“Aldi!!”
Kakiku melangkah dengan
sangat cepat untuk mengejar temanku yang sudah jauh di depan. Padang rumput
pagi itu benar–benar indah dan sejuk. Udaranya masih bersih, jadi kami sangat
senang bermain di sana setiap pagi hari saat sekolah sedang liburan. Seperti
hari ini.
Sebenarnya, persahabatan
kami itu tidak sengaja dimulai. Waktu itu, kami tak sengaja bertabrakan di
jalan. Dan status kami yang ternyata adalah tetangga semakin mendekatkan kami
berdua. Ya, waktu itu, Aldi baru saja pindah dari ke Jakarta. Sejak itu, dia
selalu bermain bersamaku.
Rasanya senang memiliki
teman sepertinya. Apalagi ketika aku mengetahui dia mempunyai hobi yang sama
sepertiku. Bernyanyi dan juga membaca buku-buku komik. Aku merasa cocok
berteman dengannya.
“Tangkap aku kalau kau
bisa!” sahut Aldi sambil menoleh ke belakang dan mencibir ke arahku, bermaksud
meledek karena aku tertinggal jauh.
Aku hanya tertawa
mendengar ucapannya. Kupercepat langkah kakiku agar aku dapat segera
menangkapnya. “Kau tidak akan lari dariku, Aldi! Tidak akan selama kau masih
memiliki komikku!”
“Weeek!” Lagi-lagi Aldi
mencibir. Ia terus berlari menjauhiku, hingga ia akhirnya merasa lelah. Ia
menghentikan kakinya dan mengatur nafasnya yang sudah tak beraturan. Dan
tiba-tiba... BRUK!
“Aldi!!” teriakku dari
jauh. Aku kaget ketika melihat dia terjatuh dengan masih memegang komikku di
tangan kanannya. Aku langsung terdiam di tempat dan kaget. Ia tersungkur di
ujung bukit.
“Aldi!” sahutku lagi sambil
berlari menghampirinya dengan panik. Aku pangku kepalanya di kakiku, kemudian
aku tatap mukanya sudah pucat pasi dengan cemas. “Kau kenapa, Al? Apa
penyakitmu kambuh lagi? Kau kenapa, Al?!”
“Ray...” katanya lemah
sambil tersenyum pucat. Matanya tak lagi bersinar seperti biasanya.
Penglihatannya mulai kabur dan hidungnya kembali mengalirkan cairan merah.
“Ah, kau pasti terlalu
lelah! Sekarang kau diam saja, aku akan membawamu ke rumah sakit terdekat!”
kataku sambil mengangkat Aldi ke punggungku dan segera pergi meninggalkan bukit.
Begitu sampai di rumah
sakit, Aldi langsung dibawa ke ruang ICU. Sembari menunggunya, aku langsung
menghubungi keluarga Aldi dan keluargaku agar cepat datang ke rumah sakit. Tak
ada yang bisa kulakukan selain duduk di depan ruang ICU dengan cemas.
Kanker otak. Katanya dia
sudah mengidap penyakit itu sejak ia masih menginjak 2 tahun. Aldi pernah
bilang, saat kecil ia mengalami gangguan pendengaran, penglihatan dan saraf. Ia
sulit mendengar orang yang berbicara dengan pelan, ia tidak bisa melihat terlalu
jauh, bahkan terkadang lupa dengan orang–orang di sekitarnya. Dan semua hal
tersebut hanya bisa dibantu oleh kemoterapi. Makanya, dia sering keluar masuk
rumah sakit.
Dia juga pernah bilang,
kemoterapi tidak menjamin dia bisa bebas dari ancaman kanker. Kondisinya tetap
saja parah. Bisa hidup sampai sekarang saja dia sudah sangat hebat. Semangat
untuk sembuhnya sangat tinggi.
Dulu ketika aku bertemu
dengannya, kanker itu belum parah karena sempat sembuh sejenak sebelumnya. Dan
aku sudah berjanji kepada Aldi untuk menemaninya setiap saat agar dia tetap
semangat, walaupun hidupnya telah dibatasi oleh penyakit ganas tersebut. Tapi,
entahlah. Ini pertama kalinya dia sakit hingga pingsan. Aku merasa gagal
menjaganya.
Sedang asyik-asyiknya
melamun, suara sejumlah hentakan kaki segera mendekatiku. Aku mengangkat
kepalaku ke arah sumber suara itu. “Mama... Tante... Om... Iqbaal, kau juga
datang?”
Iqbaal adalah salah satu
teman satu boyband Aldi. Boyband Aldi beranggota empat orang. Yang dua lagi
adalah Bastian dan Kiki. Mereka berempat sudah seperti saudara. Dan yang
kutahu, Aldi sangat dekat dengan Iqbaal karena dia juga mengetahui penyakit
yang diderita Aldi. Pernah beberapa kali aku melihat mereka bernyanyi di teve. Hanya
di sana aku bisa melihat senyum bahagia Aldi yang tampak begitu lepas.
“Tadi bertemu keluargamu
dan keluarga Aldi di jalan, apa yang terjadi, Ray?” tanya Iqbaal dengan wajah
cemas. “Apa Aldi baik-baik saja?”
Aku menggeleng pelan. “Aku
tidak tahu, Baal. Aldi masih diperiksa di dalam. Dia jatuh pingsan saat kami
sedang bermain. Makanya aku langsung membawanya ke sini. Aku takut penyakitnya
semakin parah, Baal...”
“Iya, aku mengerti, Ray.
Kamu tidak ingin Aldi melupakanmu.” tebak Iqbal sambil menepuk pundakku pelan.
“Kita juga sama, Ray.”
Aku hanya diam.
Seketika dokter keluar
dari ruang ICU. Aku langsung menghampirinya dengan panik, diikuti oleh Iqbal
yang tenang berjalan di belakangku. “Dokter! Bagaimana keadaan Aldi?”
Dokter menggeleng. Aku
merasakan ketakutan yang sangat besar dalam diriku. Dugaan negatif yang
kupikirkan sejak tadi terasa semakin nyata.
“Kanker otaknya sudah mencapai
stadium akhir. Organ tubuhnya sudah tidak bisa menahan serangan kankernya. Mungkin
dia sudah menyerah. Saya benar-benar menyesal.” kata Dokter.
“Maksud Dokter?” kata
Iqbaal dengan nada lirih.
“Dia tidak bisa
diselamatkan lagi.” kata Dokter itu, membuatku kaget setengah mati. Air mataku
pelan-pelan menetes. Mulutku terkunci rapat. Tubuhku seketika terasa kaku.
“Aldi.. Aldi meninggal,
Dok?” tanya Iqbaal pelan. Dia segera menoleh ke arahku begitu Dokter itu menganggukkan
kepalanya. Aku hanya menggelengkan kepalaku mendengar pernyataan tersebut.
“Ray...” kata Iqbaal
pelan.
“Tidak! Aldi adalah anak
yang kuat, Dok!! Dia pasti masih baik-baik saja!!” kataku sambil menangis. Aku
benar–benar tidak bisa menerima Aldi meninggalkan aku begitu saja saat usia
kita masih begitu muda. Aku tidak akan pernah rela.
“Maafkan saya, Dik.
Mungkin Tuhan berkehendak lain. Saya permisi dulu.” kata Dokter itu sambil
beranjak pergi. Mamanya Aldi juga ikut menangis mendengar kabar bahwa anaknya
sudah tiada pada hari ini.
“Baal...” sahutku sambil
memeluk Iqbaal pelan sambil terisak keras dan menangis sehingga air mataku
membasahi baju Iqbaal.
Iqbal hanya bisa mengelus
punggungku supaya aku bisa lebih tenang. “Aku ikut berduka atas meninggalnya
Aldi. Aku, Kiki dan Bastian juga pasti akan sangat sedih kehilangan seorang
teman baik seperti Aldi. Dia selalu menjadi biang heboh di antara kami
berempat. Berlapang dadalah menghadapi semua ini.”
Iqbaal melepas pelukanku
dan menatapku iba. “Sudahi tangisanmu. Ayo kita lihat teman kita untuk yang
terakhir kalinya.”
Aku hanya mengangguk
pelan. Setelah itu, aku masuk bersama Iqbaal. Di sana, Aldi terbaring dengan
lemas di tempat tidurnya. Alat pendeteksi denyut jantung sudah bergaris lurus
dan berbunyi keras, menandakan Aldi sudah tak bernyawa di tempat tidurnya. Aku
sangat sedih melihat tangan kanan Aldi masih memegang komikku.
“Bodoh! Kau bodoh! Kenapa
kau menyerah?! Seharusnya kau berjuang lebih keras untuk hidup! Apa kau sudah
tak perduli padaku lagi?!” kataku sambil menangis.
Aldi sudah tidak bergeming
lagi sebanyak apapun aku mengeluh. Hidupnya berakhir, nafasnya berakhir. Iqbaal
yang berada di sampingku juga merasakan kesedihan yang amat dalam karena
kehilangan salah satu saudaranya.
Kuambil komik yang direbut
Aldi di bukit tadi di atas meja. Lalu, aku kembali bersuara sambil mendekap
erat komik itu. “Mulai hari ini tidak akan ada lagi teman baik sepertimu. Aku
pasti merindukan kebersamaan kita. Selamat jalan, Al.”
“Selamat jalan, Aldi.”
sahut Iqbaal ikut menghantarkannya.
----
Hari–hariku menjadi kosong
sejak pemakaman Aldi selesai dilakukan. Iqbaal sangat sibuk dengan karirnya
bersama Bastian dan Kiki. Dan aku tak memiliki teman dekat lagi selain mereka
dan Aldi. Hidupku benar-benar terasa seperti kota mati. Dipenuhi dengan
kesedihan.
Oh ya, benar. Hari ini
adalah hari ulang tahunku. Tanggal 22 Oktober, tepat dua tahun setelah Aldi
pergi meninggalkanku. Dan aku sama sekali tidak berniat untuk merayakan apapun
hari ini. Aku benci ulang tahunku! Merayakan ulang tahunku terasa seperti
merayakan kepergian sahabatku. Dan aku tidak ingin seperti itu.
“Ray?” sahut seseorang
menghampiriku di kamar.
Aku menoleh ke arahnya.
Iqbaal. “Bal.. kamu tidak sibuk?”
“Tidak. Mulai besok.”
jawab Iqbal sambil tersenyum. “Kupikir aku harus mengunjungimu, karena kita
sudah lama tidak bertemu. Semenjak kepergiannya.”
Aku diam saja
mendengarnya. Aku benar-benar heran mengapa dia masih bisa tersenyum setelah
dia kehilangan salah satu sahabatnya.
“Aku yakin Aldi akan sedih jika aku terus murung karena rasa
kehilangan. Kamupun juga pasti seperti itu.” kata Iqbaal seolah membaca
pikiranku.
“Kenapa?”
“Karena persahabatan itu
pasti ada kalanya kita harus berpisah. Walaupun itu adalah kesedihan terbesar
yang pernah kita alami.” kata Iqbaal bijak. “Kau tahu Aldi pasti ingin
melihatmu tersenyum, bukan?”
Aku diam mendengarkannya.
Kemudian, pelan-pelan tersenyum. Ya, yang dikatakanya memang benar. Aldi tidak
mungkin ingin melihatku seperti ini terus. Mungkin sudah saatnya aku harus
terbiasa hidup tanpanya. Masih ada banyak orang yang menyayangiku. “Terima
kasih, Baal.”
Wah Bagus Sekali Ini Cerpen nya izin copy ahk.. buat koleksi di laptop saya... makasih cerpennya yaa :)
BalasHapus