“CRAG
Team! CRAG Team! CRAG Team!”
Suasana
lapangan basket sekolah waktu itu sangat ramai dengan sorakan-sorakan para
murid yang sedang menyaksikan CRAG Team bertanding melawan beberapa anak basket
yang dipilih langsung oleh Pak Jo. Jam istirahat yang biasanya ramai dengan
anak-anak yang makan di kantin, kini berpindah ke lapangan karena rasa antusias
mereka melihat aksi Cakka dan teman-temannya. Makanan yang telah mereka beli
sampai mereka bawa ke sana.
“Berikan
padaku, Yel!” Ray berseru nyaring ketika melihat temannya sedang kesusahan
melewati para lawan yang sedang menghadangnya. Dengan cepat Gabriel menuruti
Ray yang berdiri cukup jauh darinya.
“Bersiap,
Kka!” seru Rio kepada Cakka yang masih di tengah lapangan. Sementara ia
langsung mendekatkan posisinya dengan posisi Ray agar posisi amannya tetap terjaga.
Lawan mereka kali ini bukanlah lawan main-main, walaupun mereka bukan anggota
tim inti, mereka juga mahir dalam merebut bola.
“Kalian
tidak akan bisa merebut bolaku!” Ray melakukan berbagai teknik mengecoh untuk
menghindar lawan, kemudian melempar bola basketnya dengan cepat ke tangan Cakka
begitu lawan terakhir yang menghadang mencoba merebut bolanya. Ray tersenyum
dan berseru keras begitu Cakka menangkap bolanya. “Shoot!!”
“Hup!”
Cakka berlari dengan kencang menuju ring milik timnya dan melakukan slam dunk untuk mencetak angka. Begitu
bola basket masuk dengan mulus ke dalam ring, semua murid yang menonton di sana
langsung berteriak senang dan histeris. Begitu Cakka melepaskan pegangannya
dari ring, ia langsung diserbu oleh para anggota tim inti. Mereka saling toss
sejenak, kemudian langsung konsentrasi kembali dengan pertandingan.
“Ayo CRAG
Team! Kejar skor lawan! Dua angka lagi!” Para siswi yang ada di sana dengan
semangatnya berseru, seakan-akan memberikan energi lebih untuk para anggota
CRAG Team untuk bertanding.
Ya, sejak
tadi CRAG Team sangat total mengeluarkan tenaga mereka untuk segera mengejar
angka karena mereka sempat tertinggal sembilan poin karena mereka terlalu
lengah dalam menjaga bola. Untungnya mereka dapat mengejar sedikit demi sedikit.
Sesuai dengan teriakan para supporter tadi, hanya tinggal dua angka lagi yang
harus dikejar. Papan skor masih menunjukkan 19-21 untuk keunggulan tim lawan.
“Dua puluh
detik lagi!” seru Pak Jo sekeras-kerasnya dari pinggir lapangan.
Cakka yang
mengetahui hal itu langsung memberi instruksi kepada teman-temannya. “Yo!
Berikan pada Gabriel! Ray harus shoot jarak
jauh!”
“Tangkap,
Yel!” Tanpa banyak bicara, Rio langsung mengoper bola basketnya ke arah Gabriel
dan langsung menjaga lawan yang hendak menghadang jalan Gabriel menuju ring.
Cakka juga melakukan hal yang sama untuk menjaga posisi aman Ray di tengah
lapangan seiring Gabriel mendekat.
“Ray!”
seru Gabriel sambil memberikan bola basket kepada Ray. Kemudian, Ray langsung
melakukan tembakan tiga angka. Bola basket itu tidak langsung masuk dengan
mulus, ia justru sibuk mengelilingi ring untuk beberapa saat. Semua yang ada di
sana langsung berharap-harap cemas. Sebagian besar anak-anak yang menonton
mengatupkan tangannya seolah memohon kepada bola tersebut untuk masuk, bahkan
ada juga menutup matanya dan berdoa. Sementara para anggota basket yang ada di
lapangan basket sibuk mengawasi bola tanpa berkedip. Penentuan menang dan kalah
akan segera ditentukan oleh kemana bola itu akan berakhir. Mental dari ring atau
justru masuk?
Ray
menelan ludahnya menatap bola basket yang ia lempar. Ia tidak banyak berharap
kepada bola basket itu. Faktanya pertandingan siang ini hanyalah untuk latihan.
Baginya tidak masalah jika kalah saat latihan, asal saat pertandingan yang sesungguhnya
nanti, CRAG Team akan menjadi pemenangnya. Tapi, tetap saja denyut jantungnya
menjadi cepat dalam situasi tegang ini.
Cakka dan
teman-temannya menghela nafas setelah bola basketnya memutuskan untuk
menyingkir dari ring, bersamaan dengan terdengarnya sorakan-sorakan kembali
dari anak-anak yang menonton. Namun, bukan sorakan bahagia. Mereka jelas tidak
senang CRAG Team harus menerima kekalahan.
“Dengan
ini dinyatakan bahwa tim Obiet memenangkan pertandingan hari ini!” seru Pak Jo
dengan keras. “Terima kasih untuk para anak basket yang telah berjuang keras.
Kalian yang kalah tidak perlu kecewa, masih banyak waktu untuk mengembangkan
kemampuan!”
Tim lawan
langsung meloncat-loncat girang begitu mendengar mereka telah menang melawan
CRAG Team. Setelah itu, mereka langsung menghampiri Cakka dan teman-temannya
yang masih tampak terdiam di tengah lapangan. Obiet, salah satu dari tim lawan
mengulurkan tangannya kepada mereka.
“Ada apa?”
tanya Ray menatap uluran tangan Obiet.
“Kalian
hebat. Aku benar-benar terkejut dengan hasil pertandingan kali ini. Padahal,
kalian adalah anggota basket yang paling mahir di sekolah.” katanya sambil
tersenyum. “Kapan-kapan ayo kita bertanding bersama lagi.”
“Ya, tentu
saja, Biet.” kata Gabriel tersenyum.
Semua
anggota CRAG Team tersenyum senang mendengar ucapan Obiet. Kemudian, satu per
satu menyalami Obiet. Tak lupa Obiet juga menepuk satu per satu pundak mereka.
Persahabatan antar anak basket memang sangat hebat. Mereka memang rival saat
bertanding, tapi setelah itu mereka tetaplah bersahabat satu sama lain.
“Aku
beristirahat dulu. Kalian sebaiknya beristirahat juga. Kalian pasti lelah.”
kata Obiet. Setelah Cakka dan teman-temannya mengangguk, Obiet langsung berlari
menghampiri teman-temannya. Sementara Cakka dan teman-temannya beristirahat di
pinggir lapangan. Barang-barang penting mereka terkumpul di salah satu bangku
panjang yang ada di sana.
Begitu
tiba, Ray dan Gabriel langsung menyambar botol minum mereka masing-masing dan
meneguknya sampai setengah botol. Sementara Rio dan Cakka sibuk menghapus peluh
yang sudah membasahi wajah mereka. Alvin hanya duduk sambil mengatur nafasnya,
melepas kelelahan.
“Kau tahu,
Ray, idemu tentang pertandingan ini sungguh hebat.” kata Alvin membuka
pembicaraan. Benar, penggagas pertandingan saat jam istirahat hari ini adalah
Ray. Dia sepertinya ingin menebus rasa tidak relanya kemarin saat kalah dengan
Gabriel dengan pertandingan hari ini. Makanya, Cakka dan teman-temannya meminta
bantuan Pak Jo untuk memanggil anak-anak basket yang menurutnya mahir. Dan
karena pemanggilan anak-anak basket tersebut sampai di telinga banyak orang,
semuanya langsung ikut menonton mereka bertanding.
“Tentu
saja ini hebat. Tak ada yang lebih hebat daripada latihan tambahan untuk
anak-anak basket.” kata Ray setelah selesai minum. “Lagipula, bagus juga untuk
menghibur teman-teman kita, bukan?”
“Aku
hampir melongo ketika melihat sebagian besar anak-anak membawa makanan mereka
ke pinggir lapangan untuk menonton pertandingan.” kata Gabriel menambahkan
setelah menelan air yang menggumpal di mulutnya. “Kurasa kita akan cepat
terkenal.”
“Ah, kita
ini anak basket. Bukan artis. Yang harus kita harapkan adalah menjadi pebasket
yang baik, hebat dan disenangi banyak orang.” kata Rio. “Bukankah kita hanya
mengincar NBL?”
Gabriel
tertawa. “Benar sekali, Yo.”
Cakka
hanya tersenyum mendengar celotehan teman-teman satu timnya. Kemudian, ia
memasukkan kembali handuk kecilnya ke dalam tas dan segera meneguk air minum
untuk menyegarkan tubuhnya. Ia benar-benar lelah setelah bertanding.
“Cakka...”
Cakka
menoleh ketika mendengar suara seseorang memanggilnya. Di belakangnya berdiri
beberapa siswi yang membawa beberapa makanan ringan di tangan mereka. Begitu
dia menatap mereka, mereka langsung memberikan makanan ringan tersebut
kepadanya. Salah satu dari mereka berseru, “Ini semua untukmu. Kau pasti lelah
dari pertandingan tadi. Makanlah.”
“Walaupun
kalian kalah, kami tetap mendukung CRAG Team.” yang lainnya ikut menambahkan.
“Kalau kalian bertanding di sekolah lain, kami ingin menonton untuk mendukung
kalian.”
Cakka
tersenyum ramah. Tangannya pelan-pelan mengambil satu per satu makanan yang
diberikan mereka, kemudian menaruh semua makanan tersebut di sampingnya.
“Terima kasih. Kami akan melakukan yang terbaik.”
Para siswi
tersebut tampak senang mendengar ucapan ramah Cakka. Kemudian, mereka segera
pamit untuk ke kelas. Cakka hanya mengangguk dan menatap kepergian mereka dalam
diam. Setelah itu, ia menoleh ke arah makanan yang tadi diberikan mereka.
Sebenarnya dia sudah makan sedikit sebelum bertanding tadi, tapi rasanya ia
lapar lagi karena lelah. Ia ambil satu bungkus makanan tersebut dan segera
melahap isinya. Keripik udang yang dibelikan mereka enak juga.
“Ehem...”
Ray tiba-tiba berdehem di tengah acara makan Cakka.
Cakka
menoleh. Namun, dia tetap sibuk mengunyah.
“Duh, yang
baru diberikan makanan dari penggemar. Sampai lupa kalau teman-temannya ada di
sini. Kita juga lapar, Cakka!” kata Ray sambil nyengir menatap sahabatnya.
Cakka
tersenyum mendengar ucapan Ray. “Mereka bukan penggemarku. Mereka pendukung
CRAG Team. Jadi, makanan itu untuk kalian juga. Ambil saja kalau mau.”
Begitu
selesai berbicara, teman-teman Cakka langsung berebutan mengambil beberapa
bungkus makanan yang ada di samping Cakka. Mereka terlihat seperti anak kecil.
Cakka sampai tertawa geli melihat kelakuan teman-temannya.
J L J
Seusai
makan malam tadi, Cakka langsung membersihkan diri sehingga membuat Cakka
benar-benar segar setelah dia selesai mandi sore. Hari ini Cakka memakai baju
putih dan bawahan celana pendek hip hop army berwarna cokelat sebagai pakaian
malamnya. Setelah mencuci muka, ia keluar dari kamar mandi dan hendak belajar
untuk bersiap kalau-kalau ada ulangan mendadak. Tapi, niatnya harus tertunda
ketika dia melihat Ayah sudah berdiri di ambang pintu. Beliau segera
mengisyaratkan Cakka agar menghampirinya begitu Cakka menatapnya.
Cakka
tersenyum kemudian langsung menuruti perintah Ayah. “Ada apa?”
“Apa kau
sedang sibuk?” tanya Ayah. Cakka menggelengkan kepalanya.
“Ada
seorang teman Ayah yang beberapa bulan ini kembali ke sini. Dia mengajak Ayah
makan malam bersama besok. Ayah ingin mengajakmu ikut.” kata Ayah. “Teman Ayah
itu akan mengajak anak laki-lakinya juga. Kau bisa mendapat teman baru.
Bagaimana?”
Cakka
tersenyum. “Baiklah, Yah. Aku akan ikut.”
Ayah tersenyum,
kemudian mengacak-acak rambut Cakka sejenak sebelum akhirnya dia pergi
meninggalkan kamar Cakka. Sementara Cakka yang merasa kaget dengan perlakuan
Ayah barusan melirik ke arah rambutnya. Pelan-pelan ia pegang rambutnya yang
sudah berantakan tersebut. Kemudian tersenyum manis. Senangnya bisa merasakan
belaian Ayah lagi.
“Terima
kasih, Yah.” kata Cakka sambil tersenyum. Kemudian, menutup pintu kamar dan
mengeluarkan buku-buku pelajarannya. Dengan penuh semangat ia segera belajar
sampai jam tidur tiba.
J L J
Sesuai
dengan permintaan dan desakan Rio belakangan ini, Gabriel akhirnya menelepon
Alvin agar dia bisa berkunjung ke rumahnya hari ini. Selagi mereka tidak di
sekolah, mereka bisa berbicara baik-baik tentang hal yang sudah beberapa hari
ini membebani pikiran mereka berdua. Untungnya, Alvin mempunyai pikiran yang
sama, sehingga tanpa banyak basa-basi lagi, dia langsung berangkat menuju rumah
si kembar itu.
Sekarang
mereka menikmati suasana hening di kamar Gabriel dan Rio. Mereka sedang
berpikir solusi apa yang baik untuk masalah ini. Dan bagaimana caranya mereka
menyelesaikan masalah ini tanpa harus menghancurkan persahabatan mereka.
Bagaimanapun juga, CRAG Team bisa dibilang tim andalan sekolah. Dan basket
bukanlah individual. Mereka harus mempertahankan kerja sama dan kepercayaan
satu sama lain. Mereka tidak boleh sampai mengecewakan.
“Kurasa
dia sungguh-sungguh ingin menghancurkan kita, Yel.” kata Alvin setelah
mendengarkan cerita Gabriel dan Rio tentang pikiran yang membebani mereka.
Sekarang dia sedang berbaring di tempat tidur Gabriel. “Kalau tidak, untuk apa
dia sampai mencari tahu tentang kapten baru kita. Mengajaknya tanding pula.”
Gabriel
yang duduk di kursi mengangguk setuju. “Aku penasaran bagaimana hasil
pertandingan itu. Cakka belum cerita soal pertemuannya dengan anak basket itu,
kan?”
“Ya.
Mungkin kita bisa bertanya kepada besok Senin. Aku yakin anak basket yang
dimaksud Cakka itu Verrell.” kata Rio. “Kalau bukan dia, penghuni komplek
Matahari mana lagi yang berani menantang Cakka?”
“Betul.
Aku juga masih ingat apa yang terjadi dan apa katanya waktu dia masih satu
sekolah dengan kita.” kata Gabriel. Ia menyandarkan tubuhnya di kursi. “Tapi,
aku tidak menyangka bahwa dia benar-benar akan melakukannya.”
“Kalau
begitu, bagaimana dengan Cakka dan Ray? Apa kita harus beritahu mereka tentang
dia?” tanya Rio. Ia menoleh ke arah Alvin. “Bagaimana menurutmu?”
Alvin
menggeleng. “Tidak, Yo. Cukup kita saja yang tahu. Masa lalu kita tidak ada
urusannya dengan mereka. Walaupun sekarang kita satu tim, kita harus menyimpan
tentang Verrell rapat-rapat. Kalau mereka memang harus tahu, baru kita cerita.
Demi persahabatan kita.”
“Kau yakin
mereka tidak akan marah?”
“Ya.
Seharusnya mereka mengerti, Yo. Kalaupun nanti semuanya tidak berjalan sesuai
dugaan kita, aku yakin Cakka bisa mengatasinya.” kata Alvin, kemudian segera
bangkit untuk duduk.
“Kenapa
kau begitu yakin?” tanya Gabriel heran.
Alvin
menoleh ke arah Gabriel. “Entahlah. Yang jelas, semenjak aku mengenal Cakka
sebagai temanku dan juga adik dari Biru, aku merasa bisa mempercayakan semuanya
kepadanya.”
Gabriel
dan Rio mengangguk. Kemudian, suasana kembali hening. Pikiran mereka kembali
melayang kemana-mana. Sore itu benar-benar menjadi sore yang menggelisahkan
bagi mereka. Tapi, yang dikatakan Alvin benar. Mereka jelas percaya kepada
Cakka. Sikap tenang dan ramah Cakka selama ini membuat mereka yakin bahwa dia
masuk ke dalam sekolah mereka karena takdir untuk mengubah semuanya.
J L J
Cakka
tersenyum menatap cermin sambil merapikan rambutnya. Jam sudah menunjukkan
angka lima dan ia harus segera bersiap-siap untuk pergi bersama Ayah,
menemaninya makan malam bersama teman lamanya itu. Dan ia sangat puas dengan
penampilannya sekarang. Baju kaus berkerah berwarna merah dan celana panjang jeans hitam sudah melekat di tubuhnya.
Ditambah lagi rambutnya yang tersisir rapi membuatnya terlihat sangat keren.
Biru yang
tak sengaja melewati kamar Cakka langsung berhenti dan tersenyum melihat
adiknya sibuk merapikan diri. “Cakka, kau terlihat tampan sekali.”
Cakka
menoleh begitu menyadari keberadaan kakaknya. Ia menyempatkan diri untuk
tersenyum sejenak sebelum ia kembali sibuk merapikan rambutnya. Kakaknya tampak
sudah memakai terusan piyamanya.
“Kau ingin
kemana?” tanya Biru lagi sambil berdiri di samping adiknya. “Apa kau diajak
Ayah untuk ikut ke acaranya? Atau kau hanya memanfaatkan kesempatan untuk pergi
selagi Ayah tak ada?”
Cakka
tertawa kecil. “Ayah bilang temannya membawa teman baru untukku.”
“Oh ya?
Asyik sekali.” kata Biru. “Kalau begitu bersenang-senanglah. Sayang sekali Kak
Elang pulang terlambat karena ada jam kuliah tambahan. Kalau tidak, Ayah pasti
mengajaknya juga.”
Cakka
mengangguk setuju.
“Cakka,
apa kau sudah siap? Kita harus segera pergi!” tiba-tiba terdengar suara nyaring
Ayah dari luar kamar. Biru dan Cakka yang mendengarnya sampai kaget karenanya.
Biru
menoleh kembali ke arah adiknya. “Sepertinya kau sudah harus turun.”
Cakka
mengangguk. Dia memeluk kakaknya sejenak kemudian langsung keluar kamar untuk
berangkat bersama Ayah. Sementara Biru kembali ke dalam kamarnya. Begitu sampai
di lantai bawah, Cakka mendapati sekilas Ayah sudah siap dengan jas hitamnya.
Dia sedang berjalan menuju pintu depan.
“Cepatlah,
Ayahmu sudah tak sabar.” kata Bunda.
Cakka
menghampiri Bundanya sejenak dan mencium tangannya untuk pamit. Kemudian, ia
langsung menyusul Ayah ke pintu depan untuk memakai sepatu. Begitu selesai,
mereka langsung melesat menuju tempat pertemuan.
Selama di
perjalanan, Cakka maupun Ayah tidak membuka pembicaraan sama sekali. Mereka
tampak sibuk masing-masing seperti dua orang yang baru kenal. Ayah sibuk
konsentrasi menyetir sementara Cakka hanya melihat keluar jendela yang akhirnya
berujung terlelap dengan tangannya menopang kepalanya.
Begitu
sampai di tempat tujuan, Ayah langsung membangunkan Cakka yang tertidur pulas.
Setelah itu, mereka berdua keluar dari mobil dan masuk ke dalam restoran yang
cukup mewah. Tak perlu susah-susah untuk mencari teman Ayah. Begitu mereka
masuk, temannya itu tampak melambai-lambaikan tangannya kepada mereka. Tapi,
dia tampaknya sendirian. Ayah dan Cakka langsung menghampiri mereka.
“Apa
kabar, Aryo?” tanya Ayah kepada temannya itu sambil bersalaman.
“Seperti
yang kamu lihat.” kata teman Ayah yang bernama Aryo itu sambil tersenyum.
Kemudian, ia menoleh ke arah Cakka. “Ini anakmu yang kamu maksud waktu itu ya?”
“Benar,
ini anak bungsuku. Namanya Cakka. Tahun ini baru masuk kelas tujuh. Dia senang
sekali saat mengetahui bisa mendapat teman baru. Anakmu dimana, Ar?” tanya Ayah
sambil celingak-celinguk mencari keberadaan anaknya.
“Oh, dia
sedang bermain basket di lapangan bersama teman-temannya. Mungkin sebentar lagi
menyusul ke sini.” kata Aryo. Ia mengulurkan tangannya kepada Cakka. “Oh iya
sampai lupa, saya Om Aryo, teman Ayahmu.”
Cakka
mengangguk, menjabat tangannya sambil menjawab kalem. “Cakka.”
“Anak Om
juga memiliki anak laki-laki, tapi dia sudah kelas tiga SMP. Berbeda dua tahun
denganmu, Kka. Tapi, Om rasa kalian pasti bisa berteman dengan baik. Mungkin
kadang-kadang kalian bisa bermain basket bersama.” kata Aryo sambil tersenyum
kepada Cakka.
Mendengar
hal itu, Ayah buru-buru mengalihkan pembicaraan. “Sudah, sudah. Mari kita duduk
dulu baru berbicara. Tidak baik dilihat orang lain. Lebih baik kita pesan minum
terlebih dahulu.”
“Oh ya,
benar juga. Ayo silahkan duduk.” kata Aryo sambil tertawa.
Ayah,
Cakka dan Aryo segera duduk berhadapan dan langsung memanggil pelayan untuk
memesan minuman. Ayah memesan jus jeruk, Aryo memesan kopi susu dan Cakka cukup
memesan air putih. Setelah itu, mereka kembali mengobrol-ngobrol.
“Cakka,
kalau boleh Om tahu, hobimu apa?” tanya Aryo antusias.
“Basket,
Om.” kata Cakka sambil tersenyum.
“Wah, anak
Om pasti sangat senang memiliki teman basket baru.” kata Aryo. “Dari dulu anak
Om itu sangat antusias kalau diajak main maupun menonton basket. Kamu pasti
cocok dengannya.”
Cakka
hanya tersenyum mendengar ucapan Aryo tersebut. Sementara Ayah hanya diam
mendengar pembicaraan mereka. Mereka berdua tidak mengetahui kalau kedua
tangannya sudah mengepal keras di bawah meja karena emosinya mulai naik
mendengar jawaban santai Cakka. Padahal, dia tahu kalau Ayah tidak suka dirinya
menyukai basket. Ingin rasanya marah, tapi Ayah tidak punya pilihan lain. Dia
tidak mungkin memarahi Cakka di tempat umum seperti restoran ini. Bisa-bisa dia
dianggap sebagai orang yang tidak baik oleh pengunjung yang ada di sana.
“Silahkan
diminum.” tiba-tiba pelayan datang membawakan minuman pesanan mereka. Dengan
pelan-pelan ia menaruh minuman mereka di atas meja, kemudian membungkukkan
badannya dan pergi.
Aryo dan
Ayah langsung menyeruput jus mereka masing-masing. Sementara Cakka hanya diam
saja menatap mereka. Ia masih penasaran seperti apa anak dari teman Ayah itu.
Apalagi setelah mengetahui bahwa dia juga menyukai basket seperti dirinya.
Pasti sangat mengasyikkan.
“Papa!”
“Ah, itu
dia anak Om. Sini, Nak! Papa mau mengenalkanmu kepada teman Ayah dan anaknya.”
kata Aryo begitu mendengar suara itu. Cakka juga langsung menoleh.
Cakka dan
anak itu langsung bertatap-tatapan lama begitu mata mereka bertemu. Ternyata,
Cakka tidak mendapatkan teman baru. Cakka mengenali laki-laki yang baru saja
datang itu. Begitu juga sebaliknya. Kedua terdiam sejenak, membuat Ayah dan
Aryo menatap mereka dengan heran.
“Kalian
sudah saling kenal?” tanya Aryo penasaran.
“Tidak,
Pa.” kata anak itu sambil tersenyum paksa. Kemudian mengulurkan tangannya
kepada Cakka dan Ayah. “Hai, namaku Verrell Simonius Charell.”
Cakka
tersenyum, kemudian menjabat tangannya. Tapi dia tidak mengenalkan dirinya.
Tentu saja. Anak itu adalah anak yang mengajaknya bertanding tempo hari. Dia
pasti sudah tahu terlebih dahulu siapa namanya. Sementara Ayah menyambut
tangannya dan menepuk pundaknya sejenak. Baru setelah itu, Verrell duduk di
samping Aryo.
“Oh ya,
Rel, Cakka itu sangat suka dengan basket. Mungkin kapan-kapan kau bisa
mengajaknya bermain bersama di lapangan.” kata Aryo kepada anaknya.
“Oh ya?”
kata Verrell sambil tersenyum misterius.
“Ya, kau
juga pasti ingin bermain bersama Verrell bukan, Cakka?” tanya Aryo kepada
Cakka. Tapi, Cakka hanya tersenyum mendengarnya.
“Sudahlah,
lebih baik kita makan terlebih dahulu daripada kita terlalu lama berbicara.
Kita kan bertemu bukan untuk mengobrol saja. Tapi, untuk makan bersama juga.”
kata Ayah. Dia langsung segera memanggil pelayan dan memesan makanan. Sementara itu, tanpa sepengetahuan Cakka, Verrell tampak melirik Cakka
dengan tatapan yang tak dapat diartikan. Entah apa yang tengah mengisi
pikirannya sekarang, setelah mengetahui anak yang ingin dikenalkan Aryo adalah
Cakka.
TO BE CONTINUED...
Penasaran? Baca sampai tamat ya!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Makasih ya udah baca cerpenku. Silahkan tinggalkan komentar kamu ya.
Semua kritik dan saran aku terima. Pujian juga boleh :p