Laki-laki
mungil itu diam saja ketika berbagai ceramahan menyerang dirinya. Kedua kakinya
bergetar menahan rasa ketakutan yang berada di dalam hatinya. Wajahnya juga
telah dibasahi oleh keringat dingin karena rasa takut tersebut. Tangannya
menggenggam erat sebuah bola oranye dengan kuat. Padahal, ia baru saja pulang
ke rumah, tapi ia jelas tidak diterima dengan baik akibat alasannya terlambat
pulang.
“Cakka.”
Seorang wanita paruh baya yang menatap ke arah laki-laki tersebut menatapnya
dengan tajam. “Kau tahu bukan, Ayahmu tidak suka anak-anaknya bermain basket?”
Laki-laki
yang dipanggil Cakka tersebut hanya menunduk. Tak berani menatap ke arah wanita
tersebut. Keheningan ruang tamu berlanjut lama karena ia tak juga menjawab
ucapannya. Ia tahu menjawab tidak akan mengubah situasi. Dengan segala tenaga
yang tersisa dalam tubuhnya, ia mengangguk pelan.
“Lalu,
mengapa kau masih bermain basket?” tanyanya lagi. Ia menatap pakaian basket
yang melekat di tubuh laki-laki tersebut sambil menggelengkan kepala. Kemudian,
ia membalikkan badannya. “Bukankah tadi siang kau bilang kau akan belajar
bersama teman-temanmu?”
Cakka
tetap menunduk. Ia merasa menyesal telah membohongi Bundanya.
Bunda
menghela napas. “Cakka, Bunda tidak melarangmu untuk bermain basket. Tapi, Bunda
tidak mengajarkanmu untuk berbohong kepada orang tua. Itu bukan perbuatan
seorang anak laki-laki yang baik.”
Cakka
meletakkan bola basket dan tas sekolahnya di sofa ruang tamu dan kembali
menatap Bunda. “Jangan beritahu Ayah, Bunda.”
“Ya, aku
sudah tahu kau akan berkata seperti itu.” kata Bunda. “Ini sudah larut malam.
Sebaiknya kau masuk. Ganti bajumu dan segera bersiap untuk makan malam. Ayah
akan pulang terlambat hari ini.”
Cakka
tidak menjawab perkataan Bunda, kakinya langsung melangkah masuk ke dalam rumah
dan melakukan apa yang diperintahkan Bundanya. Seusai mandi, ia merapikan
rambutnya sebentar. Setelah itu, dia menatap keluar jendela kamarnya. Ia
menatap langit yang penuh dengan bintang bertaburan itu dengan tatapan kosong.
Kebiasaan yang ia lakukan ketika dia sedang butuh pencerahan.
Ini bukan
yang pertama kalinya Cakka ditegur Bunda tentang basket. Pernah beberapa kali
Bunda mengutarakan rasa takutnya akan kemarahan Ayah jika melihat anak
bungsunya bermain basket. Tapi, sampai sekarang Cakka belum begitu mengerti,
sebenarnya alasan apa yang disimpan Ayah hingga melarangnya bergaul dengan bola
oranye tersebut. Padahal, menurutnya basket justru membuatnya lebih sehat dan
kuat. Tingginya juga bertambah pesat semenjak ia bermain basket.
Pernah suatu
kali, Cakka mengira-ngira bahwa Ayah hanya takut nilai-nilai sekolah Cakka
menurun jika Cakka bermain basket. Makanya dulu Cakka sempat berhenti bermain
basket untuk beberapa waktu. Apalagi ketika Ujian Nasional SD sudah dekat. Ia
berjuang keras agar dapat masuk ke dalam SMP yang dia inginkan. Dia tersenyum
senang ketika mengetahui dia dinyatakan lulus dengan nilai memuaskan,
menghantarkannya ke liburan kelulusan sekarang. Tapi, anehnya, Ayah masih tetap
saja melarangnya bermain basket.
“Kau sudah
pulang?”
Cakka
segera menutup jendela kamarnya begitu mendengar suara itu. Kemudian, ia
membalikkan badannya. Terdapat sosok gadis yang sedikit lebih tinggi darinya
berdiri di ambang pintu kamarnya. Biru Putri Nuraga, kakak keduanya yang juga
senang bermain basket. Dan itu artinya, hanya dia satu-satunya orang yang
mengerti bagaimana perasaan Cakka. “Bunda sudah memanggil?”
Ia
tersenyum, kemudian mengangguk.
Cakka
menghela napasnya. Kemudian, langsung berjalan keluar kamar. Begitu Cakka
sampai di hadapan Biru, pundaknya langsung dirangkul kakaknya. Mereka
bersama-sama pergi menuju ruang makan. Bunda pasti sudah menunggu.
TO BE
CONTINUED...
Penasaran?
Baca terus sampai tamat ya!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Makasih ya udah baca cerpenku. Silahkan tinggalkan komentar kamu ya.
Semua kritik dan saran aku terima. Pujian juga boleh :p