Ray sudah
meninggalkan sekolah sejak lima belas menit yang lalu. Sekolah sudah sepi.
Mungkin guru-guru juga seluruhnya sudah pulang. Langit Jogjakarta juga semakin
lama semakin mendekati senja. Tapi, Cakka masih belum melihat mobil kakak
sulungnya muncul dari kejauhan. Tidak biasanya dia terlambat ke sekolah.
Sembari
menunggu kakaknya, ia menyingkirkan tasnya dari pundaknya untuk mengambil buku
cetak matematika. Setelah mengeluarkan buku paket, ia kembali menggantungkan
tasnya di pundak dan membaca buku tersebut dengan serius sambil komat-kamit
untuk menghafal beberapa rumus. Tadi gurunya berpesan untuk belajar di rumah
karena minggu depan akan diadakan ambil nilai sebagai nilai tambahan. Nantinya
nilai itu bisa dipakai jika nilai ulangan mereka tidak memuaskan. Dan Cakka
jelas tidak akan membuang kesempatan itu begitu saja. Kebaikan hati gurunya
tersebut harus dihargai.
“Hei, anak
baru!” seru seseorang ketika sedang asyik-asyiknya menghafal.
Cakka yang
agak kaget dengan seruan itu langsung menoleh ke arah sumber suara. Dari kejauhan
tampak seorang anak laki-laki yang tinggi datang menghampiri. Ia memakai kaus
hitam dirangkap dengan jaket hoodie. Celananya
panjang. Kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku celana panjangnya tersebut.
Tapi, Cakka tidak mengenalnya.
“Ternyata
kau yang menjadi kapten basket mantan SMP-ku.” katanya sambil tersenyum miring.
Namun, senyum itu sama sekali tidak tampak seperti senyum senang. Ia melihat
Cakka dari ujung rambut sampai ujung kaki. “Kelas berapa kau?”
Cakka
tersenyum. “Kelas tujuh.”
“Huh,
masih junior ternyata? Boleh juga.” kata laki-laki itu lagi. “Aku juga anak
basket. Kalau kau cukup berani untuk melawanku, kau akan datang ke lapangan di
Komplek Matahari esok hari. Jam tiga sore dan jangan terlambat.”
Cakka
mengangguk. “Boleh.”
“Oke,
sampai jumpa, anak baru.” kata laki-laki itu. Ia membalikkan badannya dan pergi
meninggalkan Cakka sendirian. Cakka yang menatap kepergiannya hanya bisa diam.
Walaupun ia begitu heran, ia tetap senang. Tiba-tiba diajak bermain basket
bersama dengan teman baru jelas akan sangat menyenangkan.
Lamunan
Cakka tiba-tiba terbuyar ketika mendengar suara mobil yang datang dari arah
yang berlawanan. Ia tersenyum menatap keberadaan mobil itu, akhirnya kakak
sulungnya datang juga. Begitu mobilnya sampai di hadapan Cakka, kaca jendelanya
terbuka. Tampak kakaknya nyengir di sana. “Kau sudah menunggu lama? Tadi aku
pergi ke kafe bersama temanku sebentar, kemudian terjebak macet.”
Cakka
hanya tersenyum mendengarnya. “Hanya setengah jam, Kak.”
“Aduh, kau
membuatku tambah merasa bersalah.” kata Elang sambil cemberut. “Oh ya, dimana
Biru? Apa dia tidak pulang bersamamu hari ini?”
Cakka
mengangguk. “Ada tugas kelompok.”
“Kalau
begitu ayo masuk. Kita pulang dan segera istirahat.”
Cakka
langsung berjalan menuju pintu masuk mobil depan dan menaruh tasnya di antara
kakinya. Kemudian, Elang langsung menjalankan kembali mobilnya menuju ke rumah.
Selama perjalanan, Cakka hanya bersandar di kursi dan melanjutkan menghafal
rumus. Elang yang konsentrasi menyetir juga hanya diam. Tapi, karena tidak tahan
dengan keheningan, Elang akhirnya membuka suara.
“Kau luar
biasa. Setelah belajar tujuh jam di sekolah, kau masih kuat melihat angka-angka
itu? Kesibukan apa yang kau lakukan di sekolah hari ini?” tanya Elang menoleh
ke arah adiknya sekilas. Kemudian, menatap jalan lagi.
Cakka
menggeleng. “Kami hanya latihan soal untuk ambil nilai minggu depan. Kata guru
matematikaku, mengumpulkan nilai sebanyak-banyaknya akan membantu nilai rapor
nanti.”
Elang
manggut-manggut mengerti. “Ya, gurumu memang benar. Kau harus belajar
sebaik-baiknya agar mendapatkan nilai yang tinggi di setiap tugas sekolahmu.”
Cakka
mengangguk menurut mendengarnya.
“Kau tahu?
Aku juga sedang mengusahakan sebuah tugas kuliah. Dosen kami menyuruh kami
untuk membuat sebuah aransemen lagu. Dua minggu ke depan kami akan tampil. Yang
membuatnya semua begitu menyenangkan adalah selain dosen,kami akan dinilai oleh
kakak kelas kami yang sudah berhasil menjadi musisi terkenal.”
“Benarkah?”
“Ya. Aku
sudah bisa membayangkan bagaimana rasanya mendapatkan nilai tinggi dan juga
pujian-pujian dari mereka yang sudah sukses.” kata Elang. “Demi mendapatkan
semua itu, aku akan berusaha.”
Cakka
langsung menepuk-nepuk pundak Elang pelan mendengarnya.
Elang
tersenyum merasakan tepukan itu. “Terima kasih semangatnya!”
Cakka
bergeming. Ia kembali melanjutkan belajarnya dengan serius. Elang juga kembali
konsentrasi menyetir. Suasana menjadi hening. Yang terdengar hanya suara mesin
mobil Elang. Hingga tiba-tiba Elang menoleh lagi ke arah adiknya lagi.
“Cakka...”
Cakka menoleh
ke arah kakaknya. Tapi, ia tetap mengunci mulutnya.
“Ayah
pulang cepat hari ini.”
J L J
DUK..
DUK.. DUK..
“Aku tidak
akan merelakanmu menang, Gabriel!” Ray berseru kencang sambil melakukan dribble dengan bola basketnya, berusaha
melarikan diri dari halangan Gabriel yang berusaha merebut bola. Sekarang
memang ada di tangannya. Sejak pertandingan dimulai tadi, Ray cukup puas bisa
mencetak lebih banyak angka daripada Gabriel. Pertandingan sudah berlangsung
setengah jam, dan Ray sudah mencetak sepuluh angka. Sementara Gabriel baru
delapan. Ia yakin kalau ia bisa mempertahankan kondisi unggulnya, ia pasti akan
bisa menang karena mereka sepakat untuk berhenti di angka lima belas.
“Lihat
saja!” kata Gabriel sambil berlari dan berusaha mengambil bola dari tangan Ray.
Berkali-kali ia melakukan gerakan mengecoh, tapi Ray tetap saja bisa
menghindar. Ia akui kemampuan Ray benar-benar hebat.
“Hap!” Ray
melempar bola basketnya ke ring, kemudian meloncat girang begitu bola basketnya
masuk. Sementara Gabriel mendesah sejenak dan langsung berusaha merebut bola.
Gabriel benar-benar tidak mau besok ia harus merelakan paling tidak dua puluh
lima ribu untuk memberi makan teman-temannya. Bisa habis mendadak uang
jajannya!
J L J
Biru
sedang mengerjakan tugas kelompoknya ketika ia mendengar ponselnya berdering.
Ia yang sedang sibuk menulis dan menempelkan artikel pada karton manila besar
yang ada di hadapannya segera meminta izin untuk memeriksa ponselnya terlebih
dahulu. Ia mengernyitkan dahinya begitu melihat nama Elang di layar ponselnya.
Untuk apa dia menghubunginya saat ini? Rasanya tak mungkin Cakka tidak
menyampaikan pesannya kepada Elang. Tapi, ia segera mendapatkan jawabannya
begitu ia membuka pesan tersebut.
Biru, lebih baik kau tak lama-lama ada di
sekolah. Ayah pulang.
Mata Biru
segera terbelalak melihat kalimat tersebut. Ia melirik jam tangannya sejenak.
Jam tiga sore. Kemudian, menoleh ke arah mading yang sedang dikerjakannya.
Isinya baru selesai setengah. Kalau ia tak boleh lama-lama di sekolah,
setidaknya ia harus pulang jam empat. Satu jam tidak akan cukup menyelesaikan
semuanya. Masih banyak artikel yang harus dia buat. Belum lagi hiasannya. Tapi,
kalau ia pulang terlambat saat Ayah pulang cepat, bisa panjang masalahnya.
“Biru, kau
kenapa?” tanya Alia.
Biru
menoleh ke arah Alia. Tapi, dia tidak menjawab.
J L J
Alvin
menghempaskan tubuhnya di tempat tidur begitu dia sampai di kamarnya. Ia
benar-benar kelelahan karena harus membersihkan toilet di sekolahnya. Padahal,
menurutnya kejadian itu bukan sepenuhnya salah dirinya. Alvin memang suka tidur
terlalu larut saat malam hari karena suka menonton bola atau bermain basket di
lapangan. Tapi, kalau gurunya itu tidak mendongeng setiap menjelaskan materi,
dia tidak akan tertidur. Sayangnya, ia hanyalah seorang murid. Ibaratnya kalau
di kantor ada atasan yang selalu memerintah dan bawahan yang selalu harus
menerima apapun dari atasannya, Alvin termasuk orang yang menjadi bawahan.
Dan
sialnya lagi, Biru tetap saja tidak berbaik hati untuk membantunya keluar dari
kelelahan ini. Dia tidak membantunya saat guru IPS berteriak dan siap
menghukumnya, dia juga tidak bisa diajak bermain basket setelah pulang sekolah.
Padahal, jika tadi dia bermain basket, pasti rasa lelahnya akan hilang dihapus
kenikmatan bermain basket.
“Alvin?”
Alvin
menoleh ketika ia mendengar suara Omanya. Tampak wanita paruh baya yang sudah
berusia sekitar tujuh puluh tahun itu berdiri di ambang pintu kamarnya sambil
tersenyum. Alvin langsung bangkit dari tempat tidurnya, duduk sambil
menatapnya.
Oma Lani
namanya. Dia adalah satu-satunya orang yang ada di rumah ini selain Bik Na.
Sejak Alvin kecil, Alvin sudah tinggal bersamanya karena Ibu Alvin telah
meninggal, sedangkan Ayahnya pergi bekerja di luar negeri. Sejak dia masuk SD,
Alvin sudah tak pernah bertemu dengan Ayahnya lagi. Beliau juga tidak pernah
mengabarkan apa-apa ke rumah.
Oma Lani
berjalan pelan menuju tempat tidur Alvin, kemudian langsung duduk di hadapan
Alvin. “Tadi Oma sudah membuatkan makanan kesukaanmu di dapur. Kau pasti lapar,
makanlah.”
“Alvin
lelah, Oma. Tadi Alvin dihukum karena tertidur saat pelajaran.” kata Alvin
kembali berbaring di tempat tidurnya. Ia menghapus keringat yang membasahi
dahinya. “Nanti kalau Alvin lapar, Alvin pasti makan.”
“Kalau
begitu, gantilah baju seragammu dengan baju piyama. Lihat, keringatmu sampai
membasahi sekujur tubuhmu.” kata Oma Lani dengan nada yang lembut.
“Nanti
pasti Alvin ganti, Oma. Setelah mandi.” kata Alvin lagi masih enggan untuk
bergerak. “Yang Alvin butuhkan sekarang hanya istirahat. Oma temani Alvin saja
di sini. Bagaimana dengan usahanya hari ini, Oma?”
“Lancar,
Vin. Sepertinya pelanggan-pelanggan Oma menyebarluaskan informasi kepada
teman-teman mereka bahwa Oma membuka usaha baju rajutan.” kata Oma Lani. “Tadi
banyak orang baru yang datang untuk memesan baju untuk anak-anak mereka.”
“Benarkah?”
tanya Alvin senang. “Alvin ikut senang mendengarnya.”
Oma Lani
tersenyum. Dia benar-benar menyayangi cucu laki-laki tersebut. Bertahun-tahun
membesarkannya sampai ia menjadi dewasa seperti sekarang benar-benar membuatnya
bahagia. Dia sudah seperti anaknya sendiri.
J L J
Gabriel
dan Ray sama-sama menghentikan langkah mereka begitu salah satu dari mereka
melemparkan bola basket ke dalam ring. Mata mereka mengikuti bola basket yang
masih enggan untuk masuk maupun menyingkir dari ring tersebut. Wajah mereka
masing-masing memberikan harapan terhadap bola basket itu. Sudah satu setengah
jam mereka melakukan pertandingan itu dan sekarang waktunya penentuan. Bola
yang sekarang sedang berkeliling di atas ring tersebut akan menentukan siapa
yang harus mengeluarkan uang lebih besok. Beberapa saat kemudian...
“MASUK!!!!”
teriak salah seorang dari mereka dengan nyaring, membuat yang lainnya langsung
menutup telinganya untuk melindungi gendang telinganya dari suara keras itu.
“GABRIEL! In case you didn’t notice, aku masih ada
di lapangan. Kau tak perlu berteriak terlalu kencang!” protesnya sambil
berjalan menuju si peneriak tersebut.
Gabriel
tertawa mendengar ucapan Ray. “Aku tidak perduli. Yang pasti bola basketmu itu
sudah menunjukkan bahwa aku pemenang dari pertandingan itu! Dan kau, Ray, harus
mengeluarkan seluruh isi dompetmu untuk kita berlima. Mungkin aku akan ajak
anggota basket putri juga untuk bergabung.”
“Apa?!
Hei, kau tahu isi dompetku tidak berlebihan! Kau ingin memerasku?” tanya Ray
sambil menggembungkan pipinya cemberut. “Perjanjian kita hanya traktiran untuk
lima orang. Tidak lebih, kurang kalau bisa.”
“Bisa saja
dikurangi kalau kau tak mengisi perut saat istirahat besok.” kata Gabriel
sambil menepuk-nepuk pundak Ray. Kemudian, ia berjalan meninggalkan Ray untuk
mengambil botol minumnya di pinggir jalan. Ia jelas bangga bisa mengejar angka
Ray. Padahal, tadinya ia tertinggal jauh. Tapi, bukan Gabriel namanya kalau
kehabisan taktik untuk menang.
Ray menggelengkan
kepalanya melihat tingkah Gabriel. Ia langsung menyusul temannya tersebut ke
pinggir lapangan dan melakukan hal yang sama. Tidak ada yang lebih baik
daripada menyegarkan stamina dengan air setelah pertandingan yang melelahkan.
Botol minum mereka yang tadinya masih penuh langsung habis dengan cepat karena
rasa lelah mereka.
“Hei,
Gabriel, sepertinya akan menyenangkan jika kapan-kapan kita mengajak Rio dan
yang lainnya untuk latihan basket di sini. Kita bisa bertanding bergantian.
Mungkin dua lawan dua juga akan seru.” kata Ray setelah selesai minum.
Gabriel
yang masih meneguk airnya hanya mengangguk cepat. Setelah selesai, ia baru
menjawab. “Tentu saja. Dengan posisi kita sebagai anggota tim inti, pasti akan
banyak pertandingan besar yang menanti. Kita harus menambah jam latihan jika
diperlukan.”
“Akan
lebih menyenangkan lagi jika kita bisa ikut NBL.”
“Ah ya,
benar. Suatu saat nanti, kita pasti bisa berada di sana. Menjadi salah satu tim
basket yang berpatisipasi. Semoga saja Pak Jo juga berpikir hal yang sama.”
TO BE CONTINUED...
Penasaran? Baca terus sampai tamat ya!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Makasih ya udah baca cerpenku. Silahkan tinggalkan komentar kamu ya.
Semua kritik dan saran aku terima. Pujian juga boleh :p