Senin, 14 Juli 2014

Cerbung | Impian Bola Basket Part 4



Ray sudah meninggalkan sekolah sejak lima belas menit yang lalu. Sekolah sudah sepi. Mungkin guru-guru juga seluruhnya sudah pulang. Langit Jogjakarta juga semakin lama semakin mendekati senja. Tapi, Cakka masih belum melihat mobil kakak sulungnya muncul dari kejauhan. Tidak biasanya dia terlambat ke sekolah.

Sembari menunggu kakaknya, ia menyingkirkan tasnya dari pundaknya untuk mengambil buku cetak matematika. Setelah mengeluarkan buku paket, ia kembali menggantungkan tasnya di pundak dan membaca buku tersebut dengan serius sambil komat-kamit untuk menghafal beberapa rumus. Tadi gurunya berpesan untuk belajar di rumah karena minggu depan akan diadakan ambil nilai sebagai nilai tambahan. Nantinya nilai itu bisa dipakai jika nilai ulangan mereka tidak memuaskan. Dan Cakka jelas tidak akan membuang kesempatan itu begitu saja. Kebaikan hati gurunya tersebut harus dihargai.

“Hei, anak baru!” seru seseorang ketika sedang asyik-asyiknya menghafal.
Cakka yang agak kaget dengan seruan itu langsung menoleh ke arah sumber suara. Dari kejauhan tampak seorang anak laki-laki yang tinggi datang menghampiri. Ia memakai kaus hitam dirangkap dengan jaket hoodie. Celananya panjang. Kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku celana panjangnya tersebut. Tapi, Cakka tidak mengenalnya.
“Ternyata kau yang menjadi kapten basket mantan SMP-ku.” katanya sambil tersenyum miring. Namun, senyum itu sama sekali tidak tampak seperti senyum senang. Ia melihat Cakka dari ujung rambut sampai ujung kaki. “Kelas berapa kau?”
Cakka tersenyum. “Kelas tujuh.”
“Huh, masih junior ternyata? Boleh juga.” kata laki-laki itu lagi. “Aku juga anak basket. Kalau kau cukup berani untuk melawanku, kau akan datang ke lapangan di Komplek Matahari esok hari. Jam tiga sore dan jangan terlambat.”
Cakka mengangguk. “Boleh.”
“Oke, sampai jumpa, anak baru.” kata laki-laki itu. Ia membalikkan badannya dan pergi meninggalkan Cakka sendirian. Cakka yang menatap kepergiannya hanya bisa diam. Walaupun ia begitu heran, ia tetap senang. Tiba-tiba diajak bermain basket bersama dengan teman baru jelas akan sangat menyenangkan.
Lamunan Cakka tiba-tiba terbuyar ketika mendengar suara mobil yang datang dari arah yang berlawanan. Ia tersenyum menatap keberadaan mobil itu, akhirnya kakak sulungnya datang juga. Begitu mobilnya sampai di hadapan Cakka, kaca jendelanya terbuka. Tampak kakaknya nyengir di sana. “Kau sudah menunggu lama? Tadi aku pergi ke kafe bersama temanku sebentar, kemudian terjebak macet.”
Cakka hanya tersenyum mendengarnya. “Hanya setengah jam, Kak.”
“Aduh, kau membuatku tambah merasa bersalah.” kata Elang sambil cemberut. “Oh ya, dimana Biru? Apa dia tidak pulang bersamamu hari ini?”
Cakka mengangguk. “Ada tugas kelompok.”
“Kalau begitu ayo masuk. Kita pulang dan segera istirahat.”
Cakka langsung berjalan menuju pintu masuk mobil depan dan menaruh tasnya di antara kakinya. Kemudian, Elang langsung menjalankan kembali mobilnya menuju ke rumah. Selama perjalanan, Cakka hanya bersandar di kursi dan melanjutkan menghafal rumus. Elang yang konsentrasi menyetir juga hanya diam. Tapi, karena tidak tahan dengan keheningan, Elang akhirnya membuka suara.
“Kau luar biasa. Setelah belajar tujuh jam di sekolah, kau masih kuat melihat angka-angka itu? Kesibukan apa yang kau lakukan di sekolah hari ini?” tanya Elang menoleh ke arah adiknya sekilas. Kemudian, menatap jalan lagi.
Cakka menggeleng. “Kami hanya latihan soal untuk ambil nilai minggu depan. Kata guru matematikaku, mengumpulkan nilai sebanyak-banyaknya akan membantu nilai rapor nanti.”
Elang manggut-manggut mengerti. “Ya, gurumu memang benar. Kau harus belajar sebaik-baiknya agar mendapatkan nilai yang tinggi di setiap tugas sekolahmu.”
Cakka mengangguk menurut mendengarnya.
“Kau tahu? Aku juga sedang mengusahakan sebuah tugas kuliah. Dosen kami menyuruh kami untuk membuat sebuah aransemen lagu. Dua minggu ke depan kami akan tampil. Yang membuatnya semua begitu menyenangkan adalah selain dosen,kami akan dinilai oleh kakak kelas kami yang sudah berhasil menjadi musisi terkenal.”
“Benarkah?”
“Ya. Aku sudah bisa membayangkan bagaimana rasanya mendapatkan nilai tinggi dan juga pujian-pujian dari mereka yang sudah sukses.” kata Elang. “Demi mendapatkan semua itu, aku akan berusaha.”
Cakka langsung menepuk-nepuk pundak Elang pelan mendengarnya.
Elang tersenyum merasakan tepukan itu. “Terima kasih semangatnya!”
Cakka bergeming. Ia kembali melanjutkan belajarnya dengan serius. Elang juga kembali konsentrasi menyetir. Suasana menjadi hening. Yang terdengar hanya suara mesin mobil Elang. Hingga tiba-tiba Elang menoleh lagi ke arah adiknya lagi. “Cakka...”
Cakka menoleh ke arah kakaknya. Tapi, ia tetap mengunci mulutnya.
“Ayah pulang cepat hari ini.”

J L J

DUK.. DUK.. DUK..
“Aku tidak akan merelakanmu menang, Gabriel!” Ray berseru kencang sambil melakukan dribble dengan bola basketnya, berusaha melarikan diri dari halangan Gabriel yang berusaha merebut bola. Sekarang memang ada di tangannya. Sejak pertandingan dimulai tadi, Ray cukup puas bisa mencetak lebih banyak angka daripada Gabriel. Pertandingan sudah berlangsung setengah jam, dan Ray sudah mencetak sepuluh angka. Sementara Gabriel baru delapan. Ia yakin kalau ia bisa mempertahankan kondisi unggulnya, ia pasti akan bisa menang karena mereka sepakat untuk berhenti di angka lima belas.
“Lihat saja!” kata Gabriel sambil berlari dan berusaha mengambil bola dari tangan Ray. Berkali-kali ia melakukan gerakan mengecoh, tapi Ray tetap saja bisa menghindar. Ia akui kemampuan Ray benar-benar hebat.
“Hap!” Ray melempar bola basketnya ke ring, kemudian meloncat girang begitu bola basketnya masuk. Sementara Gabriel mendesah sejenak dan langsung berusaha merebut bola. Gabriel benar-benar tidak mau besok ia harus merelakan paling tidak dua puluh lima ribu untuk memberi makan teman-temannya. Bisa habis mendadak uang jajannya!

J L J

Biru sedang mengerjakan tugas kelompoknya ketika ia mendengar ponselnya berdering. Ia yang sedang sibuk menulis dan menempelkan artikel pada karton manila besar yang ada di hadapannya segera meminta izin untuk memeriksa ponselnya terlebih dahulu. Ia mengernyitkan dahinya begitu melihat nama Elang di layar ponselnya. Untuk apa dia menghubunginya saat ini? Rasanya tak mungkin Cakka tidak menyampaikan pesannya kepada Elang. Tapi, ia segera mendapatkan jawabannya begitu ia membuka pesan tersebut.
Biru, lebih baik kau tak lama-lama ada di sekolah. Ayah pulang.
Mata Biru segera terbelalak melihat kalimat tersebut. Ia melirik jam tangannya sejenak. Jam tiga sore. Kemudian, menoleh ke arah mading yang sedang dikerjakannya. Isinya baru selesai setengah. Kalau ia tak boleh lama-lama di sekolah, setidaknya ia harus pulang jam empat. Satu jam tidak akan cukup menyelesaikan semuanya. Masih banyak artikel yang harus dia buat. Belum lagi hiasannya. Tapi, kalau ia pulang terlambat saat Ayah pulang cepat, bisa panjang masalahnya.
“Biru, kau kenapa?” tanya Alia.
Biru menoleh ke arah Alia. Tapi, dia tidak menjawab. 

J L J

Alvin menghempaskan tubuhnya di tempat tidur begitu dia sampai di kamarnya. Ia benar-benar kelelahan karena harus membersihkan toilet di sekolahnya. Padahal, menurutnya kejadian itu bukan sepenuhnya salah dirinya. Alvin memang suka tidur terlalu larut saat malam hari karena suka menonton bola atau bermain basket di lapangan. Tapi, kalau gurunya itu tidak mendongeng setiap menjelaskan materi, dia tidak akan tertidur. Sayangnya, ia hanyalah seorang murid. Ibaratnya kalau di kantor ada atasan yang selalu memerintah dan bawahan yang selalu harus menerima apapun dari atasannya, Alvin termasuk orang yang menjadi bawahan.

Dan sialnya lagi, Biru tetap saja tidak berbaik hati untuk membantunya keluar dari kelelahan ini. Dia tidak membantunya saat guru IPS berteriak dan siap menghukumnya, dia juga tidak bisa diajak bermain basket setelah pulang sekolah. Padahal, jika tadi dia bermain basket, pasti rasa lelahnya akan hilang dihapus kenikmatan bermain basket.

“Alvin?”

Alvin menoleh ketika ia mendengar suara Omanya. Tampak wanita paruh baya yang sudah berusia sekitar tujuh puluh tahun itu berdiri di ambang pintu kamarnya sambil tersenyum. Alvin langsung bangkit dari tempat tidurnya, duduk sambil menatapnya.
Oma Lani namanya. Dia adalah satu-satunya orang yang ada di rumah ini selain Bik Na. Sejak Alvin kecil, Alvin sudah tinggal bersamanya karena Ibu Alvin telah meninggal, sedangkan Ayahnya pergi bekerja di luar negeri. Sejak dia masuk SD, Alvin sudah tak pernah bertemu dengan Ayahnya lagi. Beliau juga tidak pernah mengabarkan apa-apa ke rumah.
Oma Lani berjalan pelan menuju tempat tidur Alvin, kemudian langsung duduk di hadapan Alvin. “Tadi Oma sudah membuatkan makanan kesukaanmu di dapur. Kau pasti lapar, makanlah.”
“Alvin lelah, Oma. Tadi Alvin dihukum karena tertidur saat pelajaran.” kata Alvin kembali berbaring di tempat tidurnya. Ia menghapus keringat yang membasahi dahinya. “Nanti kalau Alvin lapar, Alvin pasti makan.”
“Kalau begitu, gantilah baju seragammu dengan baju piyama. Lihat, keringatmu sampai membasahi sekujur tubuhmu.” kata Oma Lani dengan nada yang lembut.
“Nanti pasti Alvin ganti, Oma. Setelah mandi.” kata Alvin lagi masih enggan untuk bergerak. “Yang Alvin butuhkan sekarang hanya istirahat. Oma temani Alvin saja di sini. Bagaimana dengan usahanya hari ini, Oma?”
“Lancar, Vin. Sepertinya pelanggan-pelanggan Oma menyebarluaskan informasi kepada teman-teman mereka bahwa Oma membuka usaha baju rajutan.” kata Oma Lani. “Tadi banyak orang baru yang datang untuk memesan baju untuk anak-anak mereka.”
“Benarkah?” tanya Alvin senang. “Alvin ikut senang mendengarnya.”
Oma Lani tersenyum. Dia benar-benar menyayangi cucu laki-laki tersebut. Bertahun-tahun membesarkannya sampai ia menjadi dewasa seperti sekarang benar-benar membuatnya bahagia. Dia sudah seperti anaknya sendiri.

J L J

Gabriel dan Ray sama-sama menghentikan langkah mereka begitu salah satu dari mereka melemparkan bola basket ke dalam ring. Mata mereka mengikuti bola basket yang masih enggan untuk masuk maupun menyingkir dari ring tersebut. Wajah mereka masing-masing memberikan harapan terhadap bola basket itu. Sudah satu setengah jam mereka melakukan pertandingan itu dan sekarang waktunya penentuan. Bola yang sekarang sedang berkeliling di atas ring tersebut akan menentukan siapa yang harus mengeluarkan uang lebih besok. Beberapa saat kemudian...
“MASUK!!!!” teriak salah seorang dari mereka dengan nyaring, membuat yang lainnya langsung menutup telinganya untuk melindungi gendang telinganya dari suara keras itu.
“GABRIEL! In case you didn’t notice, aku masih ada di lapangan. Kau tak perlu berteriak terlalu kencang!” protesnya sambil berjalan menuju si peneriak tersebut.
Gabriel tertawa mendengar ucapan Ray. “Aku tidak perduli. Yang pasti bola basketmu itu sudah menunjukkan bahwa aku pemenang dari pertandingan itu! Dan kau, Ray, harus mengeluarkan seluruh isi dompetmu untuk kita berlima. Mungkin aku akan ajak anggota basket putri juga untuk bergabung.”
“Apa?! Hei, kau tahu isi dompetku tidak berlebihan! Kau ingin memerasku?” tanya Ray sambil menggembungkan pipinya cemberut. “Perjanjian kita hanya traktiran untuk lima orang. Tidak lebih, kurang kalau bisa.”
“Bisa saja dikurangi kalau kau tak mengisi perut saat istirahat besok.” kata Gabriel sambil menepuk-nepuk pundak Ray. Kemudian, ia berjalan meninggalkan Ray untuk mengambil botol minumnya di pinggir jalan. Ia jelas bangga bisa mengejar angka Ray. Padahal, tadinya ia tertinggal jauh. Tapi, bukan Gabriel namanya kalau kehabisan taktik untuk menang.
Ray menggelengkan kepalanya melihat tingkah Gabriel. Ia langsung menyusul temannya tersebut ke pinggir lapangan dan melakukan hal yang sama. Tidak ada yang lebih baik daripada menyegarkan stamina dengan air setelah pertandingan yang melelahkan. Botol minum mereka yang tadinya masih penuh langsung habis dengan cepat karena rasa lelah mereka.
“Hei, Gabriel, sepertinya akan menyenangkan jika kapan-kapan kita mengajak Rio dan yang lainnya untuk latihan basket di sini. Kita bisa bertanding bergantian. Mungkin dua lawan dua juga akan seru.” kata Ray setelah selesai minum.
Gabriel yang masih meneguk airnya hanya mengangguk cepat. Setelah selesai, ia baru menjawab. “Tentu saja. Dengan posisi kita sebagai anggota tim inti, pasti akan banyak pertandingan besar yang menanti. Kita harus menambah jam latihan jika diperlukan.”
“Akan lebih menyenangkan lagi jika kita bisa ikut NBL.”
“Ah ya, benar. Suatu saat nanti, kita pasti bisa berada di sana. Menjadi salah satu tim basket yang berpatisipasi. Semoga saja Pak Jo juga berpikir hal yang sama.” 

TO BE CONTINUED...
Penasaran? Baca terus sampai tamat ya!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Makasih ya udah baca cerpenku. Silahkan tinggalkan komentar kamu ya.
Semua kritik dan saran aku terima. Pujian juga boleh :p