Kamis, 24 Juli 2014

Cerbung | Impian Bola Basket Part 7



“CRAG Team! CRAG Team! CRAG Team!”
Suasana lapangan basket sekolah waktu itu sangat ramai dengan sorakan-sorakan para murid yang sedang menyaksikan CRAG Team bertanding melawan beberapa anak basket yang dipilih langsung oleh Pak Jo. Jam istirahat yang biasanya ramai dengan anak-anak yang makan di kantin, kini berpindah ke lapangan karena rasa antusias mereka melihat aksi Cakka dan teman-temannya. Makanan yang telah mereka beli sampai mereka bawa ke sana.
“Berikan padaku, Yel!” Ray berseru nyaring ketika melihat temannya sedang kesusahan melewati para lawan yang sedang menghadangnya. Dengan cepat Gabriel menuruti Ray yang berdiri cukup jauh darinya.
“Bersiap, Kka!” seru Rio kepada Cakka yang masih di tengah lapangan. Sementara ia langsung mendekatkan posisinya dengan posisi Ray agar posisi amannya tetap terjaga. Lawan mereka kali ini bukanlah lawan main-main, walaupun mereka bukan anggota tim inti, mereka juga mahir dalam merebut bola.
“Kalian tidak akan bisa merebut bolaku!” Ray melakukan berbagai teknik mengecoh untuk menghindar lawan, kemudian melempar bola basketnya dengan cepat ke tangan Cakka begitu lawan terakhir yang menghadang mencoba merebut bolanya. Ray tersenyum dan berseru keras begitu Cakka menangkap bolanya. “Shoot!!
“Hup!” Cakka berlari dengan kencang menuju ring milik timnya dan melakukan slam dunk untuk mencetak angka. Begitu bola basket masuk dengan mulus ke dalam ring, semua murid yang menonton di sana langsung berteriak senang dan histeris. Begitu Cakka melepaskan pegangannya dari ring, ia langsung diserbu oleh para anggota tim inti. Mereka saling toss sejenak, kemudian langsung konsentrasi kembali dengan pertandingan.
“Ayo CRAG Team! Kejar skor lawan! Dua angka lagi!” Para siswi yang ada di sana dengan semangatnya berseru, seakan-akan memberikan energi lebih untuk para anggota CRAG Team untuk bertanding.
Ya, sejak tadi CRAG Team sangat total mengeluarkan tenaga mereka untuk segera mengejar angka karena mereka sempat tertinggal sembilan poin karena mereka terlalu lengah dalam menjaga bola. Untungnya mereka dapat mengejar sedikit demi sedikit. Sesuai dengan teriakan para supporter tadi, hanya tinggal dua angka lagi yang harus dikejar. Papan skor masih menunjukkan 19-21 untuk keunggulan tim lawan.
“Dua puluh detik lagi!” seru Pak Jo sekeras-kerasnya dari pinggir lapangan.
Cakka yang mengetahui hal itu langsung memberi instruksi kepada teman-temannya. “Yo! Berikan pada Gabriel! Ray harus shoot jarak jauh!”
“Tangkap, Yel!” Tanpa banyak bicara, Rio langsung mengoper bola basketnya ke arah Gabriel dan langsung menjaga lawan yang hendak menghadang jalan Gabriel menuju ring. Cakka juga melakukan hal yang sama untuk menjaga posisi aman Ray di tengah lapangan seiring Gabriel mendekat.
“Ray!” seru Gabriel sambil memberikan bola basket kepada Ray. Kemudian, Ray langsung melakukan tembakan tiga angka. Bola basket itu tidak langsung masuk dengan mulus, ia justru sibuk mengelilingi ring untuk beberapa saat. Semua yang ada di sana langsung berharap-harap cemas. Sebagian besar anak-anak yang menonton mengatupkan tangannya seolah memohon kepada bola tersebut untuk masuk, bahkan ada juga menutup matanya dan berdoa. Sementara para anggota basket yang ada di lapangan basket sibuk mengawasi bola tanpa berkedip. Penentuan menang dan kalah akan segera ditentukan oleh kemana bola itu akan berakhir. Mental dari ring atau justru masuk?
Ray menelan ludahnya menatap bola basket yang ia lempar. Ia tidak banyak berharap kepada bola basket itu. Faktanya pertandingan siang ini hanyalah untuk latihan. Baginya tidak masalah jika kalah saat latihan, asal saat pertandingan yang sesungguhnya nanti, CRAG Team akan menjadi pemenangnya. Tapi, tetap saja denyut jantungnya menjadi cepat dalam situasi tegang ini.
Cakka dan teman-temannya menghela nafas setelah bola basketnya memutuskan untuk menyingkir dari ring, bersamaan dengan terdengarnya sorakan-sorakan kembali dari anak-anak yang menonton. Namun, bukan sorakan bahagia. Mereka jelas tidak senang CRAG Team harus menerima kekalahan.
“Dengan ini dinyatakan bahwa tim Obiet memenangkan pertandingan hari ini!” seru Pak Jo dengan keras. “Terima kasih untuk para anak basket yang telah berjuang keras. Kalian yang kalah tidak perlu kecewa, masih banyak waktu untuk mengembangkan kemampuan!”
Tim lawan langsung meloncat-loncat girang begitu mendengar mereka telah menang melawan CRAG Team. Setelah itu, mereka langsung menghampiri Cakka dan teman-temannya yang masih tampak terdiam di tengah lapangan. Obiet, salah satu dari tim lawan mengulurkan tangannya kepada mereka.
“Ada apa?” tanya Ray menatap uluran tangan Obiet.
“Kalian hebat. Aku benar-benar terkejut dengan hasil pertandingan kali ini. Padahal, kalian adalah anggota basket yang paling mahir di sekolah.” katanya sambil tersenyum. “Kapan-kapan ayo kita bertanding bersama lagi.”
“Ya, tentu saja, Biet.” kata Gabriel tersenyum.
Semua anggota CRAG Team tersenyum senang mendengar ucapan Obiet. Kemudian, satu per satu menyalami Obiet. Tak lupa Obiet juga menepuk satu per satu pundak mereka. Persahabatan antar anak basket memang sangat hebat. Mereka memang rival saat bertanding, tapi setelah itu mereka tetaplah bersahabat satu sama lain.
“Aku beristirahat dulu. Kalian sebaiknya beristirahat juga. Kalian pasti lelah.” kata Obiet. Setelah Cakka dan teman-temannya mengangguk, Obiet langsung berlari menghampiri teman-temannya. Sementara Cakka dan teman-temannya beristirahat di pinggir lapangan. Barang-barang penting mereka terkumpul di salah satu bangku panjang yang ada di sana.
Begitu tiba, Ray dan Gabriel langsung menyambar botol minum mereka masing-masing dan meneguknya sampai setengah botol. Sementara Rio dan Cakka sibuk menghapus peluh yang sudah membasahi wajah mereka. Alvin hanya duduk sambil mengatur nafasnya, melepas kelelahan.
“Kau tahu, Ray, idemu tentang pertandingan ini sungguh hebat.” kata Alvin membuka pembicaraan. Benar, penggagas pertandingan saat jam istirahat hari ini adalah Ray. Dia sepertinya ingin menebus rasa tidak relanya kemarin saat kalah dengan Gabriel dengan pertandingan hari ini. Makanya, Cakka dan teman-temannya meminta bantuan Pak Jo untuk memanggil anak-anak basket yang menurutnya mahir. Dan karena pemanggilan anak-anak basket tersebut sampai di telinga banyak orang, semuanya langsung ikut menonton mereka bertanding.
“Tentu saja ini hebat. Tak ada yang lebih hebat daripada latihan tambahan untuk anak-anak basket.” kata Ray setelah selesai minum. “Lagipula, bagus juga untuk menghibur teman-teman kita, bukan?”
“Aku hampir melongo ketika melihat sebagian besar anak-anak membawa makanan mereka ke pinggir lapangan untuk menonton pertandingan.” kata Gabriel menambahkan setelah menelan air yang menggumpal di mulutnya. “Kurasa kita akan cepat terkenal.”
“Ah, kita ini anak basket. Bukan artis. Yang harus kita harapkan adalah menjadi pebasket yang baik, hebat dan disenangi banyak orang.” kata Rio. “Bukankah kita hanya mengincar NBL?”
Gabriel tertawa. “Benar sekali, Yo.”
Cakka hanya tersenyum mendengar celotehan teman-teman satu timnya. Kemudian, ia memasukkan kembali handuk kecilnya ke dalam tas dan segera meneguk air minum untuk menyegarkan tubuhnya. Ia benar-benar lelah setelah bertanding.
“Cakka...”
Cakka menoleh ketika mendengar suara seseorang memanggilnya. Di belakangnya berdiri beberapa siswi yang membawa beberapa makanan ringan di tangan mereka. Begitu dia menatap mereka, mereka langsung memberikan makanan ringan tersebut kepadanya. Salah satu dari mereka berseru, “Ini semua untukmu. Kau pasti lelah dari pertandingan tadi. Makanlah.”
“Walaupun kalian kalah, kami tetap mendukung CRAG Team.” yang lainnya ikut menambahkan. “Kalau kalian bertanding di sekolah lain, kami ingin menonton untuk mendukung kalian.”
Cakka tersenyum ramah. Tangannya pelan-pelan mengambil satu per satu makanan yang diberikan mereka, kemudian menaruh semua makanan tersebut di sampingnya. “Terima kasih. Kami akan melakukan yang terbaik.”
Para siswi tersebut tampak senang mendengar ucapan ramah Cakka. Kemudian, mereka segera pamit untuk ke kelas. Cakka hanya mengangguk dan menatap kepergian mereka dalam diam. Setelah itu, ia menoleh ke arah makanan yang tadi diberikan mereka. Sebenarnya dia sudah makan sedikit sebelum bertanding tadi, tapi rasanya ia lapar lagi karena lelah. Ia ambil satu bungkus makanan tersebut dan segera melahap isinya. Keripik udang yang dibelikan mereka enak juga.
“Ehem...” Ray tiba-tiba berdehem di tengah acara makan Cakka.
Cakka menoleh. Namun, dia tetap sibuk mengunyah.
“Duh, yang baru diberikan makanan dari penggemar. Sampai lupa kalau teman-temannya ada di sini. Kita juga lapar, Cakka!” kata Ray sambil nyengir menatap sahabatnya.
Cakka tersenyum mendengar ucapan Ray. “Mereka bukan penggemarku. Mereka pendukung CRAG Team. Jadi, makanan itu untuk kalian juga. Ambil saja kalau mau.”
Begitu selesai berbicara, teman-teman Cakka langsung berebutan mengambil beberapa bungkus makanan yang ada di samping Cakka. Mereka terlihat seperti anak kecil. Cakka sampai tertawa geli melihat kelakuan teman-temannya.

J L J

Seusai makan malam tadi, Cakka langsung membersihkan diri sehingga membuat Cakka benar-benar segar setelah dia selesai mandi sore. Hari ini Cakka memakai baju putih dan bawahan celana pendek hip hop army berwarna cokelat sebagai pakaian malamnya. Setelah mencuci muka, ia keluar dari kamar mandi dan hendak belajar untuk bersiap kalau-kalau ada ulangan mendadak. Tapi, niatnya harus tertunda ketika dia melihat Ayah sudah berdiri di ambang pintu. Beliau segera mengisyaratkan Cakka agar menghampirinya begitu Cakka menatapnya.
Cakka tersenyum kemudian langsung menuruti perintah Ayah. “Ada apa?”
“Apa kau sedang sibuk?” tanya Ayah. Cakka menggelengkan kepalanya.
“Ada seorang teman Ayah yang beberapa bulan ini kembali ke sini. Dia mengajak Ayah makan malam bersama besok. Ayah ingin mengajakmu ikut.” kata Ayah. “Teman Ayah itu akan mengajak anak laki-lakinya juga. Kau bisa mendapat teman baru. Bagaimana?”
Cakka tersenyum. “Baiklah, Yah. Aku akan ikut.”
Ayah tersenyum, kemudian mengacak-acak rambut Cakka sejenak sebelum akhirnya dia pergi meninggalkan kamar Cakka. Sementara Cakka yang merasa kaget dengan perlakuan Ayah barusan melirik ke arah rambutnya. Pelan-pelan ia pegang rambutnya yang sudah berantakan tersebut. Kemudian tersenyum manis. Senangnya bisa merasakan belaian Ayah lagi.
“Terima kasih, Yah.” kata Cakka sambil tersenyum. Kemudian, menutup pintu kamar dan mengeluarkan buku-buku pelajarannya. Dengan penuh semangat ia segera belajar sampai jam tidur tiba.

J L J

Sesuai dengan permintaan dan desakan Rio belakangan ini, Gabriel akhirnya menelepon Alvin agar dia bisa berkunjung ke rumahnya hari ini. Selagi mereka tidak di sekolah, mereka bisa berbicara baik-baik tentang hal yang sudah beberapa hari ini membebani pikiran mereka berdua. Untungnya, Alvin mempunyai pikiran yang sama, sehingga tanpa banyak basa-basi lagi, dia langsung berangkat menuju rumah si kembar itu.
Sekarang mereka menikmati suasana hening di kamar Gabriel dan Rio. Mereka sedang berpikir solusi apa yang baik untuk masalah ini. Dan bagaimana caranya mereka menyelesaikan masalah ini tanpa harus menghancurkan persahabatan mereka. Bagaimanapun juga, CRAG Team bisa dibilang tim andalan sekolah. Dan basket bukanlah individual. Mereka harus mempertahankan kerja sama dan kepercayaan satu sama lain. Mereka tidak boleh sampai mengecewakan.
“Kurasa dia sungguh-sungguh ingin menghancurkan kita, Yel.” kata Alvin setelah mendengarkan cerita Gabriel dan Rio tentang pikiran yang membebani mereka. Sekarang dia sedang berbaring di tempat tidur Gabriel. “Kalau tidak, untuk apa dia sampai mencari tahu tentang kapten baru kita. Mengajaknya tanding pula.”
Gabriel yang duduk di kursi mengangguk setuju. “Aku penasaran bagaimana hasil pertandingan itu. Cakka belum cerita soal pertemuannya dengan anak basket itu, kan?”
“Ya. Mungkin kita bisa bertanya kepada besok Senin. Aku yakin anak basket yang dimaksud Cakka itu Verrell.” kata Rio. “Kalau bukan dia, penghuni komplek Matahari mana lagi yang berani menantang Cakka?”
“Betul. Aku juga masih ingat apa yang terjadi dan apa katanya waktu dia masih satu sekolah dengan kita.” kata Gabriel. Ia menyandarkan tubuhnya di kursi. “Tapi, aku tidak menyangka bahwa dia benar-benar akan melakukannya.”
“Kalau begitu, bagaimana dengan Cakka dan Ray? Apa kita harus beritahu mereka tentang dia?” tanya Rio. Ia menoleh ke arah Alvin. “Bagaimana menurutmu?”
Alvin menggeleng. “Tidak, Yo. Cukup kita saja yang tahu. Masa lalu kita tidak ada urusannya dengan mereka. Walaupun sekarang kita satu tim, kita harus menyimpan tentang Verrell rapat-rapat. Kalau mereka memang harus tahu, baru kita cerita. Demi persahabatan kita.”
“Kau yakin mereka tidak akan marah?”
“Ya. Seharusnya mereka mengerti, Yo. Kalaupun nanti semuanya tidak berjalan sesuai dugaan kita, aku yakin Cakka bisa mengatasinya.” kata Alvin, kemudian segera bangkit untuk duduk.
“Kenapa kau begitu yakin?” tanya Gabriel heran.
Alvin menoleh ke arah Gabriel. “Entahlah. Yang jelas, semenjak aku mengenal Cakka sebagai temanku dan juga adik dari Biru, aku merasa bisa mempercayakan semuanya kepadanya.”
Gabriel dan Rio mengangguk. Kemudian, suasana kembali hening. Pikiran mereka kembali melayang kemana-mana. Sore itu benar-benar menjadi sore yang menggelisahkan bagi mereka. Tapi, yang dikatakan Alvin benar. Mereka jelas percaya kepada Cakka. Sikap tenang dan ramah Cakka selama ini membuat mereka yakin bahwa dia masuk ke dalam sekolah mereka karena takdir untuk mengubah semuanya.

J L J

Cakka tersenyum menatap cermin sambil merapikan rambutnya. Jam sudah menunjukkan angka lima dan ia harus segera bersiap-siap untuk pergi bersama Ayah, menemaninya makan malam bersama teman lamanya itu. Dan ia sangat puas dengan penampilannya sekarang. Baju kaus berkerah berwarna merah dan celana panjang jeans hitam sudah melekat di tubuhnya. Ditambah lagi rambutnya yang tersisir rapi membuatnya terlihat sangat keren.
Biru yang tak sengaja melewati kamar Cakka langsung berhenti dan tersenyum melihat adiknya sibuk merapikan diri. “Cakka, kau terlihat tampan sekali.”
Cakka menoleh begitu menyadari keberadaan kakaknya. Ia menyempatkan diri untuk tersenyum sejenak sebelum ia kembali sibuk merapikan rambutnya. Kakaknya tampak sudah memakai terusan piyamanya.
“Kau ingin kemana?” tanya Biru lagi sambil berdiri di samping adiknya. “Apa kau diajak Ayah untuk ikut ke acaranya? Atau kau hanya memanfaatkan kesempatan untuk pergi selagi Ayah tak ada?”
Cakka tertawa kecil. “Ayah bilang temannya membawa teman baru untukku.”
“Oh ya? Asyik sekali.” kata Biru. “Kalau begitu bersenang-senanglah. Sayang sekali Kak Elang pulang terlambat karena ada jam kuliah tambahan. Kalau tidak, Ayah pasti mengajaknya juga.”
Cakka mengangguk setuju.
“Cakka, apa kau sudah siap? Kita harus segera pergi!” tiba-tiba terdengar suara nyaring Ayah dari luar kamar. Biru dan Cakka yang mendengarnya sampai kaget karenanya.
Biru menoleh kembali ke arah adiknya. “Sepertinya kau sudah harus turun.”
Cakka mengangguk. Dia memeluk kakaknya sejenak kemudian langsung keluar kamar untuk berangkat bersama Ayah. Sementara Biru kembali ke dalam kamarnya. Begitu sampai di lantai bawah, Cakka mendapati sekilas Ayah sudah siap dengan jas hitamnya. Dia sedang berjalan menuju pintu depan.
“Cepatlah, Ayahmu sudah tak sabar.” kata Bunda.
Cakka menghampiri Bundanya sejenak dan mencium tangannya untuk pamit. Kemudian, ia langsung menyusul Ayah ke pintu depan untuk memakai sepatu. Begitu selesai, mereka langsung melesat menuju tempat pertemuan.
Selama di perjalanan, Cakka maupun Ayah tidak membuka pembicaraan sama sekali. Mereka tampak sibuk masing-masing seperti dua orang yang baru kenal. Ayah sibuk konsentrasi menyetir sementara Cakka hanya melihat keluar jendela yang akhirnya berujung terlelap dengan tangannya menopang kepalanya.
Begitu sampai di tempat tujuan, Ayah langsung membangunkan Cakka yang tertidur pulas. Setelah itu, mereka berdua keluar dari mobil dan masuk ke dalam restoran yang cukup mewah. Tak perlu susah-susah untuk mencari teman Ayah. Begitu mereka masuk, temannya itu tampak melambai-lambaikan tangannya kepada mereka. Tapi, dia tampaknya sendirian. Ayah dan Cakka langsung menghampiri mereka.
“Apa kabar, Aryo?” tanya Ayah kepada temannya itu sambil bersalaman.
“Seperti yang kamu lihat.” kata teman Ayah yang bernama Aryo itu sambil tersenyum. Kemudian, ia menoleh ke arah Cakka. “Ini anakmu yang kamu maksud waktu itu ya?”
“Benar, ini anak bungsuku. Namanya Cakka. Tahun ini baru masuk kelas tujuh. Dia senang sekali saat mengetahui bisa mendapat teman baru. Anakmu dimana, Ar?” tanya Ayah sambil celingak-celinguk mencari keberadaan anaknya.
“Oh, dia sedang bermain basket di lapangan bersama teman-temannya. Mungkin sebentar lagi menyusul ke sini.” kata Aryo. Ia mengulurkan tangannya kepada Cakka. “Oh iya sampai lupa, saya Om Aryo, teman Ayahmu.”
Cakka mengangguk, menjabat tangannya sambil menjawab kalem. “Cakka.”
“Anak Om juga memiliki anak laki-laki, tapi dia sudah kelas tiga SMP. Berbeda dua tahun denganmu, Kka. Tapi, Om rasa kalian pasti bisa berteman dengan baik. Mungkin kadang-kadang kalian bisa bermain basket bersama.” kata Aryo sambil tersenyum kepada Cakka.
Mendengar hal itu, Ayah buru-buru mengalihkan pembicaraan. “Sudah, sudah. Mari kita duduk dulu baru berbicara. Tidak baik dilihat orang lain. Lebih baik kita pesan minum terlebih dahulu.”
“Oh ya, benar juga. Ayo silahkan duduk.” kata Aryo sambil tertawa.
Ayah, Cakka dan Aryo segera duduk berhadapan dan langsung memanggil pelayan untuk memesan minuman. Ayah memesan jus jeruk, Aryo memesan kopi susu dan Cakka cukup memesan air putih. Setelah itu, mereka kembali mengobrol-ngobrol.
“Cakka, kalau boleh Om tahu, hobimu apa?” tanya Aryo antusias.
“Basket, Om.” kata Cakka sambil tersenyum.
“Wah, anak Om pasti sangat senang memiliki teman basket baru.” kata Aryo. “Dari dulu anak Om itu sangat antusias kalau diajak main maupun menonton basket. Kamu pasti cocok dengannya.”
Cakka hanya tersenyum mendengar ucapan Aryo tersebut. Sementara Ayah hanya diam mendengar pembicaraan mereka. Mereka berdua tidak mengetahui kalau kedua tangannya sudah mengepal keras di bawah meja karena emosinya mulai naik mendengar jawaban santai Cakka. Padahal, dia tahu kalau Ayah tidak suka dirinya menyukai basket. Ingin rasanya marah, tapi Ayah tidak punya pilihan lain. Dia tidak mungkin memarahi Cakka di tempat umum seperti restoran ini. Bisa-bisa dia dianggap sebagai orang yang tidak baik oleh pengunjung yang ada di sana.
“Silahkan diminum.” tiba-tiba pelayan datang membawakan minuman pesanan mereka. Dengan pelan-pelan ia menaruh minuman mereka di atas meja, kemudian membungkukkan badannya dan pergi.
Aryo dan Ayah langsung menyeruput jus mereka masing-masing. Sementara Cakka hanya diam saja menatap mereka. Ia masih penasaran seperti apa anak dari teman Ayah itu. Apalagi setelah mengetahui bahwa dia juga menyukai basket seperti dirinya. Pasti sangat mengasyikkan.
“Papa!”
“Ah, itu dia anak Om. Sini, Nak! Papa mau mengenalkanmu kepada teman Ayah dan anaknya.” kata Aryo begitu mendengar suara itu. Cakka juga langsung menoleh.
Cakka dan anak itu langsung bertatap-tatapan lama begitu mata mereka bertemu. Ternyata, Cakka tidak mendapatkan teman baru. Cakka mengenali laki-laki yang baru saja datang itu. Begitu juga sebaliknya. Kedua terdiam sejenak, membuat Ayah dan Aryo menatap mereka dengan heran.
“Kalian sudah saling kenal?” tanya Aryo penasaran.
“Tidak, Pa.” kata anak itu sambil tersenyum paksa. Kemudian mengulurkan tangannya kepada Cakka dan Ayah. “Hai, namaku Verrell Simonius Charell.”
Cakka tersenyum, kemudian menjabat tangannya. Tapi dia tidak mengenalkan dirinya. Tentu saja. Anak itu adalah anak yang mengajaknya bertanding tempo hari. Dia pasti sudah tahu terlebih dahulu siapa namanya. Sementara Ayah menyambut tangannya dan menepuk pundaknya sejenak. Baru setelah itu, Verrell duduk di samping Aryo.
“Oh ya, Rel, Cakka itu sangat suka dengan basket. Mungkin kapan-kapan kau bisa mengajaknya bermain bersama di lapangan.” kata Aryo kepada anaknya.
“Oh ya?” kata Verrell sambil tersenyum misterius.
“Ya, kau juga pasti ingin bermain bersama Verrell bukan, Cakka?” tanya Aryo kepada Cakka. Tapi, Cakka hanya tersenyum mendengarnya.
“Sudahlah, lebih baik kita makan terlebih dahulu daripada kita terlalu lama berbicara. Kita kan bertemu bukan untuk mengobrol saja. Tapi, untuk makan bersama juga.” kata Ayah. Dia langsung segera memanggil pelayan dan memesan makanan. Sementara itu, tanpa sepengetahuan Cakka, Verrell tampak melirik Cakka dengan tatapan yang tak dapat diartikan. Entah apa yang tengah mengisi pikirannya sekarang, setelah mengetahui anak yang ingin dikenalkan Aryo adalah Cakka.


TO BE CONTINUED...

Penasaran? Baca sampai tamat ya!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Makasih ya udah baca cerpenku. Silahkan tinggalkan komentar kamu ya.
Semua kritik dan saran aku terima. Pujian juga boleh :p