Keesokkan
harinya, Cakka dikejutkan dengan kedatangan keempat temannya. Ray, Gabriel, Rio
dan juga Alvin berdiri berdampingan di depan rumahnya sambil memanggil-manggil
namanya. Bukan hanya dia saja yang kaget, Biru, Elang dan kedua orang tuanyapun
juga. Pasalnya, mereka tidak mengatakan apa-apa tentang berangkat ke sekolah
bersama.
“Kami
boleh berangkat bersama denganmu, bukan?” tanya Rio.
“Tadi kami
berempat tak sengaja bertemu di perjalanan, sehingga kami pikir tak baik jika
kita tak mengajakmu juga. Ini semua ide Alvin! Jarang-jarang bukan kita bisa
berangkat bersama seperti ini!” kata Gabriel ikut menambahkan.
“Tapi,
kalau Ayah dan Bundamu tidak mengizinkan juga tidak apa-apa! Kami tidak akan
memaksa. Kita masih bisa bertemu denganmu di sekolah!” kata Alvin.
Cakka
tersenyum senang melihat semua temannya di sana. Kemudian, dia menoleh ke arah
Bunda dan Ayah untuk meminta persetujuan. Senyumannya makin lebar ketika Bunda
dan Ayah menganggukkan kepalanya.
“Berangkat
bersama teman selalu menyenangkan. Lagipula, berjalan kaki akan membuat tubuhmu
sehat. Tentu saja kau boleh berangkat bersama mereka.” kata Ayah sambil
tersenyum.
“Ya,
benar. Berangkatlah bersama mereka, Kka!” kata Bunda juga setuju.
“Kalau
begitu, aku berangkat dulu, Bunda, Ayah.” kata Cakka sambil menyalami dan
mencium tangan Bunda dan Ayah. “Kak Biru, maaf aku meninggalkanmu sendiri.”
Biru
tertawa. “Berangkatlah bersama mereka, aku tidak apa-apa. Alvin! Jaga adikku
sampai sekolah! Jangan sampai terluka sedikitpun!”
“Siap,
Bi!” kata Alvin sambil tertawa. “Ayo, Cakka!”
Cakka
mengangguk-angguk cepat. Kemudian, mereka berlima melambaikan tangan kepada
Bunda dan Ayah untuk pamit. Setelah itu, akhirnya mereka berlima pergi
meninggalkan rumah Cakka.
J L J
“Kau belum
berangkat, Nak?” tanya Aryo ketika melihat anaknya masih bertengger di depan
rumah.
“Papa.”
kata Verrell sambil tersenyum menatap Aryo. “Aku sudah akan berangkat tadi,
tapi aku masuk lagi karena ada barang yang tertinggal. Oh ya, aku juga ingin
bertanya kepada Papa.”
“Tentang
apa, Nak?” tanya Aryo sambil tersenyum.
“Hmm...
tentang Cakka, Pa.” kata Verrell. “Aku ingin mengajaknya bermain basket sore
ini. Tapi, aku tak tahu bagaimana harus menghubunginya. Apa Papa memiliki nomor
teman Papa yang bisa dihubungi? Mungkin aku bisa menyampaikannya lewat sana.”
“Oh,
begitu? Lebih baik tidak perlu. Kau datang saja ke rumahnya nanti sore.
Rumahnya tak jauh dari rumah kita. Sebentar ya!” kata Aryo. Ia masuk ke dalam
rumah untuk beberapa saat. Setelah itu, dia keluar dengan membawa kertas kecil.
“Ini alamat rumahnya, kau datang saja! Cakka pasti senang kau mengunjunginya.”
Verrell
menerima kertas itu sambil tersenyum. “Terima kasih, Pa!”
“Ya,
sama-sama. Kalau begitu, kau lebih baik berangkat dulu. Sudah terlambat,
Verrell!” kata Aryo. Namun, sedetik kemudian dia teringat sesuatu. “Eh, tunggu.
Hari ini kau ada latihan basket, bukan?”
Verrell
mengangguk. “Ya, Pa. Setelah pulang sekolah, aku juga akan langsung ke rumah
Cakka. Aku akan pulang terlambat.”
J L J
Kegiatan
sekolah hari ini benar-benar melelahkan untuk Cakka. Jam pelajaran hari Sabtu
ini benar-benar menguras otak. Dari pelajaran Sains yang mengerjakan banyak
latihan soal, kemudian ada Inggris yang bekerja kelompok untuk membuat drama
dan masih banyak lagi yang lainnya sampai mereka berakhir di pelajaran
terakhir. Pelajaran olahraga.
“Aku
benar-benar lelah!” keluh Ray setelah mereka menyelesaikan pemanasan mereka.
Rambutnya sudah mulai basah dengan keringat.
Cakka yang
sedang menyegarkan badan dengan air minumnya hanya menatap Ray diam. Ia segera
menelan air yang masih ada di dalam mulutnya dan menepuk pundak temannya
tersebut. Kemudian, tanpa banyak bicara dia langsung menyodorkan sebuah botol
minum yang masih penuh. Tentu saja botol itu adalah botol minum milik Ray.
“Terima
kasih, Kka. Aku benar-benar butuh ini.” kata Ray sambil tersenyum.
Cakka
hanya tersenyum balik menanggapinya.
“Ah!
Akhirnya aku segar kembali. Aku selalu lelah setelah Pak Jo menyuruh kita
berlari dua kali keliling lapangan. Padahal kita sudah menguras otak dari jam pertama tadi. Benar-benar menyiksa.”
kata Ray sambil menutup botol minumnya setelah menghabiskan seperempat air dari
botol minumnya. Ia menoleh ke arah Cakka. Sambil mengatur nafasnya, ia
bertanya. “Kau tidak lelah?”
“Sejak
kecil aku sering lari pagi dan belajar setiap malam.”
Ray
manggut-manggut mengerti. “Beruntungnya kau. Aku ingin seperti itu. Tahan
dengan segala kelelahan. Tapi, setiap kali aku mengeluh, Pak Jo selalu
mengatakan kalau merasa lelah itu justru lebih bagus.”
Cakka
tertawa mendengarnya. “Kau hanya belum terbiasa.”
“Kau pasti
menyukai basket sejak kau benar-benar masih kecil ya?”
Cakka
mengangguk.
“Pantas
saja, harusnya aku sudah menebak. Lari pagi sebelum bermain basket dan belajar
setiap malam memang salah satu kegiatan rutin pebasket cerdas sepertimu.
Benar?” tanya Ray sambil tertawa. “Aku ingin sekali menjadi pebasket yang
handal. Setidaknya sepertimu.”
“Sehebat
itukah aku?” tanya Cakka sambil menoleh ke arah Ray.
“Tentu
saja!”
Keduanya
tertawa bersama.
J L J
“Sepertinya
ini tempatnya.” kata Verrell sambil mencocokkan tulisan yang ada di kertas
kecil yang dipegangnya dengan rumah yang ada di hadapannya sekarang. Tangannya
segera memasukkan kertas itu ke dalam saku celananya dan tersenyum. Tanpa
banyak bicara lagi dia langsung mengetuk pintu.
TOK...
TOK... TOK..!!
Selama
menunggu, Verrell bertengger di depan pintu tanpa melakukan apa-apa. Setelah
menunggu beberapa saat, seseorang tampak keluar membuka pintu. Ia terkejut
melihat siapa yang membuka pintu, benar-benar sesuai sekali dengan rencananya.
“Om?”
“Verrell?”
tanya Ayah sambil mengerutkan dahinya. “Kau anak dari Aryo, bukan? Kenapa kau
bisa datang, tahu dari mana alamat rumah Om?”
“Oh, tadi
saya tanya kepada Papa,” kata Verrell sambil menggaruk tengkuknya yang tidak
gatal sambil tersenyum ramah. Ia lirik jam tangannya sejenak. “Om, ini masih
setengah enam. Om sudah pulang kerja?”
Ayah
mengangguk. “Ya, kebetulan sedang tidak sibuk.”
“Oh begitu.”
kata Verrell manggut-manggut mengerti. “Eh, Cakka ada, Om? Saya datang ke sini
untuk mencarinya.”
“Cakka
sedang tidur di kamarnya. Memangnya ada apa?”
“Saya
ingin mengajaknya bermain basket.”
Ayah diam.
Wajahnya mulai terlihat tidak senang. Nafasnya tiba-tiba tidak beraturan karena
ingin emosi, namun ia berusaha menahannya. Darahnya mulai mendidih kembali.
Semenjak pertemuannya dengan Aryo waktu itu, hari-harinya benar-benar dipenuhi
dengan basket. Benar-benar mengesalkan.
“Om?”
Verrell tiba-tiba membuyarkan lamunannya.
“Hah?”
kata Ayah kaget. “Maaf, Verrell, belakangan ini Om sedang badmood. Jadi sering tidak jelas.”
Verrell
tertawa. “Tidak apa-apa, Om. Saya mengerti. Ya sudah, kalau begitu, saya pamit
dulu ya, Om. Saya tidak mau mengganggu tidur Cakka. Dia pasti lelah.”
Ia
membalikkan badannya, pura-pura ingin pergi dari sana. Ia diam-diam tersenyum
sinis ketika mendengar Ayah menahannya agar tidak pergi terlebih dahulu.
Sungguh, hari ini memang adalah hari baiknya. Benar-benar tidak sia-sia waktu
itu dia memiliki orang tua seperti Aryo.
“Ada apa,
Om?” tanya Verrell sambil menghadap Ayah kembali.
“Om ingin
tanya. Sebenarnya kau sudah kenal Cakka sejak kapan? Tampaknya kau akrab sekali
dengan Cakka. Bahkan sebelum pertemuan kita waktu itu.” kata Ayah.
“Ah,
ketahuan!” kata Verrell sambil tertawa. Entah apa maksudnya. “Iya, Om.
Sebenarnya sebelum pertemuan kita waktu itu, saya sudah sempat mengenal Cakka.
Beberapa kali juga kita bertemu. Waktu itu, kita sempat bermain basket
bersama.”
“Basket?”
kata Ayah. Lagi-lagi kata itu terdengar di telinganya. Uh!
J L J
Malam ini
jam makan malam terasa begitu aneh bagi Elang, Biru, Cakka, bahkan Bunda. Bukan
apa-apa, namun sejak jam makan malam dimulai, Ayah terlihat sangat aneh. Dia
hanya berbicara seperlunya, tidak secerewet kemarin. Padahal, dia selalu
menanyakan semua kegiatan mereka. Terutama anak-anaknya. Tapi, kali ini tidak.
Yang lebih aneh lagi, ketika jam makan selesai, ia tidak memperbolehkan Cakka
untuk masuk ke dalam kamar. Bunda, Elang dan Biru yang dihimbau untuk pergi
dari ruang makan jelas terlihat heran. Namun, Ayah memaksa.
Kini hanya
tinggal Ayah dan Cakka yang berada di ruang makan. Posisi mereka sekarang
adalah depan belakang. Ayah tampak berdiri di hadapan Cakka. Namun, ia justru
memunggungi anaknya tersebut. Suasananya seketika hening sejak mereka ditinggal
berdua. Hingga Ayah menghela nafasnya dan menaruh kedua tangannya di
pinggangnya.
“Jawab
pertanyaan Ayah dengan jujur, Chase Karayne.” kata Ayah akhirnya memecah
keheningan di antara mereka. “Apa benar, kau ikut dalam ekskul basket dan akan
ikut bertanding melawan sekolah lain beberapa bulan ke depan?”
Cakka diam
mendengar pertanyaan Ayah. Wajahnya menunjukkan rasa kaget sesaat, kemudian
berusaha netral kembali. Namun, badannya tetap saja bergetar. Kedua tangannya
mengepal keras. Iapun menundukkan kepalanya. Tidak ingin menatap punggung Ayah
yang ada di hadapannya.
“Jadi ini
yang kau maksud dengan kesibukan yang pasti membanggakan orang tuamu? Bermain
basket, hah?” tanya Ayah. Terdengar nada kecewa dalam suaranya. “Padahal,
selama ini kaulah yang terlihat paling penurut dari kedua kakakmu. Ternyata,
Ayah salah.”
Cakka
tetap diam.
“Dan
teman-temanmu tadi pagi, apakah mereka teman-teman anggota basket?” tanya Ayah
lagi. Kepalanya menoleh ke samping, menatap anaknya dari sudut matanya.
Cakka
mengangguk pelan.
Ayah
mendengus. “Hah, sia-sia Ayah percaya kepadamu.”
Cakka
mengangkat kepalanya, kembali menatap Ayah. Sia-sia Ayah percaya kepadamu.
Entah kenapa, kalimat pendek tersebut dengan segera membuat hatinya bergejolak.
Lima kata yang dilontarkan Ayah seketika menghempaskan salah satu organ penting
yang hidup di dalam dirinya.
“Jawab
Ayah, Cakka. Mengapa kau justru menjadi kapten basket di sekolahmu?” tanya Ayah
sambil membalikkan badannya. “Kenapa kau melanggar peraturan Ayah? Padahal,
selama ini kau selalu tersenyum menanggapinya, seakan-akan kau setuju.”
Cakka
diam. Berkali-kali ia menelan ludah, tidak tahu harus berbicara apa.
“Jawab,
Kka!” kata Ayah dengan nada lebih keras.
"Aku
melakukannya bukan karena aku suka, tapi karena aku butuh." jawab Cakka
pendek akhirnya. Ia menundukkan kepalanya. “Aku... butuh basket dalam hidupku.”
Ayah
bungkam mendengarkan jawaban Cakka. Matanya melotot kepada anak bungsunya
tersebut. Darahnya benar-benar mendidih. Emosinya yang sudah tak terkontrol itu
membuatnya memukul meja. BRAK!!
"Lalu,
kau tak merasa butuh untuk berbakti kepada orang tuamu?!” tanya Ayah dengan
keras.
Cakka
bungkam, tidak ingin memperpanjang masalah.
“Bagus!
Bagus sekali, Cakka! Kau benar-benar anak yang sangat hebat!” kata Ayah.
“Mungkin kau tak butuh Ayah lagi dalam hidupmu!”
Tangan
Cakka pelan-pelan mengepal keras untuk menahan rasa takut, bibirnya menggigit
pelan pasrah. Suasana hening terus menguasainya sampai tiba-tiba Ayah menghela
nafas keras.
"Ayah tidak perduli lagi. Mulai besok Ayah akan menyuruh Bunda untuk
menjauhkan kau dari basket! Kau juga tak boleh bergaul dengan teman-teman
basketmu itu! Awas kalau kau tetap melawan!" kata Ayah nyaring. Kemudian,
meninggalkan Cakka di ruang makan begitu saja.
Cakka
menghela nafasnya di tempat dia berdiri sejak tadi. Kemudian, menghampiri
jendela terdekat yang bisa dia hampiri. Ia memegang besi jendela dengan kedua
tangannya dan menatap keluar dengan tatapan kosong. Amarah Ayah barusan
benar-benar membuatnya agak takut.
Sementara
itu, dari balik tembok yang tak jauh dari ruang makan, Elang dan Biru tengah
mengintip adik mereka sejak awal. Semua pembicaraan Cakka dan Ayah barusan
terdengar jelas di telinga mereka masing-masing, sampai akhirnya Cakka hanya
bisa diam di depan jendela. Raut wajah mereka menunjukkan wajah iba. Terutama
Biru. Dia melakukan kesalahan yang sama seperti Cakka. Kalau boleh memilih,
lebih baik dia saja yang dimarahi. Adiknya itu sama sekali tak bermaksud
apa-apa untuk membuat Ayah marah. Tapi, sebuah pertanyaan penting sama-sama
terbesit di benak mereka, darimana Ayah tahu kalau Cakka ikut ekskul basket?!
TO BE CONTINUED...
Penasaran? Baca sampai tamat ya!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Makasih ya udah baca cerpenku. Silahkan tinggalkan komentar kamu ya.
Semua kritik dan saran aku terima. Pujian juga boleh :p