Cakka
duduk sendiri di sebuah pendopo dekat rumah untuk bermanja-manja dengan
gitarnya. Setelah selesai makan siang dengan Bunda, ia langsung buru-buru pamit
ke sana untuk menenangkan diri. Merenungkan bagaimana sepinya kehidupannya
sekarang. Sudah jauh berbeda setelah kedua orang tuanya berpisah. Tapi, ia juga
tak tahu harus berbuat apa untuk memperbaiki keadaan. Apalagi mengubah
kenyataan. Kehilangan, hatinya juga terasa menyakitkan. Setidaknya itulah yang
dirasakan laki-laki berbaju hijau itu sekarang.
Sore itu
angin berhembus pelan. Rambutnya yang sudah mulai panjang menari-nari mengikuti
arah berhembusnya udara tersebut. Kedua tangannya sibuk memetik senar-senar
gitar yang ia pangku di pahanya. Sudah hampir tiga tahun Cakka tinggal di
daerah itu. Daerah yang begitu sepi dan kosong. Berbeda dengan lingkungan
rumahnya yang lama, sekarang Cakka tak bisa bermain bersama teman-temannya
lagi. Daerah yang sekarang ia tinggali lebih mirip sebuah desa, anak-anak yang
tinggal di sana jelas sibuk membantu orang tua mereka. Sesuatu yang tak perlu
Cakka lakukan, karena Bunda bekerja menjadi model, katanya tempat kerjanya jauh
dari rumahnya. Ketika pulang, pasti Cakka sudah tidur. Makanya, Cakka selalu
sendiri di rumah. Hanya ditemani dengan gitar, ponsel dan beberapa alat
pelampiasannya. Soal makan? Biasanya Bunda pulang sebentar untuk makan siang
bersama, kemudian pergi kerja lagi. Makan malam? Cari sendiri.
"Bosan
sekali bermain gitar sendirian! Andai saja ada Mas Elang di sini..." Ia
berhenti sejenak, menyempatkan diri untuk memandang pemandangan luar. Mulutnya
terkunci rapat. Tatapannya tampak kosong saat melihat keadaan jalanan yang
selalu terlihat sepi. Ah, Cakka merasa lingkungan rumah yang ia tinggali
sekarang benar-benar membosankan. Ia benar-benar ingin kembali ke rumahnya yang
dulu. Yang ramai dengan empat orang, bersama Ayah dan kakaknya. Ya, kakak
laki-lakinya yang sudah ia anggap sahabat itu tinggal bersama Ayah di rumahnya
yang dulu. Makanya, Cakka sedih harus ikut dengan Bunda untuk tinggal di tempat
lain. Kenapa keluarganya harus berpisah menjadi dua kubu?
Cakka
bangkit dari tempat duduknya, kemudian berniat meninggalkan pendopo tersebut.
Ia ingin pulang ke rumah untuk menggambar. Setidaknya, itu hobinya sekarang,
selain bermain musik. Gitar yang biasanya menemaninya saat bosan sudah
kehilangan daya untuk mampu membuatnya tersenyum. Ah, pedih sekali jika
mengingat hal itu. Sekarang ia sudah berumur lima belas tahun. Kejadian tiga
tahun yang lalu itu masih tetap menghantuinya ketika ia sedang sendiri.
Cakka
membalikkan badannya sejenak sebelum meninggalkan pendopo. Ia tatap tempat
peristirahatan kecil yang sudah cukup lama menjadi tempat keluh kesahnya.
Teringat dengan semua yang telah terjadi di dalam hidupnya, berusaha mencari
celah untuk bisa mengubah jalan hidupnya kembali bahagia seperti dulu. Tapi,
tak lama kemudian ia menggelengkan kepalanya cepat. Membuyarkan semua lamunan
tak berguna itu. Kemudian, dengan perasaan campur aduk, ia langsung pulang
dengan gitar yang sudah tergantung di belakang punggungnya.
Kamu bukan
hanya seorang saudara, kamu juga seorang sahabat paling setia yang pernah
kupunya. Teman mungkin saja bisa meninggalkanku, tapi kamu tidak. Kamu selalu
ada di sisiku sampai jarak dan takdir memisahkan kita.
J L J
Sore itu,
Bunda berjalan-jalan sebentar saat jam istirahatnya. Ia ingin membeli sesuatu
untuk anak-anaknya. Nanti malam mungkin ia bisa pulang lebih cepat agar bisa
memberikannya langsung. Bagaimanapun juga, dari dulu anak bungsunya itu tak
tahu apa-apa tentang perpisahannya dengan Ayah. Begitu juga dengan anak
sulungnya. Seharusnya mereka tidak terlibat menjadi korban dalam masalahnya.
Tapi, perlakuan Ayah terasa sudah keterlaluan ketika ia mengusirnya dari rumah.
Dan entah kenapa, hari ini rasa bersalahnya semakin bertambah setelah makan
bersama dengan anak bungsunya. Kenapa waktu itu dia tega mengiyakan permintaan
Ayah dan mengajak Cakka pergi untuk tinggal di tempat yang jauh dari rumah
mereka? Padahal, berpisah dengan kakaknya saja pasti sudah membuat Cakka sedih.
Tapi, jika
dipikir-pikir kembali, semuanya menjadi serba salah. Jika waktu itu dia tidak
mengiyakan permintaan Ayah untuk keluar dari rumah, Cakka dan kakaknya pasti
akan lebih menderita lagi melihatnya sering bertengkar dengan Ayah karena
berbagai macam masalah. Tapi, jika dia mengiyakan, lihatlah akibatnya sekarang.
Cakka yang dulunya ceria menjadi pendiam. Mulutnya lebih sering terkunci rapat
daripada mengeluarkan suara untuk meramaikan suasana. Bahkan katanya dia sering
ke pendopo sendirian untuk sekedar menghilangkan rasa bosan. Seperti yang
dikatakannya tadi saat selesai makan siang dengannya.
Tapi,
entahlah. Iapun juga bingung bagaimana harus membuka hati Cakka lagi untuk
kembali terbuka dan memulai hidup baru di lingkungan barunya. Agar Cakka bisa
melupakan masa lalunya yang pahit. Juga merubah sikap Cakka di sekolahnya yang
baru. Ia sering mendengar dari wali kelas gurunya atau beberapa orang tua murid
yang membicarakan anak bungsunya, bahwa dia cukup tertutup dari pergaulan. Ia
lebih senang membaca buku sendiri di kelas daripada bergabung dengan
teman-temannya di kantin saat istirahat. Ketika teman-temannya mengajak
berbicara, Cakka hanya menjawabnya dengan singkat dan cuek. Itu membuat banyak
teman-temannya ragu untuk mengajaknya berteman.
Sama
seperti kepercayaan, hatinya yang telah retak, kini seakan-akan kehilangan
bagian dan membuatnya tidak lengkap. Susah baginya untuk menata dan membuka
hatinya kembali untuk orang lain demi masa depan.
J L J
Malam itu,
Cakka baru selesai mandi. Ia kembali memakai baju hijau, senada dengan baju
yang tadi siang ia pakai, namun beda model. Ia sudah tak tahan dengan
keadaannya yang sekarang. Kalau dia memang tak bisa mengubah kenyataan,
setidaknya biarkanlah dia menjenguk kakaknya untuk sejenak. Malam ini saja. Ia
sama sekali tidak perduli dengan jauhnya jarak yang harus ia tempuh untuk
sampai di rumahnya yang dulu, yang terpenting baginya adalah bertemu dengan
keluarganya yang sudah lama ia tinggalkan. Baginya, tak baik bagi seorang anak
untuk meninggalkan Ayah begitu saja. Tak baik bagi seorang saudara untuk
meninggalkan kakak kandungnya sendiri.
"Cakka?"
Cakka
menoleh ketika mendengar seseorang memanggilnya. Ia melirik jam tangannya,
kemudian menatap orang itu dengan heran. "Bunda? Hari ini tumben pulang
cepat? Ini baru jam tujuh malam."
Bunda
mengangguk, kemudian tersenyum. "Malam-malam begini, kamu mau kemana,
Nak?"
Cakka diam
sejenak, ragu untuk menjawab. Ia menunduk, menelan ludahnya sebentar, kemudian
mengangkat kepalanya lagi. Setelah menghela napas, ia baru bersuara. "Cakka
mau pulang, Bunda. Cakka mau bertemu Mas Elang. Cakka tidak betah tinggal di
sini. Cakka rindu dengan Mas Elang dan Ayah."
Bunda diam
mendengar ucapan anak bungsunya. Ia menghela napasnya sejenak, kemudian
memberikan dua buah kotak yang sudah tertutup dengan kertas kado kepadanya.
"Kalau begitu, bagaimana kalau Bunda antar? Dua barang itu untukmu dan
Elang. Bunda merasa bersalah dengan kalian karena perpisahan Bunda dan Ayah,
kalian terpaksa ikut terpisah. Ini untuk menebus kesalahan Bunda saja."
"Ini
apa, Bunda?" tanya Cakka heran. Ia menaruh satu kotak ke atas meja
belajarnya kemudian membuka satu kotak yang lain. Ia menyobek kertas kado yang
menutupi kotak tersebut. Matanya terbelalak ketika melihat sebuah tab di balik
kotak tersebut. Sudah lama ia menginginkannya, tapi Ayah selalu bilang kalau ia
akan membelikannya jika juara kelas. Masalahnya, sampai sekarang Cakka belum
bisa mencapai target Ayah itu. Ia kembali menatap Bunda. "Tab? Bunda,
Cakka kan tidak ulang tahun. Cakka juga tidak juara kelas."
Bunda
mengangguk. "Kotak yang satu lagi itu juga berisi tab, untuk kakakmu.
Dengan tab itu, kamu bisa berkomunikasi dengan Elang. Lewat skype misalnya.
Kamu bisa bertatap muka langsung dengan Elang. Bukankah selama ini kamu ingin
bertemu dengannya?"
"Tapi,
ini mahal. Cakka tak ingin uang Bunda menipis karena membelikan Cakka dan Mas
Elang ini." kata Cakka merasa bersalah. Tapi, Bunda tetap tidak mau
mendengarnya. Bunda justru langsung menariknya ke dalam mobil agar mereka
segera berangkat ke rumahnya yang dulu.
J L J
Delapan
malam. Elang sibuk sendiri di taman belakang rumahnya. Selain karena ia sudah
menyelesaikan sekolahnya dan dinyatakan lulus, ia tidak mempunyai pekerjaan
lain. Seharusnya ia kuliah, namun ia merasa ingin bebas terlebih dahulu dari semua
tugas belajarnya. Karena itu, sekarang iapun tak mengerti harus berbuat apa
untuk menghilangkan kebosanan. Sejak tadi pagi dia hanya memainkan gitarnya,
mulai dari kamar, ruang tamu sampai akhirnya sampailah ia di taman belakang.
Taman
belakang rumahnya masih sama seperti dulu. Sebuah ayunan kecil masih terpajang
di sana. Karena faktor rindu masa kecil dan faktor-faktor lainnya, ia ingin
duduk di sana sambil memandang langit yang saat itu penuh dengan bintang dan
bulan purnama. Sambil terayun pelan, tangannya sibuk memetik senar gitar,
melantunkan sebuah melodi indah untuk menambah keindahan malam yang sunyi pada
saat itu. Sayang sekali, ia sendiri lagi hari ini.
Ayah belum
pulang dari kantornya. Mungkin akan lembur lagi seperti biasanya. Untung saja dia
sudah besar, bisa menjaga diri sendiri walaupun orang tua sedang sibuk bekerja.
Terkadang tetangga maupun teman-teman SMAnya yang masih belum berangkat keluar
kota menemaninya di rumah. Tapi, tetap saja rasa bosan itu pasti ada. Ia jadi
rindu dengan adiknya. Biasanya dia selalu ada untuk membuatnya tertawa lagi.
Chase
Karayne, anak itu sudah tiga tahun lamanya meninggalkan Elang sendiri di rumah.
Pertengkaran-pertengkaran Ayah dan Bunda yang sudah adiknya dengar sejak lahir
akhirnya menghancurkan keharmonisan keluarganya sampai-sampai harus memisahkan
diri dengan Bunda di tempat yang jauh. Sekarang ia pasti sudah besar, tambah
tinggi juga tambah dewasa. Mungkin juga sekarang ia sudah masuk SMA. Kedua
tangannya pasti sudah mahir dalam memetik senar gitarnya. Lebih mahir daripada
saat terakhir kali Elang melihatnya. Entahlah. Terakhir kali ia bertemu
dengannya adalah saat mereka baru saja mengambil ijazah SD Cakka.
Elang
menoleh ke arah ayunan yang ada di sebelahnya. Ayunan kosong itu biasanya
diduduki oleh adiknya. Dia selalu menemaninya di sini untuk bernyanyi bersama,
atau hanya sekedar melihat langit sebelum tidur. Ya, memori masa kecil beberapa
tahun yang lalu itu masih membekas di hatinya. Apalagi ketika bermain musik
bersama, Elang benar-benar ingin mengulangnya kembali jika ia bisa. Tapi,
kenyataan tidak pernah mendukung. Adiknya itu tak pernah muncul lagi di
hadapannya semenjak ia pergi dari rumah bersama Bunda.
"Mas
Elang?"
Elang
tersentak mendengar suara itu, ia segera menoleh dan mencari sumber suara. Ia
langsung berdiri dan menyandarkan gitarnya di pinggir ayunan begitu melihat
sosok laki-laki tinggi di antara tanaman-tanaman yang tumbuh di halaman
belakangnya. Salah satu tangannya memegang sebuah kotak. Wajahnya mirip sekali
dengan seseorang. Ia mengucek-ngucek matanya sejenak, memastikan apakah ia
berhalusinasi. Tapi, ternyata tidak. Itu benar adiknya! Dia berdiri di sana dan
tersenyum kepadanya, kemudian berlari menghampiri Elang untuk memeluknya.
"Cakka?
Kamu datang?" kata Elang sambil tersenyum dan membalas pelukannya sejenak,
kemudian melepaskannya. "Kemana saja kamu? Kupikir kamu tidak akan muncul
lagi di hadapanku! Kamu sudah sejajar denganku. Pasti kamu rajin berolahraga
sampai bisa setinggi ini."
"Aku
punya cara tersendiri untuk meninggikan tinggi badanku!" kata Cakka sambil
tersenyum. "Kamu juga sudah tampak lebih dewasa, Mas. Berbeda sekali
dengan Mas Elang tiga tahun yang lalu. Ah, rasanya sudah lama sekali kita tidak
bertemu! Aku bosan berada di rumahku yang baru! Bunda sibuk terus!"
"Ayah
juga sibuk terus! Aku sudah lulus SMA, rasanya bosan kalau sendiri terus di
rumah!" kata Elang. "Untung sekali kamu datang hari ini, aku
benar-benar rindu dengan masa kecil kita! Kamu selalu menemaniku di sini!"
Cakka
mengangguk. Kemudian, ia segera duduk di ayunan kecil itu, ternyata masih bisa
dinaikinya walaupun ia sudah besar. Elang juga kembali duduk di ayunan kecil
lainnya, tepat di samping Cakka. Kemudian mereka berdua bersama-sama melihat
bintang di langit. Untuk beberapa saat mereka menikmati keindahan langit,
sampai Cakka kembali bersuara, "Sebenarnya, aku bisa datang ke sini berkat
Bunda."
Elang
menoleh ke arahnya. "Bunda?"
Cakka
mengangguk. "Hari ini Bunda tidak lembur. Kemudian memberikanku tab baru.
Tab impianku. Dan dia juga ingin memberikan sesuatu untukmu. Makanya, Bunda
mengantarku secepatnya ke sini karena mengerti bagaimana perasaanku selama ini.
Kotak ini dari Bunda." Cakka memberikan kotak yang dari tadi dipegangnya
kepada Elang.
"Apa
ini, Kka?" tanya Elang sambil memegang kotak itu dengan erat.
"Kata
Bunda, isinya tab yang sama denganku. Karena kita masing-masing memiliki benda
itu, kita bisa bertatap muka langsung kapanpun kita mau. Walaupun kita terpisah
dengan jarak, tapi kita masih tetap bisa bertemu. Aku benar-benar bahagia, akhirnya
kita mempunyai jalan keluar untuk semua masalah ini." kata Cakka sambil
tersenyum. Ia masih tetap melihat langit. "Dan aku bahagia, Bunda
mengizinkanku untuk bermalam di sini sampai besok pagi. Untuk menebus semua
kerinduan. Besok Bunda akan menjemputku lagi."
Hening.
Elang hanya manggut-manggut mendengar ucapan Cakka dan kembali melihat langit
juga seperti adiknya. Kemudian mengambil gitarnya untuk melantunkan lagu pelan
untuk adiknya. Kalau boleh jujur, Elang masih belum percaya adiknya ada di
sampingnya sekarang. Ia merasa seperti kembali merasakan masa lalunya yang
indah. Lebih hebatnya lagi, Bunda mengizinkan adiknya untuk bermalam di
tempatnya. Akhirnya, Tuhan mendengarkan doanya agar ia bisa bertemu kembali
dengan adiknya.
"Mas
Elang..." panggil Cakka sambil tetap berkonsentrasi melihat langit.
Bibirnya masih melengkung ke atas, seakan-akan menunjukkan kebahagiaannya
kepada langit.
"Hmm?"
Ia melirik ke arah adiknya. Tangannya tetap melantunkan lagu pelan untuk
menambah suasana damai.
"Kamu
tahu?" tanya Cakka memulai sebuah cerita. "Tiga tahun berlalu tanpa
ada Ayah dan Mas Elang, rasanya sepi sekali. Aku sering menyendiri karenanya.
Di sekolahpun aku jadi malas berteman dengan siapapun. Tapi, kalau
dipikir-pikir lagi, ternyata selama ini aku justru malah menolak
kenyataan."
Elang diam
saja mendengar cerita adiknya, ia tersenyum tipis.
"Keluarga
kita mungkin terpecah menjadi dua kelompok, tapi setelah bertemu lagi denganmu,
Mas, aku tahu, seberapa lama kita terpisah, kita masih tetap saudara. Kita tetap
sahabat dekat, kita tetap kakak adik yang kompak." kata Cakka. Ia menoleh
ke arah kakaknya. "Mungkin perpisahan Ayah dan Bunda hanya cara Tuhan
untuk mengajari kita belajar merelakan."
Elang
menghentikan permainan gitarnya. Kemudian menatap balik ke arah Cakka sambil
tersenyum. Tangan kanannya terulur untuk mengacak rambut Cakka dengan kasih
sayang. Ia senang sekali mendengar penuturan adiknya itu. "Ternyata, kamu
benar-benar sudah dewasa, Kka."
Cakka
hanya tertawa menanggapi perilaku kakaknya itu dan segera protes agar
menghentikan aksinya. Rambutnya benar-benar menjadi berantakan setelah kakaknya
mengacak-acaknya sembarangan. Tapi, ia juga merasakan kebahagiaan saat dia
melakukannya. Entah sudah berapa lama ia tak merasakan tangan kakaknya yang
suka seenaknya mengacak rambutnya yang rapi. Malam itu, benar-benar menjadi
malam yang panjang bagi mereka. Bahkan Ayah pun kaget melihat anak bungsunya
datang. Malam itu, mereka habiskan bersama dengan penuh canda tawa. Cakka dan
Elang meminta izin kepada Ayah untuk tidak tidur sampai esok pagi agar mereka
puas bermain sebelum Cakka harus kembali ke rumahnya yang baru. Untung saja
Ayah mengizinkannya. Ia rela tak tidur nyenyak demi kepentingan anak-anaknya.
Ia hanya tersenyum sepanjang malam mendengar keceriaan anak-anaknya dari
kamarnya sendiri.
Setiap
anggota keluarga saling membutuhkan. Anak membutuhkan kasih sayang orang tua,
dan orang tua memerlukan keceriaan anak-anak mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Makasih ya udah baca cerpenku. Silahkan tinggalkan komentar kamu ya.
Semua kritik dan saran aku terima. Pujian juga boleh :p