Sebentar
lagi jam sudah menunjukkan angka delapan. Alvin, Deva dan Ray langsung
cepat-cepat pulang ke rumah masing-masing. Karena besok ia harus sekolah, Cakka
tak punya waktu lagi untuk bersantai-santai. Cakka langsung segera bersiap-siap
untuk makan malam bersama Ayah. Ia mengambil lauk dan melahapnya dengan
kecepatan pelan. Sementara Ayah seperti makan dengan tidak nafsu.
Ayah
meletakkan peralatan makannya dan memanggil anaknya. "Kka..."
"Kenapa,
Yah?" tanya Cakka langsung menatap Ayah sambil mengunyah makanannya.
"Teman
barumu yang datang tadi..." kata Ayah terputus. "Kau mengenalnya
dimana? Sudah berapa lama? Dan apa dia pernah bercerita tentang
kehidupannya?"
"Oh,
Ray? Aku baru mengenalnya seminggu yang lalu. Sehari setelah Ayah memberitahuku
bahwa aku mempunyai adik. Waktu itu aku tak sengaja melihatnya di taman komplek
sedang bermain bersama anak kecil. Aku diam-diam menggambarnya dan ternyata ia
memergokiku." kata Cakka. "Dia tak banyak bicara. Ia hanya mengatakan
kalau ia tinggal bersama Bundanya. Namun, Bundanya harus bekerja sampai sore,
sehingga ia sering merasa kesepian. Ah ya, dia juga berkata kalau ia ingin
mempunyai saudara."
"Kemarin
aku bertemu dengannya di sekolah, Yah. Deva mengajaknya ke sana untuk melihat
pameranku. Deva adalah teman sekelasnya. Kata Deva, Ray sangat suka dengan
barang-barang seni."
"Apa
dia sebaya denganmu?"
Cakka
menggelengkan kepalanya. "Dia sekelas dengan Deva. Tidak mungkin aku
sebaya dengannya. Dia masih duduk di kelas 2 SMP."
"Lalu,
apa dia memakai gelang karet sepertimu? Atau ada barang berharga yang dia
ceritakan kepadamu?"
Cakka
menggelengkan kepalanya sekali lagi. "Tidak. Aku rasa dia tidak akan
menceritakan hal-hal seperti itu, Yah. Dia pendiam sekali. Memangnya kenapa,
Yah? Ayah tidak senang aku berteman dengannya?"
Kini Ayah
yang menggelengkan kepalanya. "Bukan begitu, tapi Ray mengingatkan Ayah
pada seseorang. Mungkin besok setelah pulang sekolah, kau bisa mengajaknya
kemari lagi. Kau bisa menghubungi Deva atau Alvin, bukan?"
"Oh.
Begitu? Baiklah, besok aku akan mengajak mereka datang ke sini lagi." kata
Cakka. "Memangnya Ray mengingatkan Ayah pada siapa? Apa Ayah pernah
mempunyai teman pendiam seperti dia?"
Ayah
tersenyum menanggapinya. Membuat Cakka semakin penasaran. Namun, ia tetap diam.
Ia segera menyelesaikan makanannya dan langsung pamit kepada Ayah untuk masuk
ke dalam kamar. Ia ingin segera menggosok giginya dan terlelap dalam alam
mimpi. Ayah yang masih belum selesai makan hanya menganggukkan kepalanya sambil
tersenyum, merelakan anaknya pergi istirahat.
J L J
Deva, apa
kau bisa mengajak Ray kemari setelah pulang sekolah? Ayah ingin bertemu dengan
Ray. Ada urusan sedikit yang harus dibicarakan. Kalau kau tak ingin ikut juga
tidak apa-apa. Yang penting, Ray bisa datang. Ah ya, bilang pada Ray agar
membawa barang berharganya jika dia berkenan.
Atas dasar
pesan yang diterimanya tadi pagi dari sepupunya, ia langsung mengajak Ray
mampir ke rumah Cakka lagi. Kali ini mereka hanya berdua karena Alvin pasti
belum pulang. Dan Deva tidak akan mungkin menolak untuk pergi ke rumah Cakka.
Rumah Cakka sudah seperti rumah keduanya. Tempat itu tempat ternyaman yang
pernah ia tinggali selain rumahnya. Berbeda dengan rumahnya, Deva bisa lebih
tenang bermain tanpa diganggu oleh siapapun karena di rumah Cakka tak ada tiga
adiknya yang harus ia jaga. Kalau di rumah, ia pasti akan sangat sibuk sampai
malam.
Begitu
dipersilahkan masuk oleh Cakka, Deva langsung diajaknya ke kamar untuk bermain
bersama. Sementara Ray diajak Ayah untuk berbicara di ruang keluarga. Begitu
sampai di ruang keluarga, Ayah mempersilahkannya untuk duduk di sofa. Ayah juga
ikut duduk di sampingnya. Kemudian, keheningan terjadi. Karena tak ada yang
ingin memulai pembicaraan duluan, Ray mengeluarkan sesuatu dari tangan kanannya
dan memberikannya kepada Ayah.
Ayah
menatapnya dalam diam. Sebuah gelang karet. Ukurannya cukup kecil karena tangan
Ray tergolong kurus. Warnanya biru bersih. Terukir nama Ray di sana. Ayah
segera mengambilnya dari tangan Ray. "Jadi ini barang berhargamu?"
Ray
mengangguk, kemudian tersenyum kecil. "Kata Bunda, dulu Ayah yang
memberikannya saat aku masih kecil."
Ayah
menoleh ke arah Ray. "Ayah? Saya dengar kamu hanya tinggal dengan Ibumu.
Dan kamu kesepian di rumah."
Ray
mengangguk lagi. "Aku tidak tahu siapa Ayah. Bunda pernah bercerita
kepadaku kalau Ayah sudah meninggal saat aku berumur tiga tahun. Karena itu,
saya hanya bisa berharap kalau saya punya saudara. Tapi, sepertinya tidak
mungkin. Bunda sibuk bekerja."
Ayah
manggut-manggut, kemudian langsung bertanya dengan ragu, "Apa nama Ibumu..
Ida Listiani?"
Ray kaget
sesaat, kemudian langsung tersenyum. "Benar, Om. Om mengenal Bunda?"
Ayah diam.
Ia kembali menatap gelang karet milik Ray itu. Menciptakan keheningan untuk
beberapa saat, kemudian dia segera memegang erat gelang karetnya. "Ray,
mungkin kamu tidak akan percaya. Tapi, sebenarnya..."
"Sebenarnya,
Ayahmu belum meninggal."
"Ayahmu
belum meninggal. Dan kamu sebenarnya mempunyai kakak."
Ray diam
sejenak mendengarnya. "Om serius? Siapa?"
Ayah
tersenyum menatap Ray. Kemudian, ia segera memanggil Cakka, membuat Ray tidak mengerti
dengan semua ini. Begitu Cakka datang menghampiri Ayah dan Ray, Cakka langsung
disuruh duduk di sofa, dan Ray disuruh bergeser sedikit. Cakka langsung
menurut, kemudian Ayah langsung duduk di antara mereka.
"Ayah,
sebenarnya ada apa? Sejak kemarin Ayah bertanya-tanya tentang Ray terus,
sekarang kenapa?" tanya Cakka kebingungan dengan tingkah Ayah yang aneh.
Ayah tidak
menggubris pertanyaan Cakka. Ia langsung menoleh ke arah Ray dan mengembalikan
gelang karetnya ke tempat semula. Ia memasukkan gelang karet itu ke tangan
kanan Ray. Setelah itu, Ayah menarik tangan kanan Cakka ke pangkuannya,
menyebabkan tangan kanan Cakka dan tangan kanan Ray bertemu. Yang membuat Cakka
kaget saat itu adalah... Ray mempunyai gelang yang sama dengan gelang karet yang
dikenakannya. Hanya berbeda warnanya.
"Cakka,
kau selalu memakai gelang karet berwarna merah bertuliskan Cakka. Dan kau, Ray,
memakai gelang karet berwarna biru, yang bertuliskan namamu. Kalian berdua
sama-sama mendapatkan gelang ini dari Ayah kalian saat masih kecil. Dan
akhirnya kalian bertemu satu sama lain saat sudah sebesar ini." kata Ayah.
"Kontak batin antara saudara memang tak pernah bisa terputus."
"Mak..
Maksud Ayah?" kata Cakka menduga-duga.
Ayah
segera menaruh tangan Cakka di atas tangan Ray. "Cakka, Ray merupakan anak
dari Ibu Listiani. Nama itu tidak asing di telingamu, bukan? Ya. Dia adikmu
yang selama ini sudah terpisah darimu, Nak."
Cakka tak
bisa menahan rasa kagetnya. "A.. Apa?!"
Ayah
mengangguk. "Jadi begini ceritanya, kamu mempunyai saudara laki-laki yang
sangat mencintai barang-barang seni. Adikmu berbeda dua tahun denganmu. Dulu
kalian sering bermain bersama. Tapi, sayangnya saat usia kalian masih sangat
kecil, Ayah dan Bunda berpisah. Saat itu, kamu masih tiga tahun, Kka. Dan kau,
masih setahun, Ray. Karena Ayah dan Bunda tak ingin menyakiti kalian, kami
sepakat untuk mengatakan hal yang sama kepada kalian tentang Ayah dan Bunda,
yaitu meninggal saat tiga tahun. Padahal, sebenarnya kami berpisah karena
alasan tertentu."
Cakka
terdiam mendengarnya, kemudian ia langsung menoleh ke arah Ray. Ternyata, itu
adiknya. Itu adiknya yang selama ini dia cari. Ternyata, pamerannya berhasil.
Ia langsung segera bangkit dari sofa dan berdiri di depan Ray. "Ray...
kau.. kau adikku..."
Ray
tersenyum menatap mata Cakka yang mulai berkaca-kaca. Ia segera berdiri dan
langsung memeluk Cakka dengan erat. "Aku beruntung bertemu denganmu, Kka.
Tanpa melakukan apapun, kau telah mewujudkan harapan mustahilku. Ternyata, aku
mempunyai seorang kakak. Dan kita.. kita bukan anak yatim maupun anak piatu.
Ayah dan Bunda kita masih ada."
Cakka
segera membalas pelukan Ray. Sementara Ayah yang masih duduk di sofa hanya bisa
tersenyum melihat keduanya yang tampak bahagia. "Kelak, jika kau ingin
bertemu dengan Bunda, Ayah tidak akan melarang, Kka. Kau juga, Ray, kau boleh
kapan saja berkunjung ke sini. Walaupun Ayah dan Bunda tidak bisa bersatu lagi,
jika bisa bertemu satu sama lain, kalian tetap bahagia bukan?"
Cakka dan
Ray melepaskan pelukan mereka. Cakka tersenyum haru menatap Ayah. Sementara Ray
segera memeluk Ayah dengan erat. "Terima kasih... Ayah."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Makasih ya udah baca cerpenku. Silahkan tinggalkan komentar kamu ya.
Semua kritik dan saran aku terima. Pujian juga boleh :p