Senin, 14 Juli 2014

Cerbung | Impian Bola Basket Part 3



Istirahat pertama di sekolah sudah tiba. Pada jam sembilan pagi itu, anak-anak di kelas tujuh jelas langsung berhamburan keluar kelas agar dapat memesan makanan sebelum kantin ramai dengan para siswa dari kelas lain. Masalahnya akan panjang jika mereka harus berdesak-desakan di kantin untuk mendapatkan sarapan yang mereka kehendaki hari ini.
Cakka dan Ray berbeda sendiri. Tak seperti yang lainnya, mereka tetap tenang membereskan buku pelajaran dan barang-barang lain yang berantakan di meja mereka masing-masing. Walaupun mereka sangat lapar tapi cepat-cepat pergi ke kantin juga belum tentu bisa langsung mendapat kesempatan untuk makan. Yang diperebutkan di kantin saat istirahat itu bukan makanan saja, tapi mejapun terkadang menjadi permasalahan antar siswa.
“Kau tahu, Kka, semenjak aku masuk ke sekolah ini, aku tak mengerti mengapa teman-teman sekelas kita begitu kilat pergi ke kantin saat istirahat. Macam orang tak makan lima tahun saja.” kata Ray sambil mengeluarkan dompetnya dan mengeluarkan beberapa lembar uang.
Cakka hanya tersenyum mendengarnya. Ia membuka tasnya agar dapat mengambil kotak bekalnya. Bagi Cakka, membawa makanan dari rumah jelas lebih baik daripada harus jajan di kantin. Setiap hari Bunda menyiapkannya makanan yang bergizi agar dapat belajar dengan baik.
“Kau membawa kotak bekal?” tanya Ray ketika melihat kotak makan temannya itu. “Kalau begitu, aku akan membeli makanan ringan di kantin dan menemanimu makan di sini, bagaimana?”
Cakka mengangguk setuju. “Terima kasih, Ray.”
“Ya, tak perlu sungkan. Kau tahu, aku sangat benci berdesak-desakan di kantin hanya untuk seporsi makanan. Apalagi meja kantin. Bagiku itu hanyalah masalah konyol. Lebih baik makan di sini.” kata Ray. Kemudian, dia langsung pamit kepada Cakka untuk keluar kelas.
Sembari menunggu Ray, Cakka melahap makanannya pelan-pelan sambil mencoret-coret buku. Ia senang sekali menggambar apa yang terlintas di otaknya setiap kali ada waktu luang. Senyuman manis yang menghiasi wajahnya setelah selesai menggambar yang membuat kegiatan itu menjadi menyenangkan.
Sementara itu, Ray berjalan menuju kantin sambil bersenandung pelan. Kedua tangannya ia masukkan ke dalam saku celananya. Matanya yang melihat ke arah kanan-kiri menangkap beberapa siswa yang sedang berbincang-bincang di tempat nongkrong mereka masing-masing. Ada juga beberapa yang sambil melahap makanan dari kotak bekalnya seperti Cakka.
“Ray!” teriak seseorang membuat Ray menoleh ke arah depan kembali.
“Kak Biru!” jawab Ray tersenyum. Tampak Biru berjalan menghampirinya bersama keempat teman tim basketnya. “Kau akan menuju kantin juga, Kak?”
“Ya. Kau juga, bukan? Oh ya, ini teman-temanku dari tim inti basket putri. Kau akan mengenal mereka nanti. Guys, ini Ray. Salah satu anggota tim inti basket putra. Sekelas dengan adikku.” kata Biru mengenalkan Ray kepada teman-temannya. Teman-teman Biru menganggukkan kepalanya melihat Ray.
Omong-omong, dimana Cakka? Kau tak bersamanya?” tanya Biru melirik kanan-kiri mencari keberadaan adiknya.
Ray menggeleng. “Cakka sedang makan di kelas. Aku hanya keluar untuk membeli makanan ringan. Setelah itu, aku kembali untuk menemaninya. Kau juga sepertinya ada yang kurang, Kak. Hm.. Alvin. Dimana dia, Kak?”
“Oh, dia sedang terkena sial. Dia tidak akan mendapatkan istirahat.” kata Biru sambil tertawa kecil. “Sudahlah, ayo kita pergi sebelum bel istirahat berbunyi. Aku sedang ngidam bakso!”
Ray, Biru dan teman-temannya langsung melangkahkan kaki mereka ke kantin bersama. Selama perjalanan, Ray berbincang-bincang dengan mereka berlima, terutama teman-teman Biru itu. Di tengah jalan, mereka juga bertemu dengan Gabriel dan Rio yang akhirnya bergabung juga dengan mereka. Sesekali mereka tertawa lepas di sela-sela pembicaraan mereka. Rasanya menyenangkan jika memiliki banyak teman yang memiliki hobi yang sama. Terutama saat mereka semua bisa saling mendukung. Bukan saling bersaing.
“Kerupuk udang dua bungkus, Mas!” seru Ray ketika dia sudah sampai di kantin, tepatnya di tempat penjual makanan ringan. Untung saja keadaan kantin sudah lumayan sepi, sehingga dia bisa leluasa memesan makanan.
“Nasi goreng dua porsi, Bu!” kata Gabriel di sebelah penjual makanan ringan. Dia sudah menggabungkan uangnya dengan uang Rio untuk memesan sekaligus. Gabriel memesan makanannya, sementara Rio menjaga meja untuk mereka berdua dan kakak-kakak kelas mereka.
“Hei, Yel, kau ingin ke lapangan sepulang sekolah? Aku butuh latihan dan penjernihan otak. Kau tak tahu betapa pusingnya aku menghadapi matematika pagi tadi.” kata Ray.
Gabriel tertawa. “Boleh saja. Bagaimana kalau kita bertanding, siapa yang kalah, harus mentraktir mie ayam besok. Paling tidak untuk kita berlima. Sanggup?”
 “Oke!” kata Ray menerima. Kemudian, dia mengambil dua bungkus kerupuk udang yang telah disiapkan oleh penjual makanan ringan itu.
“Baiklah, aku tunggu kau di lapangan sepulang sekolah nanti.” kata Gabriel mengacungkan jempol. “Kau akan kembali ke kelas, bukan? Sampaikan salamku untuk Cakka. Kurasa kau perlu memberitahunya untuk tidak membawa bekal esok.”
“Ya, baiklah. Sampai jumpa, Yel!” kata Ray. Ia berbalik arah dan segera meninggalkan kantin.
Setelah sampai di kelas, Ray mendapati isi kotak bekal Cakka sudah habis setengahnya. Ray hanya tersenyum melihat itu. Ternyata, lama juga dia meninggalkan sahabatnya itu di kelas sendirian. Ia langsung duduk di kursinya kembali dan membuka salah satu bungkusan kerupuk udang yang baru saja ia beli. Dengan lahap, dia mengunyah kerupuk tersebut. “Maaf membuatmu menunggu lama.”
Cakka menggeleng.
“Ah, aku tahu kau bosan. Tak perlu disembunyikan.” kata Ray. “Oh ya, Gabriel akan menemaniku di lapangan. Kau tahu? Kakak kelas kita itu berani menantangku untuk bertanding nanti sore. Taruhannya makan gratis di kantin besok. Mungkin kau tak perlu membawa bekal.”
“Kau tampaknya yakin akan menang.” jawab Cakka sambil tersenyum.
“Ya, tentu saja. Selama ini aku tak pernah kalah dalam hal tanding basket. Bahkan kakakku yang kuliah juga tak bisa mengalahkan kehebatanku dalam bidang olahraga itu.” kata Ray. “Percayalah. Besok kau akan mendengar kabar baik dariku, Kka!”
Cakka tertawa geli. “Kalau begitu, selamat berjuang.”
“Ya, terima kasih.” kata Ray sambil tersenyum. Ia menyodorkan bungkusan kerupuk udangnya kepada Cakka. “Ambillah jika kau mau. Aku bukan tipikal orang yang pelit berbagi barang.”
Cakka tersenyum, kemudian menggeleng. Ray menarik tangannya kembali. Kemudian suasana hening sampai tiba-tiba Biru muncul di ambang pintu. Cakka dan Ray yang sedang sibuk makan langsung berhenti sejenak. Mereka saling berpandangan. Kemudian, Cakka langsung beranjak dari kursinya untuk menghampiri kakaknya.
“Sudah kenyang?” tanya Biru sambil tersenyum.
Cakka mengangguk.
“Bagus kalau begitu. Nanti aku ada tugas kelompok. Mungkin akan pulang terlambat. Mungkin kau pulang sendiri saja.” kata Biru. “Katakan pada Bunda bahwa aku tidak akan ikut makan malam.”
“Tugas apa?” tanya Cakka ingin tahu.
“Membuat mading untuk tugas bahasa, adikku sayang. Masalahnya dengan ekskul basket yang sibuk, aku harus menyelesaikan tugasku setiap ada waktu luang.” kata Biru. “Sebaiknya kau juga melakukannya, Kka.”
Cakka mengangguk. “Aku akan berusaha.”
“Baiklah, kalau begitu aku akan kembali ke kelas. Belajarlah dengan rajin! Kita harus membuktikan bahwa basket tidak akan membawa pengaruh buruk kepada kehidupan kita.” Biru mengacak-acak rambut adiknya dengan penuh kasih sayang sebelum ia meninggalkan kelas adiknya. Cakka sampai tertawa senang menanggapinya.

J L J

Kruyuuuuk...
Alvin menahan rasa laparnya sekuat tenaga karena pel yang terpaksa harus ada di genggamannya sampai ia selesai membuat tempat dimana dia berada sekarang sebersih mungkin. Ia benar-benar tak habis pikir mengapa guru IPSnya yang seperti orang mati rasa itu tiba-tiba ngamuk melihatnya tertidur di kelas. Bahkan sampai menghukumnya untuk membersihkan kamar mandi di lantai dua. Mending kalau hukuman dijalankan setelah istirahat.
“Astaga, tampaknya perutku sudah tidak tahan lagi.” kata Alvin setelah mendengar suara tidak asing dari dalam perutnya. Tapi, jelas dia tidak bisa berbuat apa-apa untuk mengatasinya.
Sudah setengah jam ia menjalankan hukuman. Kamar mandi laki-laki yang sudah dua tahun lebih menjadi tempatnya berekskresi di sekolah itu sudah cukup bersih. Tapi, itu sama sekali tidak membuatnya senang. Setelah ini, masih ada satu kamar mandi lagi yang harus dia bersihkan. Dan kamar mandi itu adalah kamar mandi perempuan!!!
Bukan apa-apa. Masalahnya, jam istirahat belum selesai. Beberapa siswi pasti masih berada di sana untuk berbincang-bincang. Kalau dia berani-beraninya masuk ke sana dengan tenang, dia yakin keluar-keluar dari sana pasti akan banyak benjolan di wajahnya. Atau minimal pipinya pasti merah karena apa yang dia lakukan.
“Guru IPS itu benar-benar habis kalau terjadi apa-apa setelah ini!” keluhnya sebal. Ia meletakkan pel di tempat semula. Kemudian, ia mencuci wajahnya di wastafel sejenak untuk menyegarkan kedua matanya yang sudah mulai mengantuk lagi.

J L J

Seorang laki-laki menghela nafasnya sambil memainkan tuts-tuts piano dengan asal di ruang musik. Masih ada beberapa jam lagi jam kuliah akan dimulai dan dia tidak tahu harus berbuat apa selain duduk di depan piano elektrik di ruang musik kampusnya. Walaupun dia bukan anak dari jurusan musik, tapi ia sudah hobi dengan alat musik tekan itu.
“Kau kenapa?” tanya seseorang yang duduk di lantai ruang musik yang dilapisi dengan karpet. Orang itu adalah Elang, salah satu laki-laki yang dekat dengan laki-laki pemain piano tersebut. Berbeda dengannya yang lebih suka memegang alat musik petik seperti gitar.
“Ah, tidak apa-apa.” kata laki-laki itu. Ia menoleh ke arah Elang. “Aku hanya bosan. Aku benar-benar tak tahan untuk menunggu beberapa jam lagi sebelum masuk kelas.”
Elang tertawa. “Kenapa kau tak pulang dulu saja, Mike?”
Laki-laki itu yang ternyata bernama Mike menggelengkan kepalanya. “Rumahku lumayan jauh. Lebih baik aku di kampus daripada harus lelah di jalan. Aku juga butuh stamina untuk pelajaran nanti.”
“Kalau begitu lebih baik kau serius menggunakan piano itu, Michael Antaraya. Karena kau mengganggu jam kami untuk latihan.” tiba-tiba seorang gadis masuk ke dalam ruang musik dan mengomel kepada laki-laki bertubuh kurus itu.
Mike yang mendengarnya langsung menoleh. Ia melengos. “Kau lagi. Kau ini memang menyebalkan. Bianca, aku tahu kau dari jurusan musik. Tapi, kau tak perlu menggunakan ruang musik sesering itu. Memangnya apa yang kau kejar?”
“Kalau kau harus tahu, anak-anak jurusan musik termasuk teman lo itu sedang menyiapkan penampilan untuk ambil nilai minggu depan. Dan semuanya akan menentukan siapa-siapa saja yang akan mewakili lomba musik beberapa bulan ke depan.” ceramah Bianca panjang lebar. Ia menoleh ke arah Elang. “Hei kau, kenapa diam saja? Apa kau tak terganggu dengan sikapnya itu?”
Elang tertawa mendengar ucapan Bianca. “Tidak. Santai saja, Bianca. Kita masih memiliki beberapa hari untuk latihan. Atau kau bisa memakainya beberapa jam ke depan. Mike akan masuk kuliah jam dua belas nanti. Satu jam lebih awal dari kita.”
“Kau itu terlalu santai.” kata Bianca sebal. “Ya sudah. Terserah kau. Hei, apa kau sudah mengerjakan tugas teori musik dari dosen kita? Kudengar kau mahir, aku butuh bantuanmu.”
Elang mengangguk. “Kau bisa membawa bukumu ke sini. Aku akan dengan senang hati membantumu. Daripada menyalin jawaban, lebih baik aku mengajarimu sekalian.”
Bianca manyun. “Aku tidak mengatakan kalau aku akan menyalin jawaban!”
Elang tertawa.

J L J

Gabriel langsung membantingkan tubuhnya begitu sampai rumah. Harinya di sekolah hari ini benar-benar membuatnya lelah. Apalagi dengan apa yang terjadi saat di perjalanan pulang tadi.
Rio juga sama lelahnya dengan Gabriel. Ia juga melewati semua yang dilewati saudara kembarnya tadi siang. Benar-benar mengerikan. Namun, yang jelas setelah ini pasti akan terjadi masalah di antara mereka.
"Kau memikirkan kejadian tadi?" tanya Gabriel sambil mengangkat badannya sedikit dan menopangnya dengan sikunya.
Rio menoleh ke arah saudaranya. Ia mengangguk. "Kurasa dia masih dendam kepada kita, Yel."
"Lalu kita harus bagaimana? Apa kita harus memberitahu yang lain tentang ini?"
Rio diam. Iapun tak tahu apa yang dilakukannya sekarang. Tidak. Dia tidak berpikir untuk memberitahu teman-temannya yang lain tentang kejadian tadi. Tapi, jika dia menyembunyikan hal ini dari mereka semua, bagaimana dengan persahabatan antar anggota tim basket yang baru dimulai ini?
Gabriel menghela napas. Ia menggelengkan kepala. "Tidak. Kita harus menyimpan semua dulu, Yo. Demi persahabatan kita."
Rio mengangguk.
Gabriel bangkit dari tidurnya, kemudian langsung berjalan menuju lemari pakaian untuk mengambil baju basket. Selama ini dia sering meminta kepada orang tuanya agar dibelikan berbagai macam baju untuk olahraga karena saat kecil dulu dia rutin main basket. Dan berhubung ukurannya dari dulu sampai sekarang tidak beda jauh, baju-baju itu masih bisa dipakainya.
“Kau ingin kemana?” tanya Rio sambil mengernyitkan dahinya melihat baju basket yang ada di tangannya. Kakaknya yang lahir lima menit lebih awal darinya itu meletakkan baju basketnya di tempat tidur, kemudian mengambil celana pendek hitam dari lemarinya.
“Oh, apa aku belum cerita?” tanya Gabriel membalikkan badannya menatap adiknya. “Ray mengajakku bermain basket di lapangan. Mie ayam gratis di kantin besok menjadi taruhannya. Menyenangkan, bukan?”
Rio mengangguk. “Kalau begitu, pastikan kau menang. Mungkin setelah itu, kita bisa mengatakan kepada Ayah dan Ibu bahwa kita berniat menabung uang jajan. Dan mereka pasti akan memberikan kita berdua hadiah. Lumayan mendapatkan bonus!”
Gabriel tertawa, kemudian menjitak Rio. “Kau itu ada-ada saja! Perbuatanmu itu akan menyenangkan tapi akan membuatmu banyak dosa. Jangan banyak tingkah dengan Ayah dan Ibu. Belajar dengan baik sudah cukup.”
“Ah, tapi mereka hanya memberikan hadiah jika nilai ujian kita sangat tinggi. Kalau tidak, mereka tak akan mempunyai alasan untuk memberi kita sebuah reward.” kata Rio sambil mengelus dahinya yang dijitak.
“Setidaknya, Ayah dan Ibu tidak melarang kita berdua bermain basket, Yo.” kata Gabriel menepuk pundak Rio, kemudian langsung berjalan menuju kamar mandi. “Sudah, aku akan mencuci muka dulu, setelah itu aku akan langsung pergi. Aku akan kabari rumah jika aku makan di luar.”
“Baiklah.”

TO BE CONTINUED...
Penasaran? Baca terus sampai tamat ya!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Makasih ya udah baca cerpenku. Silahkan tinggalkan komentar kamu ya.
Semua kritik dan saran aku terima. Pujian juga boleh :p