Minggu, 07 September 2014

Cerbung | Impian Bola Basket Part 10


Keesokkan harinya, Cakka dikejutkan dengan kedatangan keempat temannya. Ray, Gabriel, Rio dan juga Alvin berdiri berdampingan di depan rumahnya sambil memanggil-manggil namanya. Bukan hanya dia saja yang kaget, Biru, Elang dan kedua orang tuanyapun juga. Pasalnya, mereka tidak mengatakan apa-apa tentang berangkat ke sekolah bersama.

“Kami boleh berangkat bersama denganmu, bukan?” tanya Rio.
“Tadi kami berempat tak sengaja bertemu di perjalanan, sehingga kami pikir tak baik jika kita tak mengajakmu juga. Ini semua ide Alvin! Jarang-jarang bukan kita bisa berangkat bersama seperti ini!” kata Gabriel ikut menambahkan.
“Tapi, kalau Ayah dan Bundamu tidak mengizinkan juga tidak apa-apa! Kami tidak akan memaksa. Kita masih bisa bertemu denganmu di sekolah!” kata Alvin.
Cakka tersenyum senang melihat semua temannya di sana. Kemudian, dia menoleh ke arah Bunda dan Ayah untuk meminta persetujuan. Senyumannya makin lebar ketika Bunda dan Ayah menganggukkan kepalanya.
“Berangkat bersama teman selalu menyenangkan. Lagipula, berjalan kaki akan membuat tubuhmu sehat. Tentu saja kau boleh berangkat bersama mereka.” kata Ayah sambil tersenyum.
“Ya, benar. Berangkatlah bersama mereka, Kka!” kata Bunda juga setuju.
“Kalau begitu, aku berangkat dulu, Bunda, Ayah.” kata Cakka sambil menyalami dan mencium tangan Bunda dan Ayah. “Kak Biru, maaf aku meninggalkanmu sendiri.”
Biru tertawa. “Berangkatlah bersama mereka, aku tidak apa-apa. Alvin! Jaga adikku sampai sekolah! Jangan sampai terluka sedikitpun!”
“Siap, Bi!” kata Alvin sambil tertawa. “Ayo, Cakka!”
Cakka mengangguk-angguk cepat. Kemudian, mereka berlima melambaikan tangan kepada Bunda dan Ayah untuk pamit. Setelah itu, akhirnya mereka berlima pergi meninggalkan rumah Cakka.

J L J

“Kau belum berangkat, Nak?” tanya Aryo ketika melihat anaknya masih bertengger di depan rumah.
“Papa.” kata Verrell sambil tersenyum menatap Aryo. “Aku sudah akan berangkat tadi, tapi aku masuk lagi karena ada barang yang tertinggal. Oh ya, aku juga ingin bertanya kepada Papa.”
“Tentang apa, Nak?” tanya Aryo sambil tersenyum.
“Hmm... tentang Cakka, Pa.” kata Verrell. “Aku ingin mengajaknya bermain basket sore ini. Tapi, aku tak tahu bagaimana harus menghubunginya. Apa Papa memiliki nomor teman Papa yang bisa dihubungi? Mungkin aku bisa menyampaikannya lewat sana.”
“Oh, begitu? Lebih baik tidak perlu. Kau datang saja ke rumahnya nanti sore. Rumahnya tak jauh dari rumah kita. Sebentar ya!” kata Aryo. Ia masuk ke dalam rumah untuk beberapa saat. Setelah itu, dia keluar dengan membawa kertas kecil. “Ini alamat rumahnya, kau datang saja! Cakka pasti senang kau mengunjunginya.”
Verrell menerima kertas itu sambil tersenyum. “Terima kasih, Pa!”
“Ya, sama-sama. Kalau begitu, kau lebih baik berangkat dulu. Sudah terlambat, Verrell!” kata Aryo. Namun, sedetik kemudian dia teringat sesuatu. “Eh, tunggu. Hari ini kau ada latihan basket, bukan?”
Verrell mengangguk. “Ya, Pa. Setelah pulang sekolah, aku juga akan langsung ke rumah Cakka. Aku akan pulang terlambat.”

J L J

Kegiatan sekolah hari ini benar-benar melelahkan untuk Cakka. Jam pelajaran hari Sabtu ini benar-benar menguras otak. Dari pelajaran Sains yang mengerjakan banyak latihan soal, kemudian ada Inggris yang bekerja kelompok untuk membuat drama dan masih banyak lagi yang lainnya sampai mereka berakhir di pelajaran terakhir. Pelajaran olahraga.
“Aku benar-benar lelah!” keluh Ray setelah mereka menyelesaikan pemanasan mereka. Rambutnya sudah mulai basah dengan keringat.
Cakka yang sedang menyegarkan badan dengan air minumnya hanya menatap Ray diam. Ia segera menelan air yang masih ada di dalam mulutnya dan menepuk pundak temannya tersebut. Kemudian, tanpa banyak bicara dia langsung menyodorkan sebuah botol minum yang masih penuh. Tentu saja botol itu adalah botol minum milik Ray.
“Terima kasih, Kka. Aku benar-benar butuh ini.” kata Ray sambil tersenyum.
Cakka hanya tersenyum balik menanggapinya.
“Ah! Akhirnya aku segar kembali. Aku selalu lelah setelah Pak Jo menyuruh kita berlari dua kali keliling lapangan. Padahal kita sudah menguras otak dari jam pertama tadi. Benar-benar menyiksa.” kata Ray sambil menutup botol minumnya setelah menghabiskan seperempat air dari botol minumnya. Ia menoleh ke arah Cakka. Sambil mengatur nafasnya, ia bertanya. “Kau tidak lelah?”
“Sejak kecil aku sering lari pagi dan belajar setiap malam.”
Ray manggut-manggut mengerti. “Beruntungnya kau. Aku ingin seperti itu. Tahan dengan segala kelelahan. Tapi, setiap kali aku mengeluh, Pak Jo selalu mengatakan kalau merasa lelah itu justru lebih bagus.”
Cakka tertawa mendengarnya. “Kau hanya belum terbiasa.”
“Kau pasti menyukai basket sejak kau benar-benar masih kecil ya?”
Cakka mengangguk.
“Pantas saja, harusnya aku sudah menebak. Lari pagi sebelum bermain basket dan belajar setiap malam memang salah satu kegiatan rutin pebasket cerdas sepertimu. Benar?” tanya Ray sambil tertawa. “Aku ingin sekali menjadi pebasket yang handal. Setidaknya sepertimu.”
“Sehebat itukah aku?” tanya Cakka sambil menoleh ke arah Ray.
“Tentu saja!”
Keduanya tertawa bersama.

J L J

“Sepertinya ini tempatnya.” kata Verrell sambil mencocokkan tulisan yang ada di kertas kecil yang dipegangnya dengan rumah yang ada di hadapannya sekarang. Tangannya segera memasukkan kertas itu ke dalam saku celananya dan tersenyum. Tanpa banyak bicara lagi dia langsung mengetuk pintu.
TOK... TOK... TOK..!!
Selama menunggu, Verrell bertengger di depan pintu tanpa melakukan apa-apa. Setelah menunggu beberapa saat, seseorang tampak keluar membuka pintu. Ia terkejut melihat siapa yang membuka pintu, benar-benar sesuai sekali dengan rencananya. “Om?”
“Verrell?” tanya Ayah sambil mengerutkan dahinya. “Kau anak dari Aryo, bukan? Kenapa kau bisa datang, tahu dari mana alamat rumah Om?”
“Oh, tadi saya tanya kepada Papa,” kata Verrell sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal sambil tersenyum ramah. Ia lirik jam tangannya sejenak. “Om, ini masih setengah enam. Om sudah pulang kerja?”
Ayah mengangguk. “Ya, kebetulan sedang tidak sibuk.”
“Oh begitu.” kata Verrell manggut-manggut mengerti. “Eh, Cakka ada, Om? Saya datang ke sini untuk mencarinya.”
“Cakka sedang tidur di kamarnya. Memangnya ada apa?”
“Saya ingin mengajaknya bermain basket.”
Ayah diam. Wajahnya mulai terlihat tidak senang. Nafasnya tiba-tiba tidak beraturan karena ingin emosi, namun ia berusaha menahannya. Darahnya mulai mendidih kembali. Semenjak pertemuannya dengan Aryo waktu itu, hari-harinya benar-benar dipenuhi dengan basket. Benar-benar mengesalkan.
“Om?” Verrell tiba-tiba membuyarkan lamunannya.
“Hah?” kata Ayah kaget. “Maaf, Verrell, belakangan ini Om sedang badmood. Jadi sering tidak jelas.”
Verrell tertawa. “Tidak apa-apa, Om. Saya mengerti. Ya sudah, kalau begitu, saya pamit dulu ya, Om. Saya tidak mau mengganggu tidur Cakka. Dia pasti lelah.”
Ia membalikkan badannya, pura-pura ingin pergi dari sana. Ia diam-diam tersenyum sinis ketika mendengar Ayah menahannya agar tidak pergi terlebih dahulu. Sungguh, hari ini memang adalah hari baiknya. Benar-benar tidak sia-sia waktu itu dia memiliki orang tua seperti Aryo.
“Ada apa, Om?” tanya Verrell sambil menghadap Ayah kembali.
“Om ingin tanya. Sebenarnya kau sudah kenal Cakka sejak kapan? Tampaknya kau akrab sekali dengan Cakka. Bahkan sebelum pertemuan kita waktu itu.” kata Ayah.
“Ah, ketahuan!” kata Verrell sambil tertawa. Entah apa maksudnya. “Iya, Om. Sebenarnya sebelum pertemuan kita waktu itu, saya sudah sempat mengenal Cakka. Beberapa kali juga kita bertemu. Waktu itu, kita sempat bermain basket bersama.”
“Basket?” kata Ayah. Lagi-lagi kata itu terdengar di telinganya. Uh!

J L J

Malam ini jam makan malam terasa begitu aneh bagi Elang, Biru, Cakka, bahkan Bunda. Bukan apa-apa, namun sejak jam makan malam dimulai, Ayah terlihat sangat aneh. Dia hanya berbicara seperlunya, tidak secerewet kemarin. Padahal, dia selalu menanyakan semua kegiatan mereka. Terutama anak-anaknya. Tapi, kali ini tidak. Yang lebih aneh lagi, ketika jam makan selesai, ia tidak memperbolehkan Cakka untuk masuk ke dalam kamar. Bunda, Elang dan Biru yang dihimbau untuk pergi dari ruang makan jelas terlihat heran. Namun, Ayah memaksa.
Kini hanya tinggal Ayah dan Cakka yang berada di ruang makan. Posisi mereka sekarang adalah depan belakang. Ayah tampak berdiri di hadapan Cakka. Namun, ia justru memunggungi anaknya tersebut. Suasananya seketika hening sejak mereka ditinggal berdua. Hingga Ayah menghela nafasnya dan menaruh kedua tangannya di pinggangnya.
“Jawab pertanyaan Ayah dengan jujur, Chase Karayne.” kata Ayah akhirnya memecah keheningan di antara mereka. “Apa benar, kau ikut dalam ekskul basket dan akan ikut bertanding melawan sekolah lain beberapa bulan ke depan?”
Cakka diam mendengar pertanyaan Ayah. Wajahnya menunjukkan rasa kaget sesaat, kemudian berusaha netral kembali. Namun, badannya tetap saja bergetar. Kedua tangannya mengepal keras. Iapun menundukkan kepalanya. Tidak ingin menatap punggung Ayah yang ada di hadapannya.
“Jadi ini yang kau maksud dengan kesibukan yang pasti membanggakan orang tuamu? Bermain basket, hah?” tanya Ayah. Terdengar nada kecewa dalam suaranya. “Padahal, selama ini kaulah yang terlihat paling penurut dari kedua kakakmu. Ternyata, Ayah salah.”
Cakka tetap diam.
“Dan teman-temanmu tadi pagi, apakah mereka teman-teman anggota basket?” tanya Ayah lagi. Kepalanya menoleh ke samping, menatap anaknya dari sudut matanya.
Cakka mengangguk pelan.
Ayah mendengus. “Hah, sia-sia Ayah percaya kepadamu.”
Cakka mengangkat kepalanya, kembali menatap Ayah. Sia-sia Ayah percaya kepadamu. Entah kenapa, kalimat pendek tersebut dengan segera membuat hatinya bergejolak. Lima kata yang dilontarkan Ayah seketika menghempaskan salah satu organ penting yang hidup di dalam dirinya.
“Jawab Ayah, Cakka. Mengapa kau justru menjadi kapten basket di sekolahmu?” tanya Ayah sambil membalikkan badannya. “Kenapa kau melanggar peraturan Ayah? Padahal, selama ini kau selalu tersenyum menanggapinya, seakan-akan kau setuju.”
Cakka diam. Berkali-kali ia menelan ludah, tidak tahu harus berbicara apa.
“Jawab, Kka!” kata Ayah dengan nada lebih keras.
"Aku melakukannya bukan karena aku suka, tapi karena aku butuh." jawab Cakka pendek akhirnya. Ia menundukkan kepalanya. “Aku... butuh basket dalam hidupku.”
Ayah bungkam mendengarkan jawaban Cakka. Matanya melotot kepada anak bungsunya tersebut. Darahnya benar-benar mendidih. Emosinya yang sudah tak terkontrol itu membuatnya memukul meja. BRAK!!
"Lalu, kau tak merasa butuh untuk berbakti kepada orang tuamu?!” tanya Ayah dengan keras.
Cakka bungkam, tidak ingin memperpanjang masalah.
“Bagus! Bagus sekali, Cakka! Kau benar-benar anak yang sangat hebat!” kata Ayah. “Mungkin kau tak butuh Ayah lagi dalam hidupmu!”
Tangan Cakka pelan-pelan mengepal keras untuk menahan rasa takut, bibirnya menggigit pelan pasrah. Suasana hening terus menguasainya sampai tiba-tiba Ayah menghela nafas keras.
"Ayah tidak perduli lagi. Mulai besok Ayah akan menyuruh Bunda untuk menjauhkan kau dari basket! Kau juga tak boleh bergaul dengan teman-teman basketmu itu! Awas kalau kau tetap melawan!" kata Ayah nyaring. Kemudian, meninggalkan Cakka di ruang makan begitu saja.
Cakka menghela nafasnya di tempat dia berdiri sejak tadi. Kemudian, menghampiri jendela terdekat yang bisa dia hampiri. Ia memegang besi jendela dengan kedua tangannya dan menatap keluar dengan tatapan kosong. Amarah Ayah barusan benar-benar membuatnya agak takut.
Sementara itu, dari balik tembok yang tak jauh dari ruang makan, Elang dan Biru tengah mengintip adik mereka sejak awal. Semua pembicaraan Cakka dan Ayah barusan terdengar jelas di telinga mereka masing-masing, sampai akhirnya Cakka hanya bisa diam di depan jendela. Raut wajah mereka menunjukkan wajah iba. Terutama Biru. Dia melakukan kesalahan yang sama seperti Cakka. Kalau boleh memilih, lebih baik dia saja yang dimarahi. Adiknya itu sama sekali tak bermaksud apa-apa untuk membuat Ayah marah. Tapi, sebuah pertanyaan penting sama-sama terbesit di benak mereka, darimana Ayah tahu kalau Cakka ikut ekskul basket?!

TO BE CONTINUED...
Penasaran? Baca sampai tamat ya!


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Makasih ya udah baca cerpenku. Silahkan tinggalkan komentar kamu ya.
Semua kritik dan saran aku terima. Pujian juga boleh :p