Senin, 04 Agustus 2014

Mini Cerbung | Surat Biru Untuk Cakka #2


PLAK!!
Ray membesarkan matanya begitu melihat tangan Ayah mendarat dengan kasar di pipi adiknya. Kedua mata Ayah menatap Cakka dengan begitu kejam, seakan tak memberi ampun sedikitpun. Nafasnya memburu karena emosi yang menguasai dirinya. Benar-benar tragis. Padahal, ini semua bukan sepenuhnya salah Cakka. Dia yang mengajaknya pergi.

Ray selalu merasa kasihan melihat adiknya diperlakukan seperti itu oleh kedua orang tua mereka. Namun, setiap kali melihat adegan yang serupa dengan sekarang, raganya seakan-akan menahannya untuk membantu. Selain tidak ingin memperpanjang masalah, ia mempunyai alasan lain mengapa ia diam saja selama ini melihat Cakka dimarahi. Kenyataannya, dia memang hanya bisa melihat dan memberikan Cakka sebuah perhatian, membiarkan dia tahu bahwa masih ada Ray. Masih ada Ray yang akan mendukungnya, apapun yang dia ingin di dunia ini.
"Bukankah Ayah sudah mengatakan kalau kau lebih baik di rumah saja?! Kenapa kau tidak mau menurut?!" tanya Ayah dengan kesal. "Lihatlah Ray, dia selalu menurut dengan apa yang Ayah dan Bunda katakan!"
Cakka hanya diam saja mendengar ucapan keras Ayah. Ia menundukkan kepalanya dan menggigit bibirnya sebal. Lagi-lagi mereka membanding-bandingkannya dengan Ray. Belum setengah jam ia sadar dari pingsannya. Belum ia ucapkan sepatah kata kepada orang tuanya. Belum sempat ia jelaskan kejadian yang sebenarnya. Mereka sudah menumpukkan kesalahan ke atas dua pundaknya. Padahal, lima menit yang lalu mereka memuji-muji Ray yang memenangkan pertandingan.
Ingin rasanya lari. Tapi, dia tidak tahu harus berlari kemana. Tiada tempat persembunyian yang bisa membuatnya tabah menjalani hidup selain pada kedua pundak kakaknya. Ia tidak memiliki banyak teman di luar sana. Selain Ray, hanya ada Gabriel, Deva dan Alvin yang kebetulan satu grup saat dia masih menjadi musisi. Tapi, Cakka juga tidak ingin merepotkan mereka.
"Cakka, Ayah dan Bunda melarangmu menonton Ray untuk kebaikanmu." kata Bunda terdengar protes.
"Halah! Untuk kebaikanku yang mana? Tak usah berpura-pura menasehatiku! Orang tua mana yang melarang anak bungsunya sendiri mendukung keinginan kakaknya?" kata Cakka sambil memalingkan wajahnya. Ia benar-benar benci dengan semua ini.
"Sudahlah! Kau itu tak akan pernah mengerti jika diberitahu!" kata Ayah, lagi-lagi tidak menjawab pertanyaannya. "Pokoknya, mulai malam ini kau tidak boleh tidur sendiri. Kau harus tidur dengan Ray! Ayah dan Bunda akan memasukkan kasur kecil untukmu. Jangan membantah lagi!"
"Ayah, ini hanya kecelakaan kecil! Kenapa kalian selalu melebih-lebihkan setiap kejadian yang menimpaku?" tanya Cakka heran. "Aku tahu kakiku terluka sampai harus mengenakan kruk, tapi aku tidak selemah itu, Yah!"
"Cakka, dengarkan kata-kata Ayahmu." kata Bunda dengan tatapan memohon. Namun, Cakka jelas sama sekali tidak memperdulikan tatapan tersebut. Tidak ada gunanya.
Ayah menghela nafas menyerah. Lelah menghadapi sifat Cakka. Ia langsung menoleh ke arah Ray. "Sudahlah, ayo kita pulang. Ray, setelah Cakka membaik nanti, bawalah dia pulang ke rumah. Ayah dan Bunda pulang terlebih dahulu."
Ray mengangguk cepat. Ia menatap kepergian Ayah dan Bunda dengan tatapan kosong. Merasa kasihan dengan Ayah yang harus berhadapan dengan kegelisahan setiap kali situasi seperti ini terjadi. Hhh, entahlah. Ray hanya berharap semua ini berakhir. Semua perjalanan berat ini. Tapi, dia juga tidak tega dengan Cakka yang pasti akan kecewa dengan semuanya.
"Kenapa kau diam?" tanya Cakka datar, membuyar semua lamunannya.
Ray menoleh ke arah Cakka dengan cepat karena terkejut dengan suara adiknya. Ia nyengir sejenak, kemudian kembali duduk di pinggir tempat tidur untuk menemani Cakka beristirahat. "Tidak apa-apa."

---

Jam sembilan malam. Malam itu, Cakka tak bisa tidur. Entah karena kasurnya berbeda atau memang dia tidak mengantuk. Yang pasti Cakka benar-benar tak bisa tertidur pulas walaupun dia menutup wajahnya dengan bantal. Tapi, ia juga tidak tahu harus berbuat apa untuk membuat dirinya bisa pergi ke alam mimpi. Kakinya masih mengenakan kruk, susah untuknya untuk berjalan keluar sendirian. Sementara tangannya juga terlalu lemah untuk digunakan menulis.
Cakka menoleh ke arah Ray yang tengah tertidur pulas di tempat tidurnya. Kakaknya itu pasti lelah setelah bertanding basket tadi. Ia tidak mungkin membangunkannya hanya karena dia tak bisa tidur.
Sejenak ia pukul pelan kasurnya karena kesal. Berharap semua kekesalannya bisa keluar dari dalam tubuhnya dan bisa merasa tenang. Namun, tidak. Justru rasa sakit yang ia dapat. Tentu saja! Sudah tahu sedang sakit, masih juga dipakai untuk memukul barang. Hah! Benar-benar menyebalkan! Kenapa juga dia harus menjadi seperti ini? Lama-kelamaan dia mirip seperti orang cacat.
Ia menghela nafasnya sejenak, kemudian perlahan-lahan membuka isi laci meja belajar Ray yang ada di dekatnya agar tidak menimbulkan suara gaduh dan menghindari rasa sakit di tangannya. Setahu Cakka, Ray juga senang menggambar. Mungkin saja ada yang bisa menemaninya sampai ia bisa mengantuk.
Cakka mengerutkan dahinya ketika melihat sebuah amplop yang ada di paling bawah tumpukan kertas yang disusun rapi di sana. Amplop tersebut terselip di sana, terkesan seperti disembunyikan. Dengan hati-hati ia ambil amplop biru tersebut.
"Tidak ada nama pengirim?" desahnya pelan. Benar-benar membuatnya penasaran. Kemudian, ia segera mengambil kertas surat yang ada di dalamnya untuk memuaskan rasa penasarannya.
Kata demi kata ia baca dengan saksama. Dari awal perkenalan sampai menuju ke cerita yang ditulisnya dengan rapi. Matanya semakin membesar seiring dia menggerakkan matanya. Hingga akhirnya benteng pertahanannya tumbang ketika dia mengetahui apa inti dari isi tulisan tersebut. Kedua tangannya seketika meremas kertas yang dipegangnya kuat. Benar-benar tidak disangka! Dengan segera Cakka menaruh kembali kertas dan amplop tersebut di atas meja dan pelan-pelan keluar dari kamar.
"Ng... Cakka?" tiba-tiba Ray terbangun karena samar-samar mendengar sesuatu. Ia mengucek-ngucek matanya dan menatap kasur adiknya yang sudah kosong. Ia juga kaget melihat sesuatu yang berantakan di atas meja belajarnya. Ia langsung beranjak dari tempat tidurnya dan segera keluar kamar. Betapa kagetnya ia ketika melihat Cakka sedang berjalan menuju pintu depan sambil membawa tas ranselnya.
"Cakka! Kau ingin kemana?" tanya Ray dengan nada bergetar.
Cakka menghentikan langkahnya mendengar suara Ray. Namun, dia tetap tidak membalikkan badannya. Dengan nada datar ia berkata, "Aku mengerti sekarang. Aku mengerti kenapa aku selalu menjadi yang kedua di keluarga ini."
Ray diam. Badannya bergetar mendengar ucapan Cakka. Seketika rasa takut menyerang dirinya hingga ia berkeringat dingin. Perlahan-lahan ia menghampiri adiknya. "Cakka, aku..."
"Pergi kau!" seru Cakka sambil menahan air matanya yang siap menetes.
"Tapi, Kka..." Ray segera menyentuh pundak adiknya dari belakang, yang langsung ditepisnya dengan kasar.
"PERGI!" seru Cakka keras.
"Aku tidak mungkin meninggalkanmu sendiri!" kata Ray putus asa, membuat Cakka bungkam. Dengan susah payah ia mengatur nafasnya agar tetap teratur.
Cakka membalikkan badannya. Dengan penuh emosi dia langsung menonjok pipi Ray sampai merah. "Kau tak perlu pura-pura baik kepadaku! Aku sudah tahu semuanya!"
Ray tersungkur saat itu juga. Tenaganya habis karena berdebat dengan adiknya. Dengan susah payah ia bangkit, menahan tubuhnya dengan sebelah siku. Matanya menengadah menatap adiknya yang berdiri di hadapannya. Ia benar-benar tak menyangka adiknya tega melakukan semua ini. "Maafkan aku, Cakka..."
"Ray!" Tiba-tiba Ayah dan Bunda yang juga terbangun segera menghampiri anak sulungnya yang tersungkur di belakang Cakka. "Kenapa bisa begini? Apa kau dipukul Cakka? Bibirmu berdarah, Ray!"
Ray menggeleng. "Aku tidak apa-apa, Yah, Bun."
Cakka diam saja menatap keluarganya. Tidak perduli dengan rasa sakit yang didapat Ray karenanya. Tidak perduli juga dengan tatapan tajam Ayah dan Bunda. Ia kembali memunggungi mereka. Dan beberapa detik kemudian, dia langsung pergi dari rumah. Tidak kuat lagi menatap adegan itu. Sudah terlalu sering ia melihat kakaknya itu dibelai Ayah dan Bunda. Sementara dia? Ah, tidak! Untuk apa berharap? Untuk apa dia berharap kalau ternyata dia adalah... anak angkat mereka.

TO BE CONTINUED..
Penasaran? Baca sampai tamat ya!

11 komentar:

  1. Keren Cerbungnya (y)
    Lanjutkan Yaa !!

    BalasHapus
  2. Waduuh bersambung, tunggu ah.

    BalasHapus
  3. Mbak d sini cerpen semua y

    buatan sendiri?
    saya jarang2 liat ada.blogger nulis cerpen se banyak ini hahaha ;D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya bikin sendiri. Ya udah banyak begini kan gara2 nulis dr SD :) skrg uda mau kuliah haha :)

      Hapus
  4. Aku jg sempat buat cerita judulnya mantra ternyata sulit ya buat cerita itu ^^

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya memang :) tertantang sendiri kalo nulis cerita. Tp seru! :)

      Hapus
  5. Keren, Fancha.
    Kalau udah passion pasti enak deh ngembanginnya.. Keep it up!! :)

    BalasHapus

Makasih ya udah baca cerpenku. Silahkan tinggalkan komentar kamu ya.
Semua kritik dan saran aku terima. Pujian juga boleh :p