Jam makan
malam sebentar lagi akan tiba. Bunda sejak tadi sudah sibuk di dapur untuk
menyiapkan makanan untuk sekeluarga. Bahkan Cakka dan Elang juga sudah siap.
Hanya tinggal Ayah dan Biru yang belum terlihat.
Sudah
sekitar setengah jam Cakka dan Elang yang duduk di teras rumah menatap ke arah
jalanan dengan raut wajah berharap saudara mereka itu segera pulang sebelum
Ayah. Dia juga pasti tahu kalau dia pulang terlalu malam pasti akan berbahaya.
Menurut pemikiran Elang, kalau Ayah mengatakan bahwa dia akan pulang cepat,
mungkin dia akan sampai lima belas menit lagi. Entah cukupkah waktu sempit itu
untuk Biru yang masih berada di perjalanan pulang.
Selama
menunggu saudara mereka, suasana di teras rumah cukup sunyi. Hanya ada terdengar
suara kicauan burung yang berterbangan di langit yang saat itu sudah berubah
menjadi langit senja berwarna oranye. Kadang-kadang mereka juga mendengar suara
mobil yang berlalu lalang karena mereka tidak tinggal di perumahan. Di depan
rumah mereka bukan jalanan sepi. Tapi, jalan raya.
Untunglah
beberapa saat kemudian, Biru akhirnya sampai di rumah. Ia tampak terburu-buru
memasuki rumah dan segera menghampiri kedua saudaranya. Begitu mengetahui Ayah
belum tiba di rumah, ia segera menghela nafas lega. Kemudian, mereka bertiga
langsung masuk ke dalam rumah karena Biru harus segera mandi, sementara Cakka
dan Elang langsung pergi menuju ruang makan.
“Apa menu
makan malam hari ini, Bunda?” tanya Elang begitu ia sampai di ruang makan.
Ternyata, Bunda sudah selesai menyiapkan makanan. Semua makanan yang tersedia
untuk makan malam hari ini sudah diletakkan di meja, ditutupi dengan tudung
saji karena mereka harus menunggu semuanya berkumpul.
“Tentu
saja rahasia. Kita harus menunggu semuanya datang dulu baru kita membukanya
bersama-sama.” kata Bunda sambil tersenyum. “Biru sudah pulang?”
Elang
mengangguk. “Hanya tinggal menunggu Ayah.”
“Kalau
begitu, kalian duduklah dulu. Sebentar lagi Ayah pasti datang.”
Cakka dan
Elang langsung duduk di tempat masing-masing. Sembari menunggu Ayah, mereka
sibuk sendiri. Elang langsung mengambil koran dan membacanya, sementara Cakka
hanya diam saja di tempatnya. Memang benar kata Bunda, lima menit kemudian,
terdengar suara pintu pagar diketuk oleh seseorang. Ayah sudah pulang!
Jam makan
malam dimulai jam tujuh malam. Setelah Ayah dan Biru bergabung di meja makan,
mereka berlima langsung mengucapkan doa untuk beberapa saat. Kemudian, langsung
membuka tudung saji bersama-sama. Ternyata, menu makan malam hari ini adalah
ayam bakar, udang rebus, telur gulai, sayur buncis dan lalapan. Dengan lahap,
mereka semua langsung mengambil makanan masing-masing secukupnya. Seperti
biasanya jika Ayah pulang, mereka jelas berbincang-bincang tentang kehidupan
mereka.
“Jadi apa
yang kalian lakukan selama di sekolah tahun ini?” tanya Ayah setelah menelan
makanan yang ia kunyah. “Kalian sudah memulai sekolah hampir sebulan, pasti ada
hal yang menarik, bukan?”
Cakka,
Biru dan Elang hanya diam mendengar pertanyaan Ayah. Cakka tetap sibuk dengan
makanannya, sementara Biru dan Elang justru saling melirik. Mulut Biru
komat-kamit sendiri, berusaha mencari alasan yang tepat untuk menjawab
pertanyaan tersebut. Dan Elang menyuruhnya segera menjawab seadanya.
Melihat
hal tersebut, Ayah menatap mereka heran. “Kenapa?”
“Tidak
ada, Yah.” kata Biru sambil tersenyum. “Kami hanya menjalankan sekolah seperti
biasa. Mempersiapkan diri untuk pekan ulangan dua bulan ke depan.”
“Benarkah?
Bagus kalau begitu.” kata Ayah sambil tersenyum. “Kalian harus belajar dengan
giat. Ingat, kalian itu sudah besar. Tahun depan kau akan masuk SMA, Bi. Dan
kau, Cakka, kau sudah masuk SMP, kau harus bersikap lebih dewasa agar bisa
menjadi yang terbaik.”
Cakka
tersenyum. “Terima kasih, Ayah.”
Sementara
itu, Biru dan Elang langsung diam-diam menghela nafas lega begitu mendengar
ucapan Ayah. Untung saja mereka tidak membuat jam makan malam mereka
berantakan.
“Oh ya,
satu lagi. Kalian tidak boleh pulang terlalu sore. Jam tiga sudah harus ada di
rumah. Setelah itu, kalian harus beristirahat sampai jam makan malam. Setelah
itu, belajar lagi. Bermainlah jika sudah akhir pekan.” kata Ayah lagi.
“Jadi,
kita hanya boleh bermain di akhir pekan, Yah?” tanya Elang.
Ayah
mengangguk. “Setelah pekerjaan sekolah selesai. Ingat, pendidikan itu nomor
satu. Kalian tidak boleh mendahulukan bermain daripada belajar. Oh ya,
bagaimana dengan ektrakulikuler? Kalian mengikuti apa?”
“Uhuk...
Uhuk...!” Tiba-tiba Biru tersedak mendengar pertanyaan Ayah.
“Biru,
jangan makan terlalu cepat.” kata Bunda langsung memberikan minum kepada
putrinya itu. “Minumlah, dan telan
semua makanan di mulutmu.”
Biru
langsung menurut kepada Bunda. Kemudian, langsung menghela nafas lega lagi
karena makanan yang tersangkut di kerongkongannya sudah turun. Bunda yang
melihatnya hanya tersenyum, ia mengerti Biru mengkhawatirkan kejadian ini akan
terjadi jika Ayah pulang.
“Sudah,
sudah. Kalian harus menghabiskan makanan kalian terlebih dahulu. Setelah
itu, baru kita bicara lagi.” kata
Ayah. “Ayah tidak perduli kalian mengikuti ekskul apa di sekolah, yang penting
kalian jangan sekali-kali lupa dengan aturan Ayah. Kau juga termasuk, Elang.
Jangan ikut-ikut UKM basket.”
Cakka,
Biru dan Elang mengangguk pelan bersamaan.
“Lalu, apa
kau akan ada di rumah untuk beberapa waktu?” tanya Bunda langsung mengalihkan
pembicaraan begitu melihat raut wajah anak-anaknya yang tidak enak.
“Ya, tentu
saja. Aku akan pulang cepat seminggu ini, setelah itu aku akan kembali ke
Eropa. Ada beberapa negara yang harus dikunjungi. Mungkin dua bulan lagi baru
bisa pulang.” kata Ayah sambil tersenyum kepada Bunda.
Ayah
memang seorang pengusaha sibuk. Karena itulah dia jarang bisa pulang ke rumah
dengan cepat seperti hari ini. Dan dia juga sering keluar kota untuk
pekerjaannya sehingga ia jarang bisa berkumpul dengan keluarga. Cakka, Biru dan
Elang jelas tidak keberatan karena mereka tahu itu semua dia lakukan untuk
menghidupi keluarga. Tapi, semenjak mereka mengetahui bahwa Ayah melarang
mereka bermain basket. Kadang-kadang mereka merasa lebih lega jika Ayah tidak
ada di rumah. Terdengar jahat memang, tapi memang begitu kenyataannya.
“Seminggu,
Yah?” tanya Biru lagi dengan wajah kaget.
“Ya,
kenapa?” tanya Ayah. “Bagaimanapun juga, keluarga harus diperhatikan
sekali-kali. Jangan sampai hubungan keluarga justru menjauh karena aku bekerja
di tempat lain.”
“Err.. Ya,
betul, Yah.” kata Biru terpaksa. Kemudian, dia menutup mulutnya. Tidak mungkin
dia menolak keputusan Ayah untuk menetap di rumah. Tapi, jika dia ada di sini,
kegiatan sekolahnya dan kegiatan sekolah Cakka bisa terhambat karena ekskul
basket berlangsung hingga pukul setengah empat. Mending kalau hanya sekali
seminggu, masalahnya ekskul basket itu diadakan setiap hari Senin dan Jumat.
Tak lama
kemudian, mereka bubar dari ruang makan karena jam makan malam sudah selesai.
Ayah dan Bunda kembali ke kamar mereka, sementara Cakka, Biru dan Elang tidak
kembali ke kamar mereka masing-masing. Mereka langsung berkumpul di kamar
Cakka.
Saat itu,
Cakka dan Biru duduk di tempat tidur, sementara Elang duduk di kursi menghadap
ke arah kedua adiknya. Mereka tampak terganggu dengan kata-kata yang telah
diucapkan Ayah selama makan malam tadi.
“Kalau
Ayah akan pulang cepat untuk beberapa hari ke depan, aku tak tahu apa alasan
yang sudah kita siapkan itu akan membuat Ayah percaya.” kata Biru. “Aku tidak
mungkin pulang dari jam pelajaran tambahan dengan rambut basah dan tubuh
berkeringat, bukan?”
“Tidak ada
pilihan lain, Bi. Kita tidak bisa mengandalkan bantuan Bunda. Kau juga harus
berusaha menghapus semua tanda-tanda dari tubuhmu yang menunjukkan bahwa kau
latihan basket.” kata Elang. “Kau juga, Kka, kalau sampai Ayah tahu kalian
kapten basket di sekolah, mungkin Ayah tidak akan bersabar lagi.”
Keduanya
terdiam.
Beberapa
saat kemudian, Biru menghela nafas. Ia segera beranjak dari tempat tidurnya.
“Lebih baik sekarang kita istirahat. Sepertinya kita tidak akan menemukan jalan
keluar hari ini.”
“Kalau
begitu, selamat tidur, Kak.” jawab Cakka sambil tersenyum.
Biru
mengangguk, kemudian menyempatkan diri untuk mengacak rambut Cakka sejenak.
“Tidurlah dengan nyenyak, Kka. Jangan berpikir terlalu banyak tentang Ayah.”
Cakka
mengangguk patuh. Setelah kedua kakaknya pergi, ia langsung menaikkan kakinya
ke atas tempat tidur dan berbaring di balik selimutnya. Hari ini memang hari
yang menyenangkan. Ia bisa bertemu dengan Ayah yang sudah sekian lama tak ia
jumpai. Walaupun Ayah tetap melarangnya bermain basket, tapi setidaknya Cakka
bisa merasakan kebahagiaan sebuah keluarga yang lengkap. Ia jelas masih
penasaran mengapa Ayah sangat tegas dengan larangan basket itu. Namun, mungkin
memang belum saatnya dia membicarakan basket kepada beliau.
Besok
adalah hari Kamis. Memang tidak ada latihan basket. Namun, ia pasti pulang
terlambat karena harus menemui anak basket yang tempo hari mengajaknya bermain
bersama di lapangan. Anak laki-laki yang waktu itu menemuinya saat pulang
sekolah. Kata-katanya waktu itu membuatnya penasaran.
Kalau kau cukup berani untuk melawanku, kau akan
datang ke lapangan di Komplek Matahari esok hari. Jam tiga sore dan jangan
terlambat.
J L J
Pagi ini
jam sarapan terasa lebih hangat dari biasanya. Sepanjang jam makan Cakka tidak
memudarkan sedikitpun senyuman manis di wajahnya melihat kehadiran Ayah di
tengah-tengah mereka. Ia benar-benar bahagia, walaupun Ayah berwatak keras,
tapi setidaknya dia tetap menyisihkan waktunya untuk keluarga. Tidak seperti
sebagian Ayah di luar sana yang jauh lebih mementingkan pekerjaan daripada
keluarganya. Diam-diam Cakka merasa beruntung karenanya.
Saat itu,
di meja makan hanya ada Cakka, Elang dan Ayah. Biru sudah menyelesaikan
sarapannya dan sedang mencuci tangan di dapur. Sementara Bunda sudah sibuk
memasak untuk makan siang nanti karena sudah menyelesaikan tugas pagi hari,
yakni menyiapkan sarapan untuk anak-anak dan menyiapkan teh untuk Ayah.
“Cakka,
jangan melamun terus. Kau harus cepat berangkat ke sekolah.” kata Ayah yang
menyadari Cakka tidak melepaskan pandangannya dari dirinya. Ia menjadi tidak
bisa konsen membaca koran.
Cakka
tertawa kecil, kemudian dengan cepat menghabiskan rotinya sampai tidak bersisa.
Ia juga meneguk segelas susu putih dan dengan kilat membersihkan jejak susu
yang tertinggal di bibirnya dengan serbet. Baru setelah itu, ia segera memakai
sepatu sekolah.
“Hei,
tunggu, Kka!” Biru cepat-cepat mengeringkan tangannya yang basah di dapur dan
langsung mengambil tas sekolahnya untuk menyusul adiknya. Tapi, sebelum itu,
tak lupa dia pamit kepada semua orang. “Ayah, Bunda, Kak Elang, Biru dan Cakka
pergi ke sekolah dulu!”
“Tak mau
kuantar?” tanya Elang. “Jarak ke sekolah lumayan jauh, kan?”
Biru menggeleng.
“Kau kuliah siang kan, Kak? Kami jalan kaki saja! Lumayan untuk olahraga di
pagi hari. Biar badan sehat. Lagipula, Cakka sepertinya sudah tidak sabar.”
“Bagaimana
dengan bekalmu dan Cakka?” tanya Bunda dari dapur.
“Tidak
perlu, Bunda. Hari ini aku beli saja. Kalau Cakka, ada yang berbaik hati
membayarkan dia makan di kantin. Bekal kami disimpan saja untuk nanti siang.
Kita akan pulang jam dua siang.” kata Biru sambil tersenyum. Kemudian, ia
langsung berjalan menuju pintu depan.
“Ya sudah,
hati-hati, Bi! Jaga adikmu!” kata Bunda. Beberapa saat kemudian, dia sudah
muncul dengan beberapa piring berisi lauk pauk dan sayuran untuk makan siang.
“Iya,
Bunda!”
“Jangan
lupa pesan Ayah!” Ayah ikut menambahkan, namun tetap konsentrasi membaca berita
yang ada di koran sambil meneguk teh yang diseduh Bunda. Bunda yang
mendengarnya hanya menggelengkan kepalanya. Suaminya itu ketat sekali menjaga
anak-anak.
“Bunda,
aku ke atas dulu. Aku ingin mandi.” pamit Elang kepada Bunda. Kemudian, ia
langsung menyingkir dan segera naik ke lantai atas dengan cepat. Walaupun ia
kuliah siang, ia tetap tidak kuat dengan tubuh yang tidak segar. Ia sudah
terbiasa mandi pagi-pagi.
“Apa kau
tidak merasa mereka tertekan dengan peraturan ketatmu?” tanya Bunda begitu
bayangan Elang sudah tidak terlihat. Tangannya sibuk membereskan piring-piring
bekas ketiga anaknya sarapan tadi dan menaruh sebagian masakan makan siangnya.
“Aku
melakukan itu untuk kebaikan mereka sendiri. Kalau mereka berbakti, mereka
pasti akan melakukannya.” kata Ayah. Ia menutup korannya dan menoleh ke arah
Bunda. “Memangnya kau keberatan?”
“Aku tidak
tahu harus keberatan atau tidak, karena aku juga tidak mengerti kenapa kau
melarang mereka bermain basket.” kata Bunda. “Bisa kau ceritakan kepadaku
alasan kau melakukan itu? Atau aku juga tidak boleh tahu?”
“Basket
hanya akan membahayakan hidup mereka. Lebih baik mereka tidak bermain-main
dengannya.” kata Ayah. Setelah itu, ia beranjak dari kursinya dan segera
mengambil tas kerjanya. Ingin segera berangkat ke kantor. Bunda yang melihatnya
hanya menuruti saja. Ia segera merapikan dasi suaminya dan segera
menghantarkannya ke pintu depan. Setelah itu, Bunda kembali sibuk bekerja di
dapur.
J L J
Biru
mengatur nafasnya begitu dia sampai di sekolah. Jarak dari rumah ke sekolah
memakan waktu lima belas menit dengan berjalan kaki. Keringatnya mulai keluar
karena cukup lelah. Makanya, ia berencana untuk beristirahat begitu sampai di
kelas. Tapi, niatnya tersebut buyar karena Biru mendapati Alvin sudah tertidur
pulas di antara keramaian kelasnya. Ia menggelengkan kepalanya melihat
pemandangan tidak asing tersebut.
“Sudah
dihukum membersihkan toilet, masih belum kapok juga?” kata Biru sambil berjalan
menuju tempat duduknya. Ia menggantungkan tasnya di kursi dan segera duduk di
samping Alvin. Tanpa banyak bicara, ia langsung menggoyangkan bahu Alvin dengan
tangannya. “Vin...?”
Alvin
tidak menjawab.
“Alvin!”
kata Biru dengan nada lebih keras.
“Hm.”
jawab Alvin tidak jelas.
“Bangun,
Vin. Matahari sudah bersinar, kau masih saja tidur!” kata Biru. “Padahal
kemarin kau yang mengeluh karena tidak boleh istirahat. Sekarang kau tidur
lagi. Tidur berlebihan juga menyebabkan kau mengantuk, tahu! Kau mau dihukum
lagi?”
“Hari ini tidak ada pelajaran IPS.”
“Astaga,
Vin, bukan dia saja yang keki denganmu, tahu! Memangnya kau pikir guru yang
lain tidak akan menghukummu jika memergokimu sedang tidur?” kata Biru. Ia terus
menggucang tubuh Alvin. “Sudah, lebih baik kau ke toilet, cuci muka!”
“Ya, ya,
baiklah. Bawel kau.” kata Alvin dengan malasnya bangkit dari kursinya dan
segera keluar kelas. Biru menghela nafas melihatnya keluar. Setidaknya, kali
ini dia tidak terlalu susah untuk disuruh-suruh. Memang tidak baik memaksanya,
tapi kalau tidak begitu, mungkin Alvin tidak akan pernah belajar untuk
mengatasi kejadian itu. Bisa-bisa selamanya ia akan menjadi sasaran hukuman
dari guru-guru.
Sementara
itu, Cakka sedang tersenyum-senyum mendengar cerita sebagian teman-teman
basketnya. Tadi saat dia datang ke kelas, mereka sedang berkumpul di sekitar
mejanya dan Ray untuk berbincang-bincang tentang pertandingan Ray dan Gabriel
kemarin. Ray yang masih merasa tidak puas hanya menggerutu dengan candaan
teman-temannya tentang traktiran sepuasnya saat istirahat nanti. Jelas saja,
Gabriel dan Rio ingin masing-masing tiga porsi makan. Dan itu jauh lebih mahal
dari persiapan dompetnya!
“Perjanjian
kemarin bukan traktiran sepuasnya, Yel! Masing-masing dari kalian, hanya
memiliki jatah satu porsi makan dan minum.” kata Ray sebal. “Kalau ingin
tambah, bayarlah masing-masing. Kau pikir aku mesin ATM?”
“Ah, kau
tidak bisa diajak bercanda! Aku dan Rio juga tidak mungkin sebanyak itu!” kata
Gabriel sambil tertawa. “Tapi, kalau soal kalah dalam pertandingan,
perjalananmu masih panjang, Ray. Jadi bersabar saja.”
“Asem! Aku
lebih jago daripada kau, tahu! Kemarin kau hanya sedang beruntung.” kata Ray.
Ia langsung menjitak Gabriel dan ikut tertawa bersama kedua temannya.
“Setidaknya,
kalian bersenang-senang, guys.” kata
Cakka akhirnya bersuara.
Ray
mengangguk. “Ya, andai kau dan Cakka melihat pertandingan kami kemarin. Pasti
akan menyenangkan. Sekali-kali ayo kita bermain bersama di lapangan. Bertanding
satu sama lain berguna untuk menambah kemampuan kita, bukan?”
Gabriel
mengangguk. “Kita juga bisa ajak kakakmu, Kka. Dia pasti lebih berpengalaman.
Kita bisa belajar banyak darinya, bagaimana caranya menjadi pebasket yang
baik.”
“Kalau
begitu, lebih baik kita latihan bersama tim basket putri juga.”
“Ide
bagus, Ray!” kata Gabriel setuju.
Cakka
tersenyum. Kemudian, menepuk pundak teman-temannya satu per satu. “Yang
terpenting dalam tim basket hanyalah kepercayaan. Walaupun kalian saling
berkompetisi, sampai kapanpun kita tetap satu tim. Kemampuan hebat yang kita
miliki itu hanya bonus.”
Gabriel,
Rio dan Ray tersenyum mendengar ucapan pendek Cakka. Mereka bertiga mengangguk,
kemudian menggabungkan tangan mereka masing-masing di satu tumpuk, disusul
dengan tangan Cakka paling atas.
“CRAG Team
akan tetap jadi satu tim apapun yang terjadi.” Gabriel bersuara.
TO BE CONTINUED...
Penasaran? Baca sampai tamat ya!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Makasih ya udah baca cerpenku. Silahkan tinggalkan komentar kamu ya.
Semua kritik dan saran aku terima. Pujian juga boleh :p