Sabtu, 19 Juli 2014

Cerpen | #TFTPassenger Version 2 | 'Reunited' Family




Cakka duduk sendiri di sebuah pendopo dekat rumah untuk bermanja-manja dengan gitarnya. Setelah selesai makan siang dengan Bunda, ia langsung buru-buru pamit ke sana untuk menenangkan diri. Merenungkan bagaimana sepinya kehidupannya sekarang. Sudah jauh berbeda setelah kedua orang tuanya berpisah. Tapi, ia juga tak tahu harus berbuat apa untuk memperbaiki keadaan. Apalagi mengubah kenyataan. Kehilangan, hatinya juga terasa menyakitkan. Setidaknya itulah yang dirasakan laki-laki berbaju hijau itu sekarang.

Sore itu angin berhembus pelan. Rambutnya yang sudah mulai panjang menari-nari mengikuti arah berhembusnya udara tersebut. Kedua tangannya sibuk memetik senar-senar gitar yang ia pangku di pahanya. Sudah hampir tiga tahun Cakka tinggal di daerah itu. Daerah yang begitu sepi dan kosong. Berbeda dengan lingkungan rumahnya yang lama, sekarang Cakka tak bisa bermain bersama teman-temannya lagi. Daerah yang sekarang ia tinggali lebih mirip sebuah desa, anak-anak yang tinggal di sana jelas sibuk membantu orang tua mereka. Sesuatu yang tak perlu Cakka lakukan, karena Bunda bekerja menjadi model, katanya tempat kerjanya jauh dari rumahnya. Ketika pulang, pasti Cakka sudah tidur. Makanya, Cakka selalu sendiri di rumah. Hanya ditemani dengan gitar, ponsel dan beberapa alat pelampiasannya. Soal makan? Biasanya Bunda pulang sebentar untuk makan siang bersama, kemudian pergi kerja lagi. Makan malam? Cari sendiri.
"Bosan sekali bermain gitar sendirian! Andai saja ada Mas Elang di sini..." Ia berhenti sejenak, menyempatkan diri untuk memandang pemandangan luar. Mulutnya terkunci rapat. Tatapannya tampak kosong saat melihat keadaan jalanan yang selalu terlihat sepi. Ah, Cakka merasa lingkungan rumah yang ia tinggali sekarang benar-benar membosankan. Ia benar-benar ingin kembali ke rumahnya yang dulu. Yang ramai dengan empat orang, bersama Ayah dan kakaknya. Ya, kakak laki-lakinya yang sudah ia anggap sahabat itu tinggal bersama Ayah di rumahnya yang dulu. Makanya, Cakka sedih harus ikut dengan Bunda untuk tinggal di tempat lain. Kenapa keluarganya harus berpisah menjadi dua kubu?
Cakka bangkit dari tempat duduknya, kemudian berniat meninggalkan pendopo tersebut. Ia ingin pulang ke rumah untuk menggambar. Setidaknya, itu hobinya sekarang, selain bermain musik. Gitar yang biasanya menemaninya saat bosan sudah kehilangan daya untuk mampu membuatnya tersenyum. Ah, pedih sekali jika mengingat hal itu. Sekarang ia sudah berumur lima belas tahun. Kejadian tiga tahun yang lalu itu masih tetap menghantuinya ketika ia sedang sendiri.
Cakka membalikkan badannya sejenak sebelum meninggalkan pendopo. Ia tatap tempat peristirahatan kecil yang sudah cukup lama menjadi tempat keluh kesahnya. Teringat dengan semua yang telah terjadi di dalam hidupnya, berusaha mencari celah untuk bisa mengubah jalan hidupnya kembali bahagia seperti dulu. Tapi, tak lama kemudian ia menggelengkan kepalanya cepat. Membuyarkan semua lamunan tak berguna itu. Kemudian, dengan perasaan campur aduk, ia langsung pulang dengan gitar yang sudah tergantung di belakang punggungnya.
Kamu bukan hanya seorang saudara, kamu juga seorang sahabat paling setia yang pernah kupunya. Teman mungkin saja bisa meninggalkanku, tapi kamu tidak. Kamu selalu ada di sisiku sampai jarak dan takdir memisahkan kita.

J L J

Sore itu, Bunda berjalan-jalan sebentar saat jam istirahatnya. Ia ingin membeli sesuatu untuk anak-anaknya. Nanti malam mungkin ia bisa pulang lebih cepat agar bisa memberikannya langsung. Bagaimanapun juga, dari dulu anak bungsunya itu tak tahu apa-apa tentang perpisahannya dengan Ayah. Begitu juga dengan anak sulungnya. Seharusnya mereka tidak terlibat menjadi korban dalam masalahnya. Tapi, perlakuan Ayah terasa sudah keterlaluan ketika ia mengusirnya dari rumah. Dan entah kenapa, hari ini rasa bersalahnya semakin bertambah setelah makan bersama dengan anak bungsunya. Kenapa waktu itu dia tega mengiyakan permintaan Ayah dan mengajak Cakka pergi untuk tinggal di tempat yang jauh dari rumah mereka? Padahal, berpisah dengan kakaknya saja pasti sudah membuat Cakka sedih.
Tapi, jika dipikir-pikir kembali, semuanya menjadi serba salah. Jika waktu itu dia tidak mengiyakan permintaan Ayah untuk keluar dari rumah, Cakka dan kakaknya pasti akan lebih menderita lagi melihatnya sering bertengkar dengan Ayah karena berbagai macam masalah. Tapi, jika dia mengiyakan, lihatlah akibatnya sekarang. Cakka yang dulunya ceria menjadi pendiam. Mulutnya lebih sering terkunci rapat daripada mengeluarkan suara untuk meramaikan suasana. Bahkan katanya dia sering ke pendopo sendirian untuk sekedar menghilangkan rasa bosan. Seperti yang dikatakannya tadi saat selesai makan siang dengannya.
Tapi, entahlah. Iapun juga bingung bagaimana harus membuka hati Cakka lagi untuk kembali terbuka dan memulai hidup baru di lingkungan barunya. Agar Cakka bisa melupakan masa lalunya yang pahit. Juga merubah sikap Cakka di sekolahnya yang baru. Ia sering mendengar dari wali kelas gurunya atau beberapa orang tua murid yang membicarakan anak bungsunya, bahwa dia cukup tertutup dari pergaulan. Ia lebih senang membaca buku sendiri di kelas daripada bergabung dengan teman-temannya di kantin saat istirahat. Ketika teman-temannya mengajak berbicara, Cakka hanya menjawabnya dengan singkat dan cuek. Itu membuat banyak teman-temannya ragu untuk mengajaknya berteman.

Sama seperti kepercayaan, hatinya yang telah retak, kini seakan-akan kehilangan bagian dan membuatnya tidak lengkap. Susah baginya untuk menata dan membuka hatinya kembali untuk orang lain demi masa depan.

J L J

Malam itu, Cakka baru selesai mandi. Ia kembali memakai baju hijau, senada dengan baju yang tadi siang ia pakai, namun beda model. Ia sudah tak tahan dengan keadaannya yang sekarang. Kalau dia memang tak bisa mengubah kenyataan, setidaknya biarkanlah dia menjenguk kakaknya untuk sejenak. Malam ini saja. Ia sama sekali tidak perduli dengan jauhnya jarak yang harus ia tempuh untuk sampai di rumahnya yang dulu, yang terpenting baginya adalah bertemu dengan keluarganya yang sudah lama ia tinggalkan. Baginya, tak baik bagi seorang anak untuk meninggalkan Ayah begitu saja. Tak baik bagi seorang saudara untuk meninggalkan kakak kandungnya sendiri.
"Cakka?"
Cakka menoleh ketika mendengar seseorang memanggilnya. Ia melirik jam tangannya, kemudian menatap orang itu dengan heran. "Bunda? Hari ini tumben pulang cepat? Ini baru jam tujuh malam."
Bunda mengangguk, kemudian tersenyum. "Malam-malam begini, kamu mau kemana, Nak?"
Cakka diam sejenak, ragu untuk menjawab. Ia menunduk, menelan ludahnya sebentar, kemudian mengangkat kepalanya lagi. Setelah menghela napas, ia baru bersuara. "Cakka mau pulang, Bunda. Cakka mau bertemu Mas Elang. Cakka tidak betah tinggal di sini. Cakka rindu dengan Mas Elang dan Ayah."
Bunda diam mendengar ucapan anak bungsunya. Ia menghela napasnya sejenak, kemudian memberikan dua buah kotak yang sudah tertutup dengan kertas kado kepadanya. "Kalau begitu, bagaimana kalau Bunda antar? Dua barang itu untukmu dan Elang. Bunda merasa bersalah dengan kalian karena perpisahan Bunda dan Ayah, kalian terpaksa ikut terpisah. Ini untuk menebus kesalahan Bunda saja."
"Ini apa, Bunda?" tanya Cakka heran. Ia menaruh satu kotak ke atas meja belajarnya kemudian membuka satu kotak yang lain. Ia menyobek kertas kado yang menutupi kotak tersebut. Matanya terbelalak ketika melihat sebuah tab di balik kotak tersebut. Sudah lama ia menginginkannya, tapi Ayah selalu bilang kalau ia akan membelikannya jika juara kelas. Masalahnya, sampai sekarang Cakka belum bisa mencapai target Ayah itu. Ia kembali menatap Bunda. "Tab? Bunda, Cakka kan tidak ulang tahun. Cakka juga tidak juara kelas."
Bunda mengangguk. "Kotak yang satu lagi itu juga berisi tab, untuk kakakmu. Dengan tab itu, kamu bisa berkomunikasi dengan Elang. Lewat skype misalnya. Kamu bisa bertatap muka langsung dengan Elang. Bukankah selama ini kamu ingin bertemu dengannya?"
"Tapi, ini mahal. Cakka tak ingin uang Bunda menipis karena membelikan Cakka dan Mas Elang ini." kata Cakka merasa bersalah. Tapi, Bunda tetap tidak mau mendengarnya. Bunda justru langsung menariknya ke dalam mobil agar mereka segera berangkat ke rumahnya yang dulu.

J L J

Delapan malam. Elang sibuk sendiri di taman belakang rumahnya. Selain karena ia sudah menyelesaikan sekolahnya dan dinyatakan lulus, ia tidak mempunyai pekerjaan lain. Seharusnya ia kuliah, namun ia merasa ingin bebas terlebih dahulu dari semua tugas belajarnya. Karena itu, sekarang iapun tak mengerti harus berbuat apa untuk menghilangkan kebosanan. Sejak tadi pagi dia hanya memainkan gitarnya, mulai dari kamar, ruang tamu sampai akhirnya sampailah ia di taman belakang.
Taman belakang rumahnya masih sama seperti dulu. Sebuah ayunan kecil masih terpajang di sana. Karena faktor rindu masa kecil dan faktor-faktor lainnya, ia ingin duduk di sana sambil memandang langit yang saat itu penuh dengan bintang dan bulan purnama. Sambil terayun pelan, tangannya sibuk memetik senar gitar, melantunkan sebuah melodi indah untuk menambah keindahan malam yang sunyi pada saat itu. Sayang sekali, ia sendiri lagi hari ini.
Ayah belum pulang dari kantornya. Mungkin akan lembur lagi seperti biasanya. Untung saja dia sudah besar, bisa menjaga diri sendiri walaupun orang tua sedang sibuk bekerja. Terkadang tetangga maupun teman-teman SMAnya yang masih belum berangkat keluar kota menemaninya di rumah. Tapi, tetap saja rasa bosan itu pasti ada. Ia jadi rindu dengan adiknya. Biasanya dia selalu ada untuk membuatnya tertawa lagi.
Chase Karayne, anak itu sudah tiga tahun lamanya meninggalkan Elang sendiri di rumah. Pertengkaran-pertengkaran Ayah dan Bunda yang sudah adiknya dengar sejak lahir akhirnya menghancurkan keharmonisan keluarganya sampai-sampai harus memisahkan diri dengan Bunda di tempat yang jauh. Sekarang ia pasti sudah besar, tambah tinggi juga tambah dewasa. Mungkin juga sekarang ia sudah masuk SMA. Kedua tangannya pasti sudah mahir dalam memetik senar gitarnya. Lebih mahir daripada saat terakhir kali Elang melihatnya. Entahlah. Terakhir kali ia bertemu dengannya adalah saat mereka baru saja mengambil ijazah SD Cakka.
Elang menoleh ke arah ayunan yang ada di sebelahnya. Ayunan kosong itu biasanya diduduki oleh adiknya. Dia selalu menemaninya di sini untuk bernyanyi bersama, atau hanya sekedar melihat langit sebelum tidur. Ya, memori masa kecil beberapa tahun yang lalu itu masih membekas di hatinya. Apalagi ketika bermain musik bersama, Elang benar-benar ingin mengulangnya kembali jika ia bisa. Tapi, kenyataan tidak pernah mendukung. Adiknya itu tak pernah muncul lagi di hadapannya semenjak ia pergi dari rumah bersama Bunda.
"Mas Elang?"
Elang tersentak mendengar suara itu, ia segera menoleh dan mencari sumber suara. Ia langsung berdiri dan menyandarkan gitarnya di pinggir ayunan begitu melihat sosok laki-laki tinggi di antara tanaman-tanaman yang tumbuh di halaman belakangnya. Salah satu tangannya memegang sebuah kotak. Wajahnya mirip sekali dengan seseorang. Ia mengucek-ngucek matanya sejenak, memastikan apakah ia berhalusinasi. Tapi, ternyata tidak. Itu benar adiknya! Dia berdiri di sana dan tersenyum kepadanya, kemudian berlari menghampiri Elang untuk memeluknya.
"Cakka? Kamu datang?" kata Elang sambil tersenyum dan membalas pelukannya sejenak, kemudian melepaskannya. "Kemana saja kamu? Kupikir kamu tidak akan muncul lagi di hadapanku! Kamu sudah sejajar denganku. Pasti kamu rajin berolahraga sampai bisa setinggi ini."
"Aku punya cara tersendiri untuk meninggikan tinggi badanku!" kata Cakka sambil tersenyum. "Kamu juga sudah tampak lebih dewasa, Mas. Berbeda sekali dengan Mas Elang tiga tahun yang lalu. Ah, rasanya sudah lama sekali kita tidak bertemu! Aku bosan berada di rumahku yang baru! Bunda sibuk terus!"
"Ayah juga sibuk terus! Aku sudah lulus SMA, rasanya bosan kalau sendiri terus di rumah!" kata Elang. "Untung sekali kamu datang hari ini, aku benar-benar rindu dengan masa kecil kita! Kamu selalu menemaniku di sini!"
Cakka mengangguk. Kemudian, ia segera duduk di ayunan kecil itu, ternyata masih bisa dinaikinya walaupun ia sudah besar. Elang juga kembali duduk di ayunan kecil lainnya, tepat di samping Cakka. Kemudian mereka berdua bersama-sama melihat bintang di langit. Untuk beberapa saat mereka menikmati keindahan langit, sampai Cakka kembali bersuara, "Sebenarnya, aku bisa datang ke sini berkat Bunda."
Elang menoleh ke arahnya. "Bunda?"
Cakka mengangguk. "Hari ini Bunda tidak lembur. Kemudian memberikanku tab baru. Tab impianku. Dan dia juga ingin memberikan sesuatu untukmu. Makanya, Bunda mengantarku secepatnya ke sini karena mengerti bagaimana perasaanku selama ini. Kotak ini dari Bunda." Cakka memberikan kotak yang dari tadi dipegangnya kepada Elang.
"Apa ini, Kka?" tanya Elang sambil memegang kotak itu dengan erat.
"Kata Bunda, isinya tab yang sama denganku. Karena kita masing-masing memiliki benda itu, kita bisa bertatap muka langsung kapanpun kita mau. Walaupun kita terpisah dengan jarak, tapi kita masih tetap bisa bertemu. Aku benar-benar bahagia, akhirnya kita mempunyai jalan keluar untuk semua masalah ini." kata Cakka sambil tersenyum. Ia masih tetap melihat langit. "Dan aku bahagia, Bunda mengizinkanku untuk bermalam di sini sampai besok pagi. Untuk menebus semua kerinduan. Besok Bunda akan menjemputku lagi."
Hening. Elang hanya manggut-manggut mendengar ucapan Cakka dan kembali melihat langit juga seperti adiknya. Kemudian mengambil gitarnya untuk melantunkan lagu pelan untuk adiknya. Kalau boleh jujur, Elang masih belum percaya adiknya ada di sampingnya sekarang. Ia merasa seperti kembali merasakan masa lalunya yang indah. Lebih hebatnya lagi, Bunda mengizinkan adiknya untuk bermalam di tempatnya. Akhirnya, Tuhan mendengarkan doanya agar ia bisa bertemu kembali dengan adiknya.
"Mas Elang..." panggil Cakka sambil tetap berkonsentrasi melihat langit. Bibirnya masih melengkung ke atas, seakan-akan menunjukkan kebahagiaannya kepada langit.
"Hmm?" Ia melirik ke arah adiknya. Tangannya tetap melantunkan lagu pelan untuk menambah suasana damai.
"Kamu tahu?" tanya Cakka memulai sebuah cerita. "Tiga tahun berlalu tanpa ada Ayah dan Mas Elang, rasanya sepi sekali. Aku sering menyendiri karenanya. Di sekolahpun aku jadi malas berteman dengan siapapun. Tapi, kalau dipikir-pikir lagi, ternyata selama ini aku justru malah menolak kenyataan."
Elang diam saja mendengar cerita adiknya, ia tersenyum tipis.
"Keluarga kita mungkin terpecah menjadi dua kelompok, tapi setelah bertemu lagi denganmu, Mas, aku tahu, seberapa lama kita terpisah, kita masih tetap saudara. Kita tetap sahabat dekat, kita tetap kakak adik yang kompak." kata Cakka. Ia menoleh ke arah kakaknya. "Mungkin perpisahan Ayah dan Bunda hanya cara Tuhan untuk mengajari kita belajar merelakan."
Elang menghentikan permainan gitarnya. Kemudian menatap balik ke arah Cakka sambil tersenyum. Tangan kanannya terulur untuk mengacak rambut Cakka dengan kasih sayang. Ia senang sekali mendengar penuturan adiknya itu. "Ternyata, kamu benar-benar sudah dewasa, Kka."
Cakka hanya tertawa menanggapi perilaku kakaknya itu dan segera protes agar menghentikan aksinya. Rambutnya benar-benar menjadi berantakan setelah kakaknya mengacak-acaknya sembarangan. Tapi, ia juga merasakan kebahagiaan saat dia melakukannya. Entah sudah berapa lama ia tak merasakan tangan kakaknya yang suka seenaknya mengacak rambutnya yang rapi. Malam itu, benar-benar menjadi malam yang panjang bagi mereka. Bahkan Ayah pun kaget melihat anak bungsunya datang. Malam itu, mereka habiskan bersama dengan penuh canda tawa. Cakka dan Elang meminta izin kepada Ayah untuk tidak tidur sampai esok pagi agar mereka puas bermain sebelum Cakka harus kembali ke rumahnya yang baru. Untung saja Ayah mengizinkannya. Ia rela tak tidur nyenyak demi kepentingan anak-anaknya. Ia hanya tersenyum sepanjang malam mendengar keceriaan anak-anaknya dari kamarnya sendiri.

Setiap anggota keluarga saling membutuhkan. Anak membutuhkan kasih sayang orang tua, dan orang tua memerlukan keceriaan anak-anak mereka.

THE END...
Tuliskan kometar kalian di bawah,
nantikan ceritaku selanjutnya!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Makasih ya udah baca cerpenku. Silahkan tinggalkan komentar kamu ya.
Semua kritik dan saran aku terima. Pujian juga boleh :p