Selasa, 29 Juli 2014

Cerpen | Penyesalan




Iqbaal benar-benar kaget ketika melihat seorang anak tengah diserang oleh teman-teman sekelas. Anak itu tampak ketakutan menghadapi sendiri dua orang berbadan besar yang sudah siap menghajarnya. Untung saja Iqbaal mengawasi mereka untuk beberapa waktu, atau anak itu pasti habis karena dipukul oleh dua preman itu.
“Apa yang kalian lakukan?!” tanyanya dengan kesal sambil menahan tubuh sahabatnya yang hampir menyentuh tanah. “Kalian pikir kalian hebat sudah menindas teman kalian sendiri?!”
Salah satu dari mereka yang bernama Dimas mendengus. “Iqbaal Dhiafakhri, kau masih saja perduli dengan anak itu, setelah apa yang di lakukannya pada Kiki!”
“Ya, untuk apa kau membela anak pembunuh seperti dia!” kata temannya sambil menunjuk laki-laki yang ada di pangkuan anak remaja itu. “Dia itu hanya pembawa sial di sekolah kita. Bodoh sekali kau masih berteman dengannya.”
“Mungkin dia sudah diracuni otak pembunuh itu, Bas!” kata Dimas sambil tertawa. Disusul oleh temannya. Kemudian, mereka berdua langsung pergi meninggalkan tempat itu tanpa memperdulikan anak remaja tersebut. Benar-benar kurang ajar, berani bertindak tapi tidak berani bertanggung jawab.
“Ugh...” Anak itu tiba-tiba bersuara.
“Hei, kau tidak apa-apa? Jangan banyak bergerak!” tanya Iqbaal kepada anak yang ada di pangkuannya. Ia kaget ketika anak itu mencoba untuk bangun dari sana dan membersihkan luka yang ada di mulutnya. Tapi, yang didapatnya justru rasa sakit yang terasa perih. Badan mungil benar-benar lemah.
“Sudah, lebih baik kau istirahat. Aku akan membawamu ke rumah.” Tanpa banyak bicara ia langsung menggendong anak itu di atas punggungnya dan segera meninggalkan tempat itu juga.
Selama perjalanan, tak ada pembicaraan yang terjadi di antara mereka. Anak itu tampak sibuk terlelap di punggung Iqbaal yang secepat mungkin membawanya pulang ke rumahnya. Ia benar-benar tak tega melihatnya sakit hanya karena Dimas dan Bastian.
Saat mereka sampai di rumah, jam sudah menunjukkan angka lima. Iqbaal menurunkan anak itu di sofa ruang keluarganya dan segera mengambil sapu tangan dan membasahinya dengan air hangat. Tak lupa dia juga mengambil sedikit makanan untuknya. Baru setelah itu dia kembali.
Iqbaal menghela nafasnya. Anak itu masih saja terlelap dalam tidurnya. Wajahnya polos bagaikan anak kecil tak berdosa. Ia seperti merasakan kedamaian saat melihat wajah anak itu. Ia benar-benar merasa Dimas dan Bastian memperlakukannya secara tidak adil selama ini. Apalagi setelah dia merasa kehilangan Kiki.
Sebenarnya, Bastian, Dimas dan Kiki adalah sahabat baiknya. Ia tahu betul bahwa mereka berempat adalah sahabat dekat di kelas. Namun, rasa tidak terima yang muncul dalam diri Dimas dan Bastian membuat mereka berpikiran sempit dan terus menganggap anak itu adalah penyebab kepergian Kiki. Padahal, kalau ditelaah kembali, sebenarnya ini semua hanyalah kecelakaan. Anak itu tidak bermaksud membunuh sahabatnya sendiri.
Ia masih ingat, saat kejadian itu berlangsung, Bastian langsung memukulnya dengan sangat keras. Pisau yang tertusuk pada perut Kiki saat itu telah merenggut seluruh nyawanya. Ia benar-benar marah harus melihat dengan mata kepala sendiri, Kiki meninggal karenanya.
“Aldi, bangunlah.” Suara lembut itu membuat anak itu, Aldi perlahan-lahan membuka matanya. Mendapati Iqbaal masih ada di hadapannya sambil tersenyum.
“Baal...” sahut Aldi pelan, hampir tak terdengar karena ia sudah kehilangan banyak energi. Seluruh anggota badannya terasa lemas. Kepalanya juga masih terasa pusing. “Dimana aku?”
“Di rumahku.” jawabnya sambil tetap tersenyum. Namun, seketika senyumannya memudar, berganti dengan raut wajah kasihan dan cemas. “Untung saja aku tak sengaja melihatmu, kalau tidak mungkin kepalamu bisa bocor dihajar Dimas dan Bastian. Kenapa kau bisa bertengkar dengan mereka di jalan?”
“Aku...” kata Aldi pelan. Ia menundukkan kepalanya.  “Aku pergi dari rumah, Baal.”
Ia membesarkan matanya kaget mendengar ucapan Aldi. Tak menyangka kalau Aldi akan melakukan hal itu. “Apa? Kenapa?”
“Kau bukannya tidak tahu hidupku seperti apa, Baal. Orang tuaku sudah tiada. Aku juga tidak memiliki saudara. Aku sudah terlalu banyak merepotkan Pamanku di rumah dan merepotkan Dimas dan Bastian di sekolah. Membuat mereka kehilangan seperti itu, mereka pantas menyebutku pembunuh.”
“Al...” kata Iqbaal pelan menatap sahabatnya itu. Dia begitu pilu dengan kehidupannya. Padahal, Iqbaal sangat yakin bahwa bukan Aldi yang menyebabkan pembunuhan itu. Pisau yang dipegangnya saat itu pasti terlempar dari tangan orang lain. Tapi, Dimas dan Bastian tak pernah mau percaya padanya. Mereka justru lebih memilih menjauhi sahabat mereka sendiri.
“Seharusnya kau tak usah berteman denganku, Baal.” kata Aldi sambil membuang mukanya ke arah lain.  “Mereka benar, pembunuh seperti aku tak pantas memiliki teman.”
“Kau bukan pembunuh, Al... Kau tak melakukannya!”
Aldi diam saja.
Iqbaal menghela nafasnya menyerah. Ia tepuk pundak Aldi pelan. “Baiklah, terserah kau. Aku hanya ingin kau berhenti menyalahkan diri sendiri. Aku memiliki kamar kosong di belakang jika kau ingin tidur.”
“Terima kasih, Baal.” Aldi mengangguk dan beranjak dari sofa untuk pergi ke kamar kosong yang dimaksud Iqbaal. Sementara Iqbaal memandang kepergiannya sampai akhirnya bayangan sahabatnya tersebut hilang di balik pintu.

------

“Aldi?”
Saat itu, Iqbaal tak sengaja memergoki Aldi sedang melamun sendirian di lapangan olahraga indoor sekolah mereka yang ada di lantai delapan saat istirahat siang itu. Iqbaal baru saja jajan di kantin SMA yang ada di lantai tujuh dan sejenak mendengar sesuatu dan melihat seseorang yang naik tangga ke lantai delapan dengan langkah lemas. Karena penasaran, akhirnya dia naik ke lantai delapan untuk melihatnya.
Aldi mengangkat kepalanya. Tampak sosok Iqbaal di hadapannya. “Kau?”
Iqbaal tersenyum. “Kenapa ke sini? Tak main?”
Satria menggeleng. “Memangnya aku bisa main dengan siapa? Aku sudah tidak memiliki teman lagi sejak kabar menyedihkan itu tersebar ke penjuru sekolah.”
Iqbaal langsung cemberut mendengarnya. Lalu, ia menjitak dahi temannya itu. “Lalu selama ini kau menganggapku siapa?”
“Aduuuuh... Sakit tahu!” kata Aldi sambil mengelus dahinya yang cukup sakit akibat jitakan itu. “Aku bukannya tak menganggapmu teman tapi kau yang sudah kabur duluan. Bukannya mencariku dulu!”
Iqbaal tertawa mendengar keluhannya. Lalu, ia duduk di sebelah Aldi. Temannya itu menoleh ke arahnya, menatapnya heran. “Btw, kenapa kau sendirian? Dimana Dimas dan Bastian?”
“Mereka sedang... ke perpus.” kata Iqbaal pelan, lalu mengalihkan pandangannya dari Aldi.
Aldi terdiam mendengarnya. Rasanya ia tahu apa yang terjadi.  “Kau bertengkar lagi dengan mereka karena membelaku?”
Iqbaal terdiam sejenak. Ah, ternyata sahabatnya yang satu ini susah untuk dibohongi. Lalu, menoleh ke arahnya dan tersenyum. “Tidak. Kami baik-baik saja. Lagipula,  mereka juga akan ke sini untuk bermain basket.”
“Oh.. begitu?” kata Aldi sambil manggut-manggut, kemudian memandang ke arah lapangan yang benar-benar kosong tanpa penghuni.
“Kenapa? Kau takut?” tanya Iqbaal sambil tertawa.
“Tidak. Enak saja!” elak Satria sambil mendorong bahu Iqbaal dan tertawa. Oh, sudah lama Iqbaal tak melihat tawanya yang begitu lepas. Iqbaal merasa benar-benar lega bisa menghiburnya di saat seperti ini.
“Benarkah?!” balas Iqbaal sambil mendorong balik pundak Aldi pelan sambil tertawa. Namun, suara canda tawa itu terhenti ketika terdengar seseorang memanggil dari kejauhan. Iqbaal menoleh ke arah sumber suara, di depan pintu lapangan.
Aldi juga terdiam menatap mereka. Sementara pemilik suara mendekat sampai mereka tepat berhadapan dengan Iqbaal dan Aldi. Mereka menatap Iqbaal tajam.
“Oh, jadi kau tidak mau ikut kita karena mau bertemu dengan anak pembunuh ini di sini?” tanya Dimas.
“Bukan begitu, tapi...” jawab Iqbaal terputus.
“Kenapa kau begitu percaya pada Aldi? Kau selalu mengelak setiap kali kita berbicara tentang dia! Sudah berkali-kali kita bilang padamu, kau tak seharusnya bermain dengan anak seperti dia!” kata Bastian.
“Seharusnya kau yang belajar untuk percaya pada temanmu sendiri!” kata Iqbaal sebal. “Dia itu sahabat kalian, Dim, Bas! Walaupun setelah insiden itu terjadi! Lagipula, sudah kubilang bukan dia pelakunya!”
“Sudahlah, Bas, tidak ada gunanya kita memaksa Iqbaal, dia tidak akan berhenti membela anak kecil itu.” kata Dimas menepuk pundak Bastian yang langsung mengangguk setuju. Aldi memang lebih muda beberapa tahun dari mereka.
“Sebenarnya apa yang kalian inginkan, Bas, Dim? Apa yang bisa membuat kau percaya pada Aldi lagi? Kematian? Iya?” tanya Iqbaal putus asa. Ia benar-benar tak habis pikir dengan kedua temannya tersebut.
Dimas dan Bastian terdiam, tak berniat menjawab.
“Nanti pulang bisa temani aku?” tanya Bastian mengganti pembicaraan.
“Kemana?”
“Terserah kau, aku hanya suntuk melihatmu seperti ini!”
Iqbaal menghela nafasnya. Ia menoleh ke arah Dimas. “Kau ikut, Dim?”
Dimas mengangguk cepat.
Kemudian, Iqbaal menoleh ke arah Aldi, bermaksud mengajaknya ikut. Tapi, belum sempat berbicara, Bastian sudah berbicara duluan. “Hei, jangan coba–coba kau mengajak siapapun.”
Iqbaal menoleh balik ke arah Bastian dengan penuh keheranan. Anak itu tak ada kapok–kapoknya menjelekkan dan memojokkan temannya sendiri. Huh, ya sudahlah. Akhirnya, Iqbaal mengurungkan niatnya. Tapi, dia tetap menoleh ke arah Aldi. “Al, apa kau langsung pulang nanti?”
“Iya... Memangnya kenapa?” tanya Aldi balik.
“Bagaimana kalau aku mengantarmu pulang terlebih dahulu? Sehabis itu baru aku pergi dengan mereka.” kata Iqbaal sambil menunjuk Bastian dan Dimas.
“Apa? Tak perlu. Lebih baik kau langsung pergi dengan mereka, aku tidak apa–apa pulang sendirian.” jawab Aldi tak enak hati. “Aku tak ingin merepotkanmu terus, Iqbaal.”
“Ayolah, bagaimanapun juga kau sudah seperti adikku sendiri! Aku tidak ingin terjadi apa-apa denganmu.” kata Iqbaal memohon. Aldi tersenyum melihatnya.
“Huh, baiklah, terserah kau, Kak Iqbaal.” kata Aldi sambil tertawa.
“Horee! Terima kasih!” sorak Iqbaal seolah-olah baru saja menang lotre, lalu spontan memeluk tubuh mungil Satria. Satria hanya tertawa geli. Sedangkan Bastian dan Dimas? Mereka hanya melengos tidak jelas.

------

“Jadi kapan kita bisa melihat batang hidungmu?” tanya Bastian saat pulang sekolah sambil mengobrak–abrik lokernya. Dimas dan Iqbaal juga melakukan hal yang sama.
Iqbaal menoleh ke arah Bastian. “Nanti aku kabari lagi, Bas.”
“Huh, kau selalu begitu semenjak Kiki pergi. Lama-lama kau menjauh dari kami hanya karena Aldi!” protes Bastian. “Dia itu seharusnya sudah kau coret dari daftar sahabatmu! Apa kau tak ingat apa yang dilakukannya pada Kiki?”
“Maaf, Bas. Tapi, Satria masih sahabatku. Dia tidak akan kucoret dari daftar sahabatku dan aku yakin dia bukan orang yang membuat Kiki pergi.” kata Fancha pelan.
Dimas akhirnya menoleh mendengar ucapan Fancha. “Alasan yang nggak masuk akal. Memangnya kau punya bukti kalau dia tidak melakukannya?”
Fancha membesarkan matanya mendengar ucapan Dimas. “Apa–apaan kau, Dim? Kita tidak perlu bukti untuk yakin Aldi tidak melakukannya. Satu-satunya alasan mengapa kita harus percaya adalah karena kita sahabatnya!”
“Aku tak mengerti jalan pikiranmu.” kata Dimas sambil menggelengkan kepalanya.
“Ya, kau memang tak akan pernah mengerti jalan pikiranku jika kau menutup pintu hatimu untuk Aldi. Aku sayang Satria sebagai temanku, adikku.” jelas Iqbaal pada Dimas. “Kau bukannya tidak tahu aku ingin sekali memiliki adik kandung. Karena itu aku menyayanginya.”
“Pembohong.” kata Dimas masih ngotot dengan dugaannya.
“Terserah apa katamu, Dim. Sudahlah, aku harus pergi. Kita bertemu lagi nanti.” kata Iqbaal menutup lokernya dan langsung pergi meninggalkan mereka.
Dimas dan Bastian saling berpandangan heran.

------

“Aldi?”
Iqbaal celingak–celinguk mencari sosok Aldi di depan gerbang sekolah. Sosok mungil itu tak ada di sana. Padahal, Iqbaal saja sudah ngaret karena debat dengan Bastian dan Dimas tadi. Tapi, ternyata batang hidungnya belum muncul. Tidak biasanya.
Cukup lama Iqbaal menunggu, tapi Aldi tak muncul–muncul juga. Akhirnya, Iqbaal pergi ke dalam sekolah lagi dan menelusuri lorong kelas tujuh karena Aldi memang kelas tujuh. Sedangkan Iqbaal, Bastian dan Dimas kelas sembilan.
“Arul?” panggil Iqbaal melihat seorang anak kecil berpapasan dengannya. Dia adalah teman sekelas Aldi.
“Loh, kak Iqbaal?” jawab Arul heran. “Bukannya kakak pulang bersama Aldi?”
“Justru itu, kakak sedang mencari dimana Aldi. Kakak tidak menemukannya di depan. Lihat Aldi tidak?”
“Loh? Aldi tadi sudah pamit pulang padaku, Kak.”
“Hah? Benarkah?”
“Iya, makanya aku heran melihat kakak masih ada di sini.”
“AAAAA!!!”
Iqbaal dan Arul kaget dengan suara teriakan yang baru saja terdengar. Mereka kenal betul dengan suara itu. Tanpa banyak bicara, Iqbaal langsung berlari meninggalkan Arul dengan panik. Sementara Arul hanya terdiam.
Ketika Iqbaal sampai di depan sekolah, ia membesarkan matanya. Kaget.
“Aldi!!!!” teriak Iqbaal kaget setengah mati. Ia langsung menghampiri Aldi yang tergeletak lemas di tengah jalan. Ia mengangkat kepala Aldi yang kini berlumuran darah. Aldi tertabrak mobil. “Al! Bangun, Al!!”
Tapi, tak ada jawaban. Aldi tetap terus memejamkan matanya. Iqbaal menggenggam tangannya, mencoba merasakan denyut nadinya. Tapi, tak ada yang bisa di rasakannya. Dan badan mungil sahabatnya itu tiba-tiba menjadi dingin.
“ALDI!!!” teriak Iqbaal sekeras–kerasnya sambil mengalirkan air matanya.

------

Iqbaal P.O.V

Ini hari pemakaman. Aku menangis di depan makam itu. Suasana di sana sunyi sekali. Aku bisa menangis sekeras–kerasnya. Batu nisan bertuliskan Aldi Maldini itu kuelus–elus sejak tadi. “Aku merindukanmu, Al...”
Namun, suasana sunyi itu tiba–tiba terpecahkan. “Baal...”
Aku berbalik badan melihat siapa yang memanggil. Aku menghapus air mataku yang sudah mengalir deras. Lalu, aku berdiri menghadap dua cowok yang ada di hadapanku ini. Tapi, wajahku kufokuskan pada cowok gondrong yang ada di sebelah kanan. “Puas kau?”
Dia hanya diam mendengar aku. Aku melanjutkan. “Sekarang kau puas, kan? Aldi sudah pergi... Dan sekarang kau pasti ingin tertawa melihatku menangis! Melihat kepergian Aldi juga!”
“Baal...” Salah seorang dari mereka bergumam pelan.
“Sekarang kalian puas bukan?! Ngaku!” kataku penuh emosi.
Bastian dan Dimas akhirnya memeluk aku dari samping kiri-kanan. Aku berusaha berontak. Tapi, tenaga mereka lebih kuat. Aku tak bisa berbuat apa–apa.
“Maafkan kita, Iqbaal.” kata Bastian. “Mungkin kita membenci Aldi, namun kita tak bisa mengelak bahwa kita juga sedih melihat dia pergi. Seharusnya kita menerima kalau Kiki sudah pergi.”
“Kita juga tidak menyangka Aldi pergi secepat ini.” kata Dimas menambahkan.

 Janganlah menangisi aku. Karena aku tak pantas kalian tangisi...
Janganlah berhenti tersenyum. Karena hidup kalian masih panjang...
Aku akan terus memperhatikan kalian, dari atas sana. Aku berjanji...

Aku terdiam mendengar suara itu. Entah datang dari mana, tiba-tiba suara Aldi terdengar di telinganya, juga telinga Bastian dan Dimas. Kemudian, beberapa saat kemudian, terlihat sebuah kertas putih terbang ke arah mereka. Iqbaal langsung meraih kertas dan membacanya bersama Dimas dan Bastian. Ternyata, itu adalah surat dari Aldi.

Bastian, Dimas, Aku sama sekali tidak marah atas apa yang kalian lakukan setelah kejadian itu. Kalian benar sudah membenciku, karena seharusnya... aku menolong Kiki waktu itu.
Bukan aku yang menusuk perut Kiki sampai meninggal. Pelaku sebenarnya kabur dan melemparkan pistolnya padaku karena takut ketahuan saat aku memergokinya. Aku berusaha menolong Kiki, tapi ternyata gagal. Maafkan aku, Bas, Dim...
Dari sahabat kalian,
Aldi Maldini

Begitu membaca surat itu, Iqbaal melihat ke arah mereka berdua. Bastian dan Dimas menunjukkan raut wajah bersalah. Mereka berdua juga kembali menatap Iqbaal dengan tatapan menyesal. Ternyata, memang bukan Aldi yang melakukannya. Seharusnya mereka tahu!


THE END...
Tuliskan komentar kalian di bawah,
Kalau mau request cerpen silahkan ya :)
Nantikan ceritaku selanjutnya!

2 komentar:

Makasih ya udah baca cerpenku. Silahkan tinggalkan komentar kamu ya.
Semua kritik dan saran aku terima. Pujian juga boleh :p