalkan komentar kamu ya.
Semua kritik dan saran aku terima. Pujian juga boleh :p