Pelan-pelan
Cakka menekan tuts-tuts piano di hadapannya. Untuk beberapa saat ia menciptakan
sebuah intro lagu yang cukup mellow, sesuai dengan nada-nada yang muncul di
kepalanya. Kemudian, ia berhenti sejenak. Sejujurnya, ia pun tak tahu mau
memainkan lagu apa. Otaknya penuh dengan memori-memori masa lalu yang masih
belum bisa ia lupakan.
J L J
FLASHBACK...
Cakka
sedang memainkan gitarnya sendirian di ruang latihan. Siang itu begitu sepi
karena Elang sedang pergi ke sekolah karena ada kerja kelompok. Sementara Bunda
sedang ke rumah temannya. Cakka merasa bosan jika tak ada orang di rumah.
Untung saja ia memiliki banyak teman curhat di rumah. 13 gitar yang terpajang
di ruang latihannya selalu bisa benar-benar membuat moodnya kembali naik.
Tak lama
kemudian, seseorang masuk ke dalam ruang latihan dan menemui Cakka. Sambil
memainkan gitarnya, Cakka tersenyum menatap orang itu. Tinggal dia satu-satunya
orang yang ada di rumah selain dirinya sekarang. Dan ia datang tepat waktu.
"Lagi-lagi kamu di sini. Bosan ya tidak ada Mas Elang dan Bunda?
"Iya,
Yah." kata Cakka segera menghentikan permainannya dan memeluk tubuhnya
dengan erat. Saat itu, Cakka masih kecil. Ia baru menginjak bangku SD. Badan
Ayah jauh lebih besar daripada dirinya. Tingginya saja baru sampai di pinggang
Ayah. "Mas Elang dan Bunda lama sekali di luar. Cakka tidak ada teman di
rumah."
"Kalau
begitu, biar Ayah yang temani ya?" kata Ayah sambil tersenyum ke arah
Cakka. Ia menundukkan badannya sedikit dan mengangkat Cakka kecil ke dalam
gendongannya. "Ayo sekarang kita jalan-jalan ke taman saja. Cakka suka
berlari-larian di sana, kan? Mau?"
"Mau,
Yah!"
J L J
PRESENT...
Ia terdiam
mengingat kejadian itu. Ya. Dulu Ayah sering sekali menjadi penyebab hilangnya
rasa bosan jika Cakka sedang sendirian. Ayah selalu mengajaknya ke taman
bermain untuk berlari-larian maupun bermain jungkat-jungkit jika Elang ada.
Mungkin karena itulah ia bisa menjadi sangat dekat dengan Ayah. Dulu Ayah
sering sekali menjadi alasannya kenapa dia tersenyum. Tapi, sekarang sudah
berubah. Berubah total semenjak mereka berempat terpisah menjadi dua kelompok.
Ia menoleh
ke arah sudut piano. Niatnya ingin mengambil sesuatu. Namun, matanya langsung
membesar menatap kosongnya daerah itu. Hey, bagaimana bisa tak ada apa-apa di
sana?
"Ponselku
kemana?" kata Cakka sambil menggaruk-garukkan kepalanya yang tak gatal. Ia
selalu meletakkan dua ponselnya di sana. Bahkan saat tidur, kecuali kalau ia
memang memerlukannya saat malam hari. Namun, rasanya ia menaruhnya di sana
sebelum tidur kemarin agar dapat mengisi baterainya yang hampir habis.
Tak lama
kemudian, Bunda tak sengaja memergoki anaknya sedang mencari-cari sesuatu. Ia
tersenyum kecil. Kemudian, ia segera hampiri sejenak anaknya itu. "Cari apa,
Kka?"
"Bunda!
Apa Bunda melihat dua ponselku? BB dan Iphoneku selalu kutaruh di sudut piano.
Tapi, sekarang dua-duanya menghilang begitu saja!" kata Cakka. Ia menoleh
ke arah Bunda. Bunda tampaknya sudah siap dengan baju rapi. Wajahnya sudah
dipoles make-up, tangannya sudah menjinjing tas. "Eh, Bunda mau
kemana?"
"Kemana
lagi kalau bukan mengambil rapormu? Kau di rumah saja siap-siap untuk nanti
malam." kata Bunda sambil tersenyum. Ia segera memakai sepatunya di ambang
pintu. "Jangan marah-marah soal ponselmu. Mungkin kamu lupa kalau telah
memindahkannya ke tempat lain. Bunda pergi dulu, Om Ray sudah menunggu di
luar."
"Om
Ray?"
"Klien
Bunda. Bunda ada perlu dengannya hari ini, jadi sekalian saja. Setelah dari
sekolahmu, Bunda akan meeting dengannya. Kamu jaga rumah baik-baik sampai sore
nanti. Jangan lupa makan, jangan keasyikan main, dan yang paling penting,
jangan mengeluh sendiri tentang Ayah."
"Klien?
Ah, yang tempo hari pernah membantuku memantapkan teknik gitarku, bukan?"
kata Cakka sambil manggut-manggut. "Dia cocok menjadi Ayah baruku."
"Hush.
Baru diberitahu, sudah melanggar." kata Bunda sambil tersenyum. Ia
menyempatkan diri untuk mencium kening Cakka sebelum pergi. "Bunda pergi
dulu. Kalau nilaimu jelek, tak ada makanan kesukaanmu nanti malam."
Cakka
tertawa kecil. Kemudian, sambil melambaikan tangan, ia menjawab, "Oke,
Bunda. Nanti aku menyusul jam tujuh malam. Bunda langsung ke sekolah
saja."
Cakka
membiarkan pintu depannya terbuka, kemudian ia segera masuk ke dalam. Mungkin
saja kata-kata Bunda benar. Kadang-kadang ia juga bisa menjadi orang yang
pelupa jika sedang capek. Ia berjalan menelusuri lorong kecil dan masuk ke
dalam kamarnya. Ia bongkar lemari bajunya, tempat tidurnya, meja komputer
beserta laci-lacinya yang ada di sudut kamar, bahkan mengorek-ngorek kolong
tempat tidur. Tetapi hasilnya? NIHIL!
Cakka
mengacak-acak rambutnya untuk melampiaskan emosinya. Ia tak perduli rambutnya
akan berantakan. "Kemana dua benda berhargaku itu? Siapa sih yang iseng
mengambil mereka dari tempatnya?!"
L J L
Bunda
tersenyum ketika melihat sederet nilai yang diberikan oleh wali kelas Cakka.
Walaupun ada beberapa yang tidak terlalu tinggi, namun untuk seorang anak
laki-laki pemusik seperti anak bungsunya, nilai-nilai yang tertera pada buku
rapornya sudah cukup memuaskan. Andai Ayah duduk di sampingnya untuk melihat
hasil belajar Cakka, dia juga pasti merasa bangga mempunyai anak seperti Cakka.
"Sayang
sekali Cakka tak bisa ikut datang untuk melihat rapornya." kata Ibu Guru
yang duduk di hadapannya. Ia tersenyum menatap Bunda. "Dia pasti senang
sekali kalau mengetahui dia mendapatkan gelar juara kelas."
"Mungkin
hari ini akan jadi hari terbaik yang pernah dia lewati. Terima kasih, Bu. Saya
senang sekali mengetahui kalau Cakka bisa menjadi juara kelas. Padahal, dia
selalu berpatisipasi untuk acara sekolah." kata Bunda. Ia segera berdiri
dan menyalami Ibu Guru. "Kalau begitu saya pamit dulu, Bu."
"Iya
sama-sama." kata Ibu Guru. Ia segera memanggil orang tua murid selanjutnya
setelah Bunda melangkah pergi.
Sambil
mendekap erat rapor Cakka, Bunda segera berjalan meninggalkan kelas. Kedua
kakinya melangkah keluar sampai ia mendapati seseorang yang tampaknya sudah
menunggu dari tadi di parkiran motor. Seorang laki-laki tinggi yang memakai
kaus biru itu tampak sibuk dengan ponselnya sambil duduk di atas motor. Bunda
langsung tersenyum sambil menghampirinya.
"Sudah
lama?"
Ia menoleh
ke arah Bunda begitu mendengar suara. Ia langsung segera memasukkan ponselnya
ke dalam saku celananya dan memeluk sejenak tubuh Bunda. "Belum lama,
Bunda. Bagaimana dengan jalannya rencana? Aku sudah berpesan untuk hati-hati
agar tidak ketahuan."
Bunda
mengangguk. "Semuanya berjalan dengan lancar. Sekarang giliranmu saja.
Atur semuanya supaya rencana sukses. Jangan sampai terjadi hal-hal yang tidak
diinginkan. Kamu sendiri tahu bagaimana sifat adikmu. By the way, Ayah tidak
ikut mengambil rapormu, Lang?"
Ya. Dia
Elang. kakak laki-laki dari Cakka. Ia tersenyum menatap Bunda. "Ah, Bunda
bukannya tak mengerti sifat Ayah. Dia tentu tau Bunda akan datang, dia mana mau
datang ke sini? Bagaimana dengan Cakka? Kenapa dia tidak ikut?"
"Kau
kan tahu kalau nanti malam kalian harus tampil maksimal. Bunda membiarkannya
istirahat dulu. Dia tampaknya masih capek karena menghibur teman-temannya
kemarin." kata Bunda sambil tersenyum. "Kalau begitu, Bunda pergi dulu. Teman Bunda sudah
menunggu. Harus meeting klien. Setelah itu langsung kembali ke sekolah."
"Oke,
Bunda. Hati-hati di jalan. Jangan lupa bawa kamera!" teriak Elang karena
Bunda telah ada di jarak yang agak jauh darinya. Yang diteriaki hanya
mengacungkan jempol. Elang tertawa kecil kemudian menggeleng-gelengkan
kepalanya menatap Bunda. Kemudian, ia langsung menaiki motornya dan segera
pulang.
J L J
Elang
menghentikan motornya begitu ia sampai di depan rumah bercat abu-abu. Ia
menggiring motornya itu masuk ke dalam garasi dan memarkirkannya di sana. Ia
segera membuka helm yang ia pakai di kepalanya dan ditaruh bersama motornya.
Rapor yang sejak tadi harus tersembunyi di balik jaketnya, ia keluarkan dan ia
dekap dengan kedua tangannya. Setelah itu, ia keluar dari garasi dan berjalan
menuju ruang tengah. Di sana, tampak Ayah sedang sibuk menikmati segelas kopi
hangat. Tampaknya sambil melamun.
"Ayah?"
Elang segera duduk di samping Ayah.
Ayah
sempat kaget melihat anaknya sudah ada di dekatnya. Ia menaruh gelas kopinya di
meja kemudian menelan seteguk kopi yang telah ia masukkan ke dalam mulutnya.
"Kau sudah pulang?"
Elang
mengangguk. Ia tersenyum. "Yah, nanti malam datang ya ke sekolah. Lihat
aku dan Cakka di acara sekolah. Sekolah mengadakan acara tutup tahun sebelum
masuk semester dua nanti. Kami berdua berpatisipasi jadi pengisi acara."
"Untuk
apa? Kamu pergi sendiri saja. Ayah lebih baik istirahat di rumah." kata
Ayah. Kemudian, ia meneguk kopinya lagi.
"Sebentar
lagi tahun baru, Yah. Kita berempat sudah berjanji kalau menjelang tahun baru,
kita harus berkumpul sekeluarga. Masa Ayah ingin mengingkari janji itu?"
kata Elang mencoba membujuk. "Aku dan Cakka sudah menurut untuk tidak
tinggal bersama, sekali ini saja, Ayah turuti permintaan kami untuk datang ya,
Yah?"
"Permintaan
kami? Ah, yang benar saja kamu. Dia tidak akan melakukan hal seperti itu."
kata Ayah dengan nada meremehkan.
"Tidak
penting Cakka memintanya atau tidak. Yang penting Ayah akan datang. Hanya
sebatas itu saja, kami berdua pasti sangat senang, Yah. Aku janji, ini
permintaan terakhirku. Setelah ini, aku tidak akan minta apa-apa lagi."
Oke, oke.
Ayah akan datang. Puas?" tanya Ayah akhirnya mengalah. " Awas kalau
kamu melanggar janjimu. Ingat, ini yang terakhir kalinya kamu menyuruh Ayah
untuk ikut ke acara Cakka."
"Janji,
Yah! Kalau begitu, aku masuk ke kamar dulu! Mau istirahat sekalian
latihan!" kata Elang langsung semangat begitu Ayah setuju. Ia langsung
beranjak dari tempatnya dan masuk ke dalam kamarnya.
"YES!
Sekarang tinggal misi akhir!" kata Elang dengan girang begitu ia menutup
pintu kamarnya. Ia tersenyum lebar. Ia segera duduk di tempat tidurnya dan
menoleh ke arah meja belajarnya yang ada di sebelah tempat tidur. Ia mengambil
salah satu foto kecil yang telah dibingkai dan dipajang di meja belajarnya itu.
Foto keluarganya. Di sana telah terpampang wajah Ayah yang begitu bahagia
menggendong Cakka, sementara Elang berada di rangkulan Bunda. "Mungkin
sebentar lagi kita akan kembali bersama."
Ia segera
menaruh kembali foto itu dan mengambil ponselnya dan menelepon ke rumah
seseorang. Begitu telepon tersambung, ia langsung berseru, "Kka, seperti
kau akan pulang terlambat! Ada yang mau kasih kejutan pada kau!"
TO BE
CONTINUED..
Penasaran?
Baca sampai tamat ya!
wah.. kalo kata gw sihk... lebih baik pake website dot.com.. biar lebih keren.. kan banyak sekali cerpennya ^_^
BalasHapus