Jumat, 18 Juli 2014

Mini Cerbung | Impossible Wish Part 2



Hari ini merupakan hari bazaar diadakan di sekolah Cakka. Cakka sudah mempersiapkan semuanya untuk melaksanakan idenya. Pagi itu, Cakka bangun jam enam pagi. Setelah jam wekernya berbunyi keras tepat di sebelah telinganya, ia langsung membuka mata dan beranjak dari tempat tidurnya untuk segera mandi. Dalam jangka waktu lima belas menit, ia sudah keluar dengan baju kaos berwarna ungu dengan celana jeans panjangnya. Ia segera menghampiri cermin untuk merapikan rambutnya dengan gel. Menjadikan rambutnya sangat keren dengan gaya harajuku.

Cakka tersenyum melihat dirinya sendiri di depan cermin. Namun, senyumannya memudar ketika ia melihat plastik putih besar yang ditaruh di meja belajarnya. Ia berjalan menghampirinya dan menatapnya lekat. Isi plastik itu lukisan-lukisan yang akan ada ia bawa ke sekolah. Di sebelahnya juga ada sebuah kanvas yang sama besarnya dengan kanvas yang ada di plastik. Lukisan yang ada di dalamnya mengingatkannya pada hari kemarin.
Cakka menghentikan kegiatannya kemudian menoleh ke arah Ray. Ia tertawa kecil, kemudian menepuk pundak Ray pelan. "Kau tak perlu merasa bersalah. Aku sudah menerima takdirku hidup berdua dengan Ayah. Lagipula, aku sudah cukup bahagia hidup dengan banyak harapan yang indah. Namun, jika suatu saat mereka bisa terwujud, aku akan menjadi orang yang paling bahagia di dunia ini."
Ray tersenyum. Kemudian, hening segera menyelimuti suasana. Karena Ray tak menjawab, Cakka kembali sibuk dengan lukisannya. Gambarnya sudah hampir jadi, hanya membutuhkan beberapa sentuhan seni pada warna-warnanya agar terlihat lebih hidup. Ray benar-benar mengaguminya.
"Hidupku mirip dengan hidupmu." kata Ray tiba-tiba. Membuat Cakka menoleh ke arahnya. "Di rumah, aku hanya tinggal dengan Bunda. Kata Bunda, Ayah sudah meninggal sejak aku kecil. Aku tidak tahu sebabnya. Selama ini aku lebih banyak menghabiskan waktuku di rumah karena Bunda bekerja, kadang-kadang juga di sini."
Cakka terdiam sejenak mendengar ucapannya. "Kau tidak kesepian?"
Ray menggeleng. Kemudian, ia kembali tersenyum. "Aku cukup bahagia hidup dalam kesepian."
Cakka masih ingat dengan pertemuan itu. Pertemuan yang begitu singkat namun membekas. Dengan begitu lancar, ia bisa bercerita tentang kegelisahannya kepada seseorang yang baru dikenalnya. Dia juga melakukan yang sama. Sejak bertemu dengannya, Cakka tak mendapatkan tidur yang nyenyak. Ia juga lebih sering menghabiskan waktunya di taman untuk melukis. Tapi, ia tak pernah melihatnya mengunjungi taman sampai hari ini. Entahlah, Cakka merasakan sesuatu yang tersembunyi di dalam diri Ray.
"Cakka?" lamunannya terbuyar ketika mendengar Ayah memanggilnya. "Cakka? Bukankah kau harus mempersiapkan segala sesuatu di sekolah? Kenapa kau belum turun juga?"
"Ya, Cakka akan segera turun, Yah!" Cakka langsung memasukkan lukisan besar itu ke dalam plastik, bergabung dengan lukisan lainnya. Kemudian, ia langsung cepat-cepat keluar kamar dan segera sarapan di lantai bawah. Ia tak boleh membuat rencananya gagal hanya karena melamun tentang Ray.

J L J

Hari ini sekolah Ray pulang cepat. Sebentar lagi akan ada acara di sekolahnya sehingga membuat guru-guru harus mengadakan rapat secepatnya. Karena itu, murid-murid akan dipulangkan pada pukul sebelas. Begitu mengetahui hal ini, anak-anak tentu saja langsung bersorak senang karena bisa terbebas dari pelajaran lebih cepat. Kecuali Ray, ia hanya tersenyum mendengar berita itu. Untungnya, wali kelas mereka langsung menenangkan mereka. Setelah itu, meninggalkan kelas karena ada urusan. Dan itu artinya, kelas Ray mendapat jam kosong yang lumayan banyak.
"Ray, sepulang sekolah nanti, apa kau ada pekerjaan?" Deva, salah satu teman sekelasnya, menghampiri dan menepuk pundak Ray.
Ray tersenyum menatap Deva, kemudian menggeleng. Deva merupakan salah satu teman baiknya di sekolah. Ia sering menghabiskan waktu dengannya saat istirahat.
"Kalau begitu, apa kau ingin ikut denganku? Aku mendapatkan undangan dari kakak sepupuku untuk menghadiri acara sekolahnya. Rencananya, aku akan pergi dengan kakakku. Kau mungkin juga ingin ikut." kata Deva. "Sepupuku itu sangat pandai melukis. Untuk acara sekolah kali ini, dia mengadakan pameran untuk memeriahkan acara."
"Oh, apakah maksudmu sekolah SMA Idola Bangsa? Aku dengar sekolah itu terkenal dengan acaranya yang selalu keren!" kata teman sekelasnya yang lain, tiba-tiba ikut dalam pembicaraan.
"Ya, benar. Kata Kak Alvin, akan sangat rugi jika aku tidak menghadiri acaranya kali ini. Apapun maksudnya." kata Deva. Kemudian, dia menoleh ke arah Ray. "Kau kan sangat menyukai barang-barang seni. Aku yakin kau tak akan kecewa dengan ajakanku. Bagaimana?"
Lagi-lagi Ray hanya tersenyum mendengarnya.

J L J

Cakka tersenyum melihat ruang kesenian yang telah ia bedah menjadi ruangan pameran lukisan. Ya. Inilah yang sebenarnya dia ajukan kepada Mr. Crafter minggu lalu. Dalam rangka membuktikan pujian-pujian Mr. Crafter kepadanya, ia ingin orang-orang luar sekolah melihat hasil karyanya selama ini dan memberikan komentar mereka tentang hasil-hasil lukisannya. Di samping hal itu, Cakka juga membawa banyak lukisan-lukisan lama yang telah ia buat untuk ia jual, jika ada yang berkenan membelinya. Dan ia juga menyiapkan satu meja untuk mereka yang ingin berbincang-bincang dengannya soal seni. Menyenangkan bukan?
Lihat saja, ruang kesenian yang tadinya hanya terlapisi dengan wallpaper dinding berwarna merah polos, kini telah penuh dengan lukisan-lukisannya. Dua meja panjang yang terletak di tengah ruang kesenian itu juga sudah dipenuhi dengan lukisan yang masing-masing sudah diberi label harga. Kemudian, meja untuk berbincang-bincang ada di sudut kanan ruangan. Cakka sangat puas melihat banyak orang yang masuk untuk mengunjungi pamerannya.
"Lukisan-lukisanmu bagus sekali, Nak. Kau pasti mempunyai jiwa seni yang sangat tinggi." puji seorang laki-laki paruh baya yang sedang melihat lukisan pemandangan desa yang dilukisnya. Ia juga membawa seorang gadis kecil di sebelahnya.
"Noora sangat menyukai dengan lukisan-lukisan kakak. Andai saja Noora mempunyai kakak seperti Kakak, Noora pasti akan memintanya menggambar Noora untuk Noora pajang di kamar!" kata gadis kecil itu dengan ceria.
Cakka tersenyum senang mendengarnya. Ia membungkukkan badannya untuk menyamakan tingginya dengan gadis kecil itu, kemudian berkata, "Kalau begitu, bagaimana jika Kakak berkata bahwa Kakak mau menggambarmu sekarang juga?"
"Benarkah?" Mata gadis kecil itu langsung berbinar-binar mendengarnya. Kemudian, ia menoleh ke arah laki-laki paruh baya itu. "Yah, boleh Noora meminta Kakak itu menggambar?"
"Tentu saja jika dia tidak keberatan, Noora." kata laki-laki paruh baya itu yang ternyata Ayahnya. Noora langsung melompat-lompat senang mendengar ucapan Ayahnya.
"Kalau begitu, kalian bisa melihat-lihat terlebih dulu, nanti kalian bisa kembali lagi ke sini saat aku sudah selesai. Aku tak akan membutuhkan waktu yang lama untuk menyelesaikannya. Aku tak akan membiarkan pelanggan menunggu terlalu lama." kata Cakka sambil tersenyum. "Atau Noora ingin menemaniku menggambar?"
"Kalau begitu, saya melihat-lihat lukisan-lukisanmu terlebih dulu, saya yakin Noora pasti sangat tidak sabar untuk melihat hasil karyamu hingga tak ingin pergi dari ruang kesenian sebelum kau selesai. Ia pasti sangat senang menemanimu. Saya harap kau bisa menjaganya."
Noora mengangguk-angguk mendengar ucapan Ayahnya.
Cakka tertawa mendengarnya. Kemudian, Cakka langsung berjalan menghampiri mejanya yang ada di sudut ruangan bersama Noora, mengambil sebuah kertas dari tumpukan kertas yang sudah ia siapkan dan langsung melukis dengan pensil. Untuk memenuhi keinginan pelanggan dengan cepat, ia tak bisa melukis dengan pensil warna, cat air maupun cat minyak. Itu akan memakan waktu lama. Karena itu, ia tak membawa alat-alat lukis lainnya. Membawa satu pensil 2B saja sudah cukup.
Noora yang duduk di hadapan Cakka hanya melihat bagaimana cepatnya tangan Cakka menggambar. Dalam beberapa menit, Cakka sudah bisa menyelesaikan sketsa dengan goresan-goresan halusnya. Kemudian, ia segera menggambar detailnya dengan tekanan yang agak lebih besar agar goresan yang dihasilkan lebih tebal. Sesekali ia melihat ke arah Noora untuk membandingkan gambarnya dengan orang aslinya.
"Kakak cepat sekali menggambarnya. Andai Noora bisa pintar menggambar seperti Kakak." kata Noora sambil tersenyum senang melihat gambar Cakka yang sudah hampir jadi.
"Ah, Noora juga bisa menggambar seperti Kakak. Yang perlu Noora lakukan hanya tekun belajar, latihan terus dan jangan pernah menyerah jika gambarmu tidak bagus." kata Cakka sambil tetap menggambar.
"Wah, sepertinya kau menemukan penggemar baru!" seseorang tiba-tiba menghampirinya.
Cakka menoleh ke arah sumber suara begitu mendengar ucapan itu. Ia tersenyum melihatnya. Terdapat tiga orang laki-laki di hadapannya. Sumber suara itu ternyata berasal dari Alvin. Laki-laki yang berdiri di tengah. "Hei, kau sudah datang! Deva juga! Baguslah kalau begitu, kau bisa membantuku melayani pelanggan. Pengertian sekali kau ini, sampai membawa teman-temanmu kemari."
"Enak saja kau. Aku hanya mengajak Deva agar aku tidak asing sendiri di sini. Lalu, Deva ternyata juga mengajak teman sekelasnya ke sini." kata Alvin sambil tersenyum dan menunjuk ke arah laki-laki yang ada di sebelah kanannya.

"Teman sekelas?" kata Cakka. Ia langsung menoleh ke arah Alvin menunjuk. Matanya langsung membesar melihat siapa yang diajak Deva. Tak berbeda jauh dengan laki-laki itu, dia juga ternyata sedang menatap Cakka dengan wajah terkejut. "Kau?"
Laki-laki itu tersenyum. "Halo."
"Kau mengenal Ray?" tanya Alvin heran dengan ekspresi Cakka.
Cakka mengangguk. "Aku bertemu dengannya di taman komplek minggu lalu. Aku tak sengaja tertangkap basah sedang menggambarnya bermain bersama seorang gadis kecil. Kemudian, kami berkenalan."
Alvin dan Deva manggut-manggut mendengarnya. Mereka senang ternyata Cakka sudah mengenal teman mereka. Dengan begitu, mereka akan lebih cepat akrab.
"Kakak, ayo menggambar lagi, gambar Noora kan belum selesai!" Tiba-tiba Noora menarik-narik baju Cakka dari belakang. Ia tak ingin Cakka meninggalkan pekerjaannya terlalu lama.
"Oh, maaf, Vin. Aku sedang sibuk melayani Noora. Dia memintaku menggambar wajahnya. Kalau kau mau, kau bisa menjaga pintu depan bersama Deva. Bantu aku agar aku bisa mendapatkan lebih banyak orang untuk berkunjung ke sini. Aku sebentar lagi selesai." kata Cakka sambil merangkul Noora. "Oh ya, kalau ada yang ingin membeli karyaku, jangan kau korupsi uangnya, oke?"
Alvin tertawa mendengarnya. "Kau pikir wajahku tampang koruptor?"
"Mungkin saja!" kata Cakka sambil tertawa. "Deva, kalau kau membantu, aku akan sangat berterima kasih."
"Baiklah. Ray, kau ingin ikut?" tanya Deva. Yang ditanya langsung menggelengkan kepalanya. Alvin dan Deva langsung pergi meninggalkannya bersama Cakka. Kemudian, Cakka langsung melanjutkan pekerjaannya. Sementara Ray duduk di sebelah Noora sambil bercanda dengan gadis kecil itu. Ia tentu saja masih ingat dengan Noora, gadis kecil yang memintanya untuk mendorong ayunan minggu lalu.
Cakka tersenyum melihat keakraban Noora dan Ray. Senang sekali rasanya melihat gadis kecil itu sangat bahagia berada di sini. Setidaknya, ia bisa membahagiakan satu pelanggannya dengan rencana yang sudah ia persiapkan matang-matang ini. Sambil menggambar, ia berkata, "Kalian akrab sekali."
"Tentu saja, Noora pernah bertemu dengan kak Ray di taman. Waktu itu, kak Ray memberikan Noora sebuah bunga mawar. Kemudian, kak Ray juga mendorongkan ayunan supaya Noora bisa serasa terbang!" kata Noora dengan ceria.
"Wah, kalau begitu, kakak pernah menggambarmu sebelumnya, Noora. Karena saat itu kakak diam-diam menggambar kak Ray dan seorang gadis yang sedang bermain ayunan. Kalau Noora mau, kakak mau memberikan gambar itu padamu." kata Cakka sambil tersenyum.
"Benarkah?!" kata Noora senang. Begitu Cakka mengangguk, Noora langsung bersorak girang. Ray juga ikut tersenyum melihat kebahagiaan gadis kecil itu.
"Dan ini dia gambarmu." kata Cakka sambil menyerahkan hasil gambarnya kepada Noora. Kemudian, ia segera mengambil hasil gambar Ray dan Noora yang ia lukis minggu lalu. Dan ia segera menyerahkannya kepada Ray. Kenapa? Karena lukisan itu terlalu besar untuk dibawa Noora. "Ray, tolong bawakan ini untuknya."
"Tentu saja." kata Ray sambil tersenyum dan menerima plastik itu.
"Noora!"
"Ayah!" Noora langsung berlari dan memeluk Ayahnya begitu Ayahnya datang menjemputnya. Kemudian, ia langsung memperlihatkan hasil gambar Cakka kepadanya. "Ayah, lihat! Gambarnya bagus sekali!"
"Wah, bagus sekali, Noora." katanya sambil tersenyum, kemudian ia menoleh ke arah Cakka yang segera menghampirinya bersama Ray. "Terima kasih, Nak. Hari ini kau sudah membahagiakan putri kecilku. Biar Allah yang membalas kebaikanmu."
Cakka mengangguk, kemudian mengisyaratkan Ray untuk memberikan lukisan yang dipegangnya kepada Ayahnya Noora. "Sama-sama, Pak. Aku sangat senang ada orang yang menyukai karyaku. Dan ini ada satu lukisan gratis untuk Bapak. Kebetulan, saya tidak sengaja menggambar Noora sedang bermain bersama temanku ini, minggu lalu."
Ayahnya Noora menerima lukisan itu dan tersenyum menatap Ray. "Ternyata kau yang memberikan Noora sebuah bunga minggu lalu? Noora sangat senang dengan bunga itu. Terima kasih."
Ray tersenyum. "Sama-sama."
"Kalau begitu, kami permisi pulang dulu. Sepertinya sudah sore. Noora harus mandi dan segera makan malam." kata Ayahnya Noora.
"Ya, terima kasih, Kak, gambarnya. Kak Ray juga." kata Noora tersenyum.
Cakka dan Ray tersenyum melihat kepergian Noora dan Ayahnya. Pikiran mereka sama, merasa sangat senang karena bisa membahagiakan orang lain di dalam hidup mereka. Bisa merasakan kebahagiaan dalam hidup memang penting, namun jika mereka bisa membawa kebahagiaan untuk orang lain, maka mereka akan lebih bahagia lagi.
"Aku kagum padamu. Kau sangat rendah hati sebagai pelukis terkenal." kata Ray sambil tersenyum begitu bayangan Noora dan Ayahnya sudah hilang dari pandangannya.
"Ah, kau berlebihan. Aku tidak terkenal. Aku hanya mengenal banyak orang." kata Cakka sambil tertawa. "Tapi hei, kau benar-benar mengejutkanku dengan datang ke sini. Apa itu berarti kau juga pecinta barang-barang seni?"
"Menurutmu?"
Cakka tertawa. "Kau terlalu misterius untuk ditebak, Ray. Sudahlah, ayo ini sudah sore. Aku ingin segera pulang. Acara sudah hampir selesai. Ayo kita cari Alvin dan Deva. Setelah itu, kita bisa bersama-sama main ke rumahku. Bagaimana?"
"Boleh juga." kata Ray mengiyakan.
Cakka dan Ray langsung segera mencari Alvin dan Deva di sekeliling ruangan. Mereka tak sedang berada di pintu depan. Setelah beberapa menit mencari, mereka menemukan dua teman Ray itu sedang berada di dekat meja tengah. Tampak ada beberapa pelanggan yang sedang melihat-lihat karya yang ia jual.
"Alvin! Deva!" sahut Cakka sambil menghampiri keduanya. Kemudian, ia langsung menganggukkan kepala kepada pelanggan yang sedang melihat-lihat. Sebagian besar remaja. "Silahkan dilihat. Tak perlu buru-buru."
"Wah, pelukis aslinya sudah datang." kata Alvin sambil menepuk pundak Cakka. "Kau tahu? Sejak tadi banyak yang memuji karya-karyamu. Kurasa kau harus memperbanyak stok lukisanmu agar mereka semua mendapatkan masing-masing satu lukisan."
"Ah, kalau aku mempunyai tenaga untuk melakukannya, mungkin aku sudah mempunyai toko lukisan." kata Cakka sambil tertawa. "Oh ya, lima belas menit lagi aku akan menutup pameran. Lebih baik kita cepat. Setelah itu, kita bisa bermain di rumahku."
"Wah, lima belas menit lagi tutup? Sayang sekali, padahal aku masih sangat betah melihat karya-karyamu." kata salah seorang gadis remaja.
Cakka tersenyum. "Aku sangat senang jika banyak yang menikmatinya. Mungkin aku akan mengadakan pameran lagi jika aku mempunyai kesempatan. Demi membahagiakan penikmat karya seniku, aku akan melakukan apapun. Asal aku bisa melakukannya."
"Ya, tenang saja. Kalau dia tidak mengadakan pameran lagi, aku akan pastikan kalau dia tidak akan jauh dari ocehanku. Sangat disayangkan kalau dia tidak menjadi terkenal." kata Alvin bergurau.
"Hei, kau ini bicara sembarangan! Sudah, ayo kita layani mereka semua. Kau ini bercanda saja kerjanya." kata Cakka sambil menjitak kepada Alvin, mengundang tawa dari Deva dan semua pelanggan yang masih ada di sana. Sementara Ray, seperti biasa, hanya tersenyum. Hari itu, menjadi hari yang sangat menyenangkan.
Setelah selesai melayani semua pelanggan yang ada di sana, Cakka, Ray, Alvin dan Deva langsung membereskan semuanya sampai bersih. Kemudian, mereka langsung segera pulang. Cakka tentunya tak lupa untuk mengucapkan terima kasih kepada Mr. Crafter karena telah membiarkannya meminjamkan ruang kesenian untuk menjadi tempat pamerannya.
Sesampainya di rumah, Cakka langsung menaruh barang-barang yang ia bawa, kemudian mengetuk pintu rumah. Posisi mereka saat itu, Cakka berdiri di samping Cakka di paling depan. Sementara Alvin dan Deva berdiri di belakang mereka. Sebenarnya, ia bisa saja masuk tanpa mengetuk pintu. Tapi, karena ada teman-teman, Cakka merasa tidak enak. Lagipula, ia membawa barang cukup banyak. Ia juga butuh bantuan Ayah untuk membawakannya.
Tak lama kemudian, pintu dibuka. Ayah tampak tersenyum menyambut kedatangan anaknya. Kemudian, ia menoleh ke arah teman-teman Cakka. Ray, Alvin dan Deva. Satu per satu ia berikan senyuman. Namun, entah kenapa, ketika melihat salah satu dari mereka, senyumnya yang tadinya lebar, tiba-tiba memudar ketika melihatnya. "Kau...."
Cakka yang melihat perubahan wajah Ayah langsung menyahut. “Ayah?”
“Hah?” kata Ayah tiba-tiba seolah tersadar. “Oh ya, silahkan masuk.”
Cakka tertawa kecil melihat Ayah, kemudian mengajak dua sepupunya dan satu temannya masuk. Ia membiarkan mereka bermain di ruang kamarnya sementara ia mandi. Bisa dilihat, begitu mengetahui mereka bisa menggunakan kamar Cakka sepuasnya, kedua sepupunya langsung menganggap kamar itu seperti kamar sendiri. Alvin segera membongkar rak buku Cakka untuk mencari buku komik yang tersembunyi di antara tumpukan buku-buku kesenian. Sementara Deva langsung menyalakan komputer Cakka untuk bermain games.
Ray berbeda sendiri, ia hanya tersenyum melihat kedua bersaudara itu, kemudian melihat ke sekeliling ruangan, menikmati kerapian kamar itu. Kasurnya tertutup selimut biru, di atasnya bantal-bantal tertata dengan rapi. Meja belajarnya juga bersih dari barang-barang berantakan. Di sebelah meja belajar itu terdapat sebuah kanvas besar yang diletakkan di sebuah easel, beserta dengan kuas dan satu kotak cat minyak. Rak buku Cakka yang sudah dibongkar Alvin, tadinya juga tertata rapi. Ia menyukai kamar Cakka. Rapi sekali, serunya dalam hati.
Tak lama kemudian, Cakka keluar dari kamar mandi dengan setelan baju putih dan celana pendek. Sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk, ia kembali menghampirinya teman-temannya yang sibuk sendiri. Melihat komputer dan rak bukunya yang sudah dijajah, ia hanya bisa menggelengkan kepalanya sambil tersenyum. Kemudian, ia menoleh ke arah seseorang yang masih tampak mencari kesibukan. "Ray, kau kenapa?"
Ray menoleh ke arahnya, kemudian tersenyum. "Kau terlihat berbeda dengan baju santai."
"Ah, memang." kata Cakka sambil tertawa kecil. Ia menggarukkan tengkuknya sejenak, kemudian melanjutkan ucapannya. "Maaf, jika kau tidak nyaman dengan kamarku."
Ray menggeleng. "Kamarmu rapi sekali. Aku menyukainya."
"Baguslah kalau begitu. Aku juga menyukai karaktermu tidak memberantakkan kamarku begitu mendapatkan hak pemakaian kamar sepuasnya. Tak seperti dua makhluk tidak sopan itu." kata Cakka sambil melirik ke arah Deva dan Alvin.
Yang dibicarakan langsung meninggalkan kesibukan mereka dan segera menjitak dahi Cakka secara bergantian. Alvin yang tidak terima dikatakan tidak sopan langsung menyahut, "Siapa yang kau bilang tak sopan? Aku tidak melakukan hal-hal terlarang di kamarmu!"
"Hei, kalian berdua itu adalah dua sepupuku yang paling tak sopan saat bertamu di rumahku. Lebih baik kau contoh sikap Ray. Lihat, dia tidak melakukan apa-apa untuk menghancurkan kamarku. Tak seperti kalian!" balas Cakka lagi.
"Ray hanya belum mengetahui hal-hal yang sangat menyenangkan di dalam rumahmu. Karena itu dia hanya diam saja. Berbeda dengan kita yang telah bertahun-tahun berteman denganmu." kata Deva mendukung Alvin.
"Dasar kakak adik sama saja. Menyebalkan! Sepupu yang tidak berbakti! Ya sudah, lanjutkan saja kesibukan kalian sebelum kubuang kalian keluar rumah." kata Cakka dengan sebal. Dengan bahagianya, Alvin dan Deva langsung kembali sibuk sendiri. Ray sampai tertawa melihatnya. Mereka lucu sekali.
"Ray, kau sangat menyukai seni, bukan? Kau mau menemanimu melanjutkan lukisan?" tanya Cakka sambil tersenyum menatap temannya itu.
Ray tersenyum, kemudian menganggukkan kepalanya. Cakka segera mengajaknya keluar kamar dan memasuki ke ruangan yang tepat ada di sebelah kamarnya. Ruangan itu tak kalah hebatnya dari kamar Cakka. Begitu pintu dibuka, lukisan-lukisan yang terpajang di dalamnya langsung terlihat. Lantainya terlapisi dengan karpet merah tua. Dan ruangan itu hanya terisi dengan sebuah meja kecil dengan beberapa buku di atasnya, sebuah easel, satu kotak besar cat minyak dan kuas dengan berbagai macam ukuran di salah satu sudut ruangan. Ah, juga sebuah kulkas kecil. Sebuah galeri lukisan!
"Tempat ini kadang-kadang menjadi tempat bermain sepupu dan keponakanku. Dari yang masih kecil sampai yang sebaya denganku." kata Cakka entah untuk apa. "Kalau mereka datang dari Jakarta, mereka sangat senang menemaniku melukis. Apalagi jika aku bersedia menggambar tokoh kartun atau benda-benda kesukaan mereka."
"Lihat, ini adalah koleksi gambar yang kulukis untuk mereka." Cakka mengambil satu buku yang terletak di atas meja kecil, di sebelah easel-nya. Ia menyodorkan buku itu kepada Ray agar dia melihatnya. Sambil melihat-lihat, Cakka menjelaskan satu per satu gambarnya. "Ini gambar doraemon, kesukaan keponakan perempuanku. Kemudian, ada gambar luffy dari one piece, kesukaan sepupuku yang masih SMP. Ada juga naruto, kartun kesukaanku saat masih kecil."
Ray tersenyum mendengar penjelasan Cakka. Ia tatap gambar-gambar Cakka yang begitu hidup di atas kertas gambar itu. Walaupun hanya diarsir dengan pensil, namun tidak kalah hebat dengan lukisan-lukisan yang berwarna.
"Hei, kau bisa duduk di kursi itu jika kau mau. Aku selalu bergaul dengan easel berjam-jam di sini. Mungkin kau akan capek kalau menungguku sambil berdiri." kata Cakka sambil duduk di depan easel dan menunjuk ke arah kursi di sebelahnya.
Ray menurut. Ia duduk di sebelah Cakka dan menatap lukisan yang ingin dilanjutkan Cakka itu. Di kanvas itu baru terlukis sebuah sungai yang diapit oleh daratan. Dengan penuh perasaan dan hati-hati, tangan Cakka memainkan kuas dengan tangan kanannya untuk menghasilkan warna-warna indah di dalam lukisannya. Ray yakin, setelah lukisan itu selesai nanti, pasti akan memperindah ruangan galerinya.
"Jadi, kau menikmati hari di rumah sendirian selama seminggu kemarin?" tanya Cakka tanpa mengalihkan perhatiannya dari kanvas. "Aku sering mengunjungi taman untuk mencari objek gambar, namun aku tak melihatmu ada di sana."
Ray mengangguk. "Rumah selalu menjadi tempat terbaik untuk mencari kenyamanan. Walaupun aku harus sendirian sampai sore hari."
"Kau tidak akan sesuntuk itu jika kau mengunjungi taman. Aku bisa menemanimu sampai sore hari. Banyak yang bisa kita ceritakan untuk mengenal lebih dekat." kata Cakka. "Namun, dunia memang sempit. Deva tak pernah menceritakan apa-apa tentang teman sekelasnya. Sudah bertahun-tahun dia lahir sebagai sepupuku, namun aku tak tahu kau sekelas dengannya. Ternyata, kau adik kelasku."
Ray mengangguk. "Aku masih kelas 2 SMP."
Cakka manggut-manggut mendengar ucapan Ray. Ternyata, Ray lebih muda dua tahun darinya. Ia sudah memasuki kelas SMA, sementara dia masih SMP. Ia tak menyangka sama sekali, penampilan fisik Ray sudah seperti anak kuliahan. Atau paling tidak anak SMA.
"Ah ya, aku lupa bercerita kepadamu. Kurasa pameran yang kuadakan di sekolah kurang berhasil." kata Cakka. "Aku tidak menemukan satu orang pun yang mungkin adalah adikku. Padahal, aku berharap sekali bisa menemukannya di sana. Seperti yang Ayah bilang, adikku sangat mencintai barang-barang seni. Sama sepertiku."
"Walaupun sudah bertahun-tahun tidak bertemu. Walaupun aku yakin dia tidak akan mengenalku sebagai kakaknya. Tapi, aku tetap ingin segera menemukannya. Bagaimanapun juga, dia tetap adikku. Selamanya akan begitu."
Cakka menolehkan kepalanya ke arah Ray. Terlihat Ray tetap mengunci mulutnya dan tersenyum. Harus Cakka akui, dia adalah laki-laki yang sangat hebat. Ia mempunyai hidup yang sepi, namun ia tetap terlihat bahagia setiap waktu. "Hei, tak bisakah kau membuka mulutmu untuk berbicara lebih banyak?"
Ray tertawa kecil menanggapinya.
"Berbicaralah. Aku menceritakan semuanya kepadamu karena aku ingin mendapatkan respon dan semangat darimu." kata Cakka. Namun, Ray tetap tidak bergeming. Cakka sampai menggelengkan kepalanya. "Sepertinya aku mengerti kenapa Bundamu lebih betah bekerja sampai sore hari daripada harus di rumah. Kau pasti juga pelit berbicara. Aku benar, bukan?"
Ray tetap saja tersenyum. Kemudian, ia akhirnya angkat bicara, "Berbahagialah kau yang kuberikan senyuman. Karena senyuman adalah obat dari segala kegelisahanmu."
"Aku hidup di kehidupan yang sepi. Andai aku bisa mempunyai kakak atau adik, rumah pasti akan terasa sangat lebih nyaman. Tapi, semua itu hampir seperti harapan yang mustahil. Dan yang bisa kulakukan untuk menghadapinya adalah... dengan tersenyum."
Cakka terdiam. Keduanya menciptakan suasana hening untuk beberapa saat, kemudian mereka tertawa bersama dan menepuk pundak mereka satu sama lain. Sementara dari nan jauh di sana, seseorang telah mengintip Cakka dan Ray dari luar. Wajahnya menunjukkan raut terharu. Matanya berkaca-kaca. Tersimpan suatu perasaan bahagia yang amat luar biasa di hatinya. Mengapa? Hanya ia dan Tuhan yang tahu alasannya.

TO BE CONTINUED...
Penasaran? Baca terus sampai tamat ya!
Tuliskan komentar kalian di bawah,
nantikan lanjutannya!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Makasih ya udah baca cerpenku. Silahkan tinggalkan komentar kamu ya.
Semua kritik dan saran aku terima. Pujian juga boleh :p