“Perhatian
semuanya!” suara Pak Jo menggema ketika ekskul basket hampir selesai. Semua
anak basket langsung berkumpul di hadapan Pak Jo. “Kalian tentu tahu, kita
sudah melatih tim basket kita selama kurang lebih dua bulan. Dan selama itu
juga, Bapak telah melihat potensi kalian masing-masing dalam basket. Bagaimana
kalau kalian unjuk bakat di saat pertandingan di SMPN 1 nanti?”
Semua
anggota basket bersorak. Pertandingan di sekolah lain tentu saja selalu membuat
mereka bersemangat. Tapi, tidak dengan anggota basket tim inti. Mereka tampak
terdiam mendengar pertanyaan Pak Jo. Padahal, semangat merekalah yang
terpenting dari semua anggota basket.
“Cakka,
Gabriel, Rio, Ray, Alvin? Apa kalian siap?” tanya Pak Jo karena melihat kelima
anak tersebut justru diam. “Lomba akan diadakan dua bulan ke depan. Kalian
masih mempunyai banyak waktu untuk berlatih. Nanti kalian akan pergi bersama
beberapa anggota basket cadangan.”
Cakka
tersenyum. “Kalau semuanya mendukung, aku tidak memiliki alasan untuk tidak
siap, Pak. Saya akan berjuang sekuat tenaga.”
“Kau yakin, Kka?” tanya Gabriel ragu.
Cakka
tersenyum ke arah Gabriel, kemudian mengangguk. Ia tatap satu per satu
teman-teman basketnya untuk menyakinkan mereka. Tangannya terulur di antara
tengah-tengah mereka. “Kita akan berjuang bersama, apapun yang terjadi. Itu
janji kita, bukan?”
Ray
menumpukkan tangannya di atas tangan Cakka. Namun, dari Gabriel, Rio maupun
Alvin tak ada yang bergeming untuk melakukan yang sama. Masih ada segumpal
kekhawatiran di dalam diri mereka. Akhirnya, Ray mengambil alih tangan mereka
satu per satu dan menumpukkannya di atas tangannya dan tangan Cakka. Kemudian,
Cakka mengambil aba-aba untuk berseru, “CRAG Team, Friends Till The End!”
Pak Jo
mengangguk-angguk senang. Kemudian, ia menoleh ke arah anggota basket yang
lain. “Untuk pemain cadangan, Bapak harap Obiet dan teman-temannya bisa
menemani CRAG Team ke sana. Kalian mungkin diperlukan.”
“Baik,
Pak!” sahut Obiet semangat.
“Baiklah,
bubar semuanya!” kata Pak Jo membubarkan ekskul.
Semua
anggota basket langsung pergi menuju pinggir lapangan dan membereskan tas
mereka masing-masing. Sebagian besar dari mereka langsung meninggalkan
lapangan, sebagian lainnya tetap di lapangan untuk beristirahat sebentar.
Termasuk CRAG Team dan tim inti basket putri. Latihan hari ini benar-benar
melelahkan bagi mereka. Setelah mendengar pengumuman dari Pak Jo barusan,
mereka baru mengerti mengapa Pak Jo membebaskan anggota basket lainnya demi
memberikan tim inti latihan intensif hari ini.
“Gabriel,
airku habis. Kau punya botol lebih? Aku sangat haus!” tanya Ray sambil menaruh
kembali botol minumnya ke dalam tas karena sudah kosong.
“Ambillah
botol milikku, Gabriel hanya membawa botol lebih jika dia merasa butuh.” kata
Rio sambil melemparkan botol minumnya yang masih penuh. Ray langsung
menangkapnya dengan sigap dan langsung meneguknya.
“Terima
kasih, Yo!” kata Ray sambil tersenyum. Kemudian, ia segera duduk di sebelah
Cakka yang sedang menghapus peluh dengan handuknya. “Ah, akan sangat
menyenangkan jika Cakka mendapatkan makanan lagi detik ini juga. Aku
benar-benar lelah!”
“Otakmu
selalu saja tentang makanan, Ray.” kata Alvin sambil menggelengkan kepalanya.
“Kalau kau ingin makan, pulanglah ke rumahmu. Kau bebas membongkar kulkas.”
“Ya, aku
akan pulang dan kau silahkan pulang sendiri.” kata Ray.
“Ah, benar
juga! Aku harus menginap di rumahmu hari ini karena Oma sedang keluar kota.”
kata Alvin sambil menepuk dahinya pelan. Ia menoleh ke arah teman-temannya.
“Gabriel, Rio, Cakka, Biru dan semuanya, sepertinya aku dan Ray harus pulang.”
“Ya,
sampai jumpa besok, Kka.” kata Ray sambil menepuk pundak teman sebangkunya
dengan pelan. Kemudian, langsung beranjak dari kursinya.
Semuanya
mengangguk mengerti. Alvin dan Ray langsung buru-buru menggantung tas mereka di
pundak dan meninggalkan lapangan, sehingga tersisa Cakka, Gabriel, Rio, Biru
dan yang lainnya.
Biru
melirik jam tangannya sejenak, kemudian menoleh ke arah adiknya. “Kka,
sebaiknya kita juga cepat pulang. Sudah jam empat. Kak Elang pasti sudah
menjemput kita.”
Cakka
mengangguk, kemudian memasukkan handuknya ke dalam tas dan segera menggantung
tasnya tersebut di sebelah pundak. Setelah itu, dia menghampiri kakaknya yang
masih membereskan tasnya.
“Kau
selalu dijemput cepat-cepat oleh kakakmu, Bi. Rasanya sibuk sekali.” kata Alia.
“Bukankah jarak dari sekolah menuju rumah tidak terlalu jauh? Jalan kaki akan
lebih sehat untuk tubuhmu.”
“Ya,
dengan begitu kau tak perlu cepat-cepat pulang setelah ekskul. Kita kan juga ingin
bermain bersama tim inti basket putra. Apalagi adikmu ini.” kata Rika. “Kita
juga ingin mahir basket seperti Cakka.”
“Ah,
kalian terlalu memuji adikku. Teman-temannya juga sangat mahir bermain basket,
ditambah dengan kerja sama yang kuat. Itu yang membuat tim inti putra banyak
disukai siswa.” kata Biru.
“Terserah
apa katamu. Tapi, kami juga ingin tampil hebat seperti CRAG Team saat melawan
SMPN 1 nanti.” kata Karin akhirnya ikut menambahkan.
Biru
tertawa mendengarnya. Ia menutup resleting tasnya dan menggantungkannya di
sebelah pundak seperti adiknya. “Baiklah, kami akan mengundang kalian ke rumah
untuk bermain basket jika ada waktu.”
“Ide
bagus!” kata Melvi senang.
“Kalau
begitu, kami pulang dulu. Sampai jumpa besok!” pamit Biru sambil memberikan
sebuah toss kepada teman-temannya satu per satu, serta dengan Gabriel dan Rio.
Cakka juga melakukan yang sama.
“Hati-hati
di jalan, Kka.” kata Gabriel dan Rio hampir bersamaan.
Cakka
mengangguk, kemudian tersenyum kepada mereka. Kemudian, dia mengikuti langkah
kakaknya yang sudah pergi terlebih dahulu. Tak lama kemudian, yang tersisa di
lapangan juga langsung pulang agar tidak sampai rumah terlalu sore. Lagipula,
sekolah sudah akan segera ditutup karena hanya ekskul mereka saja yang ada hari
ini.
J L J
DUK.. DUK..
DUK..
Terdengar
suara pantulan bola basket di halaman belakang rumah seorang laki-laki yang
tengah bermain di sana. Verrell. Ya, dengan penuh semangat dia melatih
terus-menerus teknik menembak bola ke dalam ring, tak perduli bahwa langit
sudah mulai gelap. Ya, dia memang sedang bahagia. Bahagia sekali. Sejak pulang
sekolah tadi senyumnya tak memudar sedikitpun dari wajahnya. Semangatnya juga
tetap berkobar-kobar seperti api walaupun dia baru saja melakukan latihan
basket di sekolahnya.
WUS! Bola
basketnya yang berwarna hitam itu masuk ke dalam ring dengan mulusnya. Dengan
sigap Verrell langsung menangkap bola basketnya itu sebelum menyentuh tanah dan
melakukan yang sama lagi, lagi dan lagi. Namun, sampai tembakan yang kesekian
kalinya, ia membiarkan bola itu menyentuh tanah dan terpantul beberapa kali. Ia
menatap bola basket tersebut sambil tersenyum kemudian berkata sinis, “Sebentar
lagi kau pasti akan seperti bola basket itu, Chase Karayne. Kau akan terjatuh
menyentuh tanah sampai akhirnya, kau harus berhenti.”
“Verrell?”
Ia menoleh
ke belakang begitu mendengar seseorang memanggilnya. Ia tersenyum ketika
mendapati Aryo menghampirinya. Ternyata, Papanya sudah pulang. “Sedang
latihan?”
Verrell
mengangguk. “Cepat sekali Papa pulang.”
“Cepat?
Mungkin kau yang terlalu asyik bermain. Lihatlah jam di dalam, sudah lewat dari
jam enam.” kata Aryo sambil tertawa. “Tampaknya kau sedang bahagia, Nak?”
“Ah, tidak
juga. Hanya ada pertandingan basket dua belan ke depan, Pa. Aku tentu harus
bersiap-siap karena aku adalah kapten basket. Aku ingin Papa tahu kalau Papa
beruntung memiliki anak sehebat aku.” kata Verrell sambil tertawa.
Aryo
menggelengkan kepalanya. “Kau ini ada-ada saja. Oh ya, bagaimana pertemananmu
dengan Cakka? Apa kalian sudah sempat bermain bersama?”
Verrell
menggeleng. “Papa tahu sendiri sekolah kita berbeda. Dan dia juga ikut ekskul
basket. Akan sulit mengatur jadwal untuk bermain bersama karena kami sibuk.”
Aryo
manggut-manggut mengerti. “Kalau begitu, lain kali ajaklah dia ke rumah untuk
makan malam bersama kita. Pasti menyenangkan jika kau bisa dekat dengan anak
basket seperti Cakka. Papa sangat senang jika kau bisa akrab dengannya.”
Verrell
tersenyum. “Ya. Aku juga senang, Pa.”
Aryo ikut
tersenyum mendengarnya, kemudian mengajak dan merangkul anaknya masuk ke dalam
rumah untuk makan malam. Sore itu menjadi sore yang sangat menyenangkan untuk
saling bertukar cerita bagi mereka berdua. Verrell banyak cerita tentang
sekolahnya selama makan malam, sementara Aryo juga bercerita tentang hidupnya.
J L J
Suasana di
kamar Gabriel dan Rio sekarang telah dikuasai oleh keheningan. Mereka berdua
tampak sibuk dengan PR masing-masing demi mendapatkan tambahan nilai untuk
rapor mereka. PR Fisika yang tengah mereka kerjakan sekarang itu membuat mereka
benar-benar pegal menulis. Lebih parahnya lagi, masih ada Biologi dan
Matematika yang sudah menunggu di ujung meja belajar. Kelas delapan di SMP
mereka terasa cukup berat.
“Hah! Aku
benar-benar pusing dengan rumus-rumus fisika ini.” kata Rio sambil menyandarkan
tubuhnya di kursi sehingga kepalanya menatap langit-langit kamar.
Gabriel
yang duduk di sampingnya berhenti menulis dan berkata kepadanya, “Tapi nilai
kita tidak akan selamat jika kita tak terus berusaha menambah nilai. Kau juga
tahu guru fisika kita adalah guru killer.”
“Ya ya,
aku tahu.” kata Rio malas. Ia kembali duduk tegak dan menoleh ke arah Gabriel.
“Tapi, aku masih memikirkan tentang pertandingan kita nanti, Yel. SMPN 1, itu
sekolah Verrell, bukan?”
Gabriel
mengangguk. “Ya. Dan dia pasti ikut ekskul basket di sana. Aku yakin dia
menggunakan berbagai cara untuk bisa menjadi kapten. Benar-benar kasihan
anggota tim basketnya harus dipimpin oleh orang seegois dia.”
Rio
mengangguk.
Gabriel
bertopang dagu. “Aku tak tahu siasat jahat apa lagi yang akan dia lakukan nanti
di pertandingan. Dia pasti memiliki rencana untuk membuat timnya menang.”
“Tentu
saja, aku yakin tahun ajaran ini akan benar-benar suram untuk anggota tim
basket SMPN 1. Seperti kita dulu, tidak pernah ada satu pertandinganpun yang
kita lewati dengan sportif saat Verrell menjadi kapten basket sekolah kita.”
kata Rio.
Gabriel
mengangguk setuju. “Cakka sudah menjadi kapten yang luar biasa selama ini. Kita
harus bisa melindunginya dari ketidaksportifan Verrell. Kita juga bisa meminta
bantuan Obiet dan teman-temannya.”
“Tim
basket putri juga.”
Gabriel
dan Rio mengangguk kompak.
“Ya sudah,
lebih baik kita selesai PR kita sebelum jam tidur tiba.” kata Gabriel.
Rio
mengangguk setuju. Kemudian, kembali sibuk menulis jawaban soal-soal fisika
yang masih banyak. Yang terpenting adalah mereka bisa cepat menyelesaikan semua
pekerjaan rumah mereka dan mendapatkan istirahat yang cukup. Apalagi sebentar
lagi mereka akan bertanding, mereka harus menjaga kesehatan.
J L J
Suasana
makan malam keluarga Cakka saat itu benar-benar nikmat. Setiap anggota keluarga
menikmati makanan mereka masing-masing tanpa banyak bicara. Suara yang
terdengar di telinga mereka hanyalah suara kunyahan mereka dan benturan antara
sendok dan piring. Terkadang juga terdengar suara gesekan antara gelas dan meja
jika seseorang menghabiskan jus jeruk yang disiapkan Bunda untuk minuman hari
ini.
“Ayah
sudah harus kembali sibuk mulai hari Senin besok.” kata Ayah setelah menelan
makanan yang sedang dikunyahnya. “Kalian bertiga harus ingat dengan pesan Ayah.
Jangan bergaul dengan dunia basket. Cakka, Biru, Elang, kalian harus patuh
kepada Ayah.”
Ketiga
anaknya yang duduk berdampingan menatap Ayah dalam diam. Sambil sibuk mengunyah
makanan mereka, sepasang mata yang mereka punya itu mencoba menyelidik kalau-kalau
mimik wajah Ayah bisa memberikan mereka petunjuk untuk mengetahui alasan apa
yang sebenarnya disembunyikannya. Namun, kegiatan mereka itu tiba-tiba buyar
ketika Ayah kembali berbicara.
“Apa yang
sedang kalian lihat? Mengerti tidak?” tanya Ayah lagi.
Cakka
mengangguk cepat kepada Ayah, kemudian sibuk menghabiskan makanannya kembali.
Disusul oleh kedua kakaknya. Kemudian, suasana nikmat itu terasa kembali.
Ditambah dengan wajah kesal Ayah karena kelakuan anak-anaknya tersebut.
“Sudahlah,
mereka pasti mengerti. Aku yang akan mengingatkan mereka nanti.” kata Bunda
sambil mengelus-elus punggung Ayah yang duduk di sebelahnya. Ia menoleh ke arah
ketiga anaknya. “Omong-omong, bagaimana dengan sekolah kalian?”
“Baik,
Bunda. Belakangan memang banyak tugas. Setelah makan malam selesai, aku harus
menyelesaikan beberapa nomor matematika. Kalau tidak cepat mengerti, aku bisa
habis saat ulangan nanti.” kata Biru sambil tersenyum.
“Kalau aku
sedang mempersiapkan penampilan musik bersama teman-teman sekampusku. Dosen
kami akan menilainya sebagai nilai tambahan sebelum ujian tengah semester kali
ini.” kata Elang menambahkan.
“Oh ya
benar, sebentar lagi kau akan ujian, bukan?” kata Ayah.
Elang
mengangguk. “Setelah itu, aku juga akan menghadapi ujian akhir semester, Yah.
Kalau aku lulus, aku bisa lanjut ke semester berikutnya.”
“Kalau
begitu kau harus meluangkan waktu untuk belajar setiap harinya, Lang. Untuk
menyicil pelajaran yang harus kau pelajari agar kau mendapatkan nilai bagus di
ujian nanti.”
“Pasti,
Yah.”
“Lalu,
bagaimana denganmu, Cakka?” tanya Ayah menoleh ke arah si bungsu.
Cakka
tersenyum. “Sekolahku tak ada bedanya dengan Kak Biru dan Kak Elang. Tugasku
tidak sebanyak mereka, namun aku memiliki kesibukan lain di sekolah.”
Biru
tiba-tiba tersedak dan terbatuk-batuk karena terlalu kaget dengan apa yang
diucapkan adiknya. Elang dan Bunda langsung cepat-cepat membantunya untuk
minum. Elang juga mencoba menenangkannya dengan mengelus-elus pundak adik
perempuannya itu.
“Makanlah
pelan-pelan, Bi.” kata Elang sambil menggelengkan kepalanya.
Biru
melotot ke arahnya dengan tajam karenanya. Dia kesal mendengar ucapan kakaknya
itu. Benar-benar omong kosong. Seharusnya dia tahu bahwa Biru bukan tersedak
karena makan terlalu cepat.
“Hei,
sudah. Cepat makan. Jangan coba-coba bertengkar di sini.” kata Bunda.
Keduanya
menjawab kompak. “Baik, Bunda.”
“Cakka,
memangnya kesibukan apa yang kau lakukan di sekolah?” tanya Ayah setelah Biru
dan Elang kembali duduk di kursinya masing-masing. Bunda juga ikut menatap ke
arahnya.
Cakka
tersenyum mendengar pertanyaan Ayah. “Sesuatu yang pasti akan membuat Ayah dan
Bunda bangga kepadaku.”
TO BE CONTINUED...
Penasaran? Baca sampai tamat ya!
udah sampe part 9 aja nih :)
BalasHapusmaraton dulu baca cerpenya :D