“CAKKA…
CAKKA… CAKKA…”
Terdengar
suara gemuruh dari penonton di GOR UNY, Jogjakarta saat itu. Langit sudah
gelap, jam sudah menunjukkan pukul tujuh malam. Tapi, pemuda tinggi yang sejak
tadi ditunggu mereka belumjuga muncul di atas panggung. Tangan mereka diangkat
ke atas seolah-olah menuntut kemerdekaan. Wajah mereka menyinggungkan senyuman
penuh harapan.
Panggung
besar di hadapan mereka masih gelap. Lampu-lampu sorot yang sejak jam lima sore
nyala di atas panggungsejenak dimatikan untuk memberikan beberapa saat bagi
personel band yang akan tampil untuk bersiap-siap. Oh, ralat! Bukan band, namun
sebuah duo yang didukung oleh beberapa pemain alat musik.
“Oke siap?”
bisik salah seorang personel itu kepada teman-temannya yang lain. “Sebentar
lagi kita harus mulai. Mereka sudah menanti kita.” Setelah semuanya
menganggukkan kepala mereka, ia memberi isyarat kepada semua panitia bahwa
mereka sudah siap. Semua personel langsung mengambil posisinya masing-masing.
Lampu
sorot tak langsung dinyalakan. Penampilan mereka dimulai dari kegelapan. Untuk
beberapa saat, pemain dram yangada di panggung segera menggebuk alat musiknya
dengan semangat. Sudah dapat diduga, semua penonton langsung bersorak gembira
ketika mereka sudah mulaimenampakkan diri satu per satu.
Seiring
irama dram memanjakan telinga, suara seseorang terdengar dari kegelapan
panggung itu. Sengaja, agar suasanasemakin ramai. Dengan suara bass-nya
serak-serak basah, ia berteriak menyapapenonton, “APA KABAR SEMUA?!”
“Huaaaaa….”
Suasana penonton semakin ramai dan liar begitu mendengar suaranya. Walaupun
wujudnya belum kelihatan,tapi mereka jelas tahu suara siapa yang menyapa mereka
itu.
Gitar
mulai dimainkan setelah semuapenonton berteriak. Dalam sekejap, semua lampu
sorot dinyalakan, menampakkanwujud lima orang pemuda sudah memegang alat
musiknya masing-masing. Di bagian paling belakang terlihat dua orang pemuda
memegang keyboard dan dram, di bagian tengah berdiri seorang gitaris yang
memakai kupluk. Dan tentu saja, sang vokalis yang berdiri paling depan sambil
menepuk tangannya mengikuti introlagu. Dengan baju merah dan topi terbaliknya,
ia terlihat anak muda sekali.
“AAAA…
CAKKA…!!!!”
Sang
vokalis, Cakka, langsung mengambil mikrofon dari tempatnya dan berputar di
depan penonton untuk memulailagunya. Dengan segala aksipanggungnya yang
bervariasi, semua penonton tampak antusias melompat-lompatheboh mengikuti irama
musik bahkan ikut bernyanyi bersamanya.
"Nyanyi
bareng Cakka yuk! Kita bersama...?" kata Cakka langsung mengarahkan
mikrofonnya ke arah ke penonton. Sambil mendengarkan semua penggemarnya bernyanyi
keras-keras lirik lagunya, ia mengacungkan jempol kepada mereka sambil
tersenyum. Ah, mereka selalu hafal dengan lagu-lagu yang ia ciptakan.
Kita bersama meleburkan beda
Kita bersama memahami semua
Jangan dengarkan suara sumbangnya
Karenakisahmu tertulis denganku
J L J
Bunda
tampak sibuk mengelap wajah Cakka yang telah basah kuyup karena keringat.
Rambut harajukunya kini tampakseperti habis dicuci. Keringat yang ia hasilkan
sampai membasahi kedua bahunyapula. Untung saja saat itu backstage sedang sepi,
atau Cakka harus menahan malu karena teman-temannya pasti tertawa melihatnya
seperti anak kecil.
“Bunda,
habis ini langsung pulang ya.” kata Cakka sambil menengadah menatap wajah Bunda
di atas kepalanya.
“Kamu tak
ingin melihat Ayah dulu? Ia juga menontonmu tadi. Sekalian untuk menjemput
Elang.” kata Bunda dengan nadaselembut sutra. Ia menarik kedua tangannya
setelah membersihkan keringat anak bungsunya. Elang adalah kakak Cakka
satu-satunya.
“Tumben?”
“Kau
jangan begitu, bagaimanapun dia tetap Ayahmu.”
“Ah, aku
lebih senang jika Bunda mencarikanku Ayah baru.” kata Cakka cuek. Tangannya
segera meraih sebuah botol mineral dan meneguknya dengan cepat. Ia haus sekali.
Bunda
tersenyum mendengar ucapan anak bungsunya. Mungkin
butuh waktu lama untuk merubah semuanya…
J L J
Elang
tengah memainkan gitarnya saat Ayah datang menghampirinya di ruang latihan.
Ruangan minimalis yang dibuat Ayah saat mereka pindah ke rumah itu adalah
sebuah ruangan khusus dipakainya untuk bergaul dengan alat musiknya. Selain
bermacam-macam gitar yang dipajang di dinding, ia juga mempunyai sebuah
keyboard di sudut ruangan. Di sebelah keyboard
juga telah disiapkan meja untuk komputer dan alat-alat merekam lainnya. Lantai
ruangan itu dilapisi dengan karpet merah bermotif lambang tim sepakbola
favoritnya. Dan.. ah! Sepertinya Elang lupa menutup pintunya lagi!
Ia rindu
sekali dengan kenangan-kenangan masa kecilnya. Andai semuanya tidak harus
berubah menjadi sepi, mungkin ia masih bisa memainkan lagu itu dengan adiknya.
Lagu itu adalah lagu lama. Lagu itu adalah lagu yang sangat ia sukai semenjak
ia masih kecil. Dulu ia memainkannya berdua dengan adiknya.
Tangannya
yang lincah memainkan senar gitar mengalihkan perhatiannya sehingga ia tak
menyadari bahwa pria paruh baya itu telah duduk di hadapannya. Begitu ia
selesai memainkan gitarnya, ia tersenyum menatapnya. "Eh, ada Ayah. Elang
sampai tak sadar."
Ayah
tersenyum mendengarnya. "Kau masih sering memainkan lagu itu?"
"Aku
tak akan pernah lupa untuk memainkan lagu itu, Yah. Cakka adalah adikku.
Selamanya akan begitu." kata Elang. "Walaupun kita sudah tidak
tinggal bersama, tapi tali persaudaraan tetap akan jalan, kan, Yah."
"Untuk
apa? Kau tidak ingat apa yang ia lakukan ketika kita akan pindah ke sini?"
"Dia
mempunyai alasan tersendiri melakukan itu. Jauh di dalam hatinya, Cakka pasti
masih sayang pada Ayah. Mungkin ia hanya terpaksa."
Ayah
mengangkat alisnya. Matanya seolah-olah bertanya, 'benarkah itu?' atau mungkin
bisa juga 'rasa sayang apa yang kamu maksud?'. Ia jelas tak percaya bahwa anak
bungsunya itu masih perduli padanya. Anak macam apa yang berani memperlakukan
Ayahnya seburuk memperlakukan binatang liar yang sembarangan mampir ke rumah?
Ah,
sejujurnya Elang tak pernah berpikir bahwa Cakka adalah seorang adik yang tidak
baik. Jika diingat kembali, Cakka jelas lebih mementingkan kebutuhan orang
tuanya daripada dirinya sendiri. Kalaupun ia akhirnya melakukan sesuatu yang
bisa dikatakan egois, ia pasti mempunyai alasan sendiri. Apalagi ini Ayah. Dia
sangat dekat dengan Ayah. Tak mungkin ia berniat buruk kepadanya.
"Yah..."
panggilan Elang tiba-tiba memecah kesunyian dalam ruangan latihan itu. "Besok
Cakka ambil rapor. Ayah tidak ingin mengunjunginya? Sebentar lagi juga tahun
baru."
Ayah diam
saja mendengarnya. Memang, walaupun mereka terpisah, mereka tetap berkumpul
bersama saat tahun baru. Hanya saat tahun baru. Namun, entahlah. Ia masih belum
bisa melupakan apa yang telah dilakukan oleh anak bungsunya beberapa tahun yang
lalu. Bahkan sekarang ia tak pernah banyak bicara kepadanya lagi. Apa dia juga
tak boleh merubah sikapnya?
TO BE
CONTINUED...
Penasaran?
Baca sampai tamat ya!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Makasih ya udah baca cerpenku. Silahkan tinggalkan komentar kamu ya.
Semua kritik dan saran aku terima. Pujian juga boleh :p