Rabu, 23 Juli 2014

Cerbung | Impian Bola Basket Part 5



Jam makan malam sebentar lagi akan tiba. Bunda sejak tadi sudah sibuk di dapur untuk menyiapkan makanan untuk sekeluarga. Bahkan Cakka dan Elang juga sudah siap. Hanya tinggal Ayah dan Biru yang belum terlihat.
Sudah sekitar setengah jam Cakka dan Elang yang duduk di teras rumah menatap ke arah jalanan dengan raut wajah berharap saudara mereka itu segera pulang sebelum Ayah. Dia juga pasti tahu kalau dia pulang terlalu malam pasti akan berbahaya. Menurut pemikiran Elang, kalau Ayah mengatakan bahwa dia akan pulang cepat, mungkin dia akan sampai lima belas menit lagi. Entah cukupkah waktu sempit itu untuk Biru yang masih berada di perjalanan pulang.
Selama menunggu saudara mereka, suasana di teras rumah cukup sunyi. Hanya ada terdengar suara kicauan burung yang berterbangan di langit yang saat itu sudah berubah menjadi langit senja berwarna oranye. Kadang-kadang mereka juga mendengar suara mobil yang berlalu lalang karena mereka tidak tinggal di perumahan. Di depan rumah mereka bukan jalanan sepi. Tapi, jalan raya.
Untunglah beberapa saat kemudian, Biru akhirnya sampai di rumah. Ia tampak terburu-buru memasuki rumah dan segera menghampiri kedua saudaranya. Begitu mengetahui Ayah belum tiba di rumah, ia segera menghela nafas lega. Kemudian, mereka bertiga langsung masuk ke dalam rumah karena Biru harus segera mandi, sementara Cakka dan Elang langsung pergi menuju ruang makan.
“Apa menu makan malam hari ini, Bunda?” tanya Elang begitu ia sampai di ruang makan. Ternyata, Bunda sudah selesai menyiapkan makanan. Semua makanan yang tersedia untuk makan malam hari ini sudah diletakkan di meja, ditutupi dengan tudung saji karena mereka harus menunggu semuanya berkumpul.
“Tentu saja rahasia. Kita harus menunggu semuanya datang dulu baru kita membukanya bersama-sama.” kata Bunda sambil tersenyum. “Biru sudah pulang?”
Elang mengangguk. “Hanya tinggal menunggu Ayah.”
“Kalau begitu, kalian duduklah dulu. Sebentar lagi Ayah pasti datang.”
Cakka dan Elang langsung duduk di tempat masing-masing. Sembari menunggu Ayah, mereka sibuk sendiri. Elang langsung mengambil koran dan membacanya, sementara Cakka hanya diam saja di tempatnya. Memang benar kata Bunda, lima menit kemudian, terdengar suara pintu pagar diketuk oleh seseorang. Ayah sudah pulang!
Jam makan malam dimulai jam tujuh malam. Setelah Ayah dan Biru bergabung di meja makan, mereka berlima langsung mengucapkan doa untuk beberapa saat. Kemudian, langsung membuka tudung saji bersama-sama. Ternyata, menu makan malam hari ini adalah ayam bakar, udang rebus, telur gulai, sayur buncis dan lalapan. Dengan lahap, mereka semua langsung mengambil makanan masing-masing secukupnya. Seperti biasanya jika Ayah pulang, mereka jelas berbincang-bincang tentang kehidupan mereka.
“Jadi apa yang kalian lakukan selama di sekolah tahun ini?” tanya Ayah setelah menelan makanan yang ia kunyah. “Kalian sudah memulai sekolah hampir sebulan, pasti ada hal yang menarik, bukan?”
Cakka, Biru dan Elang hanya diam mendengar pertanyaan Ayah. Cakka tetap sibuk dengan makanannya, sementara Biru dan Elang justru saling melirik. Mulut Biru komat-kamit sendiri, berusaha mencari alasan yang tepat untuk menjawab pertanyaan tersebut. Dan Elang menyuruhnya segera menjawab seadanya.
Melihat hal tersebut, Ayah menatap mereka heran. “Kenapa?”
“Tidak ada, Yah.” kata Biru sambil tersenyum. “Kami hanya menjalankan sekolah seperti biasa. Mempersiapkan diri untuk pekan ulangan dua bulan ke depan.”
“Benarkah? Bagus kalau begitu.” kata Ayah sambil tersenyum. “Kalian harus belajar dengan giat. Ingat, kalian itu sudah besar. Tahun depan kau akan masuk SMA, Bi. Dan kau, Cakka, kau sudah masuk SMP, kau harus bersikap lebih dewasa agar bisa menjadi yang terbaik.”
Cakka tersenyum. “Terima kasih, Ayah.”
Sementara itu, Biru dan Elang langsung diam-diam menghela nafas lega begitu mendengar ucapan Ayah. Untung saja mereka tidak membuat jam makan malam mereka berantakan.
“Oh ya, satu lagi. Kalian tidak boleh pulang terlalu sore. Jam tiga sudah harus ada di rumah. Setelah itu, kalian harus beristirahat sampai jam makan malam. Setelah itu, belajar lagi. Bermainlah jika sudah akhir pekan.” kata Ayah lagi.
“Jadi, kita hanya boleh bermain di akhir pekan, Yah?” tanya Elang.
Ayah mengangguk. “Setelah pekerjaan sekolah selesai. Ingat, pendidikan itu nomor satu. Kalian tidak boleh mendahulukan bermain daripada belajar. Oh ya, bagaimana dengan ektrakulikuler? Kalian mengikuti apa?”
“Uhuk... Uhuk...!” Tiba-tiba Biru tersedak mendengar pertanyaan Ayah.
“Biru, jangan makan terlalu cepat.” kata Bunda langsung memberikan minum kepada putrinya itu.  “Minumlah, dan telan semua makanan di mulutmu.”
Biru langsung menurut kepada Bunda. Kemudian, langsung menghela nafas lega lagi karena makanan yang tersangkut di kerongkongannya sudah turun. Bunda yang melihatnya hanya tersenyum, ia mengerti Biru mengkhawatirkan kejadian ini akan terjadi jika Ayah pulang.
“Sudah, sudah. Kalian harus menghabiskan makanan kalian terlebih dahulu. Setelah itu,  baru kita bicara lagi.” kata Ayah. “Ayah tidak perduli kalian mengikuti ekskul apa di sekolah, yang penting kalian jangan sekali-kali lupa dengan aturan Ayah. Kau juga termasuk, Elang. Jangan ikut-ikut UKM basket.”
Cakka, Biru dan Elang mengangguk pelan bersamaan.
“Lalu, apa kau akan ada di rumah untuk beberapa waktu?” tanya Bunda langsung mengalihkan pembicaraan begitu melihat raut wajah anak-anaknya yang tidak enak.
“Ya, tentu saja. Aku akan pulang cepat seminggu ini, setelah itu aku akan kembali ke Eropa. Ada beberapa negara yang harus dikunjungi. Mungkin dua bulan lagi baru bisa pulang.” kata Ayah sambil tersenyum kepada Bunda.
Ayah memang seorang pengusaha sibuk. Karena itulah dia jarang bisa pulang ke rumah dengan cepat seperti hari ini. Dan dia juga sering keluar kota untuk pekerjaannya sehingga ia jarang bisa berkumpul dengan keluarga. Cakka, Biru dan Elang jelas tidak keberatan karena mereka tahu itu semua dia lakukan untuk menghidupi keluarga. Tapi, semenjak mereka mengetahui bahwa Ayah melarang mereka bermain basket. Kadang-kadang mereka merasa lebih lega jika Ayah tidak ada di rumah. Terdengar jahat memang, tapi memang begitu kenyataannya.
“Seminggu, Yah?” tanya Biru lagi dengan wajah kaget.
“Ya, kenapa?” tanya Ayah. “Bagaimanapun juga, keluarga harus diperhatikan sekali-kali. Jangan sampai hubungan keluarga justru menjauh karena aku bekerja di tempat lain.”
“Err.. Ya, betul, Yah.” kata Biru terpaksa. Kemudian, dia menutup mulutnya. Tidak mungkin dia menolak keputusan Ayah untuk menetap di rumah. Tapi, jika dia ada di sini, kegiatan sekolahnya dan kegiatan sekolah Cakka bisa terhambat karena ekskul basket berlangsung hingga pukul setengah empat. Mending kalau hanya sekali seminggu, masalahnya ekskul basket itu diadakan setiap hari Senin dan Jumat.
Tak lama kemudian, mereka bubar dari ruang makan karena jam makan malam sudah selesai. Ayah dan Bunda kembali ke kamar mereka, sementara Cakka, Biru dan Elang tidak kembali ke kamar mereka masing-masing. Mereka langsung berkumpul di kamar Cakka.
Saat itu, Cakka dan Biru duduk di tempat tidur, sementara Elang duduk di kursi menghadap ke arah kedua adiknya. Mereka tampak terganggu dengan kata-kata yang telah diucapkan Ayah selama makan malam tadi.
“Kalau Ayah akan pulang cepat untuk beberapa hari ke depan, aku tak tahu apa alasan yang sudah kita siapkan itu akan membuat Ayah percaya.” kata Biru. “Aku tidak mungkin pulang dari jam pelajaran tambahan dengan rambut basah dan tubuh berkeringat, bukan?”
“Tidak ada pilihan lain, Bi. Kita tidak bisa mengandalkan bantuan Bunda. Kau juga harus berusaha menghapus semua tanda-tanda dari tubuhmu yang menunjukkan bahwa kau latihan basket.” kata Elang. “Kau juga, Kka, kalau sampai Ayah tahu kalian kapten basket di sekolah, mungkin Ayah tidak akan bersabar lagi.”
Keduanya terdiam.
Beberapa saat kemudian, Biru menghela nafas. Ia segera beranjak dari tempat tidurnya. “Lebih baik sekarang kita istirahat. Sepertinya kita tidak akan menemukan jalan keluar hari ini.”
“Kalau begitu, selamat tidur, Kak.” jawab Cakka sambil tersenyum.
Biru mengangguk, kemudian menyempatkan diri untuk mengacak rambut Cakka sejenak. “Tidurlah dengan nyenyak, Kka. Jangan berpikir terlalu banyak tentang Ayah.”
Cakka mengangguk patuh. Setelah kedua kakaknya pergi, ia langsung menaikkan kakinya ke atas tempat tidur dan berbaring di balik selimutnya. Hari ini memang hari yang menyenangkan. Ia bisa bertemu dengan Ayah yang sudah sekian lama tak ia jumpai. Walaupun Ayah tetap melarangnya bermain basket, tapi setidaknya Cakka bisa merasakan kebahagiaan sebuah keluarga yang lengkap. Ia jelas masih penasaran mengapa Ayah sangat tegas dengan larangan basket itu. Namun, mungkin memang belum saatnya dia membicarakan basket kepada beliau.
Besok adalah hari Kamis. Memang tidak ada latihan basket. Namun, ia pasti pulang terlambat karena harus menemui anak basket yang tempo hari mengajaknya bermain bersama di lapangan. Anak laki-laki yang waktu itu menemuinya saat pulang sekolah. Kata-katanya waktu itu membuatnya penasaran.
Kalau kau cukup berani untuk melawanku, kau akan datang ke lapangan di Komplek Matahari esok hari. Jam tiga sore dan jangan terlambat.


J L J

Pagi ini jam sarapan terasa lebih hangat dari biasanya. Sepanjang jam makan Cakka tidak memudarkan sedikitpun senyuman manis di wajahnya melihat kehadiran Ayah di tengah-tengah mereka. Ia benar-benar bahagia, walaupun Ayah berwatak keras, tapi setidaknya dia tetap menyisihkan waktunya untuk keluarga. Tidak seperti sebagian Ayah di luar sana yang jauh lebih mementingkan pekerjaan daripada keluarganya. Diam-diam Cakka merasa beruntung karenanya.
Saat itu, di meja makan hanya ada Cakka, Elang dan Ayah. Biru sudah menyelesaikan sarapannya dan sedang mencuci tangan di dapur. Sementara Bunda sudah sibuk memasak untuk makan siang nanti karena sudah menyelesaikan tugas pagi hari, yakni menyiapkan sarapan untuk anak-anak dan menyiapkan teh untuk Ayah.
“Cakka, jangan melamun terus. Kau harus cepat berangkat ke sekolah.” kata Ayah yang menyadari Cakka tidak melepaskan pandangannya dari dirinya. Ia menjadi tidak bisa konsen membaca koran.
Cakka tertawa kecil, kemudian dengan cepat menghabiskan rotinya sampai tidak bersisa. Ia juga meneguk segelas susu putih dan dengan kilat membersihkan jejak susu yang tertinggal di bibirnya dengan serbet. Baru setelah itu, ia segera memakai sepatu sekolah.
“Hei, tunggu, Kka!” Biru cepat-cepat mengeringkan tangannya yang basah di dapur dan langsung mengambil tas sekolahnya untuk menyusul adiknya. Tapi, sebelum itu, tak lupa dia pamit kepada semua orang. “Ayah, Bunda, Kak Elang, Biru dan Cakka pergi ke sekolah dulu!”
“Tak mau kuantar?” tanya Elang. “Jarak ke sekolah lumayan jauh, kan?”
Biru menggeleng. “Kau kuliah siang kan, Kak? Kami jalan kaki saja! Lumayan untuk olahraga di pagi hari. Biar badan sehat. Lagipula, Cakka sepertinya sudah tidak sabar.”
“Bagaimana dengan bekalmu dan Cakka?” tanya Bunda dari dapur.
“Tidak perlu, Bunda. Hari ini aku beli saja. Kalau Cakka, ada yang berbaik hati membayarkan dia makan di kantin. Bekal kami disimpan saja untuk nanti siang. Kita akan pulang jam dua siang.” kata Biru sambil tersenyum. Kemudian, ia langsung berjalan menuju pintu depan.
“Ya sudah, hati-hati, Bi! Jaga adikmu!” kata Bunda. Beberapa saat kemudian, dia sudah muncul dengan beberapa piring berisi lauk pauk dan sayuran untuk makan siang.
“Iya, Bunda!”
“Jangan lupa pesan Ayah!” Ayah ikut menambahkan, namun tetap konsentrasi membaca berita yang ada di koran sambil meneguk teh yang diseduh Bunda. Bunda yang mendengarnya hanya menggelengkan kepalanya. Suaminya itu ketat sekali menjaga anak-anak.
“Bunda, aku ke atas dulu. Aku ingin mandi.” pamit Elang kepada Bunda. Kemudian, ia langsung menyingkir dan segera naik ke lantai atas dengan cepat. Walaupun ia kuliah siang, ia tetap tidak kuat dengan tubuh yang tidak segar. Ia sudah terbiasa mandi pagi-pagi.
“Apa kau tidak merasa mereka tertekan dengan peraturan ketatmu?” tanya Bunda begitu bayangan Elang sudah tidak terlihat. Tangannya sibuk membereskan piring-piring bekas ketiga anaknya sarapan tadi dan menaruh sebagian masakan makan siangnya.
“Aku melakukan itu untuk kebaikan mereka sendiri. Kalau mereka berbakti, mereka pasti akan melakukannya.” kata Ayah. Ia menutup korannya dan menoleh ke arah Bunda. “Memangnya kau keberatan?”
“Aku tidak tahu harus keberatan atau tidak, karena aku juga tidak mengerti kenapa kau melarang mereka bermain basket.” kata Bunda. “Bisa kau ceritakan kepadaku alasan kau melakukan itu? Atau aku juga tidak boleh tahu?”
“Basket hanya akan membahayakan hidup mereka. Lebih baik mereka tidak bermain-main dengannya.” kata Ayah. Setelah itu, ia beranjak dari kursinya dan segera mengambil tas kerjanya. Ingin segera berangkat ke kantor. Bunda yang melihatnya hanya menuruti saja. Ia segera merapikan dasi suaminya dan segera menghantarkannya ke pintu depan. Setelah itu, Bunda kembali sibuk bekerja di dapur.

J L J

Biru mengatur nafasnya begitu dia sampai di sekolah. Jarak dari rumah ke sekolah memakan waktu lima belas menit dengan berjalan kaki. Keringatnya mulai keluar karena cukup lelah. Makanya, ia berencana untuk beristirahat begitu sampai di kelas. Tapi, niatnya tersebut buyar karena Biru mendapati Alvin sudah tertidur pulas di antara keramaian kelasnya. Ia menggelengkan kepalanya melihat pemandangan tidak asing tersebut.
“Sudah dihukum membersihkan toilet, masih belum kapok juga?” kata Biru sambil berjalan menuju tempat duduknya. Ia menggantungkan tasnya di kursi dan segera duduk di samping Alvin. Tanpa banyak bicara, ia langsung menggoyangkan bahu Alvin dengan tangannya. “Vin...?”
Alvin tidak menjawab.
“Alvin!” kata Biru dengan nada lebih keras.
“Hm.” jawab Alvin tidak jelas.
“Bangun, Vin. Matahari sudah bersinar, kau masih saja tidur!” kata Biru. “Padahal kemarin kau yang mengeluh karena tidak boleh istirahat. Sekarang kau tidur lagi. Tidur berlebihan juga menyebabkan kau mengantuk, tahu! Kau mau dihukum lagi?”
 “Hari ini tidak ada pelajaran IPS.”
“Astaga, Vin, bukan dia saja yang keki denganmu, tahu! Memangnya kau pikir guru yang lain tidak akan menghukummu jika memergokimu sedang tidur?” kata Biru. Ia terus menggucang tubuh Alvin. “Sudah, lebih baik kau ke toilet, cuci muka!”
“Ya, ya, baiklah. Bawel kau.” kata Alvin dengan malasnya bangkit dari kursinya dan segera keluar kelas. Biru menghela nafas melihatnya keluar. Setidaknya, kali ini dia tidak terlalu susah untuk disuruh-suruh. Memang tidak baik memaksanya, tapi kalau tidak begitu, mungkin Alvin tidak akan pernah belajar untuk mengatasi kejadian itu. Bisa-bisa selamanya ia akan menjadi sasaran hukuman dari guru-guru.
Sementara itu, Cakka sedang tersenyum-senyum mendengar cerita sebagian teman-teman basketnya. Tadi saat dia datang ke kelas, mereka sedang berkumpul di sekitar mejanya dan Ray untuk berbincang-bincang tentang pertandingan Ray dan Gabriel kemarin. Ray yang masih merasa tidak puas hanya menggerutu dengan candaan teman-temannya tentang traktiran sepuasnya saat istirahat nanti. Jelas saja, Gabriel dan Rio ingin masing-masing tiga porsi makan. Dan itu jauh lebih mahal dari persiapan dompetnya!
“Perjanjian kemarin bukan traktiran sepuasnya, Yel! Masing-masing dari kalian, hanya memiliki jatah satu porsi makan dan minum.” kata Ray sebal. “Kalau ingin tambah, bayarlah masing-masing. Kau pikir aku mesin ATM?”
“Ah, kau tidak bisa diajak bercanda! Aku dan Rio juga tidak mungkin sebanyak itu!” kata Gabriel sambil tertawa. “Tapi, kalau soal kalah dalam pertandingan, perjalananmu masih panjang, Ray. Jadi bersabar saja.”
“Asem! Aku lebih jago daripada kau, tahu! Kemarin kau hanya sedang beruntung.” kata Ray. Ia langsung menjitak Gabriel dan ikut tertawa bersama kedua temannya.
“Setidaknya, kalian bersenang-senang, guys.” kata Cakka akhirnya bersuara.
Ray mengangguk. “Ya, andai kau dan Cakka melihat pertandingan kami kemarin. Pasti akan menyenangkan. Sekali-kali ayo kita bermain bersama di lapangan. Bertanding satu sama lain berguna untuk menambah kemampuan kita, bukan?”
Gabriel mengangguk. “Kita juga bisa ajak kakakmu, Kka. Dia pasti lebih berpengalaman. Kita bisa belajar banyak darinya, bagaimana caranya menjadi pebasket yang baik.”
“Kalau begitu, lebih baik kita latihan bersama tim basket putri juga.”
“Ide bagus, Ray!” kata Gabriel setuju.
Cakka tersenyum. Kemudian, menepuk pundak teman-temannya satu per satu. “Yang terpenting dalam tim basket hanyalah kepercayaan. Walaupun kalian saling berkompetisi, sampai kapanpun kita tetap satu tim. Kemampuan hebat yang kita miliki itu hanya bonus.”
Gabriel, Rio dan Ray tersenyum mendengar ucapan pendek Cakka. Mereka bertiga mengangguk, kemudian menggabungkan tangan mereka masing-masing di satu tumpuk, disusul dengan tangan Cakka paling atas.
“CRAG Team akan tetap jadi satu tim apapun yang terjadi.” Gabriel bersuara.

TO BE CONTINUED...
Penasaran? Baca sampai tamat ya!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Makasih ya udah baca cerpenku. Silahkan tinggalkan komentar kamu ya.
Semua kritik dan saran aku terima. Pujian juga boleh :p