Iqbaal
benar-benar kaget ketika melihat seorang anak tengah diserang oleh teman-teman
sekelas. Anak itu tampak ketakutan menghadapi sendiri dua orang berbadan besar
yang sudah siap menghajarnya. Untung saja Iqbaal mengawasi mereka untuk
beberapa waktu, atau anak itu pasti habis karena dipukul oleh dua preman itu.
“Apa yang
kalian lakukan?!” tanyanya dengan kesal sambil menahan tubuh sahabatnya yang
hampir menyentuh tanah. “Kalian pikir kalian hebat sudah menindas teman kalian
sendiri?!”
Salah satu
dari mereka yang bernama Dimas mendengus. “Iqbaal Dhiafakhri, kau masih saja
perduli dengan anak itu, setelah apa yang di lakukannya pada Kiki!”
“Ya, untuk
apa kau membela anak pembunuh seperti dia!” kata temannya sambil menunjuk
laki-laki yang ada di pangkuan anak remaja itu. “Dia itu hanya pembawa sial di
sekolah kita. Bodoh sekali kau masih berteman dengannya.”
“Mungkin
dia sudah diracuni otak pembunuh itu, Bas!” kata Dimas sambil tertawa. Disusul
oleh temannya. Kemudian, mereka berdua langsung pergi meninggalkan tempat itu
tanpa memperdulikan anak remaja tersebut. Benar-benar kurang ajar, berani
bertindak tapi tidak berani bertanggung jawab.
“Ugh...”
Anak itu tiba-tiba bersuara.
“Hei, kau
tidak apa-apa? Jangan banyak bergerak!” tanya Iqbaal kepada anak yang ada di
pangkuannya. Ia kaget ketika anak itu mencoba untuk bangun dari sana dan
membersihkan luka yang ada di mulutnya. Tapi, yang didapatnya justru rasa sakit
yang terasa perih. Badan mungil benar-benar lemah.
“Sudah,
lebih baik kau istirahat. Aku akan membawamu ke rumah.” Tanpa banyak bicara ia
langsung menggendong anak itu di atas punggungnya dan segera meninggalkan
tempat itu juga.
Selama
perjalanan, tak ada pembicaraan yang terjadi di antara mereka. Anak itu tampak
sibuk terlelap di punggung Iqbaal yang secepat mungkin membawanya pulang ke
rumahnya. Ia benar-benar tak tega melihatnya sakit hanya karena Dimas dan
Bastian.
Saat
mereka sampai di rumah, jam sudah menunjukkan angka lima. Iqbaal menurunkan
anak itu di sofa ruang keluarganya dan segera mengambil sapu tangan dan
membasahinya dengan air hangat. Tak lupa dia juga mengambil sedikit makanan
untuknya. Baru setelah itu dia kembali.
Iqbaal
menghela nafasnya. Anak itu masih saja terlelap dalam tidurnya. Wajahnya polos
bagaikan anak kecil tak berdosa. Ia seperti merasakan kedamaian saat melihat
wajah anak itu. Ia benar-benar merasa Dimas dan Bastian memperlakukannya secara
tidak adil selama ini. Apalagi setelah dia merasa kehilangan Kiki.
Sebenarnya,
Bastian, Dimas dan Kiki adalah sahabat baiknya. Ia tahu betul bahwa mereka
berempat adalah sahabat dekat di kelas. Namun, rasa tidak terima yang muncul
dalam diri Dimas dan Bastian membuat mereka berpikiran sempit dan terus
menganggap anak itu adalah penyebab kepergian Kiki. Padahal, kalau ditelaah
kembali, sebenarnya ini semua hanyalah kecelakaan. Anak itu tidak bermaksud
membunuh sahabatnya sendiri.
Ia masih
ingat, saat kejadian itu berlangsung, Bastian langsung memukulnya dengan sangat
keras. Pisau yang tertusuk pada perut Kiki saat itu telah merenggut seluruh
nyawanya. Ia benar-benar marah harus melihat dengan mata kepala sendiri, Kiki
meninggal karenanya.
“Aldi, bangunlah.”
Suara lembut itu membuat anak itu, Aldi perlahan-lahan membuka matanya.
Mendapati Iqbaal masih ada di hadapannya sambil tersenyum.
“Baal...”
sahut Aldi pelan, hampir tak terdengar karena ia sudah kehilangan banyak energi.
Seluruh anggota badannya terasa lemas. Kepalanya juga masih terasa pusing.
“Dimana aku?”
“Di
rumahku.” jawabnya sambil tetap tersenyum. Namun, seketika senyumannya memudar,
berganti dengan raut wajah kasihan dan cemas. “Untung saja aku tak sengaja
melihatmu, kalau tidak mungkin kepalamu bisa bocor dihajar Dimas dan Bastian.
Kenapa kau bisa bertengkar dengan mereka di jalan?”
“Aku...”
kata Aldi pelan. Ia menundukkan kepalanya. “Aku pergi dari rumah, Baal.”
Ia
membesarkan matanya kaget mendengar ucapan Aldi. Tak menyangka kalau Aldi akan
melakukan hal itu. “Apa? Kenapa?”
“Kau
bukannya tidak tahu hidupku seperti apa, Baal. Orang tuaku sudah tiada. Aku
juga tidak memiliki saudara. Aku sudah terlalu banyak merepotkan Pamanku di
rumah dan merepotkan Dimas dan Bastian di sekolah. Membuat mereka kehilangan
seperti itu, mereka pantas menyebutku pembunuh.”
“Al...” kata
Iqbaal pelan menatap sahabatnya itu. Dia begitu pilu dengan kehidupannya.
Padahal, Iqbaal sangat yakin bahwa bukan Aldi yang menyebabkan pembunuhan itu.
Pisau yang dipegangnya saat itu pasti terlempar dari tangan orang lain. Tapi, Dimas
dan Bastian tak pernah mau percaya padanya. Mereka justru lebih memilih
menjauhi sahabat mereka sendiri.
“Seharusnya
kau tak usah berteman denganku, Baal.” kata Aldi sambil membuang mukanya ke
arah lain. “Mereka benar, pembunuh
seperti aku tak pantas memiliki teman.”
“Kau bukan
pembunuh, Al... Kau tak melakukannya!”
Aldi diam
saja.
Iqbaal
menghela nafasnya menyerah. Ia tepuk pundak Aldi pelan. “Baiklah, terserah kau.
Aku hanya ingin kau berhenti menyalahkan diri sendiri. Aku memiliki kamar
kosong di belakang jika kau ingin tidur.”
“Terima
kasih, Baal.” Aldi mengangguk dan beranjak dari sofa untuk pergi ke kamar kosong
yang dimaksud Iqbaal. Sementara Iqbaal memandang kepergiannya sampai akhirnya
bayangan sahabatnya tersebut hilang di balik pintu.
------
“Aldi?”
Saat itu,
Iqbaal tak sengaja memergoki Aldi sedang melamun sendirian di lapangan olahraga
indoor sekolah mereka yang ada di lantai delapan saat istirahat siang itu. Iqbaal
baru saja jajan di kantin SMA yang ada di lantai tujuh dan sejenak mendengar
sesuatu dan melihat seseorang yang naik tangga ke lantai delapan dengan langkah
lemas. Karena penasaran, akhirnya dia naik ke lantai delapan untuk melihatnya.
Aldi
mengangkat kepalanya. Tampak sosok Iqbaal di hadapannya. “Kau?”
Iqbaal
tersenyum. “Kenapa ke sini? Tak main?”
Satria
menggeleng. “Memangnya aku bisa main dengan siapa? Aku sudah tidak memiliki
teman lagi sejak kabar menyedihkan itu tersebar ke penjuru sekolah.”
Iqbaal
langsung cemberut mendengarnya. Lalu, ia menjitak dahi temannya itu. “Lalu
selama ini kau menganggapku siapa?”
“Aduuuuh...
Sakit tahu!” kata Aldi sambil mengelus dahinya yang cukup sakit akibat jitakan
itu. “Aku bukannya tak menganggapmu teman tapi kau yang sudah kabur duluan.
Bukannya mencariku dulu!”
Iqbaal
tertawa mendengar keluhannya. Lalu, ia duduk di sebelah Aldi. Temannya itu menoleh
ke arahnya, menatapnya heran. “Btw, kenapa kau sendirian? Dimana Dimas dan
Bastian?”
“Mereka sedang...
ke perpus.” kata Iqbaal pelan, lalu mengalihkan pandangannya dari Aldi.
Aldi
terdiam mendengarnya. Rasanya ia tahu apa yang terjadi. “Kau bertengkar lagi dengan mereka
karena membelaku?”
Iqbaal
terdiam sejenak. Ah, ternyata sahabatnya yang satu ini susah untuk dibohongi.
Lalu, menoleh ke arahnya dan tersenyum. “Tidak. Kami baik-baik saja. Lagipula, mereka juga akan ke sini untuk bermain
basket.”
“Oh..
begitu?” kata Aldi sambil manggut-manggut, kemudian memandang ke arah lapangan
yang benar-benar kosong tanpa penghuni.
“Kenapa?
Kau takut?” tanya Iqbaal sambil tertawa.
“Tidak.
Enak saja!” elak Satria sambil mendorong bahu Iqbaal dan tertawa. Oh, sudah
lama Iqbaal tak melihat tawanya yang begitu lepas. Iqbaal merasa benar-benar
lega bisa menghiburnya di saat seperti ini.
“Benarkah?!”
balas Iqbaal sambil mendorong balik pundak Aldi pelan sambil tertawa. Namun, suara
canda tawa itu terhenti ketika terdengar seseorang memanggil dari kejauhan. Iqbaal
menoleh ke arah sumber suara, di depan pintu lapangan.
Aldi juga
terdiam menatap mereka. Sementara pemilik suara mendekat sampai mereka tepat
berhadapan dengan Iqbaal dan Aldi. Mereka menatap Iqbaal tajam.
“Oh, jadi
kau tidak mau ikut kita karena mau bertemu dengan anak pembunuh ini di sini?”
tanya Dimas.
“Bukan
begitu, tapi...” jawab Iqbaal terputus.
“Kenapa
kau begitu percaya pada Aldi? Kau selalu mengelak setiap kali kita berbicara
tentang dia! Sudah berkali-kali kita bilang padamu, kau tak seharusnya bermain
dengan anak seperti dia!” kata Bastian.
“Seharusnya
kau yang belajar untuk percaya pada temanmu sendiri!” kata Iqbaal sebal. “Dia
itu sahabat kalian, Dim, Bas! Walaupun setelah insiden itu terjadi! Lagipula,
sudah kubilang bukan dia pelakunya!”
“Sudahlah,
Bas, tidak ada gunanya kita memaksa Iqbaal, dia tidak akan berhenti membela
anak kecil itu.” kata Dimas menepuk pundak Bastian yang langsung mengangguk
setuju. Aldi memang lebih muda beberapa tahun dari mereka.
“Sebenarnya
apa yang kalian inginkan, Bas, Dim? Apa yang bisa membuat kau percaya pada Aldi
lagi? Kematian? Iya?” tanya Iqbaal putus asa. Ia benar-benar tak habis pikir
dengan kedua temannya tersebut.
Dimas dan
Bastian terdiam, tak berniat menjawab.
“Nanti
pulang bisa temani aku?” tanya Bastian mengganti pembicaraan.
“Kemana?”
“Terserah
kau, aku hanya suntuk melihatmu seperti ini!”
Iqbaal
menghela nafasnya. Ia menoleh ke arah Dimas. “Kau ikut, Dim?”
Dimas
mengangguk cepat.
Kemudian,
Iqbaal menoleh ke arah Aldi, bermaksud mengajaknya ikut. Tapi, belum sempat
berbicara, Bastian sudah berbicara duluan. “Hei, jangan coba–coba kau mengajak
siapapun.”
Iqbaal
menoleh balik ke arah Bastian dengan penuh keheranan. Anak itu tak ada kapok–kapoknya
menjelekkan dan memojokkan temannya sendiri. Huh, ya sudahlah. Akhirnya, Iqbaal
mengurungkan niatnya. Tapi, dia tetap menoleh ke arah Aldi. “Al, apa kau
langsung pulang nanti?”
“Iya...
Memangnya kenapa?” tanya Aldi balik.
“Bagaimana
kalau aku mengantarmu pulang terlebih dahulu? Sehabis itu baru aku pergi dengan
mereka.” kata Iqbaal sambil menunjuk Bastian dan Dimas.
“Apa? Tak
perlu. Lebih baik kau langsung pergi dengan mereka, aku tidak apa–apa pulang
sendirian.” jawab Aldi tak enak hati. “Aku tak ingin merepotkanmu terus,
Iqbaal.”
“Ayolah, bagaimanapun
juga kau sudah seperti adikku sendiri! Aku tidak ingin terjadi apa-apa
denganmu.” kata Iqbaal memohon. Aldi tersenyum melihatnya.
“Huh,
baiklah, terserah kau, Kak Iqbaal.” kata Aldi sambil tertawa.
“Horee! Terima
kasih!” sorak Iqbaal seolah-olah baru saja menang lotre, lalu spontan memeluk
tubuh mungil Satria. Satria hanya tertawa geli. Sedangkan Bastian dan Dimas?
Mereka hanya melengos tidak jelas.
------
“Jadi
kapan kita bisa melihat batang hidungmu?” tanya Bastian saat pulang sekolah
sambil mengobrak–abrik lokernya. Dimas dan Iqbaal juga melakukan hal yang sama.
Iqbaal
menoleh ke arah Bastian. “Nanti aku kabari lagi, Bas.”
“Huh, kau
selalu begitu semenjak Kiki pergi. Lama-lama kau menjauh dari kami hanya karena
Aldi!” protes Bastian. “Dia itu seharusnya sudah kau coret dari daftar
sahabatmu! Apa kau tak ingat apa yang dilakukannya pada Kiki?”
“Maaf, Bas.
Tapi, Satria masih sahabatku. Dia tidak akan kucoret dari daftar sahabatku dan
aku yakin dia bukan orang yang membuat Kiki pergi.” kata Fancha pelan.
Dimas
akhirnya menoleh mendengar ucapan Fancha. “Alasan yang nggak masuk akal. Memangnya
kau punya bukti kalau dia tidak melakukannya?”
Fancha
membesarkan matanya mendengar ucapan Dimas. “Apa–apaan kau, Dim? Kita tidak
perlu bukti untuk yakin Aldi tidak melakukannya. Satu-satunya alasan mengapa
kita harus percaya adalah karena kita sahabatnya!”
“Aku tak
mengerti jalan pikiranmu.” kata Dimas sambil menggelengkan kepalanya.
“Ya, kau
memang tak akan pernah mengerti jalan pikiranku jika kau menutup pintu hatimu
untuk Aldi. Aku sayang Satria sebagai temanku, adikku.” jelas Iqbaal pada
Dimas. “Kau bukannya tidak tahu aku ingin sekali memiliki adik kandung. Karena
itu aku menyayanginya.”
“Pembohong.”
kata Dimas masih ngotot dengan dugaannya.
“Terserah
apa katamu, Dim. Sudahlah, aku harus pergi. Kita bertemu lagi nanti.” kata
Iqbaal menutup lokernya dan langsung pergi meninggalkan mereka.
Dimas dan
Bastian saling berpandangan heran.
------
“Aldi?”
Iqbaal
celingak–celinguk mencari sosok Aldi di depan gerbang sekolah. Sosok mungil itu
tak ada di sana. Padahal, Iqbaal saja sudah ngaret karena debat dengan Bastian
dan Dimas tadi. Tapi, ternyata batang hidungnya belum muncul. Tidak biasanya.
Cukup lama
Iqbaal menunggu, tapi Aldi tak muncul–muncul juga. Akhirnya, Iqbaal pergi ke
dalam sekolah lagi dan menelusuri lorong kelas tujuh karena Aldi memang kelas
tujuh. Sedangkan Iqbaal, Bastian dan Dimas kelas sembilan.
“Arul?”
panggil Iqbaal melihat seorang anak kecil berpapasan dengannya. Dia adalah
teman sekelas Aldi.
“Loh, kak
Iqbaal?” jawab Arul heran. “Bukannya kakak pulang bersama Aldi?”
“Justru
itu, kakak sedang mencari dimana Aldi. Kakak tidak menemukannya di depan. Lihat
Aldi tidak?”
“Loh? Aldi
tadi sudah pamit pulang padaku, Kak.”
“Hah?
Benarkah?”
“Iya,
makanya aku heran melihat kakak masih ada di sini.”
“AAAAA!!!”
Iqbaal dan
Arul kaget dengan suara teriakan yang baru saja terdengar. Mereka kenal betul
dengan suara itu. Tanpa banyak bicara, Iqbaal langsung berlari meninggalkan
Arul dengan panik. Sementara Arul hanya terdiam.
Ketika Iqbaal
sampai di depan sekolah, ia membesarkan matanya. Kaget.
“Aldi!!!!”
teriak Iqbaal kaget setengah mati. Ia langsung menghampiri Aldi yang tergeletak
lemas di tengah jalan. Ia mengangkat kepala Aldi yang kini berlumuran darah. Aldi
tertabrak mobil. “Al! Bangun, Al!!”
Tapi, tak
ada jawaban. Aldi tetap terus memejamkan matanya. Iqbaal menggenggam tangannya,
mencoba merasakan denyut nadinya. Tapi, tak ada yang bisa di rasakannya. Dan
badan mungil sahabatnya itu tiba-tiba menjadi dingin.
“ALDI!!!”
teriak Iqbaal sekeras–kerasnya sambil mengalirkan air matanya.
------
Iqbaal
P.O.V
Ini hari
pemakaman. Aku menangis di depan makam itu. Suasana di sana sunyi sekali. Aku
bisa menangis sekeras–kerasnya. Batu nisan bertuliskan Aldi Maldini itu kuelus–elus
sejak tadi. “Aku merindukanmu, Al...”
Namun,
suasana sunyi itu tiba–tiba terpecahkan. “Baal...”
Aku
berbalik badan melihat siapa yang memanggil. Aku menghapus air mataku yang sudah
mengalir deras. Lalu, aku berdiri menghadap dua cowok yang ada di hadapanku
ini. Tapi, wajahku kufokuskan pada cowok gondrong yang ada di sebelah kanan.
“Puas kau?”
Dia hanya
diam mendengar aku. Aku melanjutkan. “Sekarang kau puas, kan? Aldi sudah
pergi... Dan sekarang kau pasti ingin tertawa melihatku menangis! Melihat
kepergian Aldi juga!”
“Baal...” Salah
seorang dari mereka bergumam pelan.
“Sekarang
kalian puas bukan?! Ngaku!” kataku penuh emosi.
Bastian
dan Dimas akhirnya memeluk aku dari samping kiri-kanan. Aku berusaha berontak.
Tapi, tenaga mereka lebih kuat. Aku tak bisa berbuat apa–apa.
“Maafkan
kita, Iqbaal.” kata Bastian. “Mungkin kita membenci Aldi, namun kita tak bisa
mengelak bahwa kita juga sedih melihat dia pergi. Seharusnya kita menerima
kalau Kiki sudah pergi.”
“Kita juga
tidak menyangka Aldi pergi secepat ini.” kata Dimas menambahkan.
Janganlah
menangisi aku. Karena aku tak pantas kalian tangisi...
Janganlah berhenti tersenyum. Karena hidup kalian
masih panjang...
Aku akan terus memperhatikan kalian, dari atas
sana. Aku berjanji...
Aku
terdiam mendengar suara itu. Entah datang dari mana, tiba-tiba suara Aldi
terdengar di telinganya, juga telinga Bastian dan Dimas. Kemudian, beberapa
saat kemudian, terlihat sebuah kertas putih terbang ke arah mereka. Iqbaal
langsung meraih kertas dan membacanya bersama Dimas dan Bastian. Ternyata, itu
adalah surat dari Aldi.
Bastian, Dimas, Aku sama sekali tidak marah atas
apa yang kalian lakukan setelah kejadian itu. Kalian benar sudah membenciku,
karena seharusnya... aku menolong Kiki waktu itu.
Bukan aku yang menusuk perut Kiki sampai
meninggal. Pelaku sebenarnya kabur dan melemparkan pistolnya padaku karena takut
ketahuan saat aku memergokinya. Aku berusaha menolong Kiki, tapi ternyata
gagal. Maafkan aku, Bas, Dim...
Dari sahabat kalian,
Aldi Maldini
Begitu membaca
surat itu, Iqbaal melihat ke arah mereka berdua. Bastian dan Dimas menunjukkan
raut wajah bersalah. Mereka berdua juga kembali menatap Iqbaal dengan tatapan
menyesal. Ternyata, memang bukan Aldi yang melakukannya. Seharusnya mereka
tahu!
THE END...
Tuliskan komentar kalian di bawah,
Kalau mau request cerpen silahkan ya :)
Nantikan ceritaku selanjutnya!
kereeeen......... :v
BalasHapusMakasiiih :D
Hapus