Cakka hanya menundukkan kepalanya ketika Ayah dengan tegas mengatakan bahwa
dia sama sekali tidak boleh bergaul dengan siapapun yang masuk di ekskul
basket. Wajahnya yang begitu seram menunjukkan kerutan yang sangat intens
ketika dia menatap anaknya tersebut. Elang, Biru dan Bunda yang melihat dengan
mata kepala sendiri kejadian itu juga hanya bisa diam.
“Kalau kau masih membantah Ayah, kau akan Ayah daftar ke sekolah luar
negeri agar Ayah bisa memantaumu setiap saat.” katanya dengan nada mengancam.
“Kau mengerti?”
Cakka mengangguk pelan tanpa
mengangkat kepalanya. Terlalu takut untuk menatap wajah Ayah yang begitu
menusuk. Setelah langkah kaki Ayah menjauh, barulah ia mengangkat kepala dan
segera menoleh ke arah Bunda dan kedua kakaknya. Berharap mereka tidak
mengatakan hal yang serupa dengan Ayah.
Dan ternyata tidak. Mereka
justru tersenyum kecil menatapnya dan segera mengerubunginya, seolah-olah dia
adalah anak yang paling mereka sayangi di rumah. Bunda sibuk membelai rambutnya
yang sudah tersisir rapi, sementara kedua kakaknya memeluk kedua bahunya. Andai
saja, ia bisa mendapatkan perlakuan yang sama dari Ayah.
Ah! Pikiran cetek tersebut
benar-benar menguasai dirinya. Seharusnya dia tahu bahwa Ayah selalu menyayangi
dirinya. Mungkin caranya menyampaikan kasih sayang kepada Cakka terlalu berbeda
dari yang lain, sehingga membuat Cakka bingung. Tapi, iapun tak tahu harus bagaimana
menyelesaikan masalah ini. Haruskah dia keluar dari ekskul basket dan menjauhi
keempat temannya? Entahlah. Mereka sudah sangat baik kepadanya.
“Suatu saat Ayah pasti
mengerti keinginanmu, Nak.” kata Bunda lembut sambil terus membelai rambut anak
bungsunya. “Teruskanlah mimpimu, kau harus selalu melihat ke atas, seperti
halnya bermain basket.”
Biru mengangguk. “Selama ini
kau memiliki potensi yang kuat dalam olahraga basket, Ayah boleh menghalangmu
membawa bola, tapi kau selalu memiliki cara cerdik untuk lolos, bukan?”
“Ring kesuksesanmu masih jauh,
Kka. Dan kau tidak akan berhenti sebelum kau bisa melempar bola basketmu ke
dalam sana, bukan?” tanya Elang ikut menyemangati.
“Nanti kau latihan basket,
bukan? Jika Bunda sempat, Bunda akan ikut kakakmu untuk menjemputmu dan Biru ke
sekolah.” kata Bunda. “Saat pulang nanti, Bunda akan membuatkan makanan
kesukaanmu.”
Cakka tersenyum mendengar
semua perkataan mereka. Kemudian, dengan segera langsung mengajak kedua
kakaknya agar cepat berangkat sekolah. Ia menyalami dan mencium tangan Bunda
dan segera meninggalkan rumah. Ya, ia bahagia memiliki keluarga yang sangat
baik seperti mereka. Tapi, kebahagiaannya tidak akan terasa lengkap tanpa Ayah
di sana. Ya, ia memang harus mengejar mimpinya setinggi ring kesuksesannya
berada, namun semuanya tak akan berarti jika bola basket yang masuk ke dalam
sana hanya akan melukai salah satu orang yang paling disayanginya.
“Kau benar-benar anak yang
aneh. Aku heran mengapa aku bisa mendapatkan adik yang terlalu kuat sepertimu,
Chase Karayne.” kata Biru heran saat perjalanan ke sekolah. Cakka sampai
tertawa mendengarnya.
“Kau masih beruntung kami
sangat memperdulikanmu, adik termuda.” kata Elang menoleh ke arah kursi
belakang sejenak, kemudian kembali fokus ke jalan depan lagi.
“Ya, aku tahu, kakak tertua.”
kata Cakka sambil masih tertawa.
“Hei, berhentilah tertawa. Kau
selalu saja berlagak tidak terjadi apa-apa kepada hidupmu. Padahal jelas-jelas
kau tidak bahagia.” kata Biru. “Omong-omong, apa aku akan melihatmu saat
latihan basket hari ini?”
Cakka tidak menjawab. Ia hanya
tersenyum menanggapinya.
Perjalanan menuju sekolah
menjadi sangat menyenangkan dengan adanya obrolan seru mereka. Sesampainya di
sekolah, Biru dan Cakka langsung turun dari mobil dan berpamitan dengan Elang yang
harus segera ke kampus. Setelah itu, mereka langsung pergi menuju kelas mereka
masing-masing.
“Cakka! Kau sudah datang!” Ray
langsung menyambut ketika melihat batang hidung sahabatnya itu sudah terlihat
memasuki kelas tujuh. Saat itu, dia sedang membaca buku matematika.
Cakka hanya tersenyum melihat
sahabatnya tengah melambai-lambaikan tangan kepadanya. Ia berjalan melangkah
menuju kursinya dan segera duduk di samping Ray.
“Aku mendapatkan bocoran dari
kelas sebelah. Akan ada ambil nilai matematika dadakan. Mungkin karena sebentar
lagi pekan ulangan.” kata Ray tanpa ditanya. “Ayo kita belajar bersama. Aku
ingin bertanya beberapa soal kepadamu.”
Cakka yang sedang sibuk
membongkar tasnya tidak menjawab. Ia segera mengeluarkan buku paket matematika
dan catatannya. Sementara ia belajar dari buku paket, ia memberikan catatannya
kepada Ray. “Mungkin ini membantu.”
Ray mengambil buku catatan
sahabatnya tersebut dan membaca-baca sekilas isinya. Ia tersenyum melihat semua
rumus dan cara penggunaannya tertulis di sana. Kemudian, dia menatap Cakka
kembali. “Terima kasih, Kka.”
Cakka tersenyum kecil tanpa
mengalihkan pandangannya dari buku paket. Setelah itu, mereka berdua kembali
sibuk masing-masing dengan persiapan ambil nilai matematika mereka. Kalau rumor
dari kelas sebelah itu benar, bisa menjadi kesempatan mereka untuk meningkatkan
nilai matematika mereka agar tidak terlalu buruk jika saat ulangan nanti mereka
tidak mendapatkan nilai bagus.
J L J
“Mi ayam dan es teh empat
porsi!” seru Alvin sambil memberikan uang kepada penjual mi ayam di kantin.
Kemudian, ia langsung kembali bergabung dengan teman-temannya di meja yang tak
jauh dari sana. Rasanya cukup lega bisa keluar dari keramaian anak-anak itu.
Badannya benar-benar terdesak, membuatnya kesulitan bernafas. Mi ayam di kantin
mereka selalu penuh dengan pembeli, kalau tidak cepat, mungkin dia tidak dapat
makan sama sekali.
“Hei, nanti setelah selesai
makan, kalian mau latihan?” tanya Ray setelah Alvin duduk di sampingnya.
Matanya menatap satu-satu teman-temannya dengan penuh semangat.
“Kau gila! Bermain basket
setelah makan akan membuatmu sakit perut!” kata Gabriel sambil menggelengkan
kepalanya. “Aku akan ikut kalau hanya latihan shooting.”
Rio dan Alvin mengangguk
setuju.
“Lagipula, pulang sekolah
nanti kita pasti bertanding. Pak Jo selalu menyuruh kita untuk melatih fisik
dan mental sebelum kita masuk ke dalam pertandingan yang sesungguhnya.” kata
Rio.
“Ya, itu benar-benar cara yang
sangat cerdas untuk mempersiapkan kita.” kata Alvin. “Kalau kita sudah mengetahui
bagaimana proses pertandingan yang sesungguhnya, maka kita akan selalu siap
untuk bertanding. Urusan grogi bisa belakangan.”
“Untuk apa grogi kalau
memiliki kapten sehebat Cakka?” tanya Ray asal.
Semuanya tertawa mendengar
celotehan Ray. Mereka semua tentu setuju dengan pernyataan Ray tersebut. Cakka
bukanlah sekedar pemimpin untuk mereka, tapi juga navigator. Dia selalu bisa
mengarahkan mereka berempat dengan caranya sendiri. Dan yang paling mereka
senangi dari Cakka adalah Cakka selalu mendengarkan pendapat-pendapat mereka.
Mau itu salah atau tidak, dia selalu tersenyum.
“Omong-omong soal Cakka,
kenapa dia tidak ikut ke kantin?” tanya Rio.
Ray mengangkat bahu. “Aku
tidak tahu. Dia hanya bilang kalau hari ini dia sedang ingin makan di kelas
saja. Aku pikir dia sedang tidak ingin berada di keramaian.”
“Lalu kau meninggalkannya
sendiri di kelas?” tanya Gabriel. “Teman macam apa kau meninggalkan teman
sebangku sendiri? Lebih baik kita yang ikut makan di kelas bersamanya.”
Rio dan Alvin lagi-lagi
mengangguk kompak. Sementara Ray justru menggelengkan kepalanya.
“Lebih baik tidak. Selama ini
aku selalu bersamanya di kelas. Aku hafal semua kelakuannya. Tapi, aku tak
pernah melihatnya seperti ini.” kata Ray. “Aku pikir dia butuh waktu sendirian,
sehingga aku meninggalkannya sendiri.”
“Memangnya ada apa dengannya?”
tanya Alvin sambil mengerutkan dahinya.
“Aku juga tidak tahu. Dia sama
sekali tidak bercerita kepadaku.”
“Silahkan makanan dan
minumannya.” seorang wanita paruh baya membawakan pesanan mi ayam mereka. Kemudian,
langsung pergi meninggalkan mereka. Ray, Gabriel, Rio dan Alvin langsung
menyantap makanan mereka masing-masing sambil meneruskan pembicaraan mereka.
“Kalau begitu, apa tidak
terasa ganjal jika kita hanya berlatih berempat?” tanya Alvin bertopang dagu.
“Bagaimana kalau Cakka melihat dan dia merasa kita menjauhinya hanya karena
tidak ikut ke kantin?”
“Kau yakin dia akan berpikir
seperti itu?” tanya Ray sambil mengunyah.
Alvin mengangkat bahunya.
“Mungkin saja.”
“Akan terasa lebih baik jika
kita mencoba mengajaknya dulu.” kata Gabriel menyimpulkan. “Kalaupun dia memang
tidak ingin ikut, setidaknya kita sudah mencoba mengajaknya.”
Keempat laki-laki itu
mengangguk.
"Hei, kudengar
kelasmu diadakan ambil nilai matematika dadakan? Bagaimana hasilnya?" tanya
Gabriel sambil menunjuk Ray dengan sendok yang ia gunakan.
"Ah, jangan
ingatkan aku pada mimpi burukku, Yel!" kata Ray sebal. "Kau tahu aku
tak pintar soal hitung-hitungan!"
Gabriel tertawa.
J L J
Rasa sendiri bukanlah sesuatu
yang asing bagi Cakka. Dia adalah laki-laki kalem. Ditemani oleh banyak orang
terasa sama seperti saat dia sendiri, karena iapun jarang berbicara. Namun kali
ini tidak, ini berbeda. Ini tidak sama seperti ketika teman-teman basketnya
berada di sekitarnya. Ini tidak sama seperti ketika berada di tengah-tengah
keluarganya.
Perlahan-lahan ia memasukkan
makanan ke dalam mulutnya. Masakan Bunda hari ini benar-benar lezat. Aroma
udang mayones yang dikunyahnya sekarang benar-benar terasa nikmat di dalam
mulut. Siapapun yang memakannya pasti akan ketagihan dan meminta lagi, lagi dan
lagi. Tambahan buncis sebagai sayurnya membuatnya terasa menggiurkan. Rasanya
ingin tersenyum, mengingat ia memiliki Bunda yang sangat hebat. Namun, ia sama
sekali tidak bisa menggerakkan bibirnya untuk melengkung ke atas.
Cakka menghela nafasnya
setelah makanannya ditelan. Ia melihat sekeliling. Kelas ini selalu kosong
selama istirahat. Teman-teman sekelasnya pasti terlalu sibuk di luar sehingga
membuat mereka bahwa masih ada kelas yang harus dihuni walaupun sedang tidak
belajar. Bahkan biasanya ia juga makan di luar kelas walaupun ia selalu membawa
bekal.
Keempat teman-teman basketnya
itu selalu menghargai setiap makanan yang sudah susah payah dibuat Bunda
untuknya. Mereka tak pernah keberatan kalau Cakka tidak ikut menikmati makanan
kantin seperti mereka. Mereka selalu berkata yang penting Cakka terus menjadi
bagian dari mereka. Juga CRAG Team. Kemudian, dengan senangnya Cakka bisa
menghabiskan bekalnya sampai tak tersisa. Berbeda dengan sekarang.
“Cakka!”
Cakka menoleh ketika mendengar
suara itu. Ia mendapati teman-temannya tengah berdiri di ambang pintu kelas. Ia
segera berdiri dan berjalan menghampiri mereka. Begitu sampai di hadapan
mereka, ia tersenyum tipis. Tipis sekali.
“Kami ingin berlatih shooting di lapangan. Kau sebagai kapten
kami tentu harus diajak. Mau tidak?” tanya Ray sambil tersenyum. “Hitung-hitung
pemanasan sebelum ekskul nanti.”
“Ya, ayo kita berlatih
bersama!” kata Gabriel menambahkan.
“Kau tahu hanya kau yang
selalu bisa mengajari kami bagaimana cara melakukan teknik basket yang benar.”
kata Rio.
Cakka menggeleng. Sambil tetap
tersenyum ia berkata pelan kepada mereka, “Aku belum selesai menghabiskan
makananku.”
“Kami bisa menunggu kalau kau
mau, Kka.” kata Ray sambil menepuk pundak sahabatnya pelan. Namun, Cakka tetap
saja menggeleng.
Ray, Gabriel, Rio dan Alvin
saling bertatapan mendengar jawaban mutlak Cakka. Kemudian, mereka langsung
pamit kepadanya untuk ke lapangan. Satu per satu mereka tepuk pundak Cakka,
kemudian mereka langsung meninggalkan kelas. Sementara Cakka kembali duduk di
tempatnya dan kembali menikmati makanannya yang masih banyak.
Makan sendirian membuat
makanan nikmatnya terasa agak hambar, seperti makanan yang kekurangan bumbu
utama. Seperti tim basket yang kekurangan kerja sama yang kompak. Namun, ajakan
makan bersama di kantin dan berlatih bersama Ray dan anggota CRAG Team lainnya
benar-benar tak bisa ia terima. Terjebak dalam dua pilihan sulit benar-benar
membuatnya tak bisa memilih.
J L J
Kegiatan ekskul basket sore ini berjalan seperti biasa. Sebagian anak-anak
basket tampak sibuk masing-masing di lapangan. Ada yang sedang pemanasan, ada
yang sudah sibuk dribble atau lay up. Sebagian kecil lainnya berteduh
di pinggir lapangan.
Cakka sendiri termasuk anak yang baru saja selesai pemanasan. Ia sedang
sibuk memantulkan bola basketnya di tempat secara terus-menerus. Matanya terus
memandang ke atas, menatap salah satu dari sekian banyak ring kesuksesan yang
harus ia taklukkan. Salah satu hal penting harus ia lakukan selama mengejar
mimpinya. Seperti kata Bunda tadi pagi, ia harus selalu melihat ke atas.
Tadi Pak Jo mengatakan bahwa CRAG Team masih memiliki sebulan lebih untuk
berlatih sebelum pertandingan itu tiba, sehingga beliau membebaskan mereka
berlima untuk bermain-main sejenak sementara ia melatih anak-anak basket yang
lain. Nanti sesaat sebelum pulang, Pak Jo baru akan melatih mereka satu per
satu sejenak. Karena itulah Cakka di sini. Di tengah lapangan yang berbeda
dengan anak-anak yang lain. Sendiri melihat ring basket, karena teman-temannya
masih beresiap-siap.
“Hei, sendirian saja!” tiba-tiba Ray muncul di belakangnya dan menepuk
pundaknya sambil tertawa. “Kau kenapa? Sepertinya dari tadi pagi kau tidak enak
badan. Kau sedang sakit?”
Cakka hanya tersenyum, kemudian mengacak-acak rambut gondrong Ray
sembarangan layaknya mengasihi anak kecil. “Aku tak apa-apa, Raynald Putra.”
“Ah! Aku bukan anak kecil, Cakka!” kata Ray sambil menjitak Cakka dan
segera membereskan rambutnya. Namun, yang dijitak hanya tertawa geli. “Tapi,
serius, Chase Karayne, kau tak terlihat seperti biasanya.”
Cakka menggeleng, tetap membantah ucapan Ray.
“Ah, kau benar-benar!” kata Ray tak puas. Cakka hanya tertawa.
Tak lama kemudian, Gabriel, Rio dan Alvin juga bergabung bersama mereka di
lapangan. Tanpa banyak bicara lagi, mereka langsung bergantian melakukan
tembakan tiga angka untuk latihan. Haha, mereka memang tak pernah mengenal
lelah dalam hal basket. Waktu istirahat mereka sering kali dihabiskan oleh
latihan kecil-kecilan.
Namun, Ray tidak menyerah. Ia tetap merasa bahwa teman sebangkunya itu
sedang ada masalah. Ia juga membahasnya dengan Gabriel, Rio dan Alvin saat
Cakka sedang sibuk dilatih oleh Pak Jo.
“Aku tidak setiap saat melihat kegiatannya di sekolah, tapi dia jelas lebih
pendiam dari biasanya.” kata Gabriel. “Kalian ingat saat kami mengajaknya
latihan tadi? Senyumannya berbeda.”
Ray mengangguk. “Aku tahu, Yel. Kupikir kalian tidak merasakannya.”
“Kau bercanda? Kami mengenal Cakka bersama-sama saat kau dan dia masuk ke
sekolah ini. Kita juga mengenal Cakka sebaik kau mengenalnya.” kata Rio.
“Tapi, aku masih penasaran apa yang terjadi dengannya. Sebagai sahabatnya,
aku tidak boleh tinggal diam jika dia sedang dalam masalah.” kata Ray sambil
bertopang dagu dengan kedua tangannya.
Alvin menggeleng. “Kau tak bisa memaksanya untuk bercerita. Kita semua
bukannya tidak tahu kalau Cakka adalah anak yang tertutup. Biarlah kita tunggu
sampai dia siap. Di samping itu, kita harus tetap memantaunya.”
Ray, Gabriel dan Rio mengangguk setuju. Kemudian, mereka langsung pura-pura
sibuk masing-masing ketika Cakka sudah berjalan menuju tempat duduk mereka.
Bahkan sampai selesai ekskul, mereka juga tidak menyinggung-nyinggung tentang
hal itu kepada Cakka. Sampai akhirnya, ketika jam setengah empat sore tiba. Saatnya
pulang.
“Kurasa kau harus segera pulang, bukan?” tanya Alvin sambil menoleh ke arah
Cakka yang sudah selesai membereskan tasnya. Cakka mengangguk.
“Kalau begitu, sampai jumpa besok.” kata Ray sambil tersenyum.
Cakka mengangguk lagi, kemudian menoleh ke arah Biru yang
sudah menunggunya di kejauhan. Ia menoleh ke arah teman-temannya yang langsung
mempersilahkannya untuk pulang terlebih dahulu. Kemudian, ia langsung
membalikkan badannya untuk meninggalkan lapangan.
"Cakka!" panggil Alvin sebelum bayangan sahabatnya itu menghilang
dari hadapan mereka berempat.
Cakka menoleh perlahan-lahan ke arah mereka. Menatap mereka dengan
pandangan tanpa ekspresi. Tak ada sedikitpun senyuman manis yang biasa ia
tebarkan kepada semua orang dengan ramahnya.
"Kita selalu siap membantumu." kata Alvin sambil tersenyum kecil,
yang langsung dibalas oleh senyuman manis dari Cakka. Ah, kalau saja Cakka
jeli, dia pasti bisa menyadari bahwa tersimpan kegetiran di dalam senyumnya
itu.
Dari Ray, Gabriel, Rio maupun Alvin, semuanya menatap kepergian Cakka dalam
diam. Senyuman yang terpancar di wajah mereka masing-masing memudar setelah
bayangan Cakka menghilang. Masing-masing dari mereka merasa khawatir. Perubahan
sikap Cakka mungkin terlihat samar di mata anak-anak lain, tapi tidak untuk
mereka. Walaupun sehari-hari Cakka memang pendiam, dia tidak akan sependiam ini
jika tak ada hal yang tidak beres.Tapi, aku tidak apa-apa. Itu yang selalu
dikatakannya.
TO BE CONTINUED...
Penasaran? Baca sampai tamat ya!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Makasih ya udah baca cerpenku. Silahkan tinggalkan komentar kamu ya.
Semua kritik dan saran aku terima. Pujian juga boleh :p