Selasa, 15 Juli 2014

Mini Cerbung | Unforgiven Part 2




Pelan-pelan Cakka menekan tuts-tuts piano di hadapannya. Untuk beberapa saat ia menciptakan sebuah intro lagu yang cukup mellow, sesuai dengan nada-nada yang muncul di kepalanya. Kemudian, ia berhenti sejenak. Sejujurnya, ia pun tak tahu mau memainkan lagu apa. Otaknya penuh dengan memori-memori masa lalu yang masih belum bisa ia lupakan.


J L J

FLASHBACK...
Cakka sedang memainkan gitarnya sendirian di ruang latihan. Siang itu begitu sepi karena Elang sedang pergi ke sekolah karena ada kerja kelompok. Sementara Bunda sedang ke rumah temannya. Cakka merasa bosan jika tak ada orang di rumah. Untung saja ia memiliki banyak teman curhat di rumah. 13 gitar yang terpajang di ruang latihannya selalu bisa benar-benar membuat moodnya kembali naik.
Tak lama kemudian, seseorang masuk ke dalam ruang latihan dan menemui Cakka. Sambil memainkan gitarnya, Cakka tersenyum menatap orang itu. Tinggal dia satu-satunya orang yang ada di rumah selain dirinya sekarang. Dan ia datang tepat waktu. "Lagi-lagi kamu di sini. Bosan ya tidak ada Mas Elang dan Bunda?
"Iya, Yah." kata Cakka segera menghentikan permainannya dan memeluk tubuhnya dengan erat. Saat itu, Cakka masih kecil. Ia baru menginjak bangku SD. Badan Ayah jauh lebih besar daripada dirinya. Tingginya saja baru sampai di pinggang Ayah. "Mas Elang dan Bunda lama sekali di luar. Cakka tidak ada teman di rumah."
"Kalau begitu, biar Ayah yang temani ya?" kata Ayah sambil tersenyum ke arah Cakka. Ia menundukkan badannya sedikit dan mengangkat Cakka kecil ke dalam gendongannya. "Ayo sekarang kita jalan-jalan ke taman saja. Cakka suka berlari-larian di sana, kan? Mau?"
"Mau, Yah!"

J L J

PRESENT...
Ia terdiam mengingat kejadian itu. Ya. Dulu Ayah sering sekali menjadi penyebab hilangnya rasa bosan jika Cakka sedang sendirian. Ayah selalu mengajaknya ke taman bermain untuk berlari-larian maupun bermain jungkat-jungkit jika Elang ada. Mungkin karena itulah ia bisa menjadi sangat dekat dengan Ayah. Dulu Ayah sering sekali menjadi alasannya kenapa dia tersenyum. Tapi, sekarang sudah berubah. Berubah total semenjak mereka berempat terpisah menjadi dua kelompok.
Ia menoleh ke arah sudut piano. Niatnya ingin mengambil sesuatu. Namun, matanya langsung membesar menatap kosongnya daerah itu. Hey, bagaimana bisa tak ada apa-apa di sana?
"Ponselku kemana?" kata Cakka sambil menggaruk-garukkan kepalanya yang tak gatal. Ia selalu meletakkan dua ponselnya di sana. Bahkan saat tidur, kecuali kalau ia memang memerlukannya saat malam hari. Namun, rasanya ia menaruhnya di sana sebelum tidur kemarin agar dapat mengisi baterainya yang hampir habis.
Tak lama kemudian, Bunda tak sengaja memergoki anaknya sedang mencari-cari sesuatu. Ia tersenyum kecil. Kemudian, ia segera hampiri sejenak anaknya itu. "Cari apa, Kka?"
"Bunda! Apa Bunda melihat dua ponselku? BB dan Iphoneku selalu kutaruh di sudut piano. Tapi, sekarang dua-duanya menghilang begitu saja!" kata Cakka. Ia menoleh ke arah Bunda. Bunda tampaknya sudah siap dengan baju rapi. Wajahnya sudah dipoles make-up, tangannya sudah menjinjing tas. "Eh, Bunda mau kemana?"
"Kemana lagi kalau bukan mengambil rapormu? Kau di rumah saja siap-siap untuk nanti malam." kata Bunda sambil tersenyum. Ia segera memakai sepatunya di ambang pintu. "Jangan marah-marah soal ponselmu. Mungkin kamu lupa kalau telah memindahkannya ke tempat lain. Bunda pergi dulu, Om Ray sudah menunggu di luar."
"Om Ray?"
"Klien Bunda. Bunda ada perlu dengannya hari ini, jadi sekalian saja. Setelah dari sekolahmu, Bunda akan meeting dengannya. Kamu jaga rumah baik-baik sampai sore nanti. Jangan lupa makan, jangan keasyikan main, dan yang paling penting, jangan mengeluh sendiri tentang Ayah."
"Klien? Ah, yang tempo hari pernah membantuku memantapkan teknik gitarku, bukan?" kata Cakka sambil manggut-manggut. "Dia cocok menjadi Ayah baruku."
"Hush. Baru diberitahu, sudah melanggar." kata Bunda sambil tersenyum. Ia menyempatkan diri untuk mencium kening Cakka sebelum pergi. "Bunda pergi dulu. Kalau nilaimu jelek, tak ada makanan kesukaanmu nanti malam."
Cakka tertawa kecil. Kemudian, sambil melambaikan tangan, ia menjawab, "Oke, Bunda. Nanti aku menyusul jam tujuh malam. Bunda langsung ke sekolah saja."
Cakka membiarkan pintu depannya terbuka, kemudian ia segera masuk ke dalam. Mungkin saja kata-kata Bunda benar. Kadang-kadang ia juga bisa menjadi orang yang pelupa jika sedang capek. Ia berjalan menelusuri lorong kecil dan masuk ke dalam kamarnya. Ia bongkar lemari bajunya, tempat tidurnya, meja komputer beserta laci-lacinya yang ada di sudut kamar, bahkan mengorek-ngorek kolong tempat tidur. Tetapi hasilnya? NIHIL!
Cakka mengacak-acak rambutnya untuk melampiaskan emosinya. Ia tak perduli rambutnya akan berantakan. "Kemana dua benda berhargaku itu? Siapa sih yang iseng mengambil mereka dari tempatnya?!"

L J L

Bunda tersenyum ketika melihat sederet nilai yang diberikan oleh wali kelas Cakka. Walaupun ada beberapa yang tidak terlalu tinggi, namun untuk seorang anak laki-laki pemusik seperti anak bungsunya, nilai-nilai yang tertera pada buku rapornya sudah cukup memuaskan. Andai Ayah duduk di sampingnya untuk melihat hasil belajar Cakka, dia juga pasti merasa bangga mempunyai anak seperti Cakka.
"Sayang sekali Cakka tak bisa ikut datang untuk melihat rapornya." kata Ibu Guru yang duduk di hadapannya. Ia tersenyum menatap Bunda. "Dia pasti senang sekali kalau mengetahui dia mendapatkan gelar juara kelas."
"Mungkin hari ini akan jadi hari terbaik yang pernah dia lewati. Terima kasih, Bu. Saya senang sekali mengetahui kalau Cakka bisa menjadi juara kelas. Padahal, dia selalu berpatisipasi untuk acara sekolah." kata Bunda. Ia segera berdiri dan menyalami Ibu Guru. "Kalau begitu saya pamit dulu, Bu."
"Iya sama-sama." kata Ibu Guru. Ia segera memanggil orang tua murid selanjutnya setelah Bunda melangkah pergi.
Sambil mendekap erat rapor Cakka, Bunda segera berjalan meninggalkan kelas. Kedua kakinya melangkah keluar sampai ia mendapati seseorang yang tampaknya sudah menunggu dari tadi di parkiran motor. Seorang laki-laki tinggi yang memakai kaus biru itu tampak sibuk dengan ponselnya sambil duduk di atas motor. Bunda langsung tersenyum sambil menghampirinya.
"Sudah lama?"
Ia menoleh ke arah Bunda begitu mendengar suara. Ia langsung segera memasukkan ponselnya ke dalam saku celananya dan memeluk sejenak tubuh Bunda. "Belum lama, Bunda. Bagaimana dengan jalannya rencana? Aku sudah berpesan untuk hati-hati agar tidak ketahuan."
Bunda mengangguk. "Semuanya berjalan dengan lancar. Sekarang giliranmu saja. Atur semuanya supaya rencana sukses. Jangan sampai terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Kamu sendiri tahu bagaimana sifat adikmu. By the way, Ayah tidak ikut mengambil rapormu, Lang?"
Ya. Dia Elang. kakak laki-laki dari Cakka. Ia tersenyum menatap Bunda. "Ah, Bunda bukannya tak mengerti sifat Ayah. Dia tentu tau Bunda akan datang, dia mana mau datang ke sini? Bagaimana dengan Cakka? Kenapa dia tidak ikut?"
"Kau kan tahu kalau nanti malam kalian harus tampil maksimal. Bunda membiarkannya istirahat dulu. Dia tampaknya masih capek karena menghibur teman-temannya kemarin." kata Bunda sambil tersenyum.  "Kalau begitu, Bunda pergi dulu. Teman Bunda sudah menunggu. Harus meeting klien. Setelah itu langsung kembali ke sekolah."
"Oke, Bunda. Hati-hati di jalan. Jangan lupa bawa kamera!" teriak Elang karena Bunda telah ada di jarak yang agak jauh darinya. Yang diteriaki hanya mengacungkan jempol. Elang tertawa kecil kemudian menggeleng-gelengkan kepalanya menatap Bunda. Kemudian, ia langsung menaiki motornya dan segera pulang.

J L J

Elang menghentikan motornya begitu ia sampai di depan rumah bercat abu-abu. Ia menggiring motornya itu masuk ke dalam garasi dan memarkirkannya di sana. Ia segera membuka helm yang ia pakai di kepalanya dan ditaruh bersama motornya. Rapor yang sejak tadi harus tersembunyi di balik jaketnya, ia keluarkan dan ia dekap dengan kedua tangannya. Setelah itu, ia keluar dari garasi dan berjalan menuju ruang tengah. Di sana, tampak Ayah sedang sibuk menikmati segelas kopi hangat. Tampaknya sambil melamun.
"Ayah?" Elang segera duduk di samping Ayah.
Ayah sempat kaget melihat anaknya sudah ada di dekatnya. Ia menaruh gelas kopinya di meja kemudian menelan seteguk kopi yang telah ia masukkan ke dalam mulutnya. "Kau sudah pulang?"
Elang mengangguk. Ia tersenyum. "Yah, nanti malam datang ya ke sekolah. Lihat aku dan Cakka di acara sekolah. Sekolah mengadakan acara tutup tahun sebelum masuk semester dua nanti. Kami berdua berpatisipasi jadi pengisi acara."
"Untuk apa? Kamu pergi sendiri saja. Ayah lebih baik istirahat di rumah." kata Ayah. Kemudian, ia meneguk kopinya lagi.
"Sebentar lagi tahun baru, Yah. Kita berempat sudah berjanji kalau menjelang tahun baru, kita harus berkumpul sekeluarga. Masa Ayah ingin mengingkari janji itu?" kata Elang mencoba membujuk. "Aku dan Cakka sudah menurut untuk tidak tinggal bersama, sekali ini saja, Ayah turuti permintaan kami untuk datang ya, Yah?"
"Permintaan kami? Ah, yang benar saja kamu. Dia tidak akan melakukan hal seperti itu." kata Ayah dengan nada meremehkan.
"Tidak penting Cakka memintanya atau tidak. Yang penting Ayah akan datang. Hanya sebatas itu saja, kami berdua pasti sangat senang, Yah. Aku janji, ini permintaan terakhirku. Setelah ini, aku tidak akan minta apa-apa lagi."
Oke, oke. Ayah akan datang. Puas?" tanya Ayah akhirnya mengalah. " Awas kalau kamu melanggar janjimu. Ingat, ini yang terakhir kalinya kamu menyuruh Ayah untuk ikut ke acara Cakka."
"Janji, Yah! Kalau begitu, aku masuk ke kamar dulu! Mau istirahat sekalian latihan!" kata Elang langsung semangat begitu Ayah setuju. Ia langsung beranjak dari tempatnya dan masuk ke dalam kamarnya.
"YES! Sekarang tinggal misi akhir!" kata Elang dengan girang begitu ia menutup pintu kamarnya. Ia tersenyum lebar. Ia segera duduk di tempat tidurnya dan menoleh ke arah meja belajarnya yang ada di sebelah tempat tidur. Ia mengambil salah satu foto kecil yang telah dibingkai dan dipajang di meja belajarnya itu. Foto keluarganya. Di sana telah terpampang wajah Ayah yang begitu bahagia menggendong Cakka, sementara Elang berada di rangkulan Bunda. "Mungkin sebentar lagi kita akan kembali bersama."
Ia segera menaruh kembali foto itu dan mengambil ponselnya dan menelepon ke rumah seseorang. Begitu telepon tersambung, ia langsung berseru, "Kka, seperti kau akan pulang terlambat! Ada yang mau kasih kejutan pada kau!"


TO BE CONTINUED..
Penasaran? Baca sampai tamat ya!

1 komentar:

  1. wah.. kalo kata gw sihk... lebih baik pake website dot.com.. biar lebih keren.. kan banyak sekali cerpennya ^_^

    BalasHapus

Makasih ya udah baca cerpenku. Silahkan tinggalkan komentar kamu ya.
Semua kritik dan saran aku terima. Pujian juga boleh :p