Sabtu, 19 Juli 2014

Mini Cerbung | Impossible Wish Part 3 [Ending]



Sebentar lagi jam sudah menunjukkan angka delapan. Alvin, Deva dan Ray langsung cepat-cepat pulang ke rumah masing-masing. Karena besok ia harus sekolah, Cakka tak punya waktu lagi untuk bersantai-santai. Cakka langsung segera bersiap-siap untuk makan malam bersama Ayah. Ia mengambil lauk dan melahapnya dengan kecepatan pelan. Sementara Ayah seperti makan dengan tidak nafsu.
Ayah meletakkan peralatan makannya dan memanggil anaknya. "Kka..." 
"Kenapa, Yah?" tanya Cakka langsung menatap Ayah sambil mengunyah makanannya.
"Teman barumu yang datang tadi..." kata Ayah terputus. "Kau mengenalnya dimana? Sudah berapa lama? Dan apa dia pernah bercerita tentang kehidupannya?"
"Oh, Ray? Aku baru mengenalnya seminggu yang lalu. Sehari setelah Ayah memberitahuku bahwa aku mempunyai adik. Waktu itu aku tak sengaja melihatnya di taman komplek sedang bermain bersama anak kecil. Aku diam-diam menggambarnya dan ternyata ia memergokiku." kata Cakka. "Dia tak banyak bicara. Ia hanya mengatakan kalau ia tinggal bersama Bundanya. Namun, Bundanya harus bekerja sampai sore, sehingga ia sering merasa kesepian. Ah ya, dia juga berkata kalau ia ingin mempunyai saudara."
"Kemarin aku bertemu dengannya di sekolah, Yah. Deva mengajaknya ke sana untuk melihat pameranku. Deva adalah teman sekelasnya. Kata Deva, Ray sangat suka dengan barang-barang seni."
"Apa dia sebaya denganmu?"
Cakka menggelengkan kepalanya. "Dia sekelas dengan Deva. Tidak mungkin aku sebaya dengannya. Dia masih duduk di kelas 2 SMP."
"Lalu, apa dia memakai gelang karet sepertimu? Atau ada barang berharga yang dia ceritakan kepadamu?"
Cakka menggelengkan kepalanya sekali lagi. "Tidak. Aku rasa dia tidak akan menceritakan hal-hal seperti itu, Yah. Dia pendiam sekali. Memangnya kenapa, Yah? Ayah tidak senang aku berteman dengannya?"
Kini Ayah yang menggelengkan kepalanya. "Bukan begitu, tapi Ray mengingatkan Ayah pada seseorang. Mungkin besok setelah pulang sekolah, kau bisa mengajaknya kemari lagi. Kau bisa menghubungi Deva atau Alvin, bukan?"
"Oh. Begitu? Baiklah, besok aku akan mengajak mereka datang ke sini lagi." kata Cakka. "Memangnya Ray mengingatkan Ayah pada siapa? Apa Ayah pernah mempunyai teman pendiam seperti dia?"
Ayah tersenyum menanggapinya. Membuat Cakka semakin penasaran. Namun, ia tetap diam. Ia segera menyelesaikan makanannya dan langsung pamit kepada Ayah untuk masuk ke dalam kamar. Ia ingin segera menggosok giginya dan terlelap dalam alam mimpi. Ayah yang masih belum selesai makan hanya menganggukkan kepalanya sambil tersenyum, merelakan anaknya pergi istirahat.

J L J

Deva, apa kau bisa mengajak Ray kemari setelah pulang sekolah? Ayah ingin bertemu dengan Ray. Ada urusan sedikit yang harus dibicarakan. Kalau kau tak ingin ikut juga tidak apa-apa. Yang penting, Ray bisa datang. Ah ya, bilang pada Ray agar membawa barang berharganya jika dia berkenan.
Atas dasar pesan yang diterimanya tadi pagi dari sepupunya, ia langsung mengajak Ray mampir ke rumah Cakka lagi. Kali ini mereka hanya berdua karena Alvin pasti belum pulang. Dan Deva tidak akan mungkin menolak untuk pergi ke rumah Cakka. Rumah Cakka sudah seperti rumah keduanya. Tempat itu tempat ternyaman yang pernah ia tinggali selain rumahnya. Berbeda dengan rumahnya, Deva bisa lebih tenang bermain tanpa diganggu oleh siapapun karena di rumah Cakka tak ada tiga adiknya yang harus ia jaga. Kalau di rumah, ia pasti akan sangat sibuk sampai malam.
Begitu dipersilahkan masuk oleh Cakka, Deva langsung diajaknya ke kamar untuk bermain bersama. Sementara Ray diajak Ayah untuk berbicara di ruang keluarga. Begitu sampai di ruang keluarga, Ayah mempersilahkannya untuk duduk di sofa. Ayah juga ikut duduk di sampingnya. Kemudian, keheningan terjadi. Karena tak ada yang ingin memulai pembicaraan duluan, Ray mengeluarkan sesuatu dari tangan kanannya dan memberikannya kepada Ayah.
Ayah menatapnya dalam diam. Sebuah gelang karet. Ukurannya cukup kecil karena tangan Ray tergolong kurus. Warnanya biru bersih. Terukir nama Ray di sana. Ayah segera mengambilnya dari tangan Ray. "Jadi ini barang berhargamu?"
Ray mengangguk, kemudian tersenyum kecil. "Kata Bunda, dulu Ayah yang memberikannya saat aku masih kecil."
Ayah menoleh ke arah Ray. "Ayah? Saya dengar kamu hanya tinggal dengan Ibumu. Dan kamu kesepian di rumah."
Ray mengangguk lagi. "Aku tidak tahu siapa Ayah. Bunda pernah bercerita kepadaku kalau Ayah sudah meninggal saat aku berumur tiga tahun. Karena itu, saya hanya bisa berharap kalau saya punya saudara. Tapi, sepertinya tidak mungkin. Bunda sibuk bekerja."
Ayah manggut-manggut, kemudian langsung bertanya dengan ragu, "Apa nama Ibumu.. Ida Listiani?"
Ray kaget sesaat, kemudian langsung tersenyum. "Benar, Om. Om mengenal Bunda?"
Ayah diam. Ia kembali menatap gelang karet milik Ray itu. Menciptakan keheningan untuk beberapa saat, kemudian dia segera memegang erat gelang karetnya. "Ray, mungkin kamu tidak akan percaya. Tapi, sebenarnya..."
"Sebenarnya, Ayahmu belum meninggal."
"Ayahmu belum meninggal. Dan kamu sebenarnya mempunyai kakak."
Ray diam sejenak mendengarnya. "Om serius? Siapa?"
Ayah tersenyum menatap Ray. Kemudian, ia segera memanggil Cakka, membuat Ray tidak mengerti dengan semua ini. Begitu Cakka datang menghampiri Ayah dan Ray, Cakka langsung disuruh duduk di sofa, dan Ray disuruh bergeser sedikit. Cakka langsung menurut, kemudian Ayah langsung duduk di antara mereka.
"Ayah, sebenarnya ada apa? Sejak kemarin Ayah bertanya-tanya tentang Ray terus, sekarang kenapa?" tanya Cakka kebingungan dengan tingkah Ayah yang aneh.
Ayah tidak menggubris pertanyaan Cakka. Ia langsung menoleh ke arah Ray dan mengembalikan gelang karetnya ke tempat semula. Ia memasukkan gelang karet itu ke tangan kanan Ray. Setelah itu, Ayah menarik tangan kanan Cakka ke pangkuannya, menyebabkan tangan kanan Cakka dan tangan kanan Ray bertemu. Yang membuat Cakka kaget saat itu adalah... Ray mempunyai gelang yang sama dengan gelang karet yang dikenakannya. Hanya berbeda warnanya.
"Cakka, kau selalu memakai gelang karet berwarna merah bertuliskan Cakka. Dan kau, Ray, memakai gelang karet berwarna biru, yang bertuliskan namamu. Kalian berdua sama-sama mendapatkan gelang ini dari Ayah kalian saat masih kecil. Dan akhirnya kalian bertemu satu sama lain saat sudah sebesar ini." kata Ayah. "Kontak batin antara saudara memang tak pernah bisa terputus."
"Mak.. Maksud Ayah?" kata Cakka menduga-duga.
Ayah segera menaruh tangan Cakka di atas tangan Ray. "Cakka, Ray merupakan anak dari Ibu Listiani. Nama itu tidak asing di telingamu, bukan? Ya. Dia adikmu yang selama ini sudah terpisah darimu, Nak."
Cakka tak bisa menahan rasa kagetnya. "A.. Apa?!"
Ayah mengangguk. "Jadi begini ceritanya, kamu mempunyai saudara laki-laki yang sangat mencintai barang-barang seni. Adikmu berbeda dua tahun denganmu. Dulu kalian sering bermain bersama. Tapi, sayangnya saat usia kalian masih sangat kecil, Ayah dan Bunda berpisah. Saat itu, kamu masih tiga tahun, Kka. Dan kau, masih setahun, Ray. Karena Ayah dan Bunda tak ingin menyakiti kalian, kami sepakat untuk mengatakan hal yang sama kepada kalian tentang Ayah dan Bunda, yaitu meninggal saat tiga tahun. Padahal, sebenarnya kami berpisah karena alasan tertentu."
Cakka terdiam mendengarnya, kemudian ia langsung menoleh ke arah Ray. Ternyata, itu adiknya. Itu adiknya yang selama ini dia cari. Ternyata, pamerannya berhasil. Ia langsung segera bangkit dari sofa dan berdiri di depan Ray. "Ray... kau.. kau adikku..."
Ray tersenyum menatap mata Cakka yang mulai berkaca-kaca. Ia segera berdiri dan langsung memeluk Cakka dengan erat. "Aku beruntung bertemu denganmu, Kka. Tanpa melakukan apapun, kau telah mewujudkan harapan mustahilku. Ternyata, aku mempunyai seorang kakak. Dan kita.. kita bukan anak yatim maupun anak piatu. Ayah dan Bunda kita masih ada."
Cakka segera membalas pelukan Ray. Sementara Ayah yang masih duduk di sofa hanya bisa tersenyum melihat keduanya yang tampak bahagia. "Kelak, jika kau ingin bertemu dengan Bunda, Ayah tidak akan melarang, Kka. Kau juga, Ray, kau boleh kapan saja berkunjung ke sini. Walaupun Ayah dan Bunda tidak bisa bersatu lagi, jika bisa bertemu satu sama lain, kalian tetap bahagia bukan?"
Cakka dan Ray melepaskan pelukan mereka. Cakka tersenyum haru menatap Ayah. Sementara Ray segera memeluk Ayah dengan erat. "Terima kasih... Ayah."

THE END...
Tuliskan komentar kalian di bawah,
nantikan ceritaku selanjutnya!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Makasih ya udah baca cerpenku. Silahkan tinggalkan komentar kamu ya.
Semua kritik dan saran aku terima. Pujian juga boleh :p