Hari ini
merupakan hari bazaar diadakan di sekolah Cakka. Cakka sudah mempersiapkan
semuanya untuk melaksanakan idenya. Pagi itu, Cakka bangun jam enam pagi.
Setelah jam wekernya berbunyi keras tepat di sebelah telinganya, ia langsung
membuka mata dan beranjak dari tempat tidurnya untuk segera mandi. Dalam jangka
waktu lima belas menit, ia sudah keluar dengan baju kaos berwarna ungu dengan
celana jeans panjangnya. Ia segera menghampiri cermin untuk merapikan rambutnya
dengan gel. Menjadikan rambutnya sangat keren dengan gaya harajuku.
Cakka
tersenyum melihat dirinya sendiri di depan cermin. Namun, senyumannya memudar
ketika ia melihat plastik putih besar yang ditaruh di meja belajarnya. Ia
berjalan menghampirinya dan menatapnya lekat. Isi plastik itu lukisan-lukisan
yang akan ada ia bawa ke sekolah. Di sebelahnya juga ada sebuah kanvas yang
sama besarnya dengan kanvas yang ada di plastik. Lukisan yang ada di dalamnya
mengingatkannya pada hari kemarin.
Cakka
menghentikan kegiatannya kemudian menoleh ke arah Ray. Ia tertawa kecil,
kemudian menepuk pundak Ray pelan. "Kau tak perlu merasa bersalah. Aku
sudah menerima takdirku hidup berdua dengan Ayah. Lagipula, aku sudah cukup
bahagia hidup dengan banyak harapan yang indah. Namun, jika suatu saat mereka
bisa terwujud, aku akan menjadi orang yang paling bahagia di dunia ini."
Ray
tersenyum. Kemudian, hening segera menyelimuti suasana. Karena Ray tak
menjawab, Cakka kembali sibuk dengan lukisannya. Gambarnya sudah hampir jadi,
hanya membutuhkan beberapa sentuhan seni pada warna-warnanya agar terlihat
lebih hidup. Ray benar-benar mengaguminya.
"Hidupku
mirip dengan hidupmu." kata Ray tiba-tiba. Membuat Cakka menoleh ke
arahnya. "Di rumah, aku hanya tinggal dengan Bunda. Kata Bunda, Ayah sudah
meninggal sejak aku kecil. Aku tidak tahu sebabnya. Selama ini aku lebih banyak
menghabiskan waktuku di rumah karena Bunda bekerja, kadang-kadang juga di
sini."
Cakka
terdiam sejenak mendengar ucapannya. "Kau tidak kesepian?"
Ray
menggeleng. Kemudian, ia kembali tersenyum. "Aku cukup bahagia hidup dalam
kesepian."
Cakka
masih ingat dengan pertemuan itu. Pertemuan yang begitu singkat namun membekas.
Dengan begitu lancar, ia bisa bercerita tentang kegelisahannya kepada seseorang
yang baru dikenalnya. Dia juga melakukan yang sama. Sejak bertemu dengannya,
Cakka tak mendapatkan tidur yang nyenyak. Ia juga lebih sering menghabiskan
waktunya di taman untuk melukis. Tapi, ia tak pernah melihatnya mengunjungi
taman sampai hari ini. Entahlah, Cakka merasakan sesuatu yang tersembunyi di
dalam diri Ray.
"Cakka?"
lamunannya terbuyar ketika mendengar Ayah memanggilnya. "Cakka? Bukankah
kau harus mempersiapkan segala sesuatu di sekolah? Kenapa kau belum turun
juga?"
"Ya,
Cakka akan segera turun, Yah!" Cakka langsung memasukkan lukisan besar itu
ke dalam plastik, bergabung dengan lukisan lainnya. Kemudian, ia langsung
cepat-cepat keluar kamar dan segera sarapan di lantai bawah. Ia tak boleh
membuat rencananya gagal hanya karena melamun tentang Ray.
J L J
Hari ini
sekolah Ray pulang cepat. Sebentar lagi akan ada acara di sekolahnya sehingga
membuat guru-guru harus mengadakan rapat secepatnya. Karena itu, murid-murid
akan dipulangkan pada pukul sebelas. Begitu mengetahui hal ini, anak-anak tentu
saja langsung bersorak senang karena bisa terbebas dari pelajaran lebih cepat.
Kecuali Ray, ia hanya tersenyum mendengar berita itu. Untungnya, wali kelas
mereka langsung menenangkan mereka. Setelah itu, meninggalkan kelas karena ada
urusan. Dan itu artinya, kelas Ray mendapat jam kosong yang lumayan banyak.
"Ray,
sepulang sekolah nanti, apa kau ada pekerjaan?" Deva, salah satu teman
sekelasnya, menghampiri dan menepuk pundak Ray.
Ray
tersenyum menatap Deva, kemudian menggeleng. Deva merupakan salah satu teman
baiknya di sekolah. Ia sering menghabiskan waktu dengannya saat istirahat.
"Kalau
begitu, apa kau ingin ikut denganku? Aku mendapatkan undangan dari kakak sepupuku
untuk menghadiri acara sekolahnya. Rencananya, aku akan pergi dengan kakakku.
Kau mungkin juga ingin ikut." kata Deva. "Sepupuku itu sangat pandai
melukis. Untuk acara sekolah kali ini, dia mengadakan pameran untuk memeriahkan
acara."
"Oh,
apakah maksudmu sekolah SMA Idola Bangsa? Aku dengar sekolah itu terkenal
dengan acaranya yang selalu keren!" kata teman sekelasnya yang lain,
tiba-tiba ikut dalam pembicaraan.
"Ya,
benar. Kata Kak Alvin, akan sangat rugi jika aku tidak menghadiri acaranya kali
ini. Apapun maksudnya." kata Deva. Kemudian, dia menoleh ke arah Ray.
"Kau kan sangat menyukai barang-barang seni. Aku yakin kau tak akan kecewa
dengan ajakanku. Bagaimana?"
Lagi-lagi
Ray hanya tersenyum mendengarnya.
J L J
Cakka
tersenyum melihat ruang kesenian yang telah ia bedah menjadi ruangan pameran
lukisan. Ya. Inilah yang sebenarnya dia ajukan kepada Mr. Crafter minggu lalu.
Dalam rangka membuktikan pujian-pujian Mr. Crafter kepadanya, ia ingin orang-orang
luar sekolah melihat hasil karyanya selama ini dan memberikan komentar mereka
tentang hasil-hasil lukisannya. Di samping hal itu, Cakka juga membawa banyak
lukisan-lukisan lama yang telah ia buat untuk ia jual, jika ada yang berkenan
membelinya. Dan ia juga menyiapkan satu meja untuk mereka yang ingin
berbincang-bincang dengannya soal seni. Menyenangkan bukan?
Lihat
saja, ruang kesenian yang tadinya hanya terlapisi dengan wallpaper dinding
berwarna merah polos, kini telah penuh dengan lukisan-lukisannya. Dua meja
panjang yang terletak di tengah ruang kesenian itu juga sudah dipenuhi dengan
lukisan yang masing-masing sudah diberi label harga. Kemudian, meja untuk
berbincang-bincang ada di sudut kanan ruangan. Cakka sangat puas melihat banyak
orang yang masuk untuk mengunjungi pamerannya.
"Lukisan-lukisanmu
bagus sekali, Nak. Kau pasti mempunyai jiwa seni yang sangat tinggi." puji
seorang laki-laki paruh baya yang sedang melihat lukisan pemandangan desa yang
dilukisnya. Ia juga membawa seorang gadis kecil di sebelahnya.
"Noora
sangat menyukai dengan lukisan-lukisan kakak. Andai saja Noora mempunyai kakak
seperti Kakak, Noora pasti akan memintanya menggambar Noora untuk Noora pajang
di kamar!" kata gadis kecil itu dengan ceria.
Cakka
tersenyum senang mendengarnya. Ia membungkukkan badannya untuk menyamakan
tingginya dengan gadis kecil itu, kemudian berkata, "Kalau begitu,
bagaimana jika Kakak berkata bahwa Kakak mau menggambarmu sekarang juga?"
"Benarkah?"
Mata gadis kecil itu langsung berbinar-binar mendengarnya. Kemudian, ia menoleh
ke arah laki-laki paruh baya itu. "Yah, boleh Noora meminta Kakak itu
menggambar?"
"Tentu
saja jika dia tidak keberatan, Noora." kata laki-laki paruh baya itu yang
ternyata Ayahnya. Noora langsung melompat-lompat senang mendengar ucapan
Ayahnya.
"Kalau
begitu, kalian bisa melihat-lihat terlebih dulu, nanti kalian bisa kembali lagi
ke sini saat aku sudah selesai. Aku tak akan membutuhkan waktu yang lama untuk
menyelesaikannya. Aku tak akan membiarkan pelanggan menunggu terlalu
lama." kata Cakka sambil tersenyum. "Atau Noora ingin menemaniku
menggambar?"
"Kalau
begitu, saya melihat-lihat lukisan-lukisanmu terlebih dulu, saya yakin Noora
pasti sangat tidak sabar untuk melihat hasil karyamu hingga tak ingin pergi
dari ruang kesenian sebelum kau selesai. Ia pasti sangat senang menemanimu.
Saya harap kau bisa menjaganya."
Noora
mengangguk-angguk mendengar ucapan Ayahnya.
Cakka
tertawa mendengarnya. Kemudian, Cakka langsung berjalan menghampiri mejanya
yang ada di sudut ruangan bersama Noora, mengambil sebuah kertas dari tumpukan
kertas yang sudah ia siapkan dan langsung melukis dengan pensil. Untuk memenuhi
keinginan pelanggan dengan cepat, ia tak bisa melukis dengan pensil warna, cat
air maupun cat minyak. Itu akan memakan waktu lama. Karena itu, ia tak membawa
alat-alat lukis lainnya. Membawa satu pensil 2B saja sudah cukup.
Noora yang
duduk di hadapan Cakka hanya melihat bagaimana cepatnya tangan Cakka
menggambar. Dalam beberapa menit, Cakka sudah bisa menyelesaikan sketsa dengan
goresan-goresan halusnya. Kemudian, ia segera menggambar detailnya dengan
tekanan yang agak lebih besar agar goresan yang dihasilkan lebih tebal.
Sesekali ia melihat ke arah Noora untuk membandingkan gambarnya dengan orang
aslinya.
"Kakak
cepat sekali menggambarnya. Andai Noora bisa pintar menggambar seperti
Kakak." kata Noora sambil tersenyum senang melihat gambar Cakka yang sudah
hampir jadi.
"Ah,
Noora juga bisa menggambar seperti Kakak. Yang perlu Noora lakukan hanya tekun
belajar, latihan terus dan jangan pernah menyerah jika gambarmu tidak
bagus." kata Cakka sambil tetap menggambar.
"Wah,
sepertinya kau menemukan penggemar baru!" seseorang tiba-tiba
menghampirinya.
Cakka
menoleh ke arah sumber suara begitu mendengar ucapan itu. Ia tersenyum
melihatnya. Terdapat tiga orang laki-laki di hadapannya. Sumber suara itu
ternyata berasal dari Alvin. Laki-laki yang berdiri di tengah. "Hei, kau
sudah datang! Deva juga! Baguslah kalau begitu, kau bisa membantuku melayani
pelanggan. Pengertian sekali kau ini, sampai membawa teman-temanmu
kemari."
"Enak
saja kau. Aku hanya mengajak Deva agar aku tidak asing sendiri di sini. Lalu,
Deva ternyata juga mengajak teman sekelasnya ke sini." kata Alvin sambil
tersenyum dan menunjuk ke arah laki-laki yang ada di sebelah kanannya.
"Teman
sekelas?" kata Cakka. Ia langsung menoleh ke arah Alvin menunjuk. Matanya
langsung membesar melihat siapa yang diajak Deva. Tak berbeda jauh dengan
laki-laki itu, dia juga ternyata sedang menatap Cakka dengan wajah terkejut.
"Kau?"
Laki-laki
itu tersenyum. "Halo."
"Kau
mengenal Ray?" tanya Alvin heran dengan ekspresi Cakka.
Cakka
mengangguk. "Aku bertemu dengannya di taman komplek minggu lalu. Aku tak
sengaja tertangkap basah sedang menggambarnya bermain bersama seorang gadis
kecil. Kemudian, kami berkenalan."
Alvin dan
Deva manggut-manggut mendengarnya. Mereka senang ternyata Cakka sudah mengenal
teman mereka. Dengan begitu, mereka akan lebih cepat akrab.
"Kakak,
ayo menggambar lagi, gambar Noora kan belum selesai!" Tiba-tiba Noora
menarik-narik baju Cakka dari belakang. Ia tak ingin Cakka meninggalkan
pekerjaannya terlalu lama.
"Oh,
maaf, Vin. Aku sedang sibuk melayani Noora. Dia memintaku menggambar wajahnya.
Kalau kau mau, kau bisa menjaga pintu depan bersama Deva. Bantu aku agar aku
bisa mendapatkan lebih banyak orang untuk berkunjung ke sini. Aku sebentar lagi
selesai." kata Cakka sambil merangkul Noora. "Oh ya, kalau ada yang
ingin membeli karyaku, jangan kau korupsi uangnya, oke?"
Alvin
tertawa mendengarnya. "Kau pikir wajahku tampang koruptor?"
"Mungkin
saja!" kata Cakka sambil tertawa. "Deva, kalau kau membantu, aku akan
sangat berterima kasih."
"Baiklah.
Ray, kau ingin ikut?" tanya Deva. Yang ditanya langsung menggelengkan
kepalanya. Alvin dan Deva langsung pergi meninggalkannya bersama Cakka.
Kemudian, Cakka langsung melanjutkan pekerjaannya. Sementara Ray duduk di
sebelah Noora sambil bercanda dengan gadis kecil itu. Ia tentu saja masih ingat
dengan Noora, gadis kecil yang memintanya untuk mendorong ayunan minggu lalu.
Cakka
tersenyum melihat keakraban Noora dan Ray. Senang sekali rasanya melihat gadis
kecil itu sangat bahagia berada di sini. Setidaknya, ia bisa membahagiakan satu
pelanggannya dengan rencana yang sudah ia persiapkan matang-matang ini. Sambil
menggambar, ia berkata, "Kalian akrab sekali."
"Tentu
saja, Noora pernah bertemu dengan kak Ray di taman. Waktu itu, kak Ray
memberikan Noora sebuah bunga mawar. Kemudian, kak Ray juga mendorongkan ayunan
supaya Noora bisa serasa terbang!" kata Noora dengan ceria.
"Wah,
kalau begitu, kakak pernah menggambarmu sebelumnya, Noora. Karena saat itu
kakak diam-diam menggambar kak Ray dan seorang gadis yang sedang bermain
ayunan. Kalau Noora mau, kakak mau memberikan gambar itu padamu." kata
Cakka sambil tersenyum.
"Benarkah?!"
kata Noora senang. Begitu Cakka mengangguk, Noora langsung bersorak girang. Ray
juga ikut tersenyum melihat kebahagiaan gadis kecil itu.
"Dan
ini dia gambarmu." kata Cakka sambil menyerahkan hasil gambarnya kepada
Noora. Kemudian, ia segera mengambil hasil gambar Ray dan Noora yang ia lukis
minggu lalu. Dan ia segera menyerahkannya kepada Ray. Kenapa? Karena lukisan
itu terlalu besar untuk dibawa Noora. "Ray, tolong bawakan ini
untuknya."
"Tentu
saja." kata Ray sambil tersenyum dan menerima plastik itu.
"Noora!"
"Ayah!"
Noora langsung berlari dan memeluk Ayahnya begitu Ayahnya datang menjemputnya.
Kemudian, ia langsung memperlihatkan hasil gambar Cakka kepadanya. "Ayah,
lihat! Gambarnya bagus sekali!"
"Wah,
bagus sekali, Noora." katanya sambil tersenyum, kemudian ia menoleh ke
arah Cakka yang segera menghampirinya bersama Ray. "Terima kasih, Nak.
Hari ini kau sudah membahagiakan putri kecilku. Biar Allah yang membalas
kebaikanmu."
Cakka
mengangguk, kemudian mengisyaratkan Ray untuk memberikan lukisan yang
dipegangnya kepada Ayahnya Noora. "Sama-sama, Pak. Aku sangat senang ada
orang yang menyukai karyaku. Dan ini ada satu lukisan gratis untuk Bapak.
Kebetulan, saya tidak sengaja menggambar Noora sedang bermain bersama temanku
ini, minggu lalu."
Ayahnya
Noora menerima lukisan itu dan tersenyum menatap Ray. "Ternyata kau yang
memberikan Noora sebuah bunga minggu lalu? Noora sangat senang dengan bunga
itu. Terima kasih."
Ray
tersenyum. "Sama-sama."
"Kalau
begitu, kami permisi pulang dulu. Sepertinya sudah sore. Noora harus mandi dan
segera makan malam." kata Ayahnya Noora.
"Ya,
terima kasih, Kak, gambarnya. Kak Ray juga." kata Noora tersenyum.
Cakka dan
Ray tersenyum melihat kepergian Noora dan Ayahnya. Pikiran mereka sama, merasa
sangat senang karena bisa membahagiakan orang lain di dalam hidup mereka. Bisa
merasakan kebahagiaan dalam hidup memang penting, namun jika mereka bisa
membawa kebahagiaan untuk orang lain, maka mereka akan lebih bahagia lagi.
"Aku
kagum padamu. Kau sangat rendah hati sebagai pelukis terkenal." kata Ray
sambil tersenyum begitu bayangan Noora dan Ayahnya sudah hilang dari
pandangannya.
"Ah,
kau berlebihan. Aku tidak terkenal. Aku hanya mengenal banyak orang." kata
Cakka sambil tertawa. "Tapi hei, kau benar-benar mengejutkanku dengan
datang ke sini. Apa itu berarti kau juga pecinta barang-barang seni?"
"Menurutmu?"
Cakka
tertawa. "Kau terlalu misterius untuk ditebak, Ray. Sudahlah, ayo ini
sudah sore. Aku ingin segera pulang. Acara sudah hampir selesai. Ayo kita cari
Alvin dan Deva. Setelah itu, kita bisa bersama-sama main ke rumahku.
Bagaimana?"
"Boleh
juga." kata Ray mengiyakan.
Cakka dan
Ray langsung segera mencari Alvin dan Deva di sekeliling ruangan. Mereka tak
sedang berada di pintu depan. Setelah beberapa menit mencari, mereka menemukan
dua teman Ray itu sedang berada di dekat meja tengah. Tampak ada beberapa
pelanggan yang sedang melihat-lihat karya yang ia jual.
"Alvin!
Deva!" sahut Cakka sambil menghampiri keduanya. Kemudian, ia langsung
menganggukkan kepala kepada pelanggan yang sedang melihat-lihat. Sebagian besar
remaja. "Silahkan dilihat. Tak perlu buru-buru."
"Wah,
pelukis aslinya sudah datang." kata Alvin sambil menepuk pundak Cakka.
"Kau tahu? Sejak tadi banyak yang memuji karya-karyamu. Kurasa kau harus
memperbanyak stok lukisanmu agar mereka semua mendapatkan masing-masing satu
lukisan."
"Ah,
kalau aku mempunyai tenaga untuk melakukannya, mungkin aku sudah mempunyai toko
lukisan." kata Cakka sambil tertawa. "Oh ya, lima belas menit lagi
aku akan menutup pameran. Lebih baik kita cepat. Setelah itu, kita bisa bermain
di rumahku."
"Wah,
lima belas menit lagi tutup? Sayang sekali, padahal aku masih sangat betah
melihat karya-karyamu." kata salah seorang gadis remaja.
Cakka
tersenyum. "Aku sangat senang jika banyak yang menikmatinya. Mungkin aku akan
mengadakan pameran lagi jika aku mempunyai kesempatan. Demi membahagiakan
penikmat karya seniku, aku akan melakukan apapun. Asal aku bisa
melakukannya."
"Ya,
tenang saja. Kalau dia tidak mengadakan pameran lagi, aku akan pastikan kalau
dia tidak akan jauh dari ocehanku. Sangat disayangkan kalau dia tidak menjadi
terkenal." kata Alvin bergurau.
"Hei,
kau ini bicara sembarangan! Sudah, ayo kita layani mereka semua. Kau ini
bercanda saja kerjanya." kata Cakka sambil menjitak kepada Alvin,
mengundang tawa dari Deva dan semua pelanggan yang masih ada di sana. Sementara
Ray, seperti biasa, hanya tersenyum. Hari itu, menjadi hari yang sangat
menyenangkan.
Setelah
selesai melayani semua pelanggan yang ada di sana, Cakka, Ray, Alvin dan Deva
langsung membereskan semuanya sampai bersih. Kemudian, mereka langsung segera
pulang. Cakka tentunya tak lupa untuk mengucapkan terima kasih kepada Mr.
Crafter karena telah membiarkannya meminjamkan ruang kesenian untuk menjadi
tempat pamerannya.
Sesampainya
di rumah, Cakka langsung menaruh barang-barang yang ia bawa, kemudian mengetuk
pintu rumah. Posisi mereka saat itu, Cakka berdiri di samping Cakka di paling
depan. Sementara Alvin dan Deva berdiri di belakang mereka. Sebenarnya, ia bisa
saja masuk tanpa mengetuk pintu. Tapi, karena ada teman-teman, Cakka merasa
tidak enak. Lagipula, ia membawa barang cukup banyak. Ia juga butuh bantuan
Ayah untuk membawakannya.
Tak lama
kemudian, pintu dibuka. Ayah tampak tersenyum menyambut kedatangan anaknya.
Kemudian, ia menoleh ke arah teman-teman Cakka. Ray, Alvin dan Deva. Satu per
satu ia berikan senyuman. Namun, entah kenapa, ketika melihat salah satu dari
mereka, senyumnya yang tadinya lebar, tiba-tiba memudar ketika melihatnya.
"Kau...."
Cakka yang
melihat perubahan wajah Ayah langsung menyahut. “Ayah?”
“Hah?”
kata Ayah tiba-tiba seolah tersadar. “Oh ya, silahkan masuk.”
Cakka tertawa
kecil melihat Ayah, kemudian mengajak dua sepupunya dan satu temannya masuk. Ia
membiarkan mereka bermain di ruang kamarnya sementara ia mandi. Bisa dilihat,
begitu mengetahui mereka bisa menggunakan kamar Cakka sepuasnya, kedua
sepupunya langsung menganggap kamar itu seperti kamar sendiri. Alvin segera
membongkar rak buku Cakka untuk mencari buku komik yang tersembunyi di antara
tumpukan buku-buku kesenian. Sementara Deva langsung menyalakan komputer Cakka
untuk bermain games.
Ray
berbeda sendiri, ia hanya tersenyum melihat kedua bersaudara itu, kemudian
melihat ke sekeliling ruangan, menikmati kerapian kamar itu. Kasurnya tertutup
selimut biru, di atasnya bantal-bantal tertata dengan rapi. Meja belajarnya
juga bersih dari barang-barang berantakan. Di sebelah meja belajar itu terdapat
sebuah kanvas besar yang diletakkan di sebuah easel, beserta dengan kuas dan
satu kotak cat minyak. Rak buku Cakka yang sudah dibongkar Alvin, tadinya juga
tertata rapi. Ia menyukai kamar Cakka. Rapi
sekali, serunya dalam hati.
Tak lama
kemudian, Cakka keluar dari kamar mandi dengan setelan baju putih dan celana
pendek. Sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk, ia kembali menghampirinya
teman-temannya yang sibuk sendiri. Melihat komputer dan rak bukunya yang sudah
dijajah, ia hanya bisa menggelengkan kepalanya sambil tersenyum. Kemudian, ia
menoleh ke arah seseorang yang masih tampak mencari kesibukan. "Ray, kau
kenapa?"
Ray
menoleh ke arahnya, kemudian tersenyum. "Kau terlihat berbeda dengan baju
santai."
"Ah,
memang." kata Cakka sambil tertawa kecil. Ia menggarukkan tengkuknya
sejenak, kemudian melanjutkan ucapannya. "Maaf, jika kau tidak nyaman
dengan kamarku."
Ray menggeleng.
"Kamarmu rapi sekali. Aku menyukainya."
"Baguslah
kalau begitu. Aku juga menyukai karaktermu tidak memberantakkan kamarku begitu
mendapatkan hak pemakaian kamar sepuasnya. Tak seperti dua makhluk tidak sopan
itu." kata Cakka sambil melirik ke arah Deva dan Alvin.
Yang
dibicarakan langsung meninggalkan kesibukan mereka dan segera menjitak dahi
Cakka secara bergantian. Alvin yang tidak terima dikatakan tidak sopan langsung
menyahut, "Siapa yang kau bilang tak sopan? Aku tidak melakukan hal-hal
terlarang di kamarmu!"
"Hei,
kalian berdua itu adalah dua sepupuku yang paling tak sopan saat bertamu di
rumahku. Lebih baik kau contoh sikap Ray. Lihat, dia tidak melakukan apa-apa
untuk menghancurkan kamarku. Tak seperti kalian!" balas Cakka lagi.
"Ray
hanya belum mengetahui hal-hal yang sangat menyenangkan di dalam rumahmu.
Karena itu dia hanya diam saja. Berbeda dengan kita yang telah bertahun-tahun
berteman denganmu." kata Deva mendukung Alvin.
"Dasar
kakak adik sama saja. Menyebalkan! Sepupu yang tidak berbakti! Ya sudah,
lanjutkan saja kesibukan kalian sebelum kubuang kalian keluar rumah." kata
Cakka dengan sebal. Dengan bahagianya, Alvin dan Deva langsung kembali sibuk
sendiri. Ray sampai tertawa melihatnya. Mereka lucu sekali.
"Ray,
kau sangat menyukai seni, bukan? Kau mau menemanimu melanjutkan lukisan?"
tanya Cakka sambil tersenyum menatap temannya itu.
Ray
tersenyum, kemudian menganggukkan kepalanya. Cakka segera mengajaknya keluar
kamar dan memasuki ke ruangan yang tepat ada di sebelah kamarnya. Ruangan itu
tak kalah hebatnya dari kamar Cakka. Begitu pintu dibuka, lukisan-lukisan yang
terpajang di dalamnya langsung terlihat. Lantainya terlapisi dengan karpet
merah tua. Dan ruangan itu hanya terisi dengan sebuah meja kecil dengan
beberapa buku di atasnya, sebuah easel, satu kotak besar cat minyak dan kuas
dengan berbagai macam ukuran di salah satu sudut ruangan. Ah, juga sebuah
kulkas kecil. Sebuah galeri lukisan!
"Tempat
ini kadang-kadang menjadi tempat bermain sepupu dan keponakanku. Dari yang
masih kecil sampai yang sebaya denganku." kata Cakka entah untuk apa.
"Kalau mereka datang dari Jakarta, mereka sangat senang menemaniku
melukis. Apalagi jika aku bersedia menggambar tokoh kartun atau benda-benda
kesukaan mereka."
"Lihat,
ini adalah koleksi gambar yang kulukis untuk mereka." Cakka mengambil satu
buku yang terletak di atas meja kecil, di sebelah easel-nya. Ia menyodorkan
buku itu kepada Ray agar dia melihatnya. Sambil melihat-lihat, Cakka
menjelaskan satu per satu gambarnya. "Ini gambar doraemon, kesukaan
keponakan perempuanku. Kemudian, ada gambar luffy dari one piece, kesukaan
sepupuku yang masih SMP. Ada juga naruto, kartun kesukaanku saat masih
kecil."
Ray
tersenyum mendengar penjelasan Cakka. Ia tatap gambar-gambar Cakka yang begitu
hidup di atas kertas gambar itu. Walaupun hanya diarsir dengan pensil, namun
tidak kalah hebat dengan lukisan-lukisan yang berwarna.
"Hei,
kau bisa duduk di kursi itu jika kau mau. Aku selalu bergaul dengan easel
berjam-jam di sini. Mungkin kau akan capek kalau menungguku sambil
berdiri." kata Cakka sambil duduk di depan easel dan menunjuk ke arah
kursi di sebelahnya.
Ray
menurut. Ia duduk di sebelah Cakka dan menatap lukisan yang ingin dilanjutkan
Cakka itu. Di kanvas itu baru terlukis sebuah sungai yang diapit oleh daratan.
Dengan penuh perasaan dan hati-hati, tangan Cakka memainkan kuas dengan tangan
kanannya untuk menghasilkan warna-warna indah di dalam lukisannya. Ray yakin,
setelah lukisan itu selesai nanti, pasti akan memperindah ruangan galerinya.
"Jadi,
kau menikmati hari di rumah sendirian selama seminggu kemarin?" tanya
Cakka tanpa mengalihkan perhatiannya dari kanvas. "Aku sering mengunjungi
taman untuk mencari objek gambar, namun aku tak melihatmu ada di sana."
Ray
mengangguk. "Rumah selalu menjadi tempat terbaik untuk mencari kenyamanan.
Walaupun aku harus sendirian sampai sore hari."
"Kau
tidak akan sesuntuk itu jika kau mengunjungi taman. Aku bisa menemanimu sampai
sore hari. Banyak yang bisa kita ceritakan untuk mengenal lebih dekat."
kata Cakka. "Namun, dunia memang sempit. Deva tak pernah menceritakan
apa-apa tentang teman sekelasnya. Sudah bertahun-tahun dia lahir sebagai
sepupuku, namun aku tak tahu kau sekelas dengannya. Ternyata, kau adik
kelasku."
Ray
mengangguk. "Aku masih kelas 2 SMP."
Cakka
manggut-manggut mendengar ucapan Ray. Ternyata, Ray lebih muda dua tahun
darinya. Ia sudah memasuki kelas SMA, sementara dia masih SMP. Ia tak menyangka
sama sekali, penampilan fisik Ray sudah seperti anak kuliahan. Atau paling
tidak anak SMA.
"Ah
ya, aku lupa bercerita kepadamu. Kurasa pameran yang kuadakan di sekolah kurang
berhasil." kata Cakka. "Aku tidak menemukan satu orang pun yang
mungkin adalah adikku. Padahal, aku berharap sekali bisa menemukannya di sana.
Seperti yang Ayah bilang, adikku sangat mencintai barang-barang seni. Sama
sepertiku."
"Walaupun
sudah bertahun-tahun tidak bertemu. Walaupun aku yakin dia tidak akan
mengenalku sebagai kakaknya. Tapi, aku tetap ingin segera menemukannya.
Bagaimanapun juga, dia tetap adikku. Selamanya akan begitu."
Cakka
menolehkan kepalanya ke arah Ray. Terlihat Ray tetap mengunci mulutnya dan
tersenyum. Harus Cakka akui, dia adalah laki-laki yang sangat hebat. Ia
mempunyai hidup yang sepi, namun ia tetap terlihat bahagia setiap waktu.
"Hei, tak bisakah kau membuka mulutmu untuk berbicara lebih banyak?"
Ray
tertawa kecil menanggapinya.
"Berbicaralah.
Aku menceritakan semuanya kepadamu karena aku ingin mendapatkan respon dan
semangat darimu." kata Cakka. Namun, Ray tetap tidak bergeming. Cakka
sampai menggelengkan kepalanya. "Sepertinya aku mengerti kenapa Bundamu
lebih betah bekerja sampai sore hari daripada harus di rumah. Kau pasti juga
pelit berbicara. Aku benar, bukan?"
Ray tetap
saja tersenyum. Kemudian, ia akhirnya angkat bicara, "Berbahagialah kau
yang kuberikan senyuman. Karena senyuman adalah obat dari segala
kegelisahanmu."
"Aku
hidup di kehidupan yang sepi. Andai aku bisa mempunyai kakak atau adik, rumah
pasti akan terasa sangat lebih nyaman. Tapi, semua itu hampir seperti harapan
yang mustahil. Dan yang bisa kulakukan untuk menghadapinya adalah... dengan
tersenyum."
Cakka
terdiam. Keduanya menciptakan suasana hening untuk beberapa saat, kemudian
mereka tertawa bersama dan menepuk pundak mereka satu sama lain. Sementara dari
nan jauh di sana, seseorang telah mengintip Cakka dan Ray dari luar. Wajahnya
menunjukkan raut terharu. Matanya berkaca-kaca. Tersimpan suatu perasaan
bahagia yang amat luar biasa di hatinya. Mengapa? Hanya ia dan Tuhan yang tahu
alasannya.
TO BE CONTINUED...
Penasaran? Baca terus sampai tamat ya!
Tuliskan komentar kalian di bawah,
nantikan lanjutannya!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Makasih ya udah baca cerpenku. Silahkan tinggalkan komentar kamu ya.
Semua kritik dan saran aku terima. Pujian juga boleh :p