Selasa, 15 Juli 2014

Mini Cerbung | Unforgiven Part 1




“CAKKA… CAKKA… CAKKA…”
Terdengar suara gemuruh dari penonton di GOR UNY, Jogjakarta saat itu. Langit sudah gelap, jam sudah menunjukkan pukul tujuh malam. Tapi, pemuda tinggi yang sejak tadi ditunggu mereka belumjuga muncul di atas panggung. Tangan mereka diangkat ke atas seolah-olah menuntut kemerdekaan. Wajah mereka menyinggungkan senyuman penuh harapan.

Panggung besar di hadapan mereka masih gelap. Lampu-lampu sorot yang sejak jam lima sore nyala di atas panggungsejenak dimatikan untuk memberikan beberapa saat bagi personel band yang akan tampil untuk bersiap-siap. Oh, ralat! Bukan band, namun sebuah duo yang didukung oleh beberapa pemain alat musik.
“Oke siap?” bisik salah seorang personel itu kepada teman-temannya yang lain. “Sebentar lagi kita harus mulai. Mereka sudah menanti kita.” Setelah semuanya menganggukkan kepala mereka, ia memberi isyarat kepada semua panitia bahwa mereka sudah siap. Semua personel langsung mengambil posisinya masing-masing.
Lampu sorot tak langsung dinyalakan. Penampilan mereka dimulai dari kegelapan. Untuk beberapa saat, pemain dram yangada di panggung segera menggebuk alat musiknya dengan semangat. Sudah dapat diduga, semua penonton langsung bersorak gembira ketika mereka sudah mulaimenampakkan diri satu per satu.
Seiring irama dram memanjakan telinga, suara seseorang terdengar dari kegelapan panggung itu. Sengaja, agar suasanasemakin ramai. Dengan suara bass-nya serak-serak basah, ia berteriak menyapapenonton, “APA KABAR SEMUA?!”
“Huaaaaa….” Suasana penonton semakin ramai dan liar begitu mendengar suaranya. Walaupun wujudnya belum kelihatan,tapi mereka jelas tahu suara siapa yang menyapa mereka itu.
Gitar mulai dimainkan setelah semuapenonton berteriak. Dalam sekejap, semua lampu sorot dinyalakan, menampakkanwujud lima orang pemuda sudah memegang alat musiknya masing-masing. Di bagian paling belakang terlihat dua orang pemuda memegang keyboard dan dram, di bagian tengah berdiri seorang gitaris yang memakai kupluk. Dan tentu saja, sang vokalis yang berdiri paling depan sambil menepuk tangannya mengikuti introlagu. Dengan baju merah dan topi terbaliknya, ia terlihat anak muda sekali.
“AAAA… CAKKA…!!!!”
Sang vokalis, Cakka, langsung mengambil mikrofon dari tempatnya dan berputar di depan penonton untuk memulailagunya. Dengan segala aksipanggungnya yang bervariasi, semua penonton tampak antusias melompat-lompatheboh mengikuti irama musik bahkan ikut bernyanyi bersamanya.
"Nyanyi bareng Cakka yuk! Kita bersama...?" kata Cakka langsung mengarahkan mikrofonnya ke arah ke penonton. Sambil mendengarkan semua penggemarnya bernyanyi keras-keras lirik lagunya, ia mengacungkan jempol kepada mereka sambil tersenyum. Ah, mereka selalu hafal dengan lagu-lagu yang ia ciptakan.

Kita bersama meleburkan beda
Kita bersama memahami semua
Jangan dengarkan suara sumbangnya
Karenakisahmu tertulis denganku

J L J

Bunda tampak sibuk mengelap wajah Cakka yang telah basah kuyup karena keringat. Rambut harajukunya kini tampakseperti habis dicuci. Keringat yang ia hasilkan sampai membasahi kedua bahunyapula. Untung saja saat itu backstage sedang sepi, atau Cakka harus menahan malu karena teman-temannya pasti tertawa melihatnya seperti anak kecil.
“Bunda, habis ini langsung pulang ya.” kata Cakka sambil menengadah menatap wajah Bunda di atas kepalanya.
“Kamu tak ingin melihat Ayah dulu? Ia juga menontonmu tadi. Sekalian untuk menjemput Elang.” kata Bunda dengan nadaselembut sutra. Ia menarik kedua tangannya setelah membersihkan keringat anak bungsunya. Elang adalah kakak Cakka satu-satunya.
“Tumben?”
“Kau jangan begitu, bagaimanapun dia tetap Ayahmu.”
“Ah, aku lebih senang jika Bunda mencarikanku Ayah baru.” kata Cakka cuek. Tangannya segera meraih sebuah botol mineral dan meneguknya dengan cepat. Ia haus sekali.
Bunda tersenyum mendengar ucapan anak bungsunya. Mungkin butuh waktu lama untuk merubah semuanya…

J L J

Elang tengah memainkan gitarnya saat Ayah datang menghampirinya di ruang latihan. Ruangan minimalis yang dibuat Ayah saat mereka pindah ke rumah itu adalah sebuah ruangan khusus dipakainya untuk bergaul dengan alat musiknya. Selain bermacam-macam gitar yang dipajang di dinding, ia juga mempunyai sebuah keyboard di sudut ruangan. Di sebelah keyboard juga telah disiapkan meja untuk komputer dan alat-alat merekam lainnya. Lantai ruangan itu dilapisi dengan karpet merah bermotif lambang tim sepakbola favoritnya. Dan.. ah! Sepertinya Elang lupa menutup pintunya lagi!
Ia rindu sekali dengan kenangan-kenangan masa kecilnya. Andai semuanya tidak harus berubah menjadi sepi, mungkin ia masih bisa memainkan lagu itu dengan adiknya. Lagu itu adalah lagu lama. Lagu itu adalah lagu yang sangat ia sukai semenjak ia masih kecil. Dulu ia memainkannya berdua dengan adiknya.
Tangannya yang lincah memainkan senar gitar mengalihkan perhatiannya sehingga ia tak menyadari bahwa pria paruh baya itu telah duduk di hadapannya. Begitu ia selesai memainkan gitarnya, ia tersenyum menatapnya. "Eh, ada Ayah. Elang sampai tak sadar."
Ayah tersenyum mendengarnya. "Kau masih sering memainkan lagu itu?"
"Aku tak akan pernah lupa untuk memainkan lagu itu, Yah. Cakka adalah adikku. Selamanya akan begitu." kata Elang. "Walaupun kita sudah tidak tinggal bersama, tapi tali persaudaraan tetap akan jalan, kan, Yah."
"Untuk apa? Kau tidak ingat apa yang ia lakukan ketika kita akan pindah ke sini?"
"Dia mempunyai alasan tersendiri melakukan itu. Jauh di dalam hatinya, Cakka pasti masih sayang pada Ayah. Mungkin ia hanya terpaksa."
Ayah mengangkat alisnya. Matanya seolah-olah bertanya, 'benarkah itu?' atau mungkin bisa juga 'rasa sayang apa yang kamu maksud?'. Ia jelas tak percaya bahwa anak bungsunya itu masih perduli padanya. Anak macam apa yang berani memperlakukan Ayahnya seburuk memperlakukan binatang liar yang sembarangan mampir ke rumah?
Ah, sejujurnya Elang tak pernah berpikir bahwa Cakka adalah seorang adik yang tidak baik. Jika diingat kembali, Cakka jelas lebih mementingkan kebutuhan orang tuanya daripada dirinya sendiri. Kalaupun ia akhirnya melakukan sesuatu yang bisa dikatakan egois, ia pasti mempunyai alasan sendiri. Apalagi ini Ayah. Dia sangat dekat dengan Ayah. Tak mungkin ia berniat buruk kepadanya.
"Yah..." panggilan Elang tiba-tiba memecah kesunyian dalam ruangan latihan itu. "Besok Cakka ambil rapor. Ayah tidak ingin mengunjunginya? Sebentar lagi juga tahun baru."
Ayah diam saja mendengarnya. Memang, walaupun mereka terpisah, mereka tetap berkumpul bersama saat tahun baru. Hanya saat tahun baru. Namun, entahlah. Ia masih belum bisa melupakan apa yang telah dilakukan oleh anak bungsunya beberapa tahun yang lalu. Bahkan sekarang ia tak pernah banyak bicara kepadanya lagi. Apa dia juga tak boleh merubah sikapnya?

TO BE CONTINUED...
Penasaran? Baca sampai tamat ya!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Makasih ya udah baca cerpenku. Silahkan tinggalkan komentar kamu ya.
Semua kritik dan saran aku terima. Pujian juga boleh :p