Jumat, 25 Juli 2014

Cerbung | Impian Bola Basket Part 8



BRAK!
Begitu sampai di rumah, Ayah langsung membuka sepatu dan pergi ke kamar tanpa banyak bicara. Bahkan pintu kamarnya dibanting sembarangan. Cakka yang berjalan di belakangnya hanya menatap diam langkah Ayah sampai langkahnya hilang ditutupi pintu kamar. Semenjak mereka pulang tadi, Ayah sama sekali tidak berbicara kepadanya. Entah apa alasannya.

“Cakka...?” tiba-tiba Biru keluar dari kamar dan mendapati adiknya tengah terdiam menatap pintu kamar Ayah. Lamunan Cakka terbuyar ketika Biru menghampirinya. Disusul oleh Elang yang juga kaget mendengar suara keras dari lantai bawah.
“Aku tak sengaja mendengar suara pintu dibanting. Ada apa dengan Ayah?”
Cakka diam sejenak menatap kedua kakaknya. “Aku tidak tahu, Kak.”
“Memangnya apa yang terjadi saat makan malam tadi?” tanya Elang.
Cakka menggeleng. Kemudian, dia tersenyum. “Mungkin Ayah hanya lelah.”
Biru dan Elang menatap kepergian Cakka dengan tatapan tak puas. Selalu begitu. Sejak kecil, Cakka tak pernah mau mengatakan apapun tentang masalahnya jika terjadi sesuatu. Dia selalu merasa tak pernah ada masalah dalam hidupnya.
“Menurutmu, apa yang terjadi, Kak?” tanya Biru masih tetap penasaran.
Elang mengangkat bahu. “Entahlah. Tapi, kurasa ada hubungannya dengan basket. Kita berdua juga tahu, Ayah paling sensitif jika diajak bicara maupun mendengar pembicaraan tentang basket.”
Biru mengangguk-angguk setuju. “Mungkin kau benar. Lebih baik kita tanya Bunda besok. Semoga saja Ayah bercerita kepada Bunda agar kita bisa mendapat informasi.”
“Hmm...”
“Sudahlah, ayo kita tidur. Ini sudah malam. Ayah juga pasti langsung tidur. Besok kan dia harus bekerja.” Keduanya mengangguk bersamaan kemudian langsung kembali ke kamar masing-masing.

J L J

Cakka mengganti bajunya dengan baju piyama begitu sampai di kamar. Setelah itu, ia langsung berbaring di tempat tidur dan menatap langit-langit. Ia sama sekali belum mengantuk. Apalagi mengingat tentang sikap Ayah tadi.
Secara keseluruhan Cakka benar-benar senang bisa mengenal salah satu teman baik Ayah. Aryo sangat menyenangkan baginya. Begitu juga dengan anaknya. Dia senang bisa menghabiskan waktu bersama mereka malam ini. Tapi, entah kenapa, perasaannya justru merasa tidak enak. Cakka sempat mengajaknya berbicara saat di perjalanan, tapi entah kenapa Ayah hanya merespon dengan malas.
Cakka membalikkan tubuhnya menghadap dinding. Ia menghela nafasnya sejenak, kemudian langsung segera menutup matanya untuk tidur. Walaupun besok hari Minggu, ia juga harus memiliki cukup istirahat.

J L J

Cakka sedang menulis-nulis di kamar ketika ponselnya bergetar. Ketika itu, dia sedang duduk di hadapan meja belajarnya dan menikmati hari terakhir akhir pekan ini sendirian. Kedua kakaknya sedang pergi keluar untuk mencari udara segar. Sementara itu, Ayah tidak kelihatan sejak sarapan pagi selesai. Mungkin ada pekerjaan di kantor yang harus di selesaikan. Bunda? Tentu saja sibuk membuat makan siang di dapur.
Cakka tersenyum ketika melihat nama Ray tercantum di layar ponsel. Tanpa banyak bicara lagi ia langsung mengangkatnya dan segera beranjak dari kursinya untuk berjalan menuju balkon kamarnya. Itulah kebiasaannya saat sedang menerima panggilan di rumah.
“Halo?” jawab Cakka setelah menekan tombol hijau di ponselnya.
“Cakka! Apa kau sibuk hari ini? Aku, Alvin, Gabriel dan Rio baru saja bersenang-senang di rumah si kembar. Kalau kau tidak keberatan, kami ingin ke rumahmu sekarang.” kata seseorang di seberang sana.
Cakka tersenyum. “Ya, tentu saja. Aku senang jika kalian datang.”
“Ah, baguslah kalau begitu. Kami akan segera sampai sebentar lagi. Kau tunggu saja. Oh ya, jangan lupa siapkan camilan. Kau tahu sebentar lagi jam makan siang. Sampai jumpa!”
Cakka tertawa kecil. Kemudian, langsung menutup pembicaraan. Ia kembali ke dalam kamarnya dan menaruh ponselnya di meja belajar. Kemudian, langsung keluar kamar untuk menghampiri Bunda. Saat dia tiba di dapur, Bunda tampak sedang memotong timun. Begitu menyadari keberadaan anaknya, dia langsung tersenyum.
“Cakka, ada apa?” tanya Bunda.
Cakka menggeleng. “Teman-temanku ingin berkunjung. Kurasa tidak sopan jika aku tidak menghidangkan mereka makanan ringan.”
“Kalau begitu, kau tunggu saja teman-temanmu di ruang tamu. Bunda akan segera selesai memasak nasi goreng untuk makan siang kita. Untunglah Bunda membuat porsi lebih banyak untuk berjaga-jaga.” kata Bunda sambil tersenyum lembut.
Cakka tersenyum. “Terima kasih, Bunda.”
Cakka segera membalikkan badannya, hendak meninggalkan dapur. Namun, sebelum dia dapat melakukan hal itu, Bunda tiba-tiba saja memanggilnya. Dan kali ini suaranya tampak serius. Tapi, tangannya tetap saja sibuk dengan nasi goreng yang hanya perlu dituang ke piring besar. Entah apa yang terjadi. Ia segera kembali mendekati Bunda.
“Bunda dengar, kau langsung bisa akrab dengan Aryo, teman Ayahmu itu, karena berbicara tentang basket kemarin malam?” tanya Bunda penasaran. Tangannya sibuk memindahkan nasi goreng dari wajan ke piring.
Cakka diam sejenak mendengar pertanyaan Bunda, kemudian langsung tersenyum. “Dia adalah orang yang sangat menyenangkan. Dia sangat ramah kepadaku. Aku menyukainya.”
Bunda tersenyum. Ia menghentikan kesibukannya dan mendekati anak bungsunya. Ia sambar kedua pundak Cakka dengan pelan. “Bunda tahu, kau adalah anak yang sangat baik. Bunda ingin tahu, mengapa kau memberitahu Aryo bahwa kau hobi basket di depan Ayah?”
Cakka diam. Ia menunduk sejenak mendengar pertanyaan Bunda. Kemudian, dia langsung menatap Bunda dengan wajah ceria. “Bunda pasti ingat, saat Bunda memarahiku karena berbohong untuk keluar bermain basket, bukan?”
Bunda mengangguk. “Ya, lalu?”
“Aku tidak ingin jatuh di lubang yang sama. Aku tidak ingin mengecewakan Ayah dan Bunda karena aku berbohong.” kata Cakka sambil tersenyum.
Bundapun ikut tersenyum mendengarnya. Kedua tangannya yang semula memegang bahu Cakka beralih untuk menariknya ke dalam pelukan hangatnya. Dan tentu saja Cakka juga ikut memeluk Bunda. Dia benar-benar menyayangi Bundanya. Dia yang telah mengandungnya selama sembilan bulan, dia yang telah membesarkannya dengan sekuat tenaga. Dan dia juga yang selalu ada ketika Cakka membutuhkan.
“Ehem...”
Cakka langsung melepas pelukannya dan menoleh ketika menyadari ada seseorang memperhatikan mereka. Kemudian, dia tersenyum. Tampak keempat temannya sudah tiba di rumahnya. Ia segera berjalan menghampiri mereka.
“Kupikir kau kembali tidur setelah kutelepon. Ternyata, kau sedang asyik bersama Bundamu. Untung saja tadi kami datang bersamaan dengan Kak Biru dan Kak Elang.” kata Ray sambil menggelengkan kepala. “Tapi, aku jelas memaafkanmu untuk nasi goreng itu.”
Alvin langsung menjitak Ray begitu kalimat terakhirnya selesai. “Sungguh tidak sopan! Kau tak perlu mendengarkan kata-kata Ray, Cakka. Kau harus tahu kalau tadi dia sudah membongkar kulkas Gabriel dan Rio.”
“Ya. Kulkas kami yang begitu ramai bisa menjadi sepi dalam hitungan menit karena teman kita ini.” kata Rio. Ray yang mendengarnya langsung menggembungkan pipinya sebal. Cakka hanya tersenyum geli mendengarnya.
“Sudah, sudah. Kita belum memberi salam kepada Bunda Cakka.” kata Gabriel. Kemudian, dia menatap ke arah Bunda dan menganggukkan kepala. “Selamat siang, Tante. Maafkan kami sudah masuk tanpa izin. Tadi Kak Elang dan Kak Biru kebetulan di depan. Mereka langsung ke kamar.”
“Tidak apa-apa. Duduklah di ruang keluarga. Mari kita makan siang bersama-sama.” kata Bunda sambil tersenyum. “Cakka, antarkanlah teman-temanmu.”
Cakka mengangguk patuh, kemudian mengajak teman-temannya ke ruang keluarga. Mereka duduk di sofa dan langsung sibuk mengobrol tentang banyak hal. Tapi, dari banyak hal tersebut Ray adalah topik utamanya karena dialah yang sibuk membongkar rumah Gabriel dan Rio sejak pagi tadi. Gabriel berkata, Ray tidak hanya menghabiskan satu botol jus jeruk. Dia juga menghabiskan biskuit dan permen yang ada di rumahnya.
Ray hanya menjulurkan lidahnya mendengar ucapan Gabriel. “Kita baru duduk di bangku kelas tujuh, makan banyak justru akan membuat kita tumbuh besar dengan baik.”
“Ya ya, terserah kau saja, Ray. Tapi, aku tidak akan bertanggung jawab jika kau menjadi gemuk dan susah berlari di lapangan saat latihan dan pertandingan.” kata Alvin sambil tertawa.
“Jahat kau, Vin!” kata Ray sambil menjitak kepala Alvin yang duduk di sampingnya. Semuanya kembali tertawa kecuali Cakka. Ya, dia tetap tersenyum seperti biasanya.
“Silahkan dinikmati.” Bunda datang membawa sebuah baki yang penuh dengan lima piring makanan untuk Cakka dan teman-temannya. Tak lupa juga minumannya. Ia menaruh satu per satu piring dan gelas di atas meja kemudian langsung meninggalkan ruang keluarga untuk memanggil Elang dan Biru.
“Terima kasih, Tante!” kata Gabriel dan Rio hampir bersamaan sebelum Bunda meninggalkan ruangan. Setelah itu, mereka langsung mencicipi nasi goreng yang telah dibuatnya. Belum lima menit berlalu, mereka sudah ketagihan dengan lezatnya makanan itu.
Cakka hanya tersenyum melihat lahapnya Gabriel, Rio, Ray dan Alvin menyantap makanan buatan Bunda. Sejak masih muda, Bunda memang sangat pintar memasak. Apapun yang dibuatnya pasti akan disukai banyak orang. Tak jarang teman-teman Bunda memintanya untuk mengurus konsumsi sebuah acara. Jika teman-temannya menyukai masakan Bunda, Cakka sudah tak heran. Namun, yang pasti dia sangat senang melihatnya.
“Cakka...” kata Ray di tengah-tengah makan siang.
Cakka menoleh sambil tetap mengunyah makanan yang ada di mulutnya.
“Sebenarnya, kita datang untuk menanyakanmu sesuatu.” kata Ray. “Tentang anak basket yang mengajakmu bermain di lapangan komplek Matahari itu. Kau belum cerita, bukan?”
“Ya, Cakka. Kami penasaran dengan hasil pertandingannya.” kata Gabriel.
“Dan kalau kami boleh tahu, siapa namanya?” tanya Alvin ikut bertanya.
Cakka tersenyum. Setelah selesai menelan makanannya, barulah dia menjawab kalem. “Aku menunda pertandingannya.”
Semuanya terdiam, mungkin kaget dengan ucapan Cakka. Sama sekali tidak sesuai dugaan mereka. Rio yang dari tadi hanya diam langsung angkat bicara, “Apa yang terjadi, Kka?”
“Aku hanya ingin keluargaku tetap harmonis.” kata Cakka singkat.
Rio diam. Gabriel ikut diam. Ray sibuk mengunyah makanannya dan Alvin menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Mereka semua tampak heran dengan jawaban Cakka yang menurut mereka aneh. Hanya Alvin yang mengerti karena dia sudah pernah mendengar cerita tentang kisah keluarga Cakka dari Biru.
“Lalu, siapa namanya, Kka?” tanya Ray masih penasaran.
“Namanya...” kata Cakka terputus. “Verrell Simonius Charell.”

J L J

Malam itu, Aryo berjalan menuju ruang keluarga dan mengambil koran yang tergeletak di atas meja. Dia segera mengambil tempat duduk di sana dan membuka koran tersebut. Dalam hitungan detik, dia sudah asyik dengan koran yang dibacanya.
Verrell yang tak sengaja melihat Aryo sedang berada di ruang keluarga segera menghentikan langkahnya dan menatapnya dari jauh. Dia tampak berpikir sejenak, kemudian langsung tersenyum. Ia segera menghampiri Aryo. “Papa!”
Aryo menoleh. “Verrell. Kau belum siap-siap tidur? Ini sudah jam sembilan.”
Verrell menggeleng. “Aku belum mengantuk, Pa.”
“Ya sudah, ayo temani Papa di sini.” kata Aryo sambil menunjuk kursi yang ada di sebelahnya, menyuruh anaknya untuk duduk di sebelahnya. Verrell jelas langsung menurut dengan senang hati.
“Sebenarnya ada yang ingin aku tanyakan kepada Papa.” kata Verrell setelah duduk di kursinya.
“Tentang apa, Nak?” tanya Aryo sambil menutup korannya dan fokus kepada anaknya.
“Tentang teman Papa yang kemarin. Dan tentang Cakka.” kata Verrell sambil tersenyum. “Memangnya Papa kenal dia dimana?”
“Oh, dia itu teman Papa dari kuliah, Rel. Tapi, karena kita sempat beberapa kali pindah, kita jadi jarang saling menghubungi. Makanya, Papa mengajaknya makan malam kemarin.” kata Aryo. “Kamu pasti senang mengenalnya, Rel. Dia pernah cerita kepada Papa, dia sangat senang menonton basket. Dia mempunyai sahabat yang sangat mahir dalam basket.”
“Oh ya? Kalau begitu, dia juga hobi basket?” kata Verrell mulai tertarik.
Aryo menggeleng. “Dia tidak pernah main basket. Dia hanya menonton sahabatnya yang sering mengikuti kejuaraan basket. Tapi, dia juga bilang, pernah suatu kali dia mengalami sesuatu yang membuat dia sangat benci dengan basket.”
Verrell mengerutkan dahinya. “Ada apa dengannya, Pa?”
Aryo mengangkat bahunya. “Dia tidak pernah cerita. Waktu itu, dia hanya bilang kalau suatu saat, ketika dia sudah lulus kuliah dan menikah, dia tidak ingin memiliki anak yang mencintai dunia basket.”
“Dia berkata begitu, Pa? Tapi, kemarin Papa bilang, Cakka sangat suka dengan basket. Memangnya Papanya tidak marah kepadanya?” tanya Verrell.
Aryo menggeleng. “Papa juga tidak tahu.”
Verrell manggut-manggut mengerti. “Kalau begitu, aku masuk ke kamar dulu, Pa. Ingin istirahat, besok kan aku harus sekolah.”
Aryo mengangguk mengerti. “Selamat tidur, Rel.”
Verrell berjalan menuju kamarnya dan menutup pintunya perlahan-lahan. Setelah itu, dia mengganti bajunya dengan piyama dan segera membantingkan tubuhnya di tempat tidur. Sambil melihat langit-langit kamarnya, dia merekam semua pembicaraannya dengan Aryo barusan. Kemudian, dia tersenyum puas. “Tamat sudah jabatan basketmu, Chase Karayne.”

TO BE CONTINUED...
Penasaran? Baca sampai tamat ya!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Makasih ya udah baca cerpenku. Silahkan tinggalkan komentar kamu ya.
Semua kritik dan saran aku terima. Pujian juga boleh :p