Mungkin kau sudah mendengar bahwa aku terkena
skors karena dituduh membawa rokok. Kalau tidak, harus kuberitahu kau bahwa aku
tidak tahu apa yang harus kulakukan. Aku tidak tahu siapa yang memasukkan
rokok-rokok itu ke dalam tasku dan aku tak punya cukup bukti untuk
membongkarnya. Entahlah, aku tidak tahu apa yang akan dikatakan Bunda kepadaku
karena hal ini. Hanya kau yang mau mendengarkan ceritaku. Kirimkanlah balasan
suratku ke rumahku di komplek Matahari, aku tidak akan datang esok.
Aku ingin sekali bertemu denganmu,
I.D
Tulisan
itu Iqbaal tulis sebelum dia meninggalkan kelasnya. Skorsing tiga hari untuknya
diberikan oleh Pak Kuko sebagai hukuman sementara karena tidak ada yang mau
mengaku sebagai pemilik kotak rokok yang ada di dalam tasnya. Benar-benar
kacau.
Dengan
berat hati, Iqbaal berjalan meninggalkan sekolah dan menghentikan angkot yang
lewat di depannya agar ia dapat segera pulang. Ia membayar supir angkot
tersebut dengan uang lebih dan langsung memasuki pekarangan rumahnya. Bunda
Rike, Bunda Iqbaal, sangat terkejut ketika melihat wajah lesu anaknya. Sebelum
Iqbaal sempat memegang knop pintu kamarnya, Bunda Rike sudah terlebih dulu memanggilnya.
"Iqbaal?"
katanya sambil menghampiri anak semata wayangnya. Begitu Iqbaal menoleh,
terlihat jelas bagaimana lesunya anak itu. Bunda Rike tahu bahwa Iqbaal
mengalami kesulitan dalam berteman, tapi seumur hidupnya, ia tak pernah melihat
anaknya begitu lemas. "Kau
kenapa? Wajahmu tak pernah selesu ini. Kau sakit? Atau karena teman-temanmu
lagi?"
Iqbaal
menggeleng. "Aku tidak apa-apa, Bunda. Hanya perlu istirahat. Aku
lelah."
Bunda
tersenyum, kemudian mengacak rambut anaknya sejenak dengan sayang. "Ya
sudah, tidurlah di kamar. Bunda tahu kau masih kesulitan beradaptasi di
sekolah, tapi kau pasti bisa memiliki sahabat, sayang."
"Terima
kasih, Bunda." kata Iqbaal tersenyum kecil. Kemudian, dia masuk ke dalam
kamarnya dan segera membantingkan tubuhnya di tempat tidur. Ia memejamkan
matanya sejenak, berusaha melepas semua kelelahannya hari ini.
Ia rasa ia
merasa cukup lega tidak berbohong kepada Bunda Rike. Ya, dia memang lelah. Ia
lelah menjalani hidupnya yang begitu banyak masalah. Ia pikir dimasukkan ke
dalam tong sampah saja sudah cukup parah, namun ternyata masih ada lagi masalah
yang lebih besar dari itu.
Rokok.
Barang itu haram bagi Iqbaal. Dia tidak akan pernah mau menyentuhnya karena
barang itu hanyalah barang yang akan merusak raganya. Ia tidak akan pernah sudi
bermain-main dengan rokok, apalagi dengan cita-citanya yang ingin menjadi
ustad. Namun, ia tetap penasaran, sebenarnya siapa yang memasukkan barang itu
ke dalam tasnya? Kapan dia melakukannya? Dan untuk apa?
---
"Iqbaal,
sepertinya ini untukmu." kata Bunda Rike memberikan sebuah surat yang ia
temukan di kotak surat sore itu.
Iqbaal
tersenyum dan menerima surat itu. "Ya, tubuhku sudah lebih baik. Terima
kasih, Bunda."
Setelah
berkata begitu, ia langsung berjalan menuju teras rumah. Ia duduk di sana dan
segera membuka lipatan kertas itu. Ia sudah yakin sahabat khayalannya itu bisa
menemukan rumahnya. Tentu saja, ia sudah dikenal oleh banyak orang di
kompleknya. Dari satpam, tetangga, bahkan tukang-tukang yang biasa lewat depan
rumahnya juga mengenalnya. Semua itu karena Iqbaal terkenal sebagai anak yang
ramah di sekitar komplek. 180 derajat berbeda dengan di sekolah.
Dear
I.D,
Hah! Rumahmu begitu mudah ditemukan. Apa kau
baik-baik saja? Aku benar-benar tidak menyangka bahwa kau harus dituduh seperti
itu. Padahal, kau tidak bersalah sama sekali. Tapi, kau tak perlu bersedih.
Karena aku sudah mencabut hukumanmu. Pemilik rokok yang ada di tasmu sudah
terbongkar dan kau boleh masuk sekolah esok hari.
Kau akan menemukanku di tempat kita bertemu
pertama kali,
B. A. K
Iqbaal begitu penasaran selesai ia membaca
tulisan sahabat penanya itu. Anak itu menarik sekali. Dia adalah satu-satunya
anak yang mau bergaul dengannya walaupun hanya lewat tulisan. Dan dia juga
adalah orang pertama yang mau membantunya keluar dari masalah. Iqbaal
benar-benar ingin tahu siapa yang selama ini sudah rela mengajarinya indahnya
berteman. Dan ia tak sabar menunggu esok hari tiba. Namun...
"Dimana
aku bertemu dengannya pertama kali? Bukankah aku tidak pernah bertemu
dengannya?" tanya Iqbaal heran.
---
Hari ini Iqbaal kembali bersekolah. Istirahat
satu hari dari sekolah kemarin membuatnya kembali lebih tenang seperti
biasanya. Namun Iqbaal merasa
aneh. Begitu ia masuk ke dalam kelas, teman-teman sekelasnya begitu
memandangnya dengan tajam. Mereka benar-benar seperti serigala yang siap
melahapnya hidup-hidup. Iqbaal menghela nafasnya. Firasatnya mengatakan bahwa
hari ini dia pasti akan terkena masalah lagi.
"Hei!
Kau!" sahut salah seorang dari mereka menghampiri Iqbaal. "Jangan
pikir karena kau sudah bebas dari hukuman, tapi kau bebas dari kita! Kau itu
hanya beruntung ada orang yang mau menyelamatkanmu kemarin! Awas!"
Iqbaal
diam saja mendengarnya. Ia tidak mengeluarkan satu katapun untuk membalas
sampai dia benar-benar meninggalkan meja Iqbaal. Percuma saja dia membalas.
Balasannya itu tidak akan mengubah sikap teman-temannya, mungkin justru membuat
mereka lebih jahat lagi kepadanya.
Namun,
Iqbaal merasa lega ketika mengetahui dia bisa menjalankan hidupnya dengan
tenang sampai istirahat siang. Padahal, biasanya pasti ada saja yang membuatnya
tidak nyaman belajar di kelas. Tapi, kelegaannya itu langsung lenyap ketika
anak yang tadi pagi mengancamnya itu benar-benar melakukan apa yang
diucapkannya. Dia bersama teman-temannya menggiring Iqbaal ke dalam toilet
laki-laki dan menceburkannya ke dalam toilet. Padahal, Iqbaal sudah mencoba
berontak. Tapi, tetap tidak bisa bebas.
"Hah...
Sebenarnya apa salahku?" tanya Iqbaal sambil menatap cermin. Wajahnya
hampir tertutup karena poni lemparnya yang begitu panjang walaupun masih ada
kacamata. Sekarang sudah sepi. Hanya dia sendiri yang tampak ada di dalam
toilet. Aroma tubuhnya yang tadi begitu wangi sekarang berubah menjadi bau
toilet.
"Kau
tak perlu putus asa, I.D." sahut seseorang entah dari mana.
Iqbaal
yang kaget langsung melihat ke kanan-kiri, berusaha mencari orang yang
berbicara tersebut. Namun, ia tidak menemukannya. Bulu kuduknya berdiri karena
menjadi takut. Namun, siapa lagi yang memanggilnya dengan inisial selain
sahabat penanya itu? Anak itu misterius sekali.
"Kau
tak perlu mencariku, belum saatnya kita bertemu." katanya lagi. "I.D,
aku tahu hidupmu sudah begitu sulit. Kau tidak salah. Kau hanya belum menemukan
seseorang yang benar-benar mengerti dirimu. Bersemangatlah."
"Tapi,
aku tidak ingin dibenci banyak orang." kata Iqbaal lirih. "Kau
bilang, kau pernah merasakan hal sepertiku, kau pasti tahu bagaimana sakitnya
diperlakukan seperti ini oleh teman-teman sekelasmu sendiri."
"Ya,
aku tahu. Namun, itu hanya proses. Semua rasa sakit itu akan segera berhenti
ketika kau memiliki teman, I.D." katanya. "Sudah, lebih baik kau
masuk kelas. Sebentar lagi bel pasti berbunyi."
"Bagaimana
denganmu?"
Tak ada
jawaban. Iqbaal yang masih merasa penasaran jadi tak puas. Namun, dia benar.
Bel pasti sebentar lagi berbunyi. Dia tidak boleh terlambat untuk pelajaran
selanjutnya. Akhirnya, dia membasuh wajahnya sejenak, merapikan rambutnya dan
segera pergi meninggalkan toilet. Begitu langkah kaki Iqbaal menjauh, seorang
laki-laki keluar dari salah satu dari sekian banyak tempat untuk mengganti
baju. Dia tersenyum kecil melihat kepergian Iqbaal yang masih terlihat dari
jangkauan matanya. Kemudian, dia segera ke kelas.
---
Jam pulang
sekolah telah tiba. Semua teman-teman sekelas Iqbaal segera berhamburan keluar
agar dapat cepat sampai rumah. Berbeda dengan Iqbaal yang tetap di dalam kelas.
Setelah membereskan bukunya, dia bermaksud untuk merapikan loker sekolahnya
juga. Namun, kali ini dia menemukan seseorang sedang sibuk dengan lokernya
juga. Seorang laki-laki. Padahal, Iqbaal selalu sendiri selama ini. Dia selalu
menjadi salah satu siswa yang pulang paling akhir. Tapi, sekarang tidak.
Iqbaal
berjalan pelan dari belakang tubuhnya. Kemudian, ketika sampai di hadapannya,
dia segera memegang pundaknya. Membuatnya langsung menoleh. Dan anehnya, anak
itu tersenyum kepada Iqbaal. "Halo."
Iqbaal
mengangguk. "Kau belum pulang?"
Ia
menggeleng. "Kau sendiri?"
"Aku
ingin membereskan lokerku dulu, setelah itu baru pulang." kata Iqbaal.
"Eh, sebenarnya aku juga ingin bertemu dengan seseorang. Tapi, aku tidak
mengerti di tempat mana yang dia maksud."
"Kalau begitu, lihatlah isi lokerku."
kata laki-laki itu sambil tertawa kecil. Kemudian, dia bergeser satu langkah ke
samping dan membiarkan Iqbaal melihat isi lokernya. Banyak sekali kertas di
sana. Kemudian, setelah itu dia menutup lokernya hingga benar-benar rapat.
Iqbaal membesarkan matanya ketika melihat angka 219 tercetak di pintu loker
tersebut.
Iqbaal
menoleh ke arahnya. "Kau.. B.A.K? Yang selama ini menjadi sahabat
penaku?"
Dia
kembali mengangguk. "Sebenarnya bukan hanya aku saja, namun juga dengan
kedua temanku. Kami dari kelas 9-1 dan namaku Bastian. Begitu tahu aku
mendapatkan semacam surat persahabatan, Aldi dan Kiki langsung menawarkan
bantuan juga untukmu. Dari situlah kami membuat inisial B.A.K. Sayang mereka
harus segera pergi, jadi tak bisa menunggumu."
Iqbaal
manggut-manggut cepat. "Darimana kau tahu I.D adalah inisial namaku? Dan
bagaimana kau bisa mencabut hukumanku?"
"Aku
sering mendengar namamu disebut jika kau sedang dijahili teman-temanmu. Dan aku
melihat nama lengkapmu di pintu kelasmu. Untungnya Aldi tidak sengaja mendengar
teman-temanmu berbicara tentang rencana mereka memasukkan kotak rokok ke dalam
tasmu. Dia mengikuti mereka diam-diam merekam semua kejadian sebagai
bukti." kata Bastian sambil tersenyum.
Iqbaal
hanya menghela nafas mendengarnya. Dia tak bisa berkata-kata lagi. "Hanya
kau, Aldi dan Kiki yang selama ini mengerti perasaan siswa cupu
sepertiku."
Bastian
tersenyum menampakkan giginya. "Cupu bukan alasan utama yang logis untuk
menjauhi seseorang. Aku, Aldi dan Kiki berteman dengan semuanya yang ingin
berteman dengan kita. Dan kau salah satunya. Mulai saat ini, kau bisa bermain
dengan kami. Kau tak perlu bersedih lagi karena kau selalu dijahili. Kami
selalu siap membantumu, Baal."
Iqbaal
tersenyum haru. "Terima kasih, Bas!"
Bastian
tertawa. "Sudah, ayo kita bereskan lokermu dulu. Setelah itu, kau boleh
datang ke rumahku. Kau harus membersihkan badanmu terlebih dahulu sebelum kau
pulang."
Iqbaal
mengangguk-angguk setuju. Kemudian, mereka langsung sibuk membereskan loker mereka
bersama sampai rapi, kemudian mereka pulang bersama. Iqbaal benar-benar merasa
bahagia hari ini. Akhirnya dia tahu bagaimana rasanya memiliki sahabat. Dan dia
berjanji tak akan pernah menyia-nyiakan kebaikan Bastian dan juga kedua
temannya, Aldi dan Kiki. Semenjak hari itu, Iqbaal tak pernah merasa sedih lagi
karena dijauhi teman-teman sekelasnya.
THE END...
Tuliskan komentar kalian di bawah,
nantikan ceritaku selanjutnya!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Makasih ya udah baca cerpenku. Silahkan tinggalkan komentar kamu ya.
Semua kritik dan saran aku terima. Pujian juga boleh :p