Minggu, 07 September 2014

Cerbung | Impian Bola Basket Part 11


Cakka hanya menundukkan kepalanya ketika Ayah dengan tegas mengatakan bahwa dia sama sekali tidak boleh bergaul dengan siapapun yang masuk di ekskul basket. Wajahnya yang begitu seram menunjukkan kerutan yang sangat intens ketika dia menatap anaknya tersebut. Elang, Biru dan Bunda yang melihat dengan mata kepala sendiri kejadian itu juga hanya bisa diam.
“Kalau kau masih membantah Ayah, kau akan Ayah daftar ke sekolah luar negeri agar Ayah bisa memantaumu setiap saat.” katanya dengan nada mengancam. “Kau mengerti?”
Cakka mengangguk pelan tanpa mengangkat kepalanya. Terlalu takut untuk menatap wajah Ayah yang begitu menusuk. Setelah langkah kaki Ayah menjauh, barulah ia mengangkat kepala dan segera menoleh ke arah Bunda dan kedua kakaknya. Berharap mereka tidak mengatakan hal yang serupa dengan Ayah.
Dan ternyata tidak. Mereka justru tersenyum kecil menatapnya dan segera mengerubunginya, seolah-olah dia adalah anak yang paling mereka sayangi di rumah. Bunda sibuk membelai rambutnya yang sudah tersisir rapi, sementara kedua kakaknya memeluk kedua bahunya. Andai saja, ia bisa mendapatkan perlakuan yang sama dari Ayah.
Ah! Pikiran cetek tersebut benar-benar menguasai dirinya. Seharusnya dia tahu bahwa Ayah selalu menyayangi dirinya. Mungkin caranya menyampaikan kasih sayang kepada Cakka terlalu berbeda dari yang lain, sehingga membuat Cakka bingung. Tapi, iapun tak tahu harus bagaimana menyelesaikan masalah ini. Haruskah dia keluar dari ekskul basket dan menjauhi keempat temannya? Entahlah. Mereka sudah sangat baik kepadanya.
“Suatu saat Ayah pasti mengerti keinginanmu, Nak.” kata Bunda lembut sambil terus membelai rambut anak bungsunya. “Teruskanlah mimpimu, kau harus selalu melihat ke atas, seperti halnya bermain basket.”
Biru mengangguk. “Selama ini kau memiliki potensi yang kuat dalam olahraga basket, Ayah boleh menghalangmu membawa bola, tapi kau selalu memiliki cara cerdik untuk lolos, bukan?”
“Ring kesuksesanmu masih jauh, Kka. Dan kau tidak akan berhenti sebelum kau bisa melempar bola basketmu ke dalam sana, bukan?” tanya Elang ikut menyemangati.
“Nanti kau latihan basket, bukan? Jika Bunda sempat, Bunda akan ikut kakakmu untuk menjemputmu dan Biru ke sekolah.” kata Bunda. “Saat pulang nanti, Bunda akan membuatkan makanan kesukaanmu.”
Cakka tersenyum mendengar semua perkataan mereka. Kemudian, dengan segera langsung mengajak kedua kakaknya agar cepat berangkat sekolah. Ia menyalami dan mencium tangan Bunda dan segera meninggalkan rumah. Ya, ia bahagia memiliki keluarga yang sangat baik seperti mereka. Tapi, kebahagiaannya tidak akan terasa lengkap tanpa Ayah di sana. Ya, ia memang harus mengejar mimpinya setinggi ring kesuksesannya berada, namun semuanya tak akan berarti jika bola basket yang masuk ke dalam sana hanya akan melukai salah satu orang yang paling disayanginya.
“Kau benar-benar anak yang aneh. Aku heran mengapa aku bisa mendapatkan adik yang terlalu kuat sepertimu, Chase Karayne.” kata Biru heran saat perjalanan ke sekolah. Cakka sampai tertawa mendengarnya.
“Kau masih beruntung kami sangat memperdulikanmu, adik termuda.” kata Elang menoleh ke arah kursi belakang sejenak, kemudian kembali fokus ke jalan depan lagi.
“Ya, aku tahu, kakak tertua.” kata Cakka sambil masih tertawa.
“Hei, berhentilah tertawa. Kau selalu saja berlagak tidak terjadi apa-apa kepada hidupmu. Padahal jelas-jelas kau tidak bahagia.” kata Biru. “Omong-omong, apa aku akan melihatmu saat latihan basket hari ini?”
Cakka tidak menjawab. Ia hanya tersenyum menanggapinya.
Perjalanan menuju sekolah menjadi sangat menyenangkan dengan adanya obrolan seru mereka. Sesampainya di sekolah, Biru dan Cakka langsung turun dari mobil dan berpamitan dengan Elang yang harus segera ke kampus. Setelah itu, mereka langsung pergi menuju kelas mereka masing-masing.
“Cakka! Kau sudah datang!” Ray langsung menyambut ketika melihat batang hidung sahabatnya itu sudah terlihat memasuki kelas tujuh. Saat itu, dia sedang membaca buku matematika.
Cakka hanya tersenyum melihat sahabatnya tengah melambai-lambaikan tangan kepadanya. Ia berjalan melangkah menuju kursinya dan segera duduk di samping Ray.
“Aku mendapatkan bocoran dari kelas sebelah. Akan ada ambil nilai matematika dadakan. Mungkin karena sebentar lagi pekan ulangan.” kata Ray tanpa ditanya. “Ayo kita belajar bersama. Aku ingin bertanya beberapa soal kepadamu.”
Cakka yang sedang sibuk membongkar tasnya tidak menjawab. Ia segera mengeluarkan buku paket matematika dan catatannya. Sementara ia belajar dari buku paket, ia memberikan catatannya kepada Ray. “Mungkin ini membantu.”
Ray mengambil buku catatan sahabatnya tersebut dan membaca-baca sekilas isinya. Ia tersenyum melihat semua rumus dan cara penggunaannya tertulis di sana. Kemudian, dia menatap Cakka kembali. “Terima kasih, Kka.”
Cakka tersenyum kecil tanpa mengalihkan pandangannya dari buku paket. Setelah itu, mereka berdua kembali sibuk masing-masing dengan persiapan ambil nilai matematika mereka. Kalau rumor dari kelas sebelah itu benar, bisa menjadi kesempatan mereka untuk meningkatkan nilai matematika mereka agar tidak terlalu buruk jika saat ulangan nanti mereka tidak mendapatkan nilai bagus.

J L J

“Mi ayam dan es teh empat porsi!” seru Alvin sambil memberikan uang kepada penjual mi ayam di kantin. Kemudian, ia langsung kembali bergabung dengan teman-temannya di meja yang tak jauh dari sana. Rasanya cukup lega bisa keluar dari keramaian anak-anak itu. Badannya benar-benar terdesak, membuatnya kesulitan bernafas. Mi ayam di kantin mereka selalu penuh dengan pembeli, kalau tidak cepat, mungkin dia tidak dapat makan sama sekali.
“Hei, nanti setelah selesai makan, kalian mau latihan?” tanya Ray setelah Alvin duduk di sampingnya. Matanya menatap satu-satu teman-temannya dengan penuh semangat.
“Kau gila! Bermain basket setelah makan akan membuatmu sakit perut!” kata Gabriel sambil menggelengkan kepalanya. “Aku akan ikut kalau hanya latihan shooting.”
Rio dan Alvin mengangguk setuju.
“Lagipula, pulang sekolah nanti kita pasti bertanding. Pak Jo selalu menyuruh kita untuk melatih fisik dan mental sebelum kita masuk ke dalam pertandingan yang sesungguhnya.” kata Rio.
“Ya, itu benar-benar cara yang sangat cerdas untuk mempersiapkan kita.” kata Alvin. “Kalau kita sudah mengetahui bagaimana proses pertandingan yang sesungguhnya, maka kita akan selalu siap untuk bertanding. Urusan grogi bisa belakangan.”
“Untuk apa grogi kalau memiliki kapten sehebat Cakka?” tanya Ray asal.
Semuanya tertawa mendengar celotehan Ray. Mereka semua tentu setuju dengan pernyataan Ray tersebut. Cakka bukanlah sekedar pemimpin untuk mereka, tapi juga navigator. Dia selalu bisa mengarahkan mereka berempat dengan caranya sendiri. Dan yang paling mereka senangi dari Cakka adalah Cakka selalu mendengarkan pendapat-pendapat mereka. Mau itu salah atau tidak, dia selalu tersenyum.
“Omong-omong soal Cakka, kenapa dia tidak ikut ke kantin?” tanya Rio.
Ray mengangkat bahu. “Aku tidak tahu. Dia hanya bilang kalau hari ini dia sedang ingin makan di kelas saja. Aku pikir dia sedang tidak ingin berada di keramaian.”
“Lalu kau meninggalkannya sendiri di kelas?” tanya Gabriel. “Teman macam apa kau meninggalkan teman sebangku sendiri? Lebih baik kita yang ikut makan di kelas bersamanya.”
Rio dan Alvin lagi-lagi mengangguk kompak. Sementara Ray justru menggelengkan kepalanya.
“Lebih baik tidak. Selama ini aku selalu bersamanya di kelas. Aku hafal semua kelakuannya. Tapi, aku tak pernah melihatnya seperti ini.” kata Ray. “Aku pikir dia butuh waktu sendirian, sehingga aku meninggalkannya sendiri.”
“Memangnya ada apa dengannya?” tanya Alvin sambil mengerutkan dahinya.
“Aku juga tidak tahu. Dia sama sekali tidak bercerita kepadaku.”
“Silahkan makanan dan minumannya.” seorang wanita paruh baya membawakan pesanan mi ayam mereka. Kemudian, langsung pergi meninggalkan mereka. Ray, Gabriel, Rio dan Alvin langsung menyantap makanan mereka masing-masing sambil meneruskan pembicaraan mereka.
“Kalau begitu, apa tidak terasa ganjal jika kita hanya berlatih berempat?” tanya Alvin bertopang dagu. “Bagaimana kalau Cakka melihat dan dia merasa kita menjauhinya hanya karena tidak ikut ke kantin?”
“Kau yakin dia akan berpikir seperti itu?” tanya Ray sambil mengunyah.
Alvin mengangkat bahunya. “Mungkin saja.”
“Akan terasa lebih baik jika kita mencoba mengajaknya dulu.” kata Gabriel menyimpulkan. “Kalaupun dia memang tidak ingin ikut, setidaknya kita sudah mencoba mengajaknya.”
Keempat laki-laki itu mengangguk.
"Hei, kudengar kelasmu diadakan ambil nilai matematika dadakan? Bagaimana hasilnya?" tanya Gabriel sambil menunjuk Ray dengan sendok yang ia gunakan.
"Ah, jangan ingatkan aku pada mimpi burukku, Yel!" kata Ray sebal. "Kau tahu aku tak pintar soal hitung-hitungan!"
Gabriel tertawa.

J L J

Rasa sendiri bukanlah sesuatu yang asing bagi Cakka. Dia adalah laki-laki kalem. Ditemani oleh banyak orang terasa sama seperti saat dia sendiri, karena iapun jarang berbicara. Namun kali ini tidak, ini berbeda. Ini tidak sama seperti ketika teman-teman basketnya berada di sekitarnya. Ini tidak sama seperti ketika berada di tengah-tengah keluarganya.
Perlahan-lahan ia memasukkan makanan ke dalam mulutnya. Masakan Bunda hari ini benar-benar lezat. Aroma udang mayones yang dikunyahnya sekarang benar-benar terasa nikmat di dalam mulut. Siapapun yang memakannya pasti akan ketagihan dan meminta lagi, lagi dan lagi. Tambahan buncis sebagai sayurnya membuatnya terasa menggiurkan. Rasanya ingin tersenyum, mengingat ia memiliki Bunda yang sangat hebat. Namun, ia sama sekali tidak bisa menggerakkan bibirnya untuk melengkung ke atas.
Cakka menghela nafasnya setelah makanannya ditelan. Ia melihat sekeliling. Kelas ini selalu kosong selama istirahat. Teman-teman sekelasnya pasti terlalu sibuk di luar sehingga membuat mereka bahwa masih ada kelas yang harus dihuni walaupun sedang tidak belajar. Bahkan biasanya ia juga makan di luar kelas walaupun ia selalu membawa bekal.
Keempat teman-teman basketnya itu selalu menghargai setiap makanan yang sudah susah payah dibuat Bunda untuknya. Mereka tak pernah keberatan kalau Cakka tidak ikut menikmati makanan kantin seperti mereka. Mereka selalu berkata yang penting Cakka terus menjadi bagian dari mereka. Juga CRAG Team. Kemudian, dengan senangnya Cakka bisa menghabiskan bekalnya sampai tak tersisa. Berbeda dengan sekarang.
“Cakka!”
Cakka menoleh ketika mendengar suara itu. Ia mendapati teman-temannya tengah berdiri di ambang pintu kelas. Ia segera berdiri dan berjalan menghampiri mereka. Begitu sampai di hadapan mereka, ia tersenyum tipis. Tipis sekali.
“Kami ingin berlatih shooting di lapangan. Kau sebagai kapten kami tentu harus diajak. Mau tidak?” tanya Ray sambil tersenyum. “Hitung-hitung pemanasan sebelum ekskul nanti.”
“Ya, ayo kita berlatih bersama!” kata Gabriel menambahkan.
“Kau tahu hanya kau yang selalu bisa mengajari kami bagaimana cara melakukan teknik basket yang benar.” kata Rio.
Cakka menggeleng. Sambil tetap tersenyum ia berkata pelan kepada mereka, “Aku belum selesai menghabiskan makananku.”
“Kami bisa menunggu kalau kau mau, Kka.” kata Ray sambil menepuk pundak sahabatnya pelan. Namun, Cakka tetap saja menggeleng.
Ray, Gabriel, Rio dan Alvin saling bertatapan mendengar jawaban mutlak Cakka. Kemudian, mereka langsung pamit kepadanya untuk ke lapangan. Satu per satu mereka tepuk pundak Cakka, kemudian mereka langsung meninggalkan kelas. Sementara Cakka kembali duduk di tempatnya dan kembali menikmati makanannya yang masih banyak.
Makan sendirian membuat makanan nikmatnya terasa agak hambar, seperti makanan yang kekurangan bumbu utama. Seperti tim basket yang kekurangan kerja sama yang kompak. Namun, ajakan makan bersama di kantin dan berlatih bersama Ray dan anggota CRAG Team lainnya benar-benar tak bisa ia terima. Terjebak dalam dua pilihan sulit benar-benar membuatnya tak bisa memilih.

J L J

Kegiatan ekskul basket sore ini berjalan seperti biasa. Sebagian anak-anak basket tampak sibuk masing-masing di lapangan. Ada yang sedang pemanasan, ada yang sudah sibuk dribble atau lay up. Sebagian kecil lainnya berteduh di pinggir lapangan.
Cakka sendiri termasuk anak yang baru saja selesai pemanasan. Ia sedang sibuk memantulkan bola basketnya di tempat secara terus-menerus. Matanya terus memandang ke atas, menatap salah satu dari sekian banyak ring kesuksesan yang harus ia taklukkan. Salah satu hal penting harus ia lakukan selama mengejar mimpinya. Seperti kata Bunda tadi pagi, ia harus selalu melihat ke atas.
Tadi Pak Jo mengatakan bahwa CRAG Team masih memiliki sebulan lebih untuk berlatih sebelum pertandingan itu tiba, sehingga beliau membebaskan mereka berlima untuk bermain-main sejenak sementara ia melatih anak-anak basket yang lain. Nanti sesaat sebelum pulang, Pak Jo baru akan melatih mereka satu per satu sejenak. Karena itulah Cakka di sini. Di tengah lapangan yang berbeda dengan anak-anak yang lain. Sendiri melihat ring basket, karena teman-temannya masih beresiap-siap.
“Hei, sendirian saja!” tiba-tiba Ray muncul di belakangnya dan menepuk pundaknya sambil tertawa. “Kau kenapa? Sepertinya dari tadi pagi kau tidak enak badan. Kau sedang sakit?”
Cakka hanya tersenyum, kemudian mengacak-acak rambut gondrong Ray sembarangan layaknya mengasihi anak kecil. “Aku tak apa-apa, Raynald Putra.”
“Ah! Aku bukan anak kecil, Cakka!” kata Ray sambil menjitak Cakka dan segera membereskan rambutnya. Namun, yang dijitak hanya tertawa geli. “Tapi, serius, Chase Karayne, kau tak terlihat seperti biasanya.”
Cakka menggeleng, tetap membantah ucapan Ray.
“Ah, kau benar-benar!” kata Ray tak puas. Cakka hanya tertawa.
Tak lama kemudian, Gabriel, Rio dan Alvin juga bergabung bersama mereka di lapangan. Tanpa banyak bicara lagi, mereka langsung bergantian melakukan tembakan tiga angka untuk latihan. Haha, mereka memang tak pernah mengenal lelah dalam hal basket. Waktu istirahat mereka sering kali dihabiskan oleh latihan kecil-kecilan.
Namun, Ray tidak menyerah. Ia tetap merasa bahwa teman sebangkunya itu sedang ada masalah. Ia juga membahasnya dengan Gabriel, Rio dan Alvin saat Cakka sedang sibuk dilatih oleh Pak Jo.
“Aku tidak setiap saat melihat kegiatannya di sekolah, tapi dia jelas lebih pendiam dari biasanya.” kata Gabriel. “Kalian ingat saat kami mengajaknya latihan tadi? Senyumannya berbeda.”
Ray mengangguk. “Aku tahu, Yel. Kupikir kalian tidak merasakannya.”
“Kau bercanda? Kami mengenal Cakka bersama-sama saat kau dan dia masuk ke sekolah ini. Kita juga mengenal Cakka sebaik kau mengenalnya.” kata Rio.
“Tapi, aku masih penasaran apa yang terjadi dengannya. Sebagai sahabatnya, aku tidak boleh tinggal diam jika dia sedang dalam masalah.” kata Ray sambil bertopang dagu dengan kedua tangannya.
Alvin menggeleng. “Kau tak bisa memaksanya untuk bercerita. Kita semua bukannya tidak tahu kalau Cakka adalah anak yang tertutup. Biarlah kita tunggu sampai dia siap. Di samping itu, kita harus tetap memantaunya.”
Ray, Gabriel dan Rio mengangguk setuju. Kemudian, mereka langsung pura-pura sibuk masing-masing ketika Cakka sudah berjalan menuju tempat duduk mereka. Bahkan sampai selesai ekskul, mereka juga tidak menyinggung-nyinggung tentang hal itu kepada Cakka. Sampai akhirnya, ketika jam setengah empat sore tiba. Saatnya pulang.
“Kurasa kau harus segera pulang, bukan?” tanya Alvin sambil menoleh ke arah Cakka yang sudah selesai membereskan tasnya. Cakka mengangguk.
“Kalau begitu, sampai jumpa besok.” kata Ray sambil tersenyum.
Cakka mengangguk lagi, kemudian menoleh ke arah Biru yang sudah menunggunya di kejauhan. Ia menoleh ke arah teman-temannya yang langsung mempersilahkannya untuk pulang terlebih dahulu. Kemudian, ia langsung membalikkan badannya untuk meninggalkan lapangan.
"Cakka!" panggil Alvin sebelum bayangan sahabatnya itu menghilang dari hadapan mereka berempat.
Cakka menoleh perlahan-lahan ke arah mereka. Menatap mereka dengan pandangan tanpa ekspresi. Tak ada sedikitpun senyuman manis yang biasa ia tebarkan kepada semua orang dengan ramahnya.
"Kita selalu siap membantumu." kata Alvin sambil tersenyum kecil, yang langsung dibalas oleh senyuman manis dari Cakka. Ah, kalau saja Cakka jeli, dia pasti bisa menyadari bahwa tersimpan kegetiran di dalam senyumnya itu.
Dari Ray, Gabriel, Rio maupun Alvin, semuanya menatap kepergian Cakka dalam diam. Senyuman yang terpancar di wajah mereka masing-masing memudar setelah bayangan Cakka menghilang. Masing-masing dari mereka merasa khawatir. Perubahan sikap Cakka mungkin terlihat samar di mata anak-anak lain, tapi tidak untuk mereka. Walaupun sehari-hari Cakka memang pendiam, dia tidak akan sependiam ini jika tak ada hal yang tidak beres.Tapi, aku tidak apa-apa. Itu yang selalu dikatakannya.


TO BE CONTINUED...
Penasaran? Baca sampai tamat ya!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Makasih ya udah baca cerpenku. Silahkan tinggalkan komentar kamu ya.
Semua kritik dan saran aku terima. Pujian juga boleh :p