Senin, 21 Juli 2014

Cerpen | Sahabat Loker Part 2 [Ending]



Mungkin kau sudah mendengar bahwa aku terkena skors karena dituduh membawa rokok. Kalau tidak, harus kuberitahu kau bahwa aku tidak tahu apa yang harus kulakukan. Aku tidak tahu siapa yang memasukkan rokok-rokok itu ke dalam tasku dan aku tak punya cukup bukti untuk membongkarnya. Entahlah, aku tidak tahu apa yang akan dikatakan Bunda kepadaku karena hal ini. Hanya kau yang mau mendengarkan ceritaku. Kirimkanlah balasan suratku ke rumahku di komplek Matahari, aku tidak akan datang esok.

Aku ingin sekali bertemu denganmu,
I.D

Tulisan itu Iqbaal tulis sebelum dia meninggalkan kelasnya. Skorsing tiga hari untuknya diberikan oleh Pak Kuko sebagai hukuman sementara karena tidak ada yang mau mengaku sebagai pemilik kotak rokok yang ada di dalam tasnya. Benar-benar kacau.
Dengan berat hati, Iqbaal berjalan meninggalkan sekolah dan menghentikan angkot yang lewat di depannya agar ia dapat segera pulang. Ia membayar supir angkot tersebut dengan uang lebih dan langsung memasuki pekarangan rumahnya. Bunda Rike, Bunda Iqbaal, sangat terkejut ketika melihat wajah lesu anaknya. Sebelum Iqbaal sempat memegang knop pintu kamarnya, Bunda Rike sudah terlebih dulu memanggilnya.
"Iqbaal?" katanya sambil menghampiri anak semata wayangnya. Begitu Iqbaal menoleh, terlihat jelas bagaimana lesunya anak itu. Bunda Rike tahu bahwa Iqbaal mengalami kesulitan dalam berteman, tapi seumur hidupnya, ia tak pernah melihat anaknya begitu lemas.  "Kau kenapa? Wajahmu tak pernah selesu ini. Kau sakit? Atau karena teman-temanmu lagi?"
Iqbaal menggeleng. "Aku tidak apa-apa, Bunda. Hanya perlu istirahat. Aku lelah."
Bunda tersenyum, kemudian mengacak rambut anaknya sejenak dengan sayang. "Ya sudah, tidurlah di kamar. Bunda tahu kau masih kesulitan beradaptasi di sekolah, tapi kau pasti bisa memiliki sahabat, sayang."
"Terima kasih, Bunda." kata Iqbaal tersenyum kecil. Kemudian, dia masuk ke dalam kamarnya dan segera membantingkan tubuhnya di tempat tidur. Ia memejamkan matanya sejenak, berusaha melepas semua kelelahannya hari ini.
Ia rasa ia merasa cukup lega tidak berbohong kepada Bunda Rike. Ya, dia memang lelah. Ia lelah menjalani hidupnya yang begitu banyak masalah. Ia pikir dimasukkan ke dalam tong sampah saja sudah cukup parah, namun ternyata masih ada lagi masalah yang lebih besar dari itu.
Rokok. Barang itu haram bagi Iqbaal. Dia tidak akan pernah mau menyentuhnya karena barang itu hanyalah barang yang akan merusak raganya. Ia tidak akan pernah sudi bermain-main dengan rokok, apalagi dengan cita-citanya yang ingin menjadi ustad. Namun, ia tetap penasaran, sebenarnya siapa yang memasukkan barang itu ke dalam tasnya? Kapan dia melakukannya? Dan untuk apa?

---

"Iqbaal, sepertinya ini untukmu." kata Bunda Rike memberikan sebuah surat yang ia temukan di kotak surat sore itu.
Iqbaal tersenyum dan menerima surat itu. "Ya, tubuhku sudah lebih baik. Terima kasih, Bunda."
Setelah berkata begitu, ia langsung berjalan menuju teras rumah. Ia duduk di sana dan segera membuka lipatan kertas itu. Ia sudah yakin sahabat khayalannya itu bisa menemukan rumahnya. Tentu saja, ia sudah dikenal oleh banyak orang di kompleknya. Dari satpam, tetangga, bahkan tukang-tukang yang biasa lewat depan rumahnya juga mengenalnya. Semua itu karena Iqbaal terkenal sebagai anak yang ramah di sekitar komplek. 180 derajat berbeda dengan di sekolah.

Dear I.D,
Hah! Rumahmu begitu mudah ditemukan. Apa kau baik-baik saja? Aku benar-benar tidak menyangka bahwa kau harus dituduh seperti itu. Padahal, kau tidak bersalah sama sekali. Tapi, kau tak perlu bersedih. Karena aku sudah mencabut hukumanmu. Pemilik rokok yang ada di tasmu sudah terbongkar dan kau boleh masuk sekolah esok hari.

Kau akan menemukanku di tempat kita bertemu pertama kali,
B. A. K

Iqbaal begitu penasaran selesai ia membaca tulisan sahabat penanya itu. Anak itu menarik sekali. Dia adalah satu-satunya anak yang mau bergaul dengannya walaupun hanya lewat tulisan. Dan dia juga adalah orang pertama yang mau membantunya keluar dari masalah. Iqbaal benar-benar ingin tahu siapa yang selama ini sudah rela mengajarinya indahnya berteman. Dan ia tak sabar menunggu esok hari tiba. Namun...
"Dimana aku bertemu dengannya pertama kali? Bukankah aku tidak pernah bertemu dengannya?" tanya Iqbaal heran.

---

Hari ini Iqbaal kembali bersekolah. Istirahat satu hari dari sekolah kemarin membuatnya kembali lebih tenang seperti biasanya. Namun  Iqbaal merasa aneh. Begitu ia masuk ke dalam kelas, teman-teman sekelasnya begitu memandangnya dengan tajam. Mereka benar-benar seperti serigala yang siap melahapnya hidup-hidup. Iqbaal menghela nafasnya. Firasatnya mengatakan bahwa hari ini dia pasti akan terkena masalah lagi.
"Hei! Kau!" sahut salah seorang dari mereka menghampiri Iqbaal. "Jangan pikir karena kau sudah bebas dari hukuman, tapi kau bebas dari kita! Kau itu hanya beruntung ada orang yang mau menyelamatkanmu kemarin! Awas!"
Iqbaal diam saja mendengarnya. Ia tidak mengeluarkan satu katapun untuk membalas sampai dia benar-benar meninggalkan meja Iqbaal. Percuma saja dia membalas. Balasannya itu tidak akan mengubah sikap teman-temannya, mungkin justru membuat mereka lebih jahat lagi kepadanya.
Namun, Iqbaal merasa lega ketika mengetahui dia bisa menjalankan hidupnya dengan tenang sampai istirahat siang. Padahal, biasanya pasti ada saja yang membuatnya tidak nyaman belajar di kelas. Tapi, kelegaannya itu langsung lenyap ketika anak yang tadi pagi mengancamnya itu benar-benar melakukan apa yang diucapkannya. Dia bersama teman-temannya menggiring Iqbaal ke dalam toilet laki-laki dan menceburkannya ke dalam toilet. Padahal, Iqbaal sudah mencoba berontak. Tapi, tetap tidak bisa bebas.
"Hah... Sebenarnya apa salahku?" tanya Iqbaal sambil menatap cermin. Wajahnya hampir tertutup karena poni lemparnya yang begitu panjang walaupun masih ada kacamata. Sekarang sudah sepi. Hanya dia sendiri yang tampak ada di dalam toilet. Aroma tubuhnya yang tadi begitu wangi sekarang berubah menjadi bau toilet.
"Kau tak perlu putus asa, I.D." sahut seseorang entah dari mana.
Iqbaal yang kaget langsung melihat ke kanan-kiri, berusaha mencari orang yang berbicara tersebut. Namun, ia tidak menemukannya. Bulu kuduknya berdiri karena menjadi takut. Namun, siapa lagi yang memanggilnya dengan inisial selain sahabat penanya itu? Anak itu misterius sekali.
"Kau tak perlu mencariku, belum saatnya kita bertemu." katanya lagi. "I.D, aku tahu hidupmu sudah begitu sulit. Kau tidak salah. Kau hanya belum menemukan seseorang yang benar-benar mengerti dirimu. Bersemangatlah."
"Tapi, aku tidak ingin dibenci banyak orang." kata Iqbaal lirih. "Kau bilang, kau pernah merasakan hal sepertiku, kau pasti tahu bagaimana sakitnya diperlakukan seperti ini oleh teman-teman sekelasmu sendiri."
"Ya, aku tahu. Namun, itu hanya proses. Semua rasa sakit itu akan segera berhenti ketika kau memiliki teman, I.D." katanya. "Sudah, lebih baik kau masuk kelas. Sebentar lagi bel pasti berbunyi."
"Bagaimana denganmu?"
Tak ada jawaban. Iqbaal yang masih merasa penasaran jadi tak puas. Namun, dia benar. Bel pasti sebentar lagi berbunyi. Dia tidak boleh terlambat untuk pelajaran selanjutnya. Akhirnya, dia membasuh wajahnya sejenak, merapikan rambutnya dan segera pergi meninggalkan toilet. Begitu langkah kaki Iqbaal menjauh, seorang laki-laki keluar dari salah satu dari sekian banyak tempat untuk mengganti baju. Dia tersenyum kecil melihat kepergian Iqbaal yang masih terlihat dari jangkauan matanya. Kemudian, dia segera ke kelas.

---

Jam pulang sekolah telah tiba. Semua teman-teman sekelas Iqbaal segera berhamburan keluar agar dapat cepat sampai rumah. Berbeda dengan Iqbaal yang tetap di dalam kelas. Setelah membereskan bukunya, dia bermaksud untuk merapikan loker sekolahnya juga. Namun, kali ini dia menemukan seseorang sedang sibuk dengan lokernya juga. Seorang laki-laki. Padahal, Iqbaal selalu sendiri selama ini. Dia selalu menjadi salah satu siswa yang pulang paling akhir. Tapi, sekarang tidak.
Iqbaal berjalan pelan dari belakang tubuhnya. Kemudian, ketika sampai di hadapannya, dia segera memegang pundaknya. Membuatnya langsung menoleh. Dan anehnya, anak itu tersenyum kepada Iqbaal. "Halo."
Iqbaal mengangguk. "Kau belum pulang?"
Ia menggeleng. "Kau sendiri?"
"Aku ingin membereskan lokerku dulu, setelah itu baru pulang." kata Iqbaal. "Eh, sebenarnya aku juga ingin bertemu dengan seseorang. Tapi, aku tidak mengerti di tempat mana yang dia maksud."
"Kalau begitu, lihatlah isi lokerku." kata laki-laki itu sambil tertawa kecil. Kemudian, dia bergeser satu langkah ke samping dan membiarkan Iqbaal melihat isi lokernya. Banyak sekali kertas di sana. Kemudian, setelah itu dia menutup lokernya hingga benar-benar rapat. Iqbaal membesarkan matanya ketika melihat angka 219 tercetak di pintu loker tersebut.
Iqbaal menoleh ke arahnya. "Kau.. B.A.K? Yang selama ini menjadi sahabat penaku?"
Dia kembali mengangguk. "Sebenarnya bukan hanya aku saja, namun juga dengan kedua temanku. Kami dari kelas 9-1 dan namaku Bastian. Begitu tahu aku mendapatkan semacam surat persahabatan, Aldi dan Kiki langsung menawarkan bantuan juga untukmu. Dari situlah kami membuat inisial B.A.K. Sayang mereka harus segera pergi, jadi tak bisa menunggumu."
Iqbaal manggut-manggut cepat. "Darimana kau tahu I.D adalah inisial namaku? Dan bagaimana kau bisa mencabut hukumanku?"
"Aku sering mendengar namamu disebut jika kau sedang dijahili teman-temanmu. Dan aku melihat nama lengkapmu di pintu kelasmu. Untungnya Aldi tidak sengaja mendengar teman-temanmu berbicara tentang rencana mereka memasukkan kotak rokok ke dalam tasmu. Dia mengikuti mereka diam-diam merekam semua kejadian sebagai bukti." kata Bastian sambil tersenyum.
Iqbaal hanya menghela nafas mendengarnya. Dia tak bisa berkata-kata lagi. "Hanya kau, Aldi dan Kiki yang selama ini mengerti perasaan siswa cupu sepertiku."
Bastian tersenyum menampakkan giginya. "Cupu bukan alasan utama yang logis untuk menjauhi seseorang. Aku, Aldi dan Kiki berteman dengan semuanya yang ingin berteman dengan kita. Dan kau salah satunya. Mulai saat ini, kau bisa bermain dengan kami. Kau tak perlu bersedih lagi karena kau selalu dijahili. Kami selalu siap membantumu, Baal."
Iqbaal tersenyum haru. "Terima kasih, Bas!"
Bastian tertawa. "Sudah, ayo kita bereskan lokermu dulu. Setelah itu, kau boleh datang ke rumahku. Kau harus membersihkan badanmu terlebih dahulu sebelum kau pulang."
Iqbaal mengangguk-angguk setuju. Kemudian, mereka langsung sibuk membereskan loker mereka bersama sampai rapi, kemudian mereka pulang bersama. Iqbaal benar-benar merasa bahagia hari ini. Akhirnya dia tahu bagaimana rasanya memiliki sahabat. Dan dia berjanji tak akan pernah menyia-nyiakan kebaikan Bastian dan juga kedua temannya, Aldi dan Kiki. Semenjak hari itu, Iqbaal tak pernah merasa sedih lagi karena dijauhi teman-teman sekelasnya.

THE END...
Tuliskan komentar kalian di bawah,
nantikan ceritaku selanjutnya!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Makasih ya udah baca cerpenku. Silahkan tinggalkan komentar kamu ya.
Semua kritik dan saran aku terima. Pujian juga boleh :p