Istirahat
pertama di sekolah sudah tiba. Pada jam sembilan pagi itu, anak-anak di kelas
tujuh jelas langsung berhamburan keluar kelas agar dapat memesan makanan
sebelum kantin ramai dengan para siswa dari kelas lain. Masalahnya akan panjang
jika mereka harus berdesak-desakan di kantin untuk mendapatkan sarapan yang
mereka kehendaki hari ini.
Cakka dan
Ray berbeda sendiri. Tak seperti yang lainnya, mereka tetap tenang membereskan
buku pelajaran dan barang-barang lain yang berantakan di meja mereka
masing-masing. Walaupun mereka sangat lapar tapi cepat-cepat pergi ke kantin
juga belum tentu bisa langsung mendapat kesempatan untuk makan. Yang
diperebutkan di kantin saat istirahat itu bukan makanan saja, tapi mejapun
terkadang menjadi permasalahan antar siswa.
“Kau tahu,
Kka, semenjak aku masuk ke sekolah ini, aku tak mengerti mengapa teman-teman
sekelas kita begitu kilat pergi ke kantin saat istirahat. Macam orang tak makan
lima tahun saja.” kata Ray sambil mengeluarkan dompetnya dan mengeluarkan
beberapa lembar uang.
Cakka
hanya tersenyum mendengarnya. Ia membuka tasnya agar dapat mengambil kotak
bekalnya. Bagi Cakka, membawa makanan dari rumah jelas lebih baik daripada
harus jajan di kantin. Setiap hari Bunda menyiapkannya makanan yang bergizi
agar dapat belajar dengan baik.
“Kau
membawa kotak bekal?” tanya Ray ketika melihat kotak makan temannya itu. “Kalau
begitu, aku akan membeli makanan ringan di kantin dan menemanimu makan di sini,
bagaimana?”
Cakka
mengangguk setuju. “Terima kasih, Ray.”
“Ya, tak
perlu sungkan. Kau tahu, aku sangat benci berdesak-desakan di kantin hanya
untuk seporsi makanan. Apalagi meja kantin. Bagiku itu hanyalah masalah konyol.
Lebih baik makan di sini.” kata Ray. Kemudian, dia langsung pamit kepada Cakka
untuk keluar kelas.
Sembari
menunggu Ray, Cakka melahap makanannya pelan-pelan sambil mencoret-coret buku.
Ia senang sekali menggambar apa yang terlintas di otaknya setiap kali ada waktu
luang. Senyuman manis yang menghiasi wajahnya setelah selesai menggambar yang
membuat kegiatan itu menjadi menyenangkan.
Sementara
itu, Ray berjalan menuju kantin sambil bersenandung pelan. Kedua tangannya ia
masukkan ke dalam saku celananya. Matanya yang melihat ke arah kanan-kiri
menangkap beberapa siswa yang sedang berbincang-bincang di tempat nongkrong
mereka masing-masing. Ada juga beberapa yang sambil melahap makanan dari kotak
bekalnya seperti Cakka.
“Ray!”
teriak seseorang membuat Ray menoleh ke arah depan kembali.
“Kak
Biru!” jawab Ray tersenyum. Tampak Biru berjalan menghampirinya bersama keempat
teman tim basketnya. “Kau akan menuju kantin juga, Kak?”
“Ya. Kau
juga, bukan? Oh ya, ini teman-temanku dari tim inti basket putri. Kau akan
mengenal mereka nanti. Guys, ini Ray. Salah satu anggota tim inti basket putra.
Sekelas dengan adikku.” kata Biru mengenalkan Ray kepada teman-temannya.
Teman-teman Biru menganggukkan kepalanya melihat Ray.
Omong-omong,
dimana Cakka? Kau tak bersamanya?” tanya Biru melirik kanan-kiri mencari
keberadaan adiknya.
Ray
menggeleng. “Cakka sedang makan di kelas. Aku hanya keluar untuk membeli
makanan ringan. Setelah itu, aku kembali untuk menemaninya. Kau juga sepertinya
ada yang kurang, Kak. Hm.. Alvin. Dimana dia, Kak?”
“Oh, dia
sedang terkena sial. Dia tidak akan mendapatkan istirahat.” kata Biru sambil
tertawa kecil. “Sudahlah, ayo kita pergi sebelum bel istirahat berbunyi. Aku
sedang ngidam bakso!”
Ray, Biru
dan teman-temannya langsung melangkahkan kaki mereka ke kantin bersama. Selama
perjalanan, Ray berbincang-bincang dengan mereka berlima, terutama teman-teman
Biru itu. Di tengah jalan, mereka juga bertemu dengan Gabriel dan Rio yang
akhirnya bergabung juga dengan mereka. Sesekali mereka tertawa lepas di
sela-sela pembicaraan mereka. Rasanya menyenangkan jika memiliki banyak teman
yang memiliki hobi yang sama. Terutama saat mereka semua bisa saling mendukung.
Bukan saling bersaing.
“Kerupuk
udang dua bungkus, Mas!” seru Ray ketika dia sudah sampai di kantin, tepatnya
di tempat penjual makanan ringan. Untung saja keadaan kantin sudah lumayan
sepi, sehingga dia bisa leluasa memesan makanan.
“Nasi
goreng dua porsi, Bu!” kata Gabriel di sebelah penjual makanan ringan. Dia
sudah menggabungkan uangnya dengan uang Rio untuk memesan sekaligus. Gabriel
memesan makanannya, sementara Rio menjaga meja untuk mereka berdua dan
kakak-kakak kelas mereka.
“Hei, Yel,
kau ingin ke lapangan sepulang sekolah? Aku butuh latihan dan penjernihan otak.
Kau tak tahu betapa pusingnya aku menghadapi matematika pagi tadi.” kata Ray.
Gabriel
tertawa. “Boleh saja. Bagaimana kalau kita bertanding, siapa yang kalah, harus
mentraktir mie ayam besok. Paling tidak untuk kita berlima. Sanggup?”
“Oke!” kata Ray menerima. Kemudian, dia
mengambil dua bungkus kerupuk udang yang telah disiapkan oleh penjual makanan
ringan itu.
“Baiklah,
aku tunggu kau di lapangan sepulang sekolah nanti.” kata Gabriel mengacungkan
jempol. “Kau akan kembali ke kelas, bukan? Sampaikan salamku untuk Cakka.
Kurasa kau perlu memberitahunya untuk tidak membawa bekal esok.”
“Ya,
baiklah. Sampai jumpa, Yel!” kata Ray. Ia berbalik arah dan segera meninggalkan
kantin.
Setelah
sampai di kelas, Ray mendapati isi kotak bekal Cakka sudah habis setengahnya.
Ray hanya tersenyum melihat itu. Ternyata, lama juga dia meninggalkan
sahabatnya itu di kelas sendirian. Ia langsung duduk di kursinya kembali dan
membuka salah satu bungkusan kerupuk udang yang baru saja ia beli. Dengan
lahap, dia mengunyah kerupuk tersebut. “Maaf membuatmu menunggu lama.”
Cakka
menggeleng.
“Ah, aku
tahu kau bosan. Tak perlu disembunyikan.” kata Ray. “Oh ya, Gabriel akan
menemaniku di lapangan. Kau tahu? Kakak kelas kita itu berani menantangku untuk
bertanding nanti sore. Taruhannya makan gratis di kantin besok. Mungkin kau tak
perlu membawa bekal.”
“Kau
tampaknya yakin akan menang.” jawab Cakka sambil tersenyum.
“Ya, tentu
saja. Selama ini aku tak pernah kalah dalam hal tanding basket. Bahkan kakakku
yang kuliah juga tak bisa mengalahkan kehebatanku dalam bidang olahraga itu.”
kata Ray. “Percayalah. Besok kau akan mendengar kabar baik dariku, Kka!”
Cakka
tertawa geli. “Kalau begitu, selamat berjuang.”
“Ya,
terima kasih.” kata Ray sambil tersenyum. Ia menyodorkan bungkusan kerupuk
udangnya kepada Cakka. “Ambillah jika kau mau. Aku bukan tipikal orang yang
pelit berbagi barang.”
Cakka
tersenyum, kemudian menggeleng. Ray menarik tangannya kembali. Kemudian suasana
hening sampai tiba-tiba Biru muncul di ambang pintu. Cakka dan Ray yang sedang
sibuk makan langsung berhenti sejenak. Mereka saling berpandangan. Kemudian,
Cakka langsung beranjak dari kursinya untuk menghampiri kakaknya.
“Sudah
kenyang?” tanya Biru sambil tersenyum.
Cakka
mengangguk.
“Bagus
kalau begitu. Nanti aku ada tugas kelompok. Mungkin akan pulang terlambat.
Mungkin kau pulang sendiri saja.” kata Biru. “Katakan pada Bunda bahwa aku
tidak akan ikut makan malam.”
“Tugas
apa?” tanya Cakka ingin tahu.
“Membuat
mading untuk tugas bahasa, adikku sayang. Masalahnya dengan ekskul basket yang
sibuk, aku harus menyelesaikan tugasku setiap ada waktu luang.” kata Biru.
“Sebaiknya kau juga melakukannya, Kka.”
Cakka
mengangguk. “Aku akan berusaha.”
“Baiklah,
kalau begitu aku akan kembali ke kelas. Belajarlah dengan rajin! Kita harus
membuktikan bahwa basket tidak akan membawa pengaruh buruk kepada kehidupan
kita.” Biru mengacak-acak rambut adiknya dengan penuh kasih sayang sebelum ia
meninggalkan kelas adiknya. Cakka sampai tertawa senang menanggapinya.
J L J
Kruyuuuuk...
Alvin
menahan rasa laparnya sekuat tenaga karena pel yang terpaksa harus ada di
genggamannya sampai ia selesai membuat tempat dimana dia berada sekarang
sebersih mungkin. Ia benar-benar tak habis pikir mengapa guru IPSnya yang
seperti orang mati rasa itu tiba-tiba ngamuk melihatnya tertidur di kelas.
Bahkan sampai menghukumnya untuk membersihkan kamar mandi di lantai dua.
Mending kalau hukuman dijalankan setelah istirahat.
“Astaga,
tampaknya perutku sudah tidak tahan lagi.” kata Alvin setelah mendengar suara
tidak asing dari dalam perutnya. Tapi, jelas dia tidak bisa berbuat apa-apa
untuk mengatasinya.
Sudah
setengah jam ia menjalankan hukuman. Kamar mandi laki-laki yang sudah dua tahun
lebih menjadi tempatnya berekskresi di sekolah itu sudah cukup bersih. Tapi,
itu sama sekali tidak membuatnya senang. Setelah ini, masih ada satu kamar
mandi lagi yang harus dia bersihkan. Dan kamar mandi itu adalah kamar mandi
perempuan!!!
Bukan
apa-apa. Masalahnya, jam istirahat belum selesai. Beberapa siswi pasti masih
berada di sana untuk berbincang-bincang. Kalau dia berani-beraninya masuk ke
sana dengan tenang, dia yakin keluar-keluar dari sana pasti akan banyak
benjolan di wajahnya. Atau minimal pipinya pasti merah karena apa yang dia
lakukan.
“Guru IPS
itu benar-benar habis kalau terjadi apa-apa setelah ini!” keluhnya sebal. Ia
meletakkan pel di tempat semula. Kemudian, ia mencuci wajahnya di wastafel
sejenak untuk menyegarkan kedua matanya yang sudah mulai mengantuk lagi.
J L J
Seorang
laki-laki menghela nafasnya sambil memainkan tuts-tuts piano dengan asal di
ruang musik. Masih ada beberapa jam lagi jam kuliah akan dimulai dan dia tidak
tahu harus berbuat apa selain duduk di depan piano elektrik di ruang musik
kampusnya. Walaupun dia bukan anak dari jurusan musik, tapi ia sudah hobi
dengan alat musik tekan itu.
“Kau
kenapa?” tanya seseorang yang duduk di lantai ruang musik yang dilapisi dengan
karpet. Orang itu adalah Elang, salah satu laki-laki yang dekat dengan laki-laki
pemain piano tersebut. Berbeda dengannya yang lebih suka memegang alat musik
petik seperti gitar.
“Ah, tidak
apa-apa.” kata laki-laki itu. Ia menoleh ke arah Elang. “Aku hanya bosan. Aku
benar-benar tak tahan untuk menunggu beberapa jam lagi sebelum masuk kelas.”
Elang
tertawa. “Kenapa kau tak pulang dulu saja, Mike?”
Laki-laki
itu yang ternyata bernama Mike menggelengkan kepalanya. “Rumahku lumayan jauh.
Lebih baik aku di kampus daripada harus lelah di jalan. Aku juga butuh stamina
untuk pelajaran nanti.”
“Kalau
begitu lebih baik kau serius menggunakan piano itu, Michael Antaraya. Karena
kau mengganggu jam kami untuk latihan.” tiba-tiba seorang gadis masuk ke dalam
ruang musik dan mengomel kepada laki-laki bertubuh kurus itu.
Mike yang
mendengarnya langsung menoleh. Ia melengos. “Kau lagi. Kau ini memang
menyebalkan. Bianca, aku tahu kau dari jurusan musik. Tapi, kau tak perlu
menggunakan ruang musik sesering itu. Memangnya apa yang kau kejar?”
“Kalau kau
harus tahu, anak-anak jurusan musik termasuk teman lo itu sedang menyiapkan
penampilan untuk ambil nilai minggu depan. Dan semuanya akan menentukan
siapa-siapa saja yang akan mewakili lomba musik beberapa bulan ke depan.”
ceramah Bianca panjang lebar. Ia menoleh ke arah Elang. “Hei kau, kenapa diam
saja? Apa kau tak terganggu dengan sikapnya itu?”
Elang
tertawa mendengar ucapan Bianca. “Tidak. Santai saja, Bianca. Kita masih
memiliki beberapa hari untuk latihan. Atau kau bisa memakainya beberapa jam ke
depan. Mike akan masuk kuliah jam dua belas nanti. Satu jam lebih awal dari
kita.”
“Kau itu
terlalu santai.” kata Bianca sebal. “Ya sudah. Terserah kau. Hei, apa kau sudah
mengerjakan tugas teori musik dari dosen kita? Kudengar kau mahir, aku butuh
bantuanmu.”
Elang
mengangguk. “Kau bisa membawa bukumu ke sini. Aku akan dengan senang hati
membantumu. Daripada menyalin jawaban, lebih baik aku mengajarimu sekalian.”
Bianca
manyun. “Aku tidak mengatakan kalau aku akan menyalin jawaban!”
Elang
tertawa.
J L J
Gabriel langsung
membantingkan tubuhnya begitu sampai rumah. Harinya di sekolah hari ini
benar-benar membuatnya lelah. Apalagi dengan apa yang terjadi saat di
perjalanan pulang tadi.
Rio juga sama
lelahnya dengan Gabriel. Ia juga melewati semua yang dilewati saudara kembarnya
tadi siang. Benar-benar mengerikan. Namun, yang jelas setelah ini pasti akan
terjadi masalah di antara mereka.
"Kau
memikirkan kejadian tadi?" tanya Gabriel sambil mengangkat badannya
sedikit dan menopangnya dengan sikunya.
Rio menoleh ke arah
saudaranya. Ia mengangguk. "Kurasa dia masih dendam kepada kita,
Yel."
"Lalu kita
harus bagaimana? Apa kita harus memberitahu yang lain tentang ini?"
Rio diam. Iapun tak
tahu apa yang dilakukannya sekarang. Tidak. Dia tidak berpikir untuk
memberitahu teman-temannya yang lain tentang kejadian tadi. Tapi, jika dia
menyembunyikan hal ini dari mereka semua, bagaimana dengan persahabatan antar
anggota tim basket yang baru dimulai ini?
Gabriel menghela
napas. Ia menggelengkan kepala. "Tidak. Kita harus menyimpan semua dulu,
Yo. Demi persahabatan kita."
Rio mengangguk.
Gabriel bangkit dari tidurnya, kemudian langsung berjalan menuju lemari
pakaian untuk mengambil baju basket. Selama ini dia sering meminta kepada orang
tuanya agar dibelikan berbagai macam baju untuk olahraga karena saat kecil dulu
dia rutin main basket. Dan berhubung ukurannya dari dulu sampai sekarang tidak
beda jauh, baju-baju itu masih bisa dipakainya.
“Kau ingin kemana?” tanya Rio sambil mengernyitkan dahinya melihat baju
basket yang ada di tangannya. Kakaknya yang lahir lima menit lebih awal darinya
itu meletakkan baju basketnya di tempat tidur, kemudian mengambil celana pendek
hitam dari lemarinya.
“Oh, apa aku belum cerita?” tanya Gabriel membalikkan badannya menatap
adiknya. “Ray mengajakku bermain basket di lapangan. Mie ayam gratis di kantin
besok menjadi taruhannya. Menyenangkan, bukan?”
Rio mengangguk. “Kalau begitu, pastikan kau menang. Mungkin setelah itu,
kita bisa mengatakan kepada Ayah dan Ibu bahwa kita berniat menabung uang
jajan. Dan mereka pasti akan memberikan kita berdua hadiah. Lumayan mendapatkan
bonus!”
Gabriel tertawa, kemudian menjitak Rio. “Kau itu ada-ada saja! Perbuatanmu
itu akan menyenangkan tapi akan membuatmu banyak dosa. Jangan banyak tingkah
dengan Ayah dan Ibu. Belajar dengan baik sudah cukup.”
“Ah, tapi mereka hanya memberikan hadiah jika nilai ujian kita sangat
tinggi. Kalau tidak, mereka tak akan mempunyai alasan untuk memberi kita sebuah
reward.” kata Rio sambil mengelus
dahinya yang dijitak.
“Setidaknya, Ayah dan Ibu tidak melarang kita berdua bermain basket, Yo.”
kata Gabriel menepuk pundak Rio, kemudian langsung berjalan menuju kamar mandi.
“Sudah, aku akan mencuci muka dulu, setelah itu aku akan langsung pergi. Aku
akan kabari rumah jika aku makan di luar.”
“Baiklah.”
TO BE CONTINUED...
Penasaran? Baca terus sampai tamat ya!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Makasih ya udah baca cerpenku. Silahkan tinggalkan komentar kamu ya.
Semua kritik dan saran aku terima. Pujian juga boleh :p