Senin, 14 Juli 2014

Cerbung | Impian Bola Basket Part PROLOG




Laki-laki mungil itu diam saja ketika berbagai ceramahan menyerang dirinya. Kedua kakinya bergetar menahan rasa ketakutan yang berada di dalam hatinya. Wajahnya juga telah dibasahi oleh keringat dingin karena rasa takut tersebut. Tangannya menggenggam erat sebuah bola oranye dengan kuat. Padahal, ia baru saja pulang ke rumah, tapi ia jelas tidak diterima dengan baik akibat alasannya terlambat pulang.

“Cakka.” Seorang wanita paruh baya yang menatap ke arah laki-laki tersebut menatapnya dengan tajam. “Kau tahu bukan, Ayahmu tidak suka anak-anaknya bermain basket?”

Laki-laki yang dipanggil Cakka tersebut hanya menunduk. Tak berani menatap ke arah wanita tersebut. Keheningan ruang tamu berlanjut lama karena ia tak juga menjawab ucapannya. Ia tahu menjawab tidak akan mengubah situasi. Dengan segala tenaga yang tersisa dalam tubuhnya, ia mengangguk pelan.
“Lalu, mengapa kau masih bermain basket?” tanyanya lagi. Ia menatap pakaian basket yang melekat di tubuh laki-laki tersebut sambil menggelengkan kepala. Kemudian, ia membalikkan badannya. “Bukankah tadi siang kau bilang kau akan belajar bersama teman-temanmu?”
Cakka tetap menunduk. Ia merasa menyesal telah membohongi Bundanya.
Bunda menghela napas. “Cakka, Bunda tidak melarangmu untuk bermain basket. Tapi, Bunda tidak mengajarkanmu untuk berbohong kepada orang tua. Itu bukan perbuatan seorang anak laki-laki yang baik.”
Cakka meletakkan bola basket dan tas sekolahnya di sofa ruang tamu dan kembali menatap Bunda. “Jangan beritahu Ayah, Bunda.”
“Ya, aku sudah tahu kau akan berkata seperti itu.” kata Bunda. “Ini sudah larut malam. Sebaiknya kau masuk. Ganti bajumu dan segera bersiap untuk makan malam. Ayah akan pulang terlambat hari ini.”
Cakka tidak menjawab perkataan Bunda, kakinya langsung melangkah masuk ke dalam rumah dan melakukan apa yang diperintahkan Bundanya. Seusai mandi, ia merapikan rambutnya sebentar. Setelah itu, dia menatap keluar jendela kamarnya. Ia menatap langit yang penuh dengan bintang bertaburan itu dengan tatapan kosong. Kebiasaan yang ia lakukan ketika dia sedang butuh pencerahan.
Ini bukan yang pertama kalinya Cakka ditegur Bunda tentang basket. Pernah beberapa kali Bunda mengutarakan rasa takutnya akan kemarahan Ayah jika melihat anak bungsunya bermain basket. Tapi, sampai sekarang Cakka belum begitu mengerti, sebenarnya alasan apa yang disimpan Ayah hingga melarangnya bergaul dengan bola oranye tersebut. Padahal, menurutnya basket justru membuatnya lebih sehat dan kuat. Tingginya juga bertambah pesat semenjak ia bermain basket.
Pernah suatu kali, Cakka mengira-ngira bahwa Ayah hanya takut nilai-nilai sekolah Cakka menurun jika Cakka bermain basket. Makanya dulu Cakka sempat berhenti bermain basket untuk beberapa waktu. Apalagi ketika Ujian Nasional SD sudah dekat. Ia berjuang keras agar dapat masuk ke dalam SMP yang dia inginkan. Dia tersenyum senang ketika mengetahui dia dinyatakan lulus dengan nilai memuaskan, menghantarkannya ke liburan kelulusan sekarang. Tapi, anehnya, Ayah masih tetap saja melarangnya bermain basket.
“Kau sudah pulang?”
Cakka segera menutup jendela kamarnya begitu mendengar suara itu. Kemudian, ia membalikkan badannya. Terdapat sosok gadis yang sedikit lebih tinggi darinya berdiri di ambang pintu kamarnya. Biru Putri Nuraga, kakak keduanya yang juga senang bermain basket. Dan itu artinya, hanya dia satu-satunya orang yang mengerti bagaimana perasaan Cakka. “Bunda sudah memanggil?”
Ia tersenyum, kemudian mengangguk.
Cakka menghela napasnya. Kemudian, langsung berjalan keluar kamar. Begitu Cakka sampai di hadapan Biru, pundaknya langsung dirangkul kakaknya. Mereka bersama-sama pergi menuju ruang makan. Bunda pasti sudah menunggu.

TO BE CONTINUED...
Penasaran? Baca terus sampai tamat ya!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Makasih ya udah baca cerpenku. Silahkan tinggalkan komentar kamu ya.
Semua kritik dan saran aku terima. Pujian juga boleh :p