"Tuhan...
aku berjalan menyusuri malam
Setelah patah hatiku
Aku berdoa semoga saja
Ini terbaik untuknya..."
Cakka diam
saja ketika Bunda mengelus-elus punggungnya. Suasana di kamarnya jadi tambah
menyedihkan ketika Bunda tersenyum kepadanya. Lagi-lagi hatinya harus hancur
karena hal yang sama. Tidak ada kehangatan, tidak ada kebersamaan, tidak ada
kebahagiaan. Permulaan umur lima belasnya juga harus dilewati seperti ini.
Dengan hati yang sama sekali tidak ceria. Kedua sayapnya yang sudah rusak masih
belum bisa diperbaiki.
"Cakka,
tahun depan kita adakan pesta ya." kata Bunda lembut sambil memegang
kepala putra tunggalnya.
Mulut
Cakka tetap tertutup rapat. Dia sudah terlalu sering mendengar kata-kata itu
dari orang tuanya. Tapi, setiap ulang tahunnya tiba, harapannya selalu jatuh.
Mereka tak pernah mengabulkan harapannya. Bermacam-macam alasannya. Karena Ayah
sibuk, ekonomi menipis, dan lain-lain. Tapi, sebagai anak tunggal yang selalu
mereka sayangi, Cakka selalu percaya kepada mereka. Sebagai balasan kepada
mereka yang telah membesarkannya.
"Iya,
Bunda." hanya itu yang bisa ia katakan. Walaupun dia tak tahu sebenarnya
tahun depan mana yang dimaksudkannya. Walaupun dia tak tahu, harus sampai kapan
sayap hatinya itu harus rusak menyakiti jiwanya.
Bunda langsung
meninggalkan Cakka di kamar sendirian setelah merasa putra tunggalnya baik-baik
saja. Sementara Cakka hanya diam menatap punggung Bunda yang perlahan-lahan
menjauh dan hilang dari pandangannya. Ia segera menutup pintu kamar dan menatap
diri di cermin. Ia menghela
nafasnya sejenak, kemudian menundukkan kepalanya ke bawah. Hingga air matanya
mengalir tanpa izin.
"Sampai
kapan?"
"Mudah saja bagimu
Mudah saja untukmu
Coba saja
Lukamu seperti lukaku..."
J L J
Cakka
adalah laki-laki keren yang pintar bermain basket. Itulah julukan
teman-temannya di sekolah, jika Cakka tak salah ingat. Menjadi kapten andalan
di sekolahnya benar-benar membuatnya memiliki banyak teman. Hampir setiap hari
namanya dielu-elukan, bahkan oleh teman-teman basketnya sendiri. Tapi, itu
semua hanya masa lalu. Mungkin sudah dua tahun lamanya ia tak menyentuh bola
berwarna oranye itu.
Semenjak
keluar dari tim basket sekolah, kegiatan Cakka hanyalah belajar di kamar.
Dengan pensil, buku paket dan rumus-rumus. Selain itu, dia hanya melamun,
melihat ke arah keluar jendela dalam diam. Tak pernah ada lagi teman-temannya
yang mengajaknya bermain, tak pernah ada lagi yang tersenyum melihat ke
arahnya, tak pernah ada juga yang memanggil-manggil namanya. Takdirnya yang
menyenangkan berubah drastis semenjak...
"Kau baik-baik
saja?" Tiba-tiba suara seseorang bersuara dari belakang punggungnya.
Cakka menoleh. Ia tersenyum
tipis melihat Gabriel telah berdiri di sana. Satu-satunya orang yang paling
sering mengunjunginya setelah hidupnya berubah. Teman satu tim basketnya itu
selalu menemaninya di kala dia sedang sendiri. "Kau datang lagi,
Gab..."
Gabriel
mengangguk. "Tadinya aku sudah mengajak anak-anak, tapi mereka semua ada
urusan masing-masing. Mungkin akan menyusul ke sini nanti."
Cakka
kembali menatap keluar jendela. Ia menghela nafasnya. "Mungkin mereka
memang tidak ingin terlalu sering melihatku. Sama seperti yang lainnya."
Gabriel
hanya diam mendengarnya. Suara Cakka masih begitu lirih. Padahal penyebab
perubahan hidupnya itu sudah berlalu hingga tahunan. Sahabatnya yang satu itu
masih saja terlihat seperti terkena luka batin. Tubuhnya masih saja betah
berada di depan jendela kamarnya.
"Btw,
selamat ulang tahun, bro." kata Gabriel lagi. "Kuharap harapanmu
selama ini terkabul."
"Tidak.
Tidak tahun ini, Gab. Ayah sedang sibuk bekerja. Mereka tak punya waktu untuk
mengadakan pesta." kata Cakka sambil menggeleng. Ia menghela nafas.
"Lagipula, mereka tidak tahu harus mengundang siapa untuk ke pestaku.
Selain keluarga dan kalian berempat."
"Ayah
benar. Selama ini satu per satu teman-temanku pergi karena keadaanku. Mungkin
hanya tersisa kalian yang masih perduli padaku. Membuat pesta besarpun tak akan
ada gunanya." kata Cakka sambil menunduk. "Mungkin... aku memang tak
ditakdirkan untuk merayakan ulang tahunku, walau hanya sekali."
Gabriel
menggeleng. "Semua orang berhak merayakan ulang tahunnya, Kka. Kau hanya
belum mendapatkan waktu yang tepat untuk melakukannya. Ayahmu begitu sibuk
menjadi pengusaha, keluargamu juga terpencar dimana-mana. Ini bukan soal
takdir. Ini soal perjuangan dan situasi."
Cakka
diam. Justru masalahnya itu. Situasi tak pernah memihak kepadanya. Setiap kali
ulang tahunnya tiba, pasti ada saja halangan yang menghambat keinginannya. Dan
tanggal delapan belasnya selalu berakhir dengan omelan Ayah dan suara lembut
Bunda yang menenangkannya.
"Bagaimana
kabar Alvin?" tanya Cakka tiba-tiba.
"Baik-baik
saja. Setelah kau menyelamatkannya, dia bisa bermain basket dengan lancar. Dia
menggantikanmu sebagai kapten di sekolah." kata Gabriel. "Tapi, aku
hanya berharap dia bisa mengatur waktunya agar bisa sering mengunjungimu.
Bagaimanapun juga dia berhutang nyawa padamu."
Cakka
tersenyum mendengarnya. "Aku menolongnya dengan ikhlas. Ia masih
mengunjungiku saja aku sudah senang. Kau bukannya tak tahu siapa Alvin, Gab."
"Kau
yakin Alvin jarang ke sini karena malu?"
"Bukankah
dia pernah bilang kalau dia tak ingin memiliki teman cacat?" tanya Cakka
sambil tersenyum samar. "Bahkan setelah berkata begitu, dia masih
mengunjungiku. Itu saja aku sudah membuatku terharu."
Suasana
hening sejenak. Gabriel menatap keluar jendela dalam diam. Sementara Cakka
tetap tersenyum, mengingat dia bisa berguna untuk Alvin, teman tim basketnya
yang lain, dari bahaya waktu itu. Sebelum hidupnya berubah. Setidaknya, Cakka
bisa mencegah pebasket berambisi seperti Alvin mengalami hal seperti yang ia
alami sekarang. Ia tak bisa membayangkan bagaimana nasib cita-cita sahabatnya
itu jika dia harus berhenti bermain basket, dijauhi teman-temannya dan...
kehilangan dua kakinya seperti Cakka.
J L J
15 AGUSTUS 2014, Rumah Cakka
Tak terasa
hampir setahun berlalu. Beberapa hari lagi ia akan berulang tahun lagi. Cakka
masih tetap dengan kondisinya. Gabriel juga tetap sering menjadi sahabat
setianya ketika dia membutuhkan teman bicara. Alvin dan teman tim basketnya
yang lain juga kadang-kadang menemaninya. Ia juga masih tetap dengan harapan
besarnya.
Pagi itu,
Cakka hanya duduk di depan cermin. Menatap dirinya yang sudah bertahun-tahun
menjalani kehidupan yang berat. Setelah kecelakaan itu terjadi, Cakka benar-benar
tak bisa melakukan semua hal sendirian. Dengan tubuhnya yang sudah tidak
sempurna itu, mau tak mau dia membutuhkan seseorang setiap kali ingin sesuatu.
Bahkan berjalanpun harus dengan bantuan kursi roda.
Ia
tersenyum ketika melihat seseorang sudah berdiri di ambang pintu dari
cerminnya. Seseorang yang pernah diselamatkannya. Ia tampak memakai baju
seragam sekolah dengan berantakan seperti biasanya. Dasi yang tergantung di
lehernya juga tak diikat. Heran. padahal ini hari sekolah. Tapi, dia bisa datang
sepagi ini. "Masuklah, Vin."
"Tadi
Bunda mengatakan kau sedang beristirahat di kamar. Apa aku mengganggumu?"
tanya Alvin sambil berjalan mendekati kursi roda Cakka. Ia berdiri di belakang
Cakka dan menatap sahabatnya itu di cermin.
"Tentu
saja tidak." kata Cakka sambil tersenyum. "Tapi, kurasa kau membolos
lagi, ya?"
Alvin
nyengir sejenak mendengar ucapan Cakka. Kemudian, ia segera duduk di tempat
tidur Cakka. Ia menghela nafasnya sebelum menjawab. "Aku hanya kepikiran
kau. Dan kurasa aku sudah tak tahan lagi untuk menunggu sampai nanti siang. Aku
teirngat dengan kecelakaan itu, dan kedua kakimu."
"Ah,
kau terlalu mengkhawatirkanku." kata Cakka sambil tertawa kecil. "Kau
tahu aku melakukannya karena kita sahabat. Dan aku tidak keberatan jika aku
menjadi seperti ini. Aku sudah terbiasa."
"Tidak,
ini bukan soal mengapa kau melakukannya. Ini soal mengapa tingkah lakuku
berubah semenjak hidupmu seperti ini." kata Alvin. "Kau pasti mengira
aku memiliki alasan yang sama dengan yang lain. Jijik karena kau cacat."
Cakka
tertawa. "Kalaupun iya, tidak apa-apa kok. Aku mengerti perasaanmu. Aku
tahu siapa kau, aku tahu kau paling tidak tahan melihat anak jalanan dan
lain-lain. Lagipula, bukankah ini semua membantu cita-citamu? Kau bisa menjadi
kapten basket sekolah sekarang. Selangkah lebih maju untuk menjadi pebasket
hebat."
Alvin
menggeleng. "Kau salah. Aku tidak pernah menginginkan semua ini. Tidak
dengan mencelakakan salah satu sahabatku. Kita sudah berjuang bertahun-tahun
dalam satu tim. Gabriel benar, aku harusnya lebih sering mengunjungimu. Setelah
ini aku harus meminta maaf juga kepadanya karena mengabaikan paksaannya selama
ini."
Cakka
tersenyum. Ternyata, Gabriel penyebabnya. Pantas saja Alvin bisa tiba-tiba
datang. Padahal, kecelakaan itu sudah berlalu lama. Sudah hampir tiga tahun.
Waktu itu, tepat dua hari sebelum ulang tahunnya yang ke dua belas, ia tak
sengaja melihat Alvin sedang diserang oleh tim basket lawan karena mereka kalah
dari tim basket sekolah Alvin dan Cakka. Tim basket dari sekolah lain. Cakka
jelas saja tidak tinggal diam. Ia langsung menghampiri mereka dan berusaha
melerai. Cakka bahkan sampai bertengkar fisik dengan mereka. Tapi, sialnya,
Cakka didorong oleh salah satu dari mereka hingga ke jalan raya. Dan saat itu
juga, dia tertabrak mobil besar. Kepalanya luka-luka. Kedua kakinya terlindas
hingga tulangnya hancur.
Sebenarnya
ini bukan sepenuhnya karena kecelakaan itu. Sebelum kecelakaan itu terjadi,
Cakka sempat bertanding basket dan menyebabkan cedera di bagian kakinya. Ia
sudah tak begitu terkejut ketika mengetahui kedua kakinya sudah musnah ketika
dia sadar dari komanya.
"Sudahlah,
Vin, aku sama sekali tak menyalahkanmu. Kau juga tahu bahwa aku baru cedera
sebelum kecelakaan itu." kata Cakka. "Kembalilah ke sekolah, kau tak
boleh bolos."
"Bagaimana
dengan kau? Kenapa kau tak ke sekolah?" tanya Alvin sambil beranjak dari
tempat tidurnya dan berdiri di dekat Cakka.
"Aku
sedang butuh istirahat. Besok aku akan masuk, tenang saja." kata Cakka
sambil tersenyum. "Dan kau tak perlu khawatir lagi tentang semua yang
terjadi. Aku mengerti perasaanmu."
"Terima
kasih, Kka." kata Alvin senang. "Aku tidak akan menyia-nyiakan
kebaikanmu. Dan lihat saja nanti, kau akan bangga melihatku sebagai kapten tim
basket yang hebat untuk sekolah kita. Untukmu juga."
Cakka
tertawa lucu, kemudian menggelengkan kepalanya melihat punggung Alvin yang
semakin menjauh. Ia bahagia bisa berbicara dengan Alvin hari ini, mengingat
masa lalu, pengakuan Alvin dan membicarakan kehidupan yang mereka jalankan
sekarang. Dan Cakka yakin, setelah ini hidupnya pasti terasa lebih bahagia.
J L J
17 AGUSTUS 2014, Pukul 20:00 WIB
Malam itu,
Cakka sedang makan malam bersama keluarganya. Bunda dan Ayah yang duduk di
hadapannya sedang sibuk mengunyah makanan masing-masing. Berbeda dengan Cakka
yang makan dengan tidak ada nafsu. Entah kenapa, belakangan ini dia terus
kepikiran tentang ulang tahunnya.
"Kamu
kenapa?" tanya Bunda heran begitu menyadari putranya tidak makan dengan
baik.
Cakka diam
saja mendengar pertanyaan Bunda. Ia melirik ke arah Ayah sejenak. Mencari
reaksi Ayah. Namun, lirikannya itu ditatap balik dengan cuek oleh Ayah. Ia
menatap ke arah Bunda lagi, kemudian bertanya dengan lirih, "Bunda, apakah
besok akan ada pesta?"
Bunda diam
mendengar ucapan putranya. Seketika ia mengerti apa yang ada di pikiran Cakka.
Ia langsung tersenyum. "Makanlah terlebih dahulu. Ulang tahunmu yang kali
ini pasti akan membuatmu bahagia. Kau lihat saja besok. Kau bahkan tidak tahu
bukan kalau besok Ayah cuti kerja?"
"Benar,
Bunda?" tanya Cakka dengan mata berbinar-binar.
Bunda dan
Ayah hanya tersenyum melihat rasa antusias anak mereka.
-----------
18 AGUSTUS 2014
Cakka
sangat bersemangat menyambut hari pertamanya menjadi seorang laki-laki enam
belas tahun. Dia sudah bisa membayangkan sebuah pesta dengan banyak balon,
hiasan dan kue tart besar yang akan menghiasi harinya hari ini. Yang paling
penting, akan ada canda tawa yang segera menambah kebahagiaannya.
Tapi,
tidak. Sayap hatinya lagi-lagi terluka dan akan segera membawanya jatuh demi
perlahan-lahan ketika Bunda mengatakan bahwa mereka berdua harus pergi dari
pagi. Mereka membantunya mandi dan berpakaian, menaruhnya di atas kursi roda
dan segera meninggalkan rumah. Ah, mereka bahkan tak mengatakan apapun untuk
memberinya selamat atas ulang tahunnya. Apa mungkin Bunda lupa dengan
perkataannya kemarin? Bahwa Cakka pasti akan merasa bahagia?
Cakka
menggelengkan kepalanya. Ia tidak boleh berprasangka buruk kepada orang tuanya
sendiri. Mungkin mereka sedang mempersiapkan sebuah acara yang sangat meriah
untuk hari ini. Atau mereka memiliki rencana sendiri untuk membuatnya bahagia.
Ya, ia yakin itu.
Ia
mengangkat kepalanya menatap jam dinding. Sekarang baru jam sembilan pagi.
Masih banyak waktu untuk menunggu mereka. Dan Cakka harus sabar.
Satu jam,
dua jam, tiga jam, enam jam, delapan jam sudah dia diam seperti patung di
kamarnya menunggu mereka. Kepalanya tak henti-hentinya menatap jam dinding,
kemudian menunduk. Melihat jam lagi, kemudian menunduk lagi. Kini jam lima sore
sudah tiba. Tak ada sedikitpun tanda-tanda bahwa ada yang datang ke rumah.
Bunda dan Ayah tak kunjung pulang. Bahkan Gabriel, Alvin dan yang lainnya juga
tidak datang untuk memberinya selamat. Sekedar meneleponpun tidak.
Ia
menghela nafasnya, seolah-olah memberi kekuatan kepada kesabarannya yang sudah
mulai hilang. Ia menggerakkan kursi rodanya keluar dari kamar untuk mengambil
makanan ringan dari kotak snack yang ada di dapur. Perutnya lapar sekali. Sejak
tadi pagi dia tidak makan karena sibuk menunggu semua orang.
Setelah
mengambil sebungkus astor dan twister dari kotak snack, ia segera menggerakkan
kursi rodanya dari dapur menuju pintu depan. Dengan susah payah ia membuka
pintu dan segera menunggu mereka di depan pagar sambil melahap makanan ringan
yang telah ia ambil. Biarlah orang-orang sekitar memandangnya aneh karena
kondisi tubuhnya. Cakka tidak perduli. Sabar, Cakka. Sabar.
Kata
orang, kesabaran itu selalu membuahkan hasil yang baik, asal kita terus
memiliki kemauan dan harapan yang besar terhadapnya. Memang benar. Tak lama
kemudian, Bunda tampak mendekati rumah dari kejauhan. Ia kaget melihat putra
tunggalnya berada di depan rumah.
"Maafkan
Bunda, Cakka. Kau menunggu lamakah?" tanya Bunda sambil mengacak-acak
rambut Cakka dengan sayang. "Ayo kita pergi. Bunda ingin mengajakmu ke
suatu tempat yang indah. Kau pasti senang."
"Kemana,
Bunda?"
Bunda
hanya tersenyum menanggapinya. Ia segera mendorong kursi roda putranya
meninggalkan rumah dan membawanya jalan-jalan. Selama perjalanan, Cakka
menikmati pemandangan dengan ceria. Sesekali ia menyuruh Bunda berhenti sejenak
untuk menghirup udara segar dan merasakan indahnya alam yang ia tinggali itu.
Tempat dimana dia menetap begitu asri, banyak pohon rindang yang tumbuh di
jalur perjalanannya.
Hingga
akhirnya mereka sampai di sebuah lapangan basket. Namun, bukan lapangan basket
yang biasa. Lapangan itu telah dibedah menjadi tempat yang sangat meriah.
Banyak balon yang ditancapkan dengan balon dan hiasan. Ada juga spanduk besar
berwarna hitam polos yang tergantung di sana. Dan juga ada beberapa meja yang
telah disediakan. Cakka sungguh takjub melihat semuanya.
"Tunggulah
di sini, sayang." kata Bunda mengelus kepala Cakka sejenak, kemudian
langsung berjalan menuju ke balik semak-semak. Meninggalkan Cakka sendirian.
Namun, dalam hitungan detik, tiba-tiba spanduk hitam besar polos itu tiba-tiba
memutar! Ternyata warna hitam tersebut hanyalah penghalang agar tulisan yang
ada di spanduk tersebut tidak terlihat. Tak lama, beberapa lampu sorot menyala
untuk menyorot spanduk tersebut. HAPPY 16th BIRTHDAY CAKKA. Itu tulisan yang
ada di sana.
"Indah
sekali!" kata Cakka tersenyum lebar menatap spanduk tersebut.
Happy Birthday To You...
Happy Birthday To You...
Happy Birthday Happy Birthday
Happy Birthday Cakka...!
Cakka
benar-benar kaget ketika melihat Bunda, Ayah, Gabriel, Alvin dan anggota tim
basket yang lain juga keluar dari balik semak-semak. Selain itu, keluarganya
yang lain juga ada. Mereka membawakannya kado. Dan Gabriel membawakannya sebuah
kue tart yang bermotif bola basket dengan angka enam belas di atasnya.
"Ah,
kalian membuatku khawatir!" kata Cakka pura-pura ngambek. "Ternyata,
ini kesibukan kalian sejak tadi pagi! Menyebalkan!"
Semuanya
tertawa mendengar omelan Cakka. Memang, sejak tadi pagi mereka sengaja tidak
menghubungi Cakka dan mengabaikannya sejenak agar rencana pesta kejutan mereka
untuk Cakka tidak sia-sia. Dan ternyata mereka berhasil! Cakka benar-benar
terlihat senang begitu mereka menjalankan rencana mereka.
"Sekarang
saatnya untuk meniup lilin! Berdoalah." kata Gabriel sambil mendekatkan
kue tart yang ia pegang menuju Cakka.
Cakka
mengangguk-angguk cepat. Kemudian, segera menutup mata untuk berdoa. Baru
setelah itu, dia langsung meniupnya dengan semangat, membuat semua orang
bersorak gembira. Setelah meniup lilin, banyak permainan yang mereka siapkan
untuk perayaan ulang tahun Cakka. Benar-benar malam yang menyenangkan. Mungkin
malam ini menjadi malam yang tidak akan pernah Cakka lupakan seumur hidupnya.
Cakka
benar-benar tak menyangka semua ini akhirnya terjadi. Memang, sejak kehilangan
dua kakinya, dia sudah tak berharap banyak untuk masa depannya sebagai
pebasket. Itu sudah tak mungkin dengan kondisinya. Dia mungkin juga akan susah
mencari teman. Karena itulah, dia hanya berharap dia bisa merayakan ulang
tahunnya, dimana ia bisa merasakan kebahagiaan yang dulu pernah ia punya.
Sebelum kecelakaan itu terjadi. Walaupun hanya bersama keluarga dan teman-teman
tim basketnya. Dan hari ini, di ulang tahunnya yang keenam belas, semuanya
telah terkabul.
---
"Terima kasih Tuhan, kau telah mengabulkan
doaku. Kini aku tak perlu khawatir lagi dengan hidupku. Kebahagiaan yang pernah
aku punya dulu, kini sudah kembali. Ya, walaupun hanya setahun sekali, tapi itu
sudah lebih dari cukup. Untuk harapanku di ulang tahun yang ke 16, aku hanya
berharap bisa merasakan kebahagiaan ini lagi di tahun depan. Amin."
-Cakka
THE END...
Tuliskan komentar kalian di bawah,
Kalau mau request cerpen silahkan ya :)
Nantikan ceritaku selanjutnya!
wow,, cerpennya bagus gan....
BalasHapus