Selasa, 15 Juli 2014

Cerpen | Aldi Sahabatku



“Aldi!!”
Kakiku melangkah dengan sangat cepat untuk mengejar temanku yang sudah jauh di depan. Padang rumput pagi itu benar–benar indah dan sejuk. Udaranya masih bersih, jadi kami sangat senang bermain di sana setiap pagi hari saat sekolah sedang liburan. Seperti hari ini.
Sebenarnya, persahabatan kami itu tidak sengaja dimulai. Waktu itu, kami tak sengaja bertabrakan di jalan. Dan status kami yang ternyata adalah tetangga semakin mendekatkan kami berdua. Ya, waktu itu, Aldi baru saja pindah dari ke Jakarta. Sejak itu, dia selalu bermain bersamaku.
Rasanya senang memiliki teman sepertinya. Apalagi ketika aku mengetahui dia mempunyai hobi yang sama sepertiku. Bernyanyi dan juga membaca buku-buku komik. Aku merasa cocok berteman dengannya.
“Tangkap aku kalau kau bisa!” sahut Aldi sambil menoleh ke belakang dan mencibir ke arahku, bermaksud meledek karena aku tertinggal jauh.
Aku hanya tertawa mendengar ucapannya. Kupercepat langkah kakiku agar aku dapat segera menangkapnya. “Kau tidak akan lari dariku, Aldi! Tidak akan selama kau masih memiliki komikku!”
“Weeek!” Lagi-lagi Aldi mencibir. Ia terus berlari menjauhiku, hingga ia akhirnya merasa lelah. Ia menghentikan kakinya dan mengatur nafasnya yang sudah tak beraturan. Dan tiba-tiba... BRUK!
“Aldi!!” teriakku dari jauh. Aku kaget ketika melihat dia terjatuh dengan masih memegang komikku di tangan kanannya. Aku langsung terdiam di tempat dan kaget. Ia tersungkur di ujung bukit.
“Aldi!” sahutku lagi sambil berlari menghampirinya dengan panik. Aku pangku kepalanya di kakiku, kemudian aku tatap mukanya sudah pucat pasi dengan cemas. “Kau kenapa, Al? Apa penyakitmu kambuh lagi? Kau kenapa, Al?!”
“Ray...” katanya lemah sambil tersenyum pucat. Matanya tak lagi bersinar seperti biasanya. Penglihatannya mulai kabur dan hidungnya kembali mengalirkan cairan merah.
“Ah, kau pasti terlalu lelah! Sekarang kau diam saja, aku akan membawamu ke rumah sakit terdekat!” kataku sambil mengangkat Aldi ke punggungku dan segera pergi meninggalkan bukit.
Begitu sampai di rumah sakit, Aldi langsung dibawa ke ruang ICU. Sembari menunggunya, aku langsung menghubungi keluarga Aldi dan keluargaku agar cepat datang ke rumah sakit. Tak ada yang bisa kulakukan selain duduk di depan ruang ICU dengan cemas.
Kanker otak. Katanya dia sudah mengidap penyakit itu sejak ia masih menginjak 2 tahun. Aldi pernah bilang, saat kecil ia mengalami gangguan pendengaran, penglihatan dan saraf. Ia sulit mendengar orang yang berbicara dengan pelan, ia tidak bisa melihat terlalu jauh, bahkan terkadang lupa dengan orang–orang di sekitarnya. Dan semua hal tersebut hanya bisa dibantu oleh kemoterapi. Makanya, dia sering keluar masuk rumah sakit.
Dia juga pernah bilang, kemoterapi tidak menjamin dia bisa bebas dari ancaman kanker. Kondisinya tetap saja parah. Bisa hidup sampai sekarang saja dia sudah sangat hebat. Semangat untuk sembuhnya sangat tinggi.
Dulu ketika aku bertemu dengannya, kanker itu belum parah karena sempat sembuh sejenak sebelumnya. Dan aku sudah berjanji kepada Aldi untuk menemaninya setiap saat agar dia tetap semangat, walaupun hidupnya telah dibatasi oleh penyakit ganas tersebut. Tapi, entahlah. Ini pertama kalinya dia sakit hingga pingsan. Aku merasa gagal menjaganya.
Sedang asyik-asyiknya melamun, suara sejumlah hentakan kaki segera mendekatiku. Aku mengangkat kepalaku ke arah sumber suara itu. “Mama... Tante... Om... Iqbaal, kau juga datang?”
Iqbaal adalah salah satu teman satu boyband Aldi. Boyband Aldi beranggota empat orang. Yang dua lagi adalah Bastian dan Kiki. Mereka berempat sudah seperti saudara. Dan yang kutahu, Aldi sangat dekat dengan Iqbaal karena dia juga mengetahui penyakit yang diderita Aldi. Pernah beberapa kali aku melihat mereka bernyanyi di teve. Hanya di sana aku bisa melihat senyum bahagia Aldi yang tampak begitu lepas.
“Tadi bertemu keluargamu dan keluarga Aldi di jalan, apa yang terjadi, Ray?” tanya Iqbaal dengan wajah cemas. “Apa Aldi baik-baik saja?”
Aku menggeleng pelan. “Aku tidak tahu, Baal. Aldi masih diperiksa di dalam. Dia jatuh pingsan saat kami sedang bermain. Makanya aku langsung membawanya ke sini. Aku takut penyakitnya semakin parah, Baal...”
“Iya, aku mengerti, Ray. Kamu tidak ingin Aldi melupakanmu.” tebak Iqbal sambil menepuk pundakku pelan. “Kita juga sama, Ray.”
Aku hanya diam.
Seketika dokter keluar dari ruang ICU. Aku langsung menghampirinya dengan panik, diikuti oleh Iqbal yang tenang berjalan di belakangku. “Dokter! Bagaimana keadaan Aldi?”
Dokter menggeleng. Aku merasakan ketakutan yang sangat besar dalam diriku. Dugaan negatif yang kupikirkan sejak tadi terasa semakin nyata.
“Kanker otaknya sudah mencapai stadium akhir. Organ tubuhnya sudah tidak bisa menahan serangan kankernya. Mungkin dia sudah menyerah. Saya benar-benar menyesal.” kata Dokter.
“Maksud Dokter?” kata Iqbaal dengan nada lirih.
“Dia tidak bisa diselamatkan lagi.” kata Dokter itu, membuatku kaget setengah mati. Air mataku pelan-pelan menetes. Mulutku terkunci rapat. Tubuhku seketika terasa kaku.
“Aldi.. Aldi meninggal, Dok?” tanya Iqbaal pelan. Dia segera menoleh ke arahku begitu Dokter itu menganggukkan kepalanya. Aku hanya menggelengkan kepalaku mendengar pernyataan tersebut.
“Ray...” kata Iqbaal pelan.
“Tidak! Aldi adalah anak yang kuat, Dok!! Dia pasti masih baik-baik saja!!” kataku sambil menangis. Aku benar–benar tidak bisa menerima Aldi meninggalkan aku begitu saja saat usia kita masih begitu muda. Aku tidak akan pernah rela.
“Maafkan saya, Dik. Mungkin Tuhan berkehendak lain. Saya permisi dulu.” kata Dokter itu sambil beranjak pergi. Mamanya Aldi juga ikut menangis mendengar kabar bahwa anaknya sudah tiada pada hari ini.
“Baal...” sahutku sambil memeluk Iqbaal pelan sambil terisak keras dan menangis sehingga air mataku membasahi baju Iqbaal.
Iqbal hanya bisa mengelus punggungku supaya aku bisa lebih tenang. “Aku ikut berduka atas meninggalnya Aldi. Aku, Kiki dan Bastian juga pasti akan sangat sedih kehilangan seorang teman baik seperti Aldi. Dia selalu menjadi biang heboh di antara kami berempat. Berlapang dadalah menghadapi semua ini.”
Iqbaal melepas pelukanku dan menatapku iba. “Sudahi tangisanmu. Ayo kita lihat teman kita untuk yang terakhir kalinya.”
Aku hanya mengangguk pelan. Setelah itu, aku masuk bersama Iqbaal. Di sana, Aldi terbaring dengan lemas di tempat tidurnya. Alat pendeteksi denyut jantung sudah bergaris lurus dan berbunyi keras, menandakan Aldi sudah tak bernyawa di tempat tidurnya. Aku sangat sedih melihat tangan kanan Aldi masih memegang komikku.
“Bodoh! Kau bodoh! Kenapa kau menyerah?! Seharusnya kau berjuang lebih keras untuk hidup! Apa kau sudah tak perduli padaku lagi?!” kataku sambil menangis.
Aldi sudah tidak bergeming lagi sebanyak apapun aku mengeluh. Hidupnya berakhir, nafasnya berakhir. Iqbaal yang berada di sampingku juga merasakan kesedihan yang amat dalam karena kehilangan salah satu saudaranya.
Kuambil komik yang direbut Aldi di bukit tadi di atas meja. Lalu, aku kembali bersuara sambil mendekap erat komik itu. “Mulai hari ini tidak akan ada lagi teman baik sepertimu. Aku pasti merindukan kebersamaan kita. Selamat jalan, Al.”
“Selamat jalan, Aldi.” sahut Iqbaal ikut menghantarkannya.

----

Hari–hariku menjadi kosong sejak pemakaman Aldi selesai dilakukan. Iqbaal sangat sibuk dengan karirnya bersama Bastian dan Kiki. Dan aku tak memiliki teman dekat lagi selain mereka dan Aldi. Hidupku benar-benar terasa seperti kota mati. Dipenuhi dengan kesedihan.
Oh ya, benar. Hari ini adalah hari ulang tahunku. Tanggal 22 Oktober, tepat dua tahun setelah Aldi pergi meninggalkanku. Dan aku sama sekali tidak berniat untuk merayakan apapun hari ini. Aku benci ulang tahunku! Merayakan ulang tahunku terasa seperti merayakan kepergian sahabatku. Dan aku tidak ingin seperti itu.
“Ray?” sahut seseorang menghampiriku di kamar.
Aku menoleh ke arahnya. Iqbaal. “Bal.. kamu tidak sibuk?”
“Tidak. Mulai besok.” jawab Iqbal sambil tersenyum. “Kupikir aku harus mengunjungimu, karena kita sudah lama tidak bertemu. Semenjak kepergiannya.”
Aku diam saja mendengarnya. Aku benar-benar heran mengapa dia masih bisa tersenyum setelah dia kehilangan salah satu sahabatnya.
 “Aku yakin Aldi akan sedih jika aku terus murung karena rasa kehilangan. Kamupun juga pasti seperti itu.” kata Iqbaal seolah membaca pikiranku.
“Kenapa?”
“Karena persahabatan itu pasti ada kalanya kita harus berpisah. Walaupun itu adalah kesedihan terbesar yang pernah kita alami.” kata Iqbaal bijak. “Kau tahu Aldi pasti ingin melihatmu tersenyum, bukan?”
Aku diam mendengarkannya. Kemudian, pelan-pelan tersenyum. Ya, yang dikatakanya memang benar. Aldi tidak mungkin ingin melihatku seperti ini terus. Mungkin sudah saatnya aku harus terbiasa hidup tanpanya. Masih ada banyak orang yang menyayangiku. “Terima kasih, Baal.” 

 THE END...
Tuliskan komentar kalian di bawah,
nantikan ceritaku selanjutnya!

1 komentar:

  1. Wah Bagus Sekali Ini Cerpen nya izin copy ahk.. buat koleksi di laptop saya... makasih cerpennya yaa :)

    BalasHapus

Makasih ya udah baca cerpenku. Silahkan tinggalkan komentar kamu ya.
Semua kritik dan saran aku terima. Pujian juga boleh :p