Ray
membesarkan matanya begitu melihat tangan Ayah mendarat dengan kasar di pipi
adiknya. Kedua mata Ayah menatap Cakka dengan begitu kejam, seakan tak memberi
ampun sedikitpun. Nafasnya memburu karena emosi yang menguasai dirinya.
Benar-benar tragis. Padahal, ini semua bukan sepenuhnya salah Cakka. Dia yang
mengajaknya pergi.
Ray selalu
merasa kasihan melihat adiknya diperlakukan seperti itu oleh kedua orang tua
mereka. Namun, setiap kali melihat adegan yang serupa dengan sekarang, raganya
seakan-akan menahannya untuk membantu. Selain tidak ingin memperpanjang
masalah, ia mempunyai alasan lain mengapa ia diam saja selama ini melihat Cakka
dimarahi. Kenyataannya, dia memang hanya bisa melihat dan memberikan Cakka
sebuah perhatian, membiarkan dia tahu bahwa masih ada Ray. Masih ada Ray yang
akan mendukungnya, apapun yang dia ingin di dunia ini.
"Bukankah
Ayah sudah mengatakan kalau kau lebih baik di rumah saja?! Kenapa kau tidak mau
menurut?!" tanya Ayah dengan kesal. "Lihatlah Ray, dia selalu menurut
dengan apa yang Ayah dan Bunda katakan!"
Cakka
hanya diam saja mendengar ucapan keras Ayah. Ia menundukkan kepalanya dan
menggigit bibirnya sebal. Lagi-lagi mereka membanding-bandingkannya dengan Ray.
Belum setengah jam ia sadar dari pingsannya. Belum ia ucapkan sepatah kata
kepada orang tuanya. Belum sempat ia jelaskan kejadian yang sebenarnya. Mereka
sudah menumpukkan kesalahan ke atas dua pundaknya. Padahal, lima menit yang
lalu mereka memuji-muji Ray yang memenangkan pertandingan.
Ingin
rasanya lari. Tapi, dia tidak tahu harus berlari kemana. Tiada tempat
persembunyian yang bisa membuatnya tabah menjalani hidup selain pada kedua
pundak kakaknya. Ia tidak memiliki banyak teman di luar sana. Selain Ray, hanya
ada Gabriel, Deva dan Alvin yang kebetulan satu grup saat dia masih menjadi
musisi. Tapi, Cakka juga tidak ingin merepotkan mereka.
"Cakka,
Ayah dan Bunda melarangmu menonton Ray untuk kebaikanmu." kata Bunda
terdengar protes.
"Halah!
Untuk kebaikanku yang mana? Tak usah berpura-pura menasehatiku! Orang tua mana
yang melarang anak bungsunya sendiri mendukung keinginan kakaknya?" kata
Cakka sambil memalingkan wajahnya. Ia benar-benar benci dengan semua ini.
"Sudahlah!
Kau itu tak akan pernah mengerti jika diberitahu!" kata Ayah, lagi-lagi
tidak menjawab pertanyaannya. "Pokoknya, mulai malam ini kau tidak boleh
tidur sendiri. Kau harus tidur dengan Ray! Ayah dan Bunda akan memasukkan kasur
kecil untukmu. Jangan membantah lagi!"
"Ayah,
ini hanya kecelakaan kecil! Kenapa kalian selalu melebih-lebihkan setiap
kejadian yang menimpaku?" tanya Cakka heran. "Aku tahu kakiku terluka
sampai harus mengenakan kruk, tapi aku tidak selemah itu, Yah!"
"Cakka,
dengarkan kata-kata Ayahmu." kata Bunda dengan tatapan memohon. Namun,
Cakka jelas sama sekali tidak memperdulikan tatapan tersebut. Tidak ada gunanya.
Ayah
menghela nafas menyerah. Lelah menghadapi sifat Cakka. Ia langsung menoleh ke
arah Ray. "Sudahlah, ayo kita pulang. Ray, setelah Cakka membaik nanti,
bawalah dia pulang ke rumah. Ayah dan Bunda pulang terlebih dahulu."
Ray
mengangguk cepat. Ia menatap kepergian Ayah dan Bunda dengan tatapan kosong.
Merasa kasihan dengan Ayah yang harus berhadapan dengan kegelisahan setiap kali
situasi seperti ini terjadi. Hhh, entahlah. Ray hanya berharap semua ini
berakhir. Semua perjalanan berat ini. Tapi, dia juga tidak tega dengan Cakka
yang pasti akan kecewa dengan semuanya.
"Kenapa
kau diam?" tanya Cakka datar, membuyar semua lamunannya.
Ray
menoleh ke arah Cakka dengan cepat karena terkejut dengan suara adiknya. Ia
nyengir sejenak, kemudian kembali duduk di pinggir tempat tidur untuk menemani
Cakka beristirahat. "Tidak apa-apa."
---
Jam
sembilan malam. Malam itu, Cakka tak bisa tidur. Entah karena kasurnya berbeda
atau memang dia tidak mengantuk. Yang pasti Cakka benar-benar tak bisa tertidur
pulas walaupun dia menutup wajahnya dengan bantal. Tapi, ia juga tidak tahu
harus berbuat apa untuk membuat dirinya bisa pergi ke alam mimpi. Kakinya masih
mengenakan kruk, susah untuknya untuk berjalan keluar sendirian. Sementara tangannya
juga terlalu lemah untuk digunakan menulis.
Cakka
menoleh ke arah Ray yang tengah tertidur pulas di tempat tidurnya. Kakaknya itu
pasti lelah setelah bertanding basket tadi. Ia tidak mungkin membangunkannya hanya
karena dia tak bisa tidur.
Sejenak ia
pukul pelan kasurnya karena kesal. Berharap semua kekesalannya bisa keluar dari
dalam tubuhnya dan bisa merasa tenang. Namun, tidak. Justru rasa sakit yang ia
dapat. Tentu saja! Sudah tahu sedang sakit, masih juga dipakai untuk memukul
barang. Hah! Benar-benar menyebalkan! Kenapa juga dia harus menjadi seperti
ini? Lama-kelamaan dia mirip seperti orang cacat.
Ia
menghela nafasnya sejenak, kemudian perlahan-lahan membuka isi laci meja
belajar Ray yang ada di dekatnya agar tidak menimbulkan suara gaduh dan menghindari
rasa sakit di tangannya. Setahu Cakka, Ray juga senang menggambar. Mungkin saja
ada yang bisa menemaninya sampai ia bisa mengantuk.
Cakka
mengerutkan dahinya ketika melihat sebuah amplop yang ada di paling bawah
tumpukan kertas yang disusun rapi di sana. Amplop tersebut terselip di sana,
terkesan seperti disembunyikan. Dengan hati-hati ia ambil amplop biru tersebut.
"Tidak
ada nama pengirim?" desahnya pelan. Benar-benar membuatnya penasaran.
Kemudian, ia segera mengambil kertas surat yang ada di dalamnya untuk memuaskan
rasa penasarannya.
Kata demi
kata ia baca dengan saksama. Dari awal perkenalan sampai menuju ke cerita yang
ditulisnya dengan rapi. Matanya semakin membesar seiring dia menggerakkan
matanya. Hingga akhirnya benteng pertahanannya tumbang ketika dia mengetahui
apa inti dari isi tulisan tersebut. Kedua tangannya seketika meremas kertas
yang dipegangnya kuat. Benar-benar tidak disangka! Dengan segera Cakka menaruh
kembali kertas dan amplop tersebut di atas meja dan pelan-pelan keluar dari
kamar.
"Ng...
Cakka?" tiba-tiba Ray terbangun karena samar-samar mendengar sesuatu. Ia
mengucek-ngucek matanya dan menatap kasur adiknya yang sudah kosong. Ia juga
kaget melihat sesuatu yang berantakan di atas meja belajarnya. Ia langsung
beranjak dari tempat tidurnya dan segera keluar kamar. Betapa kagetnya ia
ketika melihat Cakka sedang berjalan menuju pintu depan sambil membawa tas
ranselnya.
"Cakka!
Kau ingin kemana?" tanya Ray dengan nada bergetar.
Cakka
menghentikan langkahnya mendengar suara Ray. Namun, dia tetap tidak membalikkan
badannya. Dengan nada datar ia berkata, "Aku mengerti sekarang. Aku
mengerti kenapa aku selalu menjadi yang kedua di keluarga ini."
Ray diam.
Badannya bergetar mendengar ucapan Cakka. Seketika rasa takut menyerang dirinya
hingga ia berkeringat dingin. Perlahan-lahan ia menghampiri adiknya.
"Cakka, aku..."
"Pergi
kau!" seru Cakka sambil menahan air matanya yang siap menetes.
"Tapi,
Kka..." Ray segera menyentuh pundak adiknya dari belakang, yang langsung
ditepisnya dengan kasar.
"PERGI!"
seru Cakka keras.
"Aku
tidak mungkin meninggalkanmu sendiri!" kata Ray putus asa, membuat Cakka
bungkam. Dengan susah payah ia mengatur nafasnya agar tetap teratur.
Cakka
membalikkan badannya. Dengan penuh emosi dia langsung menonjok pipi Ray sampai
merah. "Kau tak perlu pura-pura baik kepadaku! Aku sudah tahu
semuanya!"
Ray
tersungkur saat itu juga. Tenaganya habis karena berdebat dengan adiknya.
Dengan susah payah ia bangkit, menahan tubuhnya dengan sebelah siku. Matanya
menengadah menatap adiknya yang berdiri di hadapannya. Ia benar-benar tak
menyangka adiknya tega melakukan semua ini. "Maafkan aku, Cakka..."
"Ray!"
Tiba-tiba Ayah dan Bunda yang juga terbangun segera menghampiri anak sulungnya
yang tersungkur di belakang Cakka. "Kenapa bisa begini? Apa kau dipukul
Cakka? Bibirmu berdarah, Ray!"
Ray
menggeleng. "Aku tidak apa-apa, Yah, Bun."
Cakka diam
saja menatap keluarganya. Tidak perduli dengan rasa sakit yang didapat Ray
karenanya. Tidak perduli juga dengan tatapan tajam Ayah dan Bunda. Ia kembali
memunggungi mereka. Dan beberapa detik kemudian, dia langsung pergi dari rumah.
Tidak kuat lagi menatap adegan itu. Sudah terlalu sering ia melihat kakaknya
itu dibelai Ayah dan Bunda. Sementara dia? Ah, tidak! Untuk apa berharap? Untuk
apa dia berharap kalau ternyata dia adalah... anak angkat mereka.
TO BE CONTINUED..
Penasaran? Baca sampai tamat ya!
Keren Cerbungnya (y)
BalasHapusLanjutkan Yaa !!
Waduuh bersambung, tunggu ah.
BalasHapusbersambung yahh, huft
BalasHapusMbak d sini cerpen semua y
BalasHapusbuatan sendiri?
saya jarang2 liat ada.blogger nulis cerpen se banyak ini hahaha ;D
Iya bikin sendiri. Ya udah banyak begini kan gara2 nulis dr SD :) skrg uda mau kuliah haha :)
HapusAku jg sempat buat cerita judulnya mantra ternyata sulit ya buat cerita itu ^^
BalasHapusIya memang :) tertantang sendiri kalo nulis cerita. Tp seru! :)
Hapusmenarik gan......
BalasHapusbersambung ya gan
BalasHapusKeren, Fancha.
BalasHapusKalau udah passion pasti enak deh ngembanginnya.. Keep it up!! :)
Hadehh.. bersyambung :3
BalasHapus