BRAK!
Begitu
sampai di rumah, Ayah langsung membuka sepatu dan pergi ke kamar tanpa banyak
bicara. Bahkan pintu kamarnya dibanting sembarangan. Cakka yang berjalan di
belakangnya hanya menatap diam langkah Ayah sampai langkahnya hilang ditutupi
pintu kamar. Semenjak mereka pulang tadi, Ayah sama sekali tidak berbicara
kepadanya. Entah apa alasannya.
“Cakka...?”
tiba-tiba Biru keluar dari kamar dan mendapati adiknya tengah terdiam menatap
pintu kamar Ayah. Lamunan Cakka terbuyar ketika Biru menghampirinya. Disusul
oleh Elang yang juga kaget mendengar suara keras dari lantai bawah.
“Aku tak
sengaja mendengar suara pintu dibanting. Ada apa dengan Ayah?”
Cakka diam
sejenak menatap kedua kakaknya. “Aku tidak tahu, Kak.”
“Memangnya
apa yang terjadi saat makan malam tadi?” tanya Elang.
Cakka
menggeleng. Kemudian, dia tersenyum. “Mungkin Ayah hanya lelah.”
Biru dan
Elang menatap kepergian Cakka dengan tatapan tak puas. Selalu begitu. Sejak
kecil, Cakka tak pernah mau mengatakan apapun tentang masalahnya jika terjadi
sesuatu. Dia selalu merasa tak pernah ada masalah dalam hidupnya.
“Menurutmu,
apa yang terjadi, Kak?” tanya Biru masih tetap penasaran.
Elang
mengangkat bahu. “Entahlah. Tapi, kurasa ada hubungannya dengan basket. Kita
berdua juga tahu, Ayah paling sensitif jika diajak bicara maupun mendengar
pembicaraan tentang basket.”
Biru
mengangguk-angguk setuju. “Mungkin kau benar. Lebih baik kita tanya Bunda
besok. Semoga saja Ayah bercerita kepada Bunda agar kita bisa mendapat
informasi.”
“Hmm...”
“Sudahlah,
ayo kita tidur. Ini sudah malam. Ayah juga pasti langsung tidur. Besok kan dia
harus bekerja.” Keduanya mengangguk bersamaan kemudian langsung kembali ke
kamar masing-masing.
J L J
Cakka
mengganti bajunya dengan baju piyama begitu sampai di kamar. Setelah itu, ia
langsung berbaring di tempat tidur dan menatap langit-langit. Ia sama sekali
belum mengantuk. Apalagi mengingat tentang sikap Ayah tadi.
Secara
keseluruhan Cakka benar-benar senang bisa mengenal salah satu teman baik Ayah.
Aryo sangat menyenangkan baginya. Begitu juga dengan anaknya. Dia senang bisa
menghabiskan waktu bersama mereka malam ini. Tapi, entah kenapa, perasaannya
justru merasa tidak enak. Cakka sempat mengajaknya berbicara saat di
perjalanan, tapi entah kenapa Ayah hanya merespon dengan malas.
Cakka
membalikkan tubuhnya menghadap dinding. Ia menghela nafasnya sejenak, kemudian
langsung segera menutup matanya untuk tidur. Walaupun besok hari Minggu, ia
juga harus memiliki cukup istirahat.
J L J
Cakka
sedang menulis-nulis di kamar ketika ponselnya bergetar. Ketika itu, dia sedang
duduk di hadapan meja belajarnya dan menikmati hari terakhir akhir pekan ini
sendirian. Kedua kakaknya sedang pergi keluar untuk mencari udara segar.
Sementara itu, Ayah tidak kelihatan sejak sarapan pagi selesai. Mungkin ada
pekerjaan di kantor yang harus di selesaikan. Bunda? Tentu saja sibuk membuat
makan siang di dapur.
Cakka
tersenyum ketika melihat nama Ray tercantum di layar ponsel. Tanpa banyak
bicara lagi ia langsung mengangkatnya dan segera beranjak dari kursinya untuk
berjalan menuju balkon kamarnya. Itulah kebiasaannya saat sedang menerima
panggilan di rumah.
“Halo?”
jawab Cakka setelah menekan tombol hijau di ponselnya.
“Cakka!
Apa kau sibuk hari ini? Aku, Alvin, Gabriel dan Rio baru saja bersenang-senang
di rumah si kembar. Kalau kau tidak keberatan, kami ingin ke rumahmu sekarang.”
kata seseorang di seberang sana.
Cakka
tersenyum. “Ya, tentu saja. Aku senang jika kalian datang.”
“Ah,
baguslah kalau begitu. Kami akan segera sampai sebentar lagi. Kau tunggu saja.
Oh ya, jangan lupa siapkan camilan. Kau tahu sebentar lagi jam makan siang.
Sampai jumpa!”
Cakka
tertawa kecil. Kemudian, langsung menutup pembicaraan. Ia kembali ke dalam
kamarnya dan menaruh ponselnya di meja belajar. Kemudian, langsung keluar kamar
untuk menghampiri Bunda. Saat dia tiba di dapur, Bunda tampak sedang memotong
timun. Begitu menyadari keberadaan anaknya, dia langsung tersenyum.
“Cakka,
ada apa?” tanya Bunda.
Cakka
menggeleng. “Teman-temanku ingin berkunjung. Kurasa tidak sopan jika aku tidak
menghidangkan mereka makanan ringan.”
“Kalau
begitu, kau tunggu saja teman-temanmu di ruang tamu. Bunda akan segera selesai
memasak nasi goreng untuk makan siang kita. Untunglah Bunda membuat porsi lebih
banyak untuk berjaga-jaga.” kata Bunda sambil tersenyum lembut.
Cakka
tersenyum. “Terima kasih, Bunda.”
Cakka
segera membalikkan badannya, hendak meninggalkan dapur. Namun, sebelum dia
dapat melakukan hal itu, Bunda tiba-tiba saja memanggilnya. Dan kali ini
suaranya tampak serius. Tapi, tangannya tetap saja sibuk dengan nasi goreng
yang hanya perlu dituang ke piring besar. Entah apa yang terjadi. Ia segera
kembali mendekati Bunda.
“Bunda
dengar, kau langsung bisa akrab dengan Aryo, teman Ayahmu itu, karena berbicara
tentang basket kemarin malam?” tanya Bunda penasaran. Tangannya sibuk
memindahkan nasi goreng dari wajan ke piring.
Cakka diam
sejenak mendengar pertanyaan Bunda, kemudian langsung tersenyum. “Dia adalah
orang yang sangat menyenangkan. Dia sangat ramah kepadaku. Aku menyukainya.”
Bunda
tersenyum. Ia menghentikan kesibukannya dan mendekati anak bungsunya. Ia sambar
kedua pundak Cakka dengan pelan. “Bunda tahu, kau adalah anak yang sangat baik.
Bunda ingin tahu, mengapa kau memberitahu Aryo bahwa kau hobi basket di depan
Ayah?”
Cakka
diam. Ia menunduk sejenak mendengar pertanyaan Bunda. Kemudian, dia langsung
menatap Bunda dengan wajah ceria. “Bunda pasti ingat, saat Bunda memarahiku
karena berbohong untuk keluar bermain basket, bukan?”
Bunda
mengangguk. “Ya, lalu?”
“Aku tidak
ingin jatuh di lubang yang sama. Aku tidak ingin mengecewakan Ayah dan Bunda
karena aku berbohong.” kata Cakka sambil tersenyum.
Bundapun
ikut tersenyum mendengarnya. Kedua tangannya yang semula memegang bahu Cakka
beralih untuk menariknya ke dalam pelukan hangatnya. Dan tentu saja Cakka juga
ikut memeluk Bunda. Dia benar-benar menyayangi Bundanya. Dia yang telah
mengandungnya selama sembilan bulan, dia yang telah membesarkannya dengan
sekuat tenaga. Dan dia juga yang selalu ada ketika Cakka membutuhkan.
“Ehem...”
Cakka
langsung melepas pelukannya dan menoleh ketika menyadari ada seseorang
memperhatikan mereka. Kemudian, dia tersenyum. Tampak keempat temannya sudah
tiba di rumahnya. Ia segera berjalan menghampiri mereka.
“Kupikir
kau kembali tidur setelah kutelepon. Ternyata, kau sedang asyik bersama Bundamu.
Untung saja tadi kami datang bersamaan dengan Kak Biru dan Kak Elang.” kata Ray
sambil menggelengkan kepala. “Tapi, aku jelas memaafkanmu untuk nasi goreng
itu.”
Alvin
langsung menjitak Ray begitu kalimat terakhirnya selesai. “Sungguh tidak sopan!
Kau tak perlu mendengarkan kata-kata Ray, Cakka. Kau harus tahu kalau tadi dia
sudah membongkar kulkas Gabriel dan Rio.”
“Ya.
Kulkas kami yang begitu ramai bisa menjadi sepi dalam hitungan menit karena
teman kita ini.” kata Rio. Ray yang mendengarnya langsung menggembungkan
pipinya sebal. Cakka hanya tersenyum geli mendengarnya.
“Sudah,
sudah. Kita belum memberi salam kepada Bunda Cakka.” kata Gabriel. Kemudian,
dia menatap ke arah Bunda dan menganggukkan kepala. “Selamat siang, Tante.
Maafkan kami sudah masuk tanpa izin. Tadi Kak Elang dan Kak Biru kebetulan di
depan. Mereka langsung ke kamar.”
“Tidak
apa-apa. Duduklah di ruang keluarga. Mari kita makan siang bersama-sama.” kata
Bunda sambil tersenyum. “Cakka, antarkanlah teman-temanmu.”
Cakka
mengangguk patuh, kemudian mengajak teman-temannya ke ruang keluarga. Mereka
duduk di sofa dan langsung sibuk mengobrol tentang banyak hal. Tapi, dari
banyak hal tersebut Ray adalah topik utamanya karena dialah yang sibuk
membongkar rumah Gabriel dan Rio sejak pagi tadi. Gabriel berkata, Ray tidak
hanya menghabiskan satu botol jus jeruk. Dia juga menghabiskan biskuit dan
permen yang ada di rumahnya.
Ray hanya
menjulurkan lidahnya mendengar ucapan Gabriel. “Kita baru duduk di bangku kelas
tujuh, makan banyak justru akan membuat kita tumbuh besar dengan baik.”
“Ya ya,
terserah kau saja, Ray. Tapi, aku tidak akan bertanggung jawab jika kau menjadi
gemuk dan susah berlari di lapangan saat latihan dan pertandingan.” kata Alvin
sambil tertawa.
“Jahat
kau, Vin!” kata Ray sambil menjitak kepala Alvin yang duduk di sampingnya.
Semuanya kembali tertawa kecuali Cakka. Ya, dia tetap tersenyum seperti
biasanya.
“Silahkan
dinikmati.” Bunda datang membawa sebuah baki yang penuh dengan lima piring
makanan untuk Cakka dan teman-temannya. Tak lupa juga minumannya. Ia menaruh
satu per satu piring dan gelas di atas meja kemudian langsung meninggalkan
ruang keluarga untuk memanggil Elang dan Biru.
“Terima
kasih, Tante!” kata Gabriel dan Rio hampir bersamaan sebelum Bunda meninggalkan
ruangan. Setelah itu, mereka langsung mencicipi nasi goreng yang telah
dibuatnya. Belum lima menit berlalu, mereka sudah ketagihan dengan lezatnya
makanan itu.
Cakka
hanya tersenyum melihat lahapnya Gabriel, Rio, Ray dan Alvin menyantap makanan
buatan Bunda. Sejak masih muda, Bunda memang sangat pintar memasak. Apapun yang
dibuatnya pasti akan disukai banyak orang. Tak jarang teman-teman Bunda
memintanya untuk mengurus konsumsi sebuah acara. Jika teman-temannya menyukai
masakan Bunda, Cakka sudah tak heran. Namun, yang pasti dia sangat senang
melihatnya.
“Cakka...”
kata Ray di tengah-tengah makan siang.
Cakka
menoleh sambil tetap mengunyah makanan yang ada di mulutnya.
“Sebenarnya,
kita datang untuk menanyakanmu sesuatu.” kata Ray. “Tentang anak basket yang
mengajakmu bermain di lapangan komplek Matahari itu. Kau belum cerita, bukan?”
“Ya,
Cakka. Kami penasaran dengan hasil pertandingannya.” kata Gabriel.
“Dan kalau
kami boleh tahu, siapa namanya?” tanya Alvin ikut bertanya.
Cakka
tersenyum. Setelah selesai menelan makanannya, barulah dia menjawab kalem. “Aku
menunda pertandingannya.”
Semuanya
terdiam, mungkin kaget dengan ucapan Cakka. Sama sekali tidak sesuai dugaan
mereka. Rio yang dari tadi hanya diam langsung angkat bicara, “Apa yang
terjadi, Kka?”
“Aku hanya
ingin keluargaku tetap harmonis.” kata Cakka singkat.
Rio diam.
Gabriel ikut diam. Ray sibuk mengunyah makanannya dan Alvin menggaruk
tengkuknya yang tidak gatal. Mereka semua tampak heran dengan jawaban Cakka
yang menurut mereka aneh. Hanya Alvin yang mengerti karena dia sudah pernah
mendengar cerita tentang kisah keluarga Cakka dari Biru.
“Lalu,
siapa namanya, Kka?” tanya Ray masih penasaran.
“Namanya...”
kata Cakka terputus. “Verrell Simonius Charell.”
J L J
Malam itu,
Aryo berjalan menuju ruang keluarga dan mengambil koran yang tergeletak di atas
meja. Dia segera mengambil tempat duduk di sana dan membuka koran tersebut.
Dalam hitungan detik, dia sudah asyik dengan koran yang dibacanya.
Verrell
yang tak sengaja melihat Aryo sedang berada di ruang keluarga segera
menghentikan langkahnya dan menatapnya dari jauh. Dia tampak berpikir sejenak,
kemudian langsung tersenyum. Ia segera menghampiri Aryo. “Papa!”
Aryo
menoleh. “Verrell. Kau belum siap-siap tidur? Ini sudah jam sembilan.”
Verrell
menggeleng. “Aku belum mengantuk, Pa.”
“Ya sudah,
ayo temani Papa di sini.” kata Aryo sambil menunjuk kursi yang ada di
sebelahnya, menyuruh anaknya untuk duduk di sebelahnya. Verrell jelas langsung
menurut dengan senang hati.
“Sebenarnya
ada yang ingin aku tanyakan kepada Papa.” kata Verrell setelah duduk di
kursinya.
“Tentang
apa, Nak?” tanya Aryo sambil menutup korannya dan fokus kepada anaknya.
“Tentang
teman Papa yang kemarin. Dan tentang Cakka.” kata Verrell sambil tersenyum.
“Memangnya Papa kenal dia dimana?”
“Oh, dia
itu teman Papa dari kuliah, Rel. Tapi, karena kita sempat beberapa kali pindah,
kita jadi jarang saling menghubungi. Makanya, Papa mengajaknya makan malam
kemarin.” kata Aryo. “Kamu pasti senang mengenalnya, Rel. Dia pernah cerita
kepada Papa, dia sangat senang menonton basket. Dia mempunyai sahabat yang
sangat mahir dalam basket.”
“Oh ya?
Kalau begitu, dia juga hobi basket?” kata Verrell mulai tertarik.
Aryo
menggeleng. “Dia tidak pernah main basket. Dia hanya menonton sahabatnya yang
sering mengikuti kejuaraan basket. Tapi, dia juga bilang, pernah suatu kali dia
mengalami sesuatu yang membuat dia sangat benci dengan basket.”
Verrell
mengerutkan dahinya. “Ada apa dengannya, Pa?”
Aryo
mengangkat bahunya. “Dia tidak pernah cerita. Waktu itu, dia hanya bilang kalau
suatu saat, ketika dia sudah lulus kuliah dan menikah, dia tidak ingin memiliki
anak yang mencintai dunia basket.”
“Dia
berkata begitu, Pa? Tapi, kemarin Papa bilang, Cakka sangat suka dengan basket.
Memangnya Papanya tidak marah kepadanya?” tanya Verrell.
Aryo
menggeleng. “Papa juga tidak tahu.”
Verrell
manggut-manggut mengerti. “Kalau begitu, aku masuk ke kamar dulu, Pa. Ingin
istirahat, besok kan aku harus sekolah.”
Aryo
mengangguk mengerti. “Selamat tidur, Rel.”
Verrell
berjalan menuju kamarnya dan menutup pintunya perlahan-lahan. Setelah itu, dia
mengganti bajunya dengan piyama dan segera membantingkan tubuhnya di tempat
tidur. Sambil melihat langit-langit kamarnya, dia merekam semua pembicaraannya
dengan Aryo barusan. Kemudian, dia tersenyum puas. “Tamat sudah jabatan
basketmu, Chase Karayne.”
TO BE CONTINUED...
Penasaran? Baca sampai tamat ya!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Makasih ya udah baca cerpenku. Silahkan tinggalkan komentar kamu ya.
Semua kritik dan saran aku terima. Pujian juga boleh :p