Sabtu, 30 Agustus 2014

Cerpen | Harapanku Untuk Angka 16 #CAKKASIXTEEN


"Tuhan...
aku berjalan menyusuri malam
Setelah patah hatiku
Aku berdoa semoga saja
Ini terbaik untuknya..."
Cakka diam saja ketika Bunda mengelus-elus punggungnya. Suasana di kamarnya jadi tambah menyedihkan ketika Bunda tersenyum kepadanya. Lagi-lagi hatinya harus hancur karena hal yang sama. Tidak ada kehangatan, tidak ada kebersamaan, tidak ada kebahagiaan. Permulaan umur lima belasnya juga harus dilewati seperti ini. Dengan hati yang sama sekali tidak ceria. Kedua sayapnya yang sudah rusak masih belum bisa diperbaiki.

"Cakka, tahun depan kita adakan pesta ya." kata Bunda lembut sambil memegang kepala putra tunggalnya.
Mulut Cakka tetap tertutup rapat. Dia sudah terlalu sering mendengar kata-kata itu dari orang tuanya. Tapi, setiap ulang tahunnya tiba, harapannya selalu jatuh. Mereka tak pernah mengabulkan harapannya. Bermacam-macam alasannya. Karena Ayah sibuk, ekonomi menipis, dan lain-lain. Tapi, sebagai anak tunggal yang selalu mereka sayangi, Cakka selalu percaya kepada mereka. Sebagai balasan kepada mereka yang telah membesarkannya.
"Iya, Bunda." hanya itu yang bisa ia katakan. Walaupun dia tak tahu sebenarnya tahun depan mana yang dimaksudkannya. Walaupun dia tak tahu, harus sampai kapan sayap hatinya itu harus rusak menyakiti jiwanya.
Bunda langsung meninggalkan Cakka di kamar sendirian setelah merasa putra tunggalnya baik-baik saja. Sementara Cakka hanya diam menatap punggung Bunda yang perlahan-lahan menjauh dan hilang dari pandangannya. Ia segera menutup pintu kamar dan menatap diri di cermin.  Ia menghela nafasnya sejenak, kemudian menundukkan kepalanya ke bawah. Hingga air matanya mengalir tanpa izin.
"Sampai kapan?"

"Mudah saja bagimu 

Mudah saja untukmu 

Coba saja 

Lukamu seperti lukaku..."

J L J

Cakka adalah laki-laki keren yang pintar bermain basket. Itulah julukan teman-temannya di sekolah, jika Cakka tak salah ingat. Menjadi kapten andalan di sekolahnya benar-benar membuatnya memiliki banyak teman. Hampir setiap hari namanya dielu-elukan, bahkan oleh teman-teman basketnya sendiri. Tapi, itu semua hanya masa lalu. Mungkin sudah dua tahun lamanya ia tak menyentuh bola berwarna oranye itu.
Semenjak keluar dari tim basket sekolah, kegiatan Cakka hanyalah belajar di kamar. Dengan pensil, buku paket dan rumus-rumus. Selain itu, dia hanya melamun, melihat ke arah keluar jendela dalam diam. Tak pernah ada lagi teman-temannya yang mengajaknya bermain, tak pernah ada lagi yang tersenyum melihat ke arahnya, tak pernah ada juga yang memanggil-manggil namanya. Takdirnya yang menyenangkan berubah drastis semenjak...
"Kau baik-baik saja?" Tiba-tiba suara seseorang bersuara dari belakang punggungnya.
Cakka menoleh. Ia tersenyum tipis melihat Gabriel telah berdiri di sana. Satu-satunya orang yang paling sering mengunjunginya setelah hidupnya berubah. Teman satu tim basketnya itu selalu menemaninya di kala dia sedang sendiri. "Kau datang lagi, Gab..."
Gabriel mengangguk. "Tadinya aku sudah mengajak anak-anak, tapi mereka semua ada urusan masing-masing. Mungkin akan menyusul ke sini nanti."
Cakka kembali menatap keluar jendela. Ia menghela nafasnya. "Mungkin mereka memang tidak ingin terlalu sering melihatku. Sama seperti yang lainnya."
Gabriel hanya diam mendengarnya. Suara Cakka masih begitu lirih. Padahal penyebab perubahan hidupnya itu sudah berlalu hingga tahunan. Sahabatnya yang satu itu masih saja terlihat seperti terkena luka batin. Tubuhnya masih saja betah berada di depan jendela kamarnya.
"Btw, selamat ulang tahun, bro." kata Gabriel lagi. "Kuharap harapanmu selama ini terkabul."
"Tidak. Tidak tahun ini, Gab. Ayah sedang sibuk bekerja. Mereka tak punya waktu untuk mengadakan pesta." kata Cakka sambil menggeleng. Ia menghela nafas. "Lagipula, mereka tidak tahu harus mengundang siapa untuk ke pestaku. Selain keluarga dan kalian berempat."
"Ayah benar. Selama ini satu per satu teman-temanku pergi karena keadaanku. Mungkin hanya tersisa kalian yang masih perduli padaku. Membuat pesta besarpun tak akan ada gunanya." kata Cakka sambil menunduk. "Mungkin... aku memang tak ditakdirkan untuk merayakan ulang tahunku, walau hanya sekali."
Gabriel menggeleng. "Semua orang berhak merayakan ulang tahunnya, Kka. Kau hanya belum mendapatkan waktu yang tepat untuk melakukannya. Ayahmu begitu sibuk menjadi pengusaha, keluargamu juga terpencar dimana-mana. Ini bukan soal takdir. Ini soal perjuangan dan situasi."
Cakka diam. Justru masalahnya itu. Situasi tak pernah memihak kepadanya. Setiap kali ulang tahunnya tiba, pasti ada saja halangan yang menghambat keinginannya. Dan tanggal delapan belasnya selalu berakhir dengan omelan Ayah dan suara lembut Bunda yang menenangkannya.
"Bagaimana kabar Alvin?" tanya Cakka tiba-tiba.
"Baik-baik saja. Setelah kau menyelamatkannya, dia bisa bermain basket dengan lancar. Dia menggantikanmu sebagai kapten di sekolah." kata Gabriel. "Tapi, aku hanya berharap dia bisa mengatur waktunya agar bisa sering mengunjungimu. Bagaimanapun juga dia berhutang nyawa padamu."
Cakka tersenyum mendengarnya. "Aku menolongnya dengan ikhlas. Ia masih mengunjungiku saja aku sudah senang. Kau bukannya tak tahu siapa Alvin, Gab."
"Kau yakin Alvin jarang ke sini karena malu?"
"Bukankah dia pernah bilang kalau dia tak ingin memiliki teman cacat?" tanya Cakka sambil tersenyum samar. "Bahkan setelah berkata begitu, dia masih mengunjungiku. Itu saja aku sudah membuatku terharu."
Suasana hening sejenak. Gabriel menatap keluar jendela dalam diam. Sementara Cakka tetap tersenyum, mengingat dia bisa berguna untuk Alvin, teman tim basketnya yang lain, dari bahaya waktu itu. Sebelum hidupnya berubah. Setidaknya, Cakka bisa mencegah pebasket berambisi seperti Alvin mengalami hal seperti yang ia alami sekarang. Ia tak bisa membayangkan bagaimana nasib cita-cita sahabatnya itu jika dia harus berhenti bermain basket, dijauhi teman-temannya dan... kehilangan dua kakinya seperti Cakka.

J L J

15 AGUSTUS 2014, Rumah Cakka
Tak terasa hampir setahun berlalu. Beberapa hari lagi ia akan berulang tahun lagi. Cakka masih tetap dengan kondisinya. Gabriel juga tetap sering menjadi sahabat setianya ketika dia membutuhkan teman bicara. Alvin dan teman tim basketnya yang lain juga kadang-kadang menemaninya. Ia juga masih tetap dengan harapan besarnya.
Pagi itu, Cakka hanya duduk di depan cermin. Menatap dirinya yang sudah bertahun-tahun menjalani kehidupan yang berat. Setelah kecelakaan itu terjadi, Cakka benar-benar tak bisa melakukan semua hal sendirian. Dengan tubuhnya yang sudah tidak sempurna itu, mau tak mau dia membutuhkan seseorang setiap kali ingin sesuatu. Bahkan berjalanpun harus dengan bantuan kursi roda.
Ia tersenyum ketika melihat seseorang sudah berdiri di ambang pintu dari cerminnya. Seseorang yang pernah diselamatkannya. Ia tampak memakai baju seragam sekolah dengan berantakan seperti biasanya. Dasi yang tergantung di lehernya juga tak diikat. Heran. padahal ini hari sekolah. Tapi, dia bisa datang sepagi ini. "Masuklah, Vin."
"Tadi Bunda mengatakan kau sedang beristirahat di kamar. Apa aku mengganggumu?" tanya Alvin sambil berjalan mendekati kursi roda Cakka. Ia berdiri di belakang Cakka dan menatap sahabatnya itu di cermin.
"Tentu saja tidak." kata Cakka sambil tersenyum. "Tapi, kurasa kau membolos lagi, ya?"
Alvin nyengir sejenak mendengar ucapan Cakka. Kemudian, ia segera duduk di tempat tidur Cakka. Ia menghela nafasnya sebelum menjawab. "Aku hanya kepikiran kau. Dan kurasa aku sudah tak tahan lagi untuk menunggu sampai nanti siang. Aku teirngat dengan kecelakaan itu, dan kedua kakimu."
"Ah, kau terlalu mengkhawatirkanku." kata Cakka sambil tertawa kecil. "Kau tahu aku melakukannya karena kita sahabat. Dan aku tidak keberatan jika aku menjadi seperti ini. Aku sudah terbiasa."
"Tidak, ini bukan soal mengapa kau melakukannya. Ini soal mengapa tingkah lakuku berubah semenjak hidupmu seperti ini." kata Alvin. "Kau pasti mengira aku memiliki alasan yang sama dengan yang lain. Jijik karena kau cacat."
Cakka tertawa. "Kalaupun iya, tidak apa-apa kok. Aku mengerti perasaanmu. Aku tahu siapa kau, aku tahu kau paling tidak tahan melihat anak jalanan dan lain-lain. Lagipula, bukankah ini semua membantu cita-citamu? Kau bisa menjadi kapten basket sekolah sekarang. Selangkah lebih maju untuk menjadi pebasket hebat."
Alvin menggeleng. "Kau salah. Aku tidak pernah menginginkan semua ini. Tidak dengan mencelakakan salah satu sahabatku. Kita sudah berjuang bertahun-tahun dalam satu tim. Gabriel benar, aku harusnya lebih sering mengunjungimu. Setelah ini aku harus meminta maaf juga kepadanya karena mengabaikan paksaannya selama ini."
Cakka tersenyum. Ternyata, Gabriel penyebabnya. Pantas saja Alvin bisa tiba-tiba datang. Padahal, kecelakaan itu sudah berlalu lama. Sudah hampir tiga tahun. Waktu itu, tepat dua hari sebelum ulang tahunnya yang ke dua belas, ia tak sengaja melihat Alvin sedang diserang oleh tim basket lawan karena mereka kalah dari tim basket sekolah Alvin dan Cakka. Tim basket dari sekolah lain. Cakka jelas saja tidak tinggal diam. Ia langsung menghampiri mereka dan berusaha melerai. Cakka bahkan sampai bertengkar fisik dengan mereka. Tapi, sialnya, Cakka didorong oleh salah satu dari mereka hingga ke jalan raya. Dan saat itu juga, dia tertabrak mobil besar. Kepalanya luka-luka. Kedua kakinya terlindas hingga tulangnya hancur.
Sebenarnya ini bukan sepenuhnya karena kecelakaan itu. Sebelum kecelakaan itu terjadi, Cakka sempat bertanding basket dan menyebabkan cedera di bagian kakinya. Ia sudah tak begitu terkejut ketika mengetahui kedua kakinya sudah musnah ketika dia sadar dari komanya.
"Sudahlah, Vin, aku sama sekali tak menyalahkanmu. Kau juga tahu bahwa aku baru cedera sebelum kecelakaan itu." kata Cakka. "Kembalilah ke sekolah, kau tak boleh bolos."
"Bagaimana dengan kau? Kenapa kau tak ke sekolah?" tanya Alvin sambil beranjak dari tempat tidurnya dan berdiri di dekat Cakka.
"Aku sedang butuh istirahat. Besok aku akan masuk, tenang saja." kata Cakka sambil tersenyum. "Dan kau tak perlu khawatir lagi tentang semua yang terjadi. Aku mengerti perasaanmu."
"Terima kasih, Kka." kata Alvin senang. "Aku tidak akan menyia-nyiakan kebaikanmu. Dan lihat saja nanti, kau akan bangga melihatku sebagai kapten tim basket yang hebat untuk sekolah kita. Untukmu juga."
Cakka tertawa lucu, kemudian menggelengkan kepalanya melihat punggung Alvin yang semakin menjauh. Ia bahagia bisa berbicara dengan Alvin hari ini, mengingat masa lalu, pengakuan Alvin dan membicarakan kehidupan yang mereka jalankan sekarang. Dan Cakka yakin, setelah ini hidupnya pasti terasa lebih bahagia.

J L J

17 AGUSTUS 2014, Pukul 20:00 WIB
Malam itu, Cakka sedang makan malam bersama keluarganya. Bunda dan Ayah yang duduk di hadapannya sedang sibuk mengunyah makanan masing-masing. Berbeda dengan Cakka yang makan dengan tidak ada nafsu. Entah kenapa, belakangan ini dia terus kepikiran tentang ulang tahunnya.
"Kamu kenapa?" tanya Bunda heran begitu menyadari putranya tidak makan dengan baik.
Cakka diam saja mendengar pertanyaan Bunda. Ia melirik ke arah Ayah sejenak. Mencari reaksi Ayah. Namun, lirikannya itu ditatap balik dengan cuek oleh Ayah. Ia menatap ke arah Bunda lagi, kemudian bertanya dengan lirih, "Bunda, apakah besok akan ada pesta?"
Bunda diam mendengar ucapan putranya. Seketika ia mengerti apa yang ada di pikiran Cakka. Ia langsung tersenyum. "Makanlah terlebih dahulu. Ulang tahunmu yang kali ini pasti akan membuatmu bahagia. Kau lihat saja besok. Kau bahkan tidak tahu bukan kalau besok Ayah cuti kerja?"
"Benar, Bunda?" tanya Cakka dengan mata berbinar-binar.
Bunda dan Ayah hanya tersenyum melihat rasa antusias anak mereka.

-----------

18 AGUSTUS 2014
Cakka sangat bersemangat menyambut hari pertamanya menjadi seorang laki-laki enam belas tahun. Dia sudah bisa membayangkan sebuah pesta dengan banyak balon, hiasan dan kue tart besar yang akan menghiasi harinya hari ini. Yang paling penting, akan ada canda tawa yang segera menambah kebahagiaannya.
Tapi, tidak. Sayap hatinya lagi-lagi terluka dan akan segera membawanya jatuh demi perlahan-lahan ketika Bunda mengatakan bahwa mereka berdua harus pergi dari pagi. Mereka membantunya mandi dan berpakaian, menaruhnya di atas kursi roda dan segera meninggalkan rumah. Ah, mereka bahkan tak mengatakan apapun untuk memberinya selamat atas ulang tahunnya. Apa mungkin Bunda lupa dengan perkataannya kemarin? Bahwa Cakka pasti akan merasa bahagia?
Cakka menggelengkan kepalanya. Ia tidak boleh berprasangka buruk kepada orang tuanya sendiri. Mungkin mereka sedang mempersiapkan sebuah acara yang sangat meriah untuk hari ini. Atau mereka memiliki rencana sendiri untuk membuatnya bahagia. Ya, ia yakin itu.
Ia mengangkat kepalanya menatap jam dinding. Sekarang baru jam sembilan pagi. Masih banyak waktu untuk menunggu mereka. Dan Cakka harus sabar.
Satu jam, dua jam, tiga jam, enam jam, delapan jam sudah dia diam seperti patung di kamarnya menunggu mereka. Kepalanya tak henti-hentinya menatap jam dinding, kemudian menunduk. Melihat jam lagi, kemudian menunduk lagi. Kini jam lima sore sudah tiba. Tak ada sedikitpun tanda-tanda bahwa ada yang datang ke rumah. Bunda dan Ayah tak kunjung pulang. Bahkan Gabriel, Alvin dan yang lainnya juga tidak datang untuk memberinya selamat. Sekedar meneleponpun tidak.
Ia menghela nafasnya, seolah-olah memberi kekuatan kepada kesabarannya yang sudah mulai hilang. Ia menggerakkan kursi rodanya keluar dari kamar untuk mengambil makanan ringan dari kotak snack yang ada di dapur. Perutnya lapar sekali. Sejak tadi pagi dia tidak makan karena sibuk menunggu semua orang.
Setelah mengambil sebungkus astor dan twister dari kotak snack, ia segera menggerakkan kursi rodanya dari dapur menuju pintu depan. Dengan susah payah ia membuka pintu dan segera menunggu mereka di depan pagar sambil melahap makanan ringan yang telah ia ambil. Biarlah orang-orang sekitar memandangnya aneh karena kondisi tubuhnya. Cakka tidak perduli. Sabar, Cakka. Sabar.
Kata orang, kesabaran itu selalu membuahkan hasil yang baik, asal kita terus memiliki kemauan dan harapan yang besar terhadapnya. Memang benar. Tak lama kemudian, Bunda tampak mendekati rumah dari kejauhan. Ia kaget melihat putra tunggalnya berada di depan rumah.
"Maafkan Bunda, Cakka. Kau menunggu lamakah?" tanya Bunda sambil mengacak-acak rambut Cakka dengan sayang. "Ayo kita pergi. Bunda ingin mengajakmu ke suatu tempat yang indah. Kau pasti senang."
"Kemana, Bunda?"
Bunda hanya tersenyum menanggapinya. Ia segera mendorong kursi roda putranya meninggalkan rumah dan membawanya jalan-jalan. Selama perjalanan, Cakka menikmati pemandangan dengan ceria. Sesekali ia menyuruh Bunda berhenti sejenak untuk menghirup udara segar dan merasakan indahnya alam yang ia tinggali itu. Tempat dimana dia menetap begitu asri, banyak pohon rindang yang tumbuh di jalur perjalanannya.
Hingga akhirnya mereka sampai di sebuah lapangan basket. Namun, bukan lapangan basket yang biasa. Lapangan itu telah dibedah menjadi tempat yang sangat meriah. Banyak balon yang ditancapkan dengan balon dan hiasan. Ada juga spanduk besar berwarna hitam polos yang tergantung di sana. Dan juga ada beberapa meja yang telah disediakan. Cakka sungguh takjub melihat semuanya.
"Tunggulah di sini, sayang." kata Bunda mengelus kepala Cakka sejenak, kemudian langsung berjalan menuju ke balik semak-semak. Meninggalkan Cakka sendirian. Namun, dalam hitungan detik, tiba-tiba spanduk hitam besar polos itu tiba-tiba memutar! Ternyata warna hitam tersebut hanyalah penghalang agar tulisan yang ada di spanduk tersebut tidak terlihat. Tak lama, beberapa lampu sorot menyala untuk menyorot spanduk tersebut. HAPPY 16th BIRTHDAY CAKKA. Itu tulisan yang ada di sana.
"Indah sekali!" kata Cakka tersenyum lebar menatap spanduk tersebut.

Happy Birthday To You...
Happy Birthday To You...
Happy Birthday Happy Birthday
Happy Birthday Cakka...!

Cakka benar-benar kaget ketika melihat Bunda, Ayah, Gabriel, Alvin dan anggota tim basket yang lain juga keluar dari balik semak-semak. Selain itu, keluarganya yang lain juga ada. Mereka membawakannya kado. Dan Gabriel membawakannya sebuah kue tart yang bermotif bola basket dengan angka enam belas di atasnya.
"Ah, kalian membuatku khawatir!" kata Cakka pura-pura ngambek. "Ternyata, ini kesibukan kalian sejak tadi pagi! Menyebalkan!"
Semuanya tertawa mendengar omelan Cakka. Memang, sejak tadi pagi mereka sengaja tidak menghubungi Cakka dan mengabaikannya sejenak agar rencana pesta kejutan mereka untuk Cakka tidak sia-sia. Dan ternyata mereka berhasil! Cakka benar-benar terlihat senang begitu mereka menjalankan rencana mereka.
"Sekarang saatnya untuk meniup lilin! Berdoalah." kata Gabriel sambil mendekatkan kue tart yang ia pegang menuju Cakka.
Cakka mengangguk-angguk cepat. Kemudian, segera menutup mata untuk berdoa. Baru setelah itu, dia langsung meniupnya dengan semangat, membuat semua orang bersorak gembira. Setelah meniup lilin, banyak permainan yang mereka siapkan untuk perayaan ulang tahun Cakka. Benar-benar malam yang menyenangkan. Mungkin malam ini menjadi malam yang tidak akan pernah Cakka lupakan seumur hidupnya.
Cakka benar-benar tak menyangka semua ini akhirnya terjadi. Memang, sejak kehilangan dua kakinya, dia sudah tak berharap banyak untuk masa depannya sebagai pebasket. Itu sudah tak mungkin dengan kondisinya. Dia mungkin juga akan susah mencari teman. Karena itulah, dia hanya berharap dia bisa merayakan ulang tahunnya, dimana ia bisa merasakan kebahagiaan yang dulu pernah ia punya. Sebelum kecelakaan itu terjadi. Walaupun hanya bersama keluarga dan teman-teman tim basketnya. Dan hari ini, di ulang tahunnya yang keenam belas, semuanya telah terkabul.

---

"Terima kasih Tuhan, kau telah mengabulkan doaku. Kini aku tak perlu khawatir lagi dengan hidupku. Kebahagiaan yang pernah aku punya dulu, kini sudah kembali. Ya, walaupun hanya setahun sekali, tapi itu sudah lebih dari cukup. Untuk harapanku di ulang tahun yang ke 16, aku hanya berharap bisa merasakan kebahagiaan ini lagi di tahun depan. Amin."
-Cakka

THE END...
Tuliskan komentar kalian di bawah,
Kalau mau request cerpen silahkan ya :)
Nantikan ceritaku selanjutnya!


1 komentar:

Makasih ya udah baca cerpenku. Silahkan tinggalkan komentar kamu ya.
Semua kritik dan saran aku terima. Pujian juga boleh :p