Kamis, 24 Juli 2014

Cerbung | Impian Bola Basket Part 6



Seperti biasanya, jam istirahat jelas sangat ramai. Dan kali ini Cakka dan teman-temannya tentu saja tidak akan mengalah jika kantin sudah penuh karena mereka akan makan bersama tim basket putri juga. Kalau dijumlahkan, mereka bersepuluh. Makanya, mereka cepat-cepat pergi ke kantin sebelum kantin dihuni banyak orang, kemudian langsung menduduki dua meja kantin. Cakka dan Ray menduduki satu meja, Gabriel, Rio dan Alvin menduduki meja di sebelahnya.

"Oke. Sekarang aku akan memesankan makanan dan minuman kalian. Es teh saja cukup bukan?" tanya Ray yang langsung diangguki oleh keempat temannya. Ia langsung pergi menuju tempat penjual mi ayam untuk memesan makanan.
"Kka, sebaiknya kau saja yang mengatakan kepada kakakmu dan teman-temannya untuk bergabung di sini." kata Gabriel. "Kau belum mengatakan apa-apa, bukan? Biar aku yang menjaga mejamu."
Cakka mengangguk, kemudian langsung mencari kakaknya sementara Gabriel menjaga mejanya. Ia segera menuju ke kelas sembilan karena wujud kakaknya belum tampak di kantin. Begitu sampai di kelas sembilan, Cakka melihat kakaknya masih sibuk membereskan barang-barangnya. Ia langsung tersenyum begitu mendapati adiknya datang. Dia dan teman-temannya langsung menghampiri Cakka di depan kelas.
"Ada apa, Kka?" tanya Biru sambil mengacak rambut adiknya sejenak.
"Teman-temanku mengajak kalian berlima makan bersama di kantin. Traktiran Ray." kata Cakka sambil tersenyum. "Mereka sudah ada di kantin, Ray sedang memesan makanan kami, yang lainnya menjaga meja untuk semuanya. Bagaimana?"
"Tentu saja kita mau." kata Alia. "Kapan lagi bisa dapat makan gratis! Benar tidak?"
Teman-temannya mengangguk setuju serempak. Mereka tampak antusias dengan tawaran Cakka. Karena itu, mereka langsung pergi menuju kantin bersama. Begitu mereka sampai, ternyata makanan sudah datang. Ray segera memesankan lima porsi mi ayam lagi untuk anggota tim basket putri. Kemudian, mereka menunggu di meja masing-masing. Pembagiannya adalah Cakka, Ray, Biru, Alia dan Rika satu meja. Sementara yang lainnya bergabung dengan meja Rio dan Alvin. Setelah semua makanan datang, baru mereka menyantapnya bersama-sama.
"Terima kasih traktirannya, Ray. Tapi, dalam rangka apa kau berbaik hati?" tanya Rika di tengah-tengah acara makan.
"Dia bertanding dengan Gabriel kemarin. Kekalahannya mengharuskan dia mentraktir teman-temannya. Tapi, aku tidak tahu ternyata kita juga diundang." kata Biru sambil tertawa. "Untung saja aku tidak membawa bekal.”
"Benarkah? Sering-sering saja." kata Karin sambil tertawa.
"Enak saja kau, Kak!" kata Ray melotot tajam ke arah kakak kelasnya di meja sebelah itu. Tapi, Karin tertawa saja melihatnya.
"Omong-omong, Kka, apa nanti bisa menemaniku ke toko buku? Mungkin sekitar jam tiga." tanya Biru. "Kau tidak kemana-mana, kan?"
"Aku mempunyai janji dengan orang lain, Kak." kata Cakka.
"Siapa?"
"Aku tidak tahu namanya. Waktu itu dia menemuiku di depan sekolah. Dia memintaku menemuinya di lapangan komplek matahari hari ini, jam tiga sore. Katanya dia juga anak basket. Mungkin dia ingin mengajakku bertanding." kata Cakka.
"Anak basket?" kata Biru. Wajahnya langsung berubah pucat. "Kka, kau kan tahu Ayah akan ada di rumah selama seminggu ini. Aku tidak ingin kau dimarahi Ayah gara-gara kau pergi untuk bermain basket."
Cakka tersenyum. "Tenang saja."
Suasana jam makan mereka menjadi hening seketika. Mereka tampak sibuk dengan pikiran masing-masing karena penasaran dengan anak yang ciri-cirinya disebutkan Cakka tersebut. Alvin mengerutkan dahinya, merasakan sesuatu yang familiar dengan kalimat Cakka, Gabriel dan Rio yang berbeda meja langsung bertatapan. Biru dan teman-temannya yang sudah tahu masalah keluarga Cakka dan Biru juga terlihat gelisah. Sementara Ray menatap satu-satu teman-temannya, merasa aneh. Tapi, Cakka sendiri terlihat yakin dengan pikirannya.

J L J

Seorang laki-laki tampak melirik jam tangannya di lapangan. Jam tiga lewat. Ia sedang menunggu seseorang. Dan sepertinya dia terlambat, karena dia sudah mengatakan dengan tegas untuk menemuinya di sini tepat jam tiga. Benar-benar seperti dugaannya.
Dari pertama dia melihat kapten basket baru di mantan sekolahnya itu, dia sudah yakin kalau dia hanyalah anak ingusan yang tak memiliki kemampuan hebat seperti dirinya. Apalagi setelah ia mengetahui bahwa anak baru itu ternyata anak kelas tujuh! Benar-benar masih polos. Baru ditantang pribadi saja, dia sudah tak berani datang. Apalagi kalau disuruh memimpin tim basket yang akan melawan banyak lawan dan tekanan berat. Dia yakin tim basket tersebut akan hancur.
“Sudah kuduga. Dia tak pantas jadi kapten basket.” katanya sambil tersenyum miring. Kemudian, ia langsung segera pergi meninggalkan lapangan. Hendak pulang. Namun, beberapa saat kemudian, langkahnya terhenti karena mendengar suara seseorang.
"Kau menungguku?"
Laki-laki yang semula hendak meninggalkan lapangan langsung menghentikan langkahnya dan berbalik badan. Ia mendapati seseorang yang sudah ditunggunya dari tadi telah berdiri di hadapannya dengan baju santai. Sama sekali tidak tampak seperti orang yang sudah siap diajak bermain basket. Ia tersenyum sinis menatap orang tersebut. “Ternyata kau tidak kabur, Chase Karayne.”

Cakka terdiam sejenak karena kaget mendengar namanya disebut. Padahal, mereka belum saling berkenalan. Namun, beberapa saat kemudian, dia kembali tersenyum mendengarnya. “Untuk apa aku kabur?”

“Karena kau memang tidak pantas jadi kapten basket.” katanya lagi. Ia berjalan mendekati orang tersebut dan menatapnya dari ujung rambut sampai ujung kaki. “Huh, tampaknya kau memang tak berani melawanku. Kau bahkan tak memakai baju basket.”
“Maaf, tapi aku hanya ingin menunda pertandingan.” kata Cakka.
“Hanya pecundang yang melakukan hal seperti itu terhadap suatu tantangan.” kata laki-laki itu. “Tapi, kurasa kau memang salah satu dari mereka. Kau butuh waktu untuk latihan sebelum melawanku, bukan? Loser.”
Cakka hanya tersenyum mendengar hinaannya. Semua orang juga tahu kalau kata-kata seperti itu hanya keluar dari mulut orang yang memiliki rasa dengki dan iri kepada orang lain. Dan Cakka tidak pernah merasa kata-kata seperti itu perlu jawaban. Karena itu, tanpa banyak bicara lagi, ia langsung berbalik badan untuk segera meninggalkan lapangan karena merasa urusannya sudah selesai. Tapi, laki-laki itu menahan langkahnya dengan sebuah teriakan.
“Verrell Simonius Charell.” Seru laki-laki itu dengan nyaring. “Kapten basket SMPN 1.”
Cakka hanya diam mendengar ucapan itu. Entah apa maksudnya dia mengucapkan kata-kata itu. Ia menoleh kembali ke arah laki-laki tersebut dan tersenyum sejenak. “Salam kenal.”
Setelah itu, Cakka benar-benar pergi dari lapangan itu untuk segera pulang sebelum Ayah mengetahui dia pergi keluar rumah di saat jam tiga sudah berlalu. Sementara Verrell, laki-laki itu, tetap berdiri di tempatnya menatap kepergian juniornya itu. Ia tersenyum sinis melihat punggungnya yang semakin menjauh. “Mari kita lihat apakah sikap tenangmu itu bisa melawanku, Chase Karayne.”

J L J

Gabriel dan Rio langsung masuk ke kamar begitu selesai melahap makan malam. Seharusnya mereka mengerjakan tugas sekolah seperti jadwal mereka sehari-hari, namun tampaknya hari ini mereka sama sekali tidak mempunyai niat untuk itu. Mereka justru sibuk dengan pikiran masing-masing. Gabriel berbaring di tempat tidurnya sambil menatap langit-langit. Sementara Rio hanya diam di kursi belajarnya, menghadap ke arah kakak kembarnya.
Rio menghela napasnya. “Kau memikirkan perkataan Cakka, Yel?”
Gabriel menoleh ke arah Rio. “Ya. Kau juga mengkhawatirkannya, bukan?”
Rio mengangguk. Wajahnya menunjukkan raut wajah cemas. “Kurasa dia benar-benar serius dengan ucapannya waktu itu. Padahal, kejadian itu sudah berlalu cukup lama.”
“Ah, kurasa satu tahun bukan waktu yang cukup lama untuknya, Yo.” kata Gabriel. “Tapi, aku tidak habis pikir, dulu dia yang menyebabkan semuanya terjadi. Tapi, kita yang disalahkan!”
“Lalu, bagaimana dengan Cakka? Dia tidak tahu apa-apa tentang hal ini.”
Gabriel diam. Ia menunduk. Benar, teman baru mereka tersebut benar-benar tidak tahu kejadian-kejadian yang terjadi di masa lalu. Gabriel jelas tidak mau dia juga sampai terlibat karena dia telah menjadi bagian dari mereka.
“Yel?” panggil Rio pelan, karena Gabriel justru melamun mendengar pertanyaannya.
Gabriel mengangkat kepalanya kembali. “Aku yakin Cakka bisa mengalahkan dia, Yo. Kau bukannya tidak tahu bagaimana tingginya kemampuan Cakka dalam olahraga basket. Semoga saja tidak ada masalah lagi setelah ini. Atau semuanya akan berantakan.”
“Ya, kau ingat bukan, apa katanya waktu itu?” tanya Rio.
Gabriel mengangguk. Pikirannya melayang menuju saat-saat mereka baru saja baru masuk sekolah. Saat mereka baru saja pulang dari pertandingan di sekolah. Waktu itu, mereka adalah anggota basket yang pulang paling terakhir, sehingga sekolah sepi. Dan dia tiba-tiba muncul di depan sekolah.

J L J

“Well, well, ternyata kalian berdua juga masih ada di sini.”
Seseorang tiba-tiba menghampiri Gabriel dan Rio ketika mereka akan segera pulang ke rumah. Mereka berdua menghentikan langkah mereka begitu mendengar suara tersebut. Suara itu jelas tak asing bagi mereka. Itu adalah sebuah suara orang yang mereka kenal. Namun, mereka tak menyangka dia akan datang menemui mereka. Walaupun teman lama, tapi mereka jelas tidak ingin bertemu dengannya lagi setelah dia pindah sekolah.
“Kau...” Gabriel dan Rio hampir bersamaan bergumam menatap laki-laki yang tengah menghampiri mereka.
“Kenapa? Kaget?” tanya orang itu sambil tersenyum sinis. “Gabriel dan Mario Astroken. Ternyata, setelah aku pergi dari sekolah ini, kalian justru depresi karena tak memiliki kapten basket yang handal sepertiku.”
Gabriel diam mendengar perkataannya. Ia berusaha menahan emosinya dengan mengepalkan tangannya kuat-kuat. Sementara Rio menatap orang itu dengan tajam. Ternyata, orang itu masih tetap menyebalkan seperti dulu.
“Apa maumu?” kata Rio dengan nada yang datar.
“Oh, tidak. Aku hanya ingin melihat kapten basket jelek seperti apa yang memimpin tim basket kita.” katanya lagi. “Aku yakin dia tidak memiliki kemampuan sepertiku.”
“Oh ya, memang. Kapten basket kita yang sekarang justru JAUH LEBIH BAIK daripada kau, manusia egois!” kata Gabriel nyaring. Ia benar-benar emosi menghadapi manusia macam laki-laki itu.
Laki-laki itu tersenyum sinis. “Baik, kita lihat apakah ucapanmu benar nanti. Aku yakin tim basket kalian jelas akan kalah dari tim basketku! Lihat saja! Hahaha...”
Laki-laki itu segera meninggalkan Gabriel dan Rio sambil tertawa meremehkan. Sementara Gabriel masih menatapnya dengan kesal. Rio yang berada di sampingnya langsung menepuk pundaknya pelan. “Sudahlah, Yel. Dia memang tidak pernah berubah. Ayo kita pulang.”
Gabriel mengangguk, kemudian mereka langsung meninggalkan sekolah.

J L J

“Aku benar-benar kesal dengan ucapannya waktu itu.” kata Gabriel. Emosinya mulai naik lagi karena mengingat kejadian menyebalkan waktu itu.
“Ya, aku juga. Tapi, tak ada gunanya kita emosi. Dia akan semakin senang melihat kita putus asa.” kata Rio.
Gabriel menghela nafasnya, berusaha tenang, kemudian mengangguk mengiyakan ucapan Rio. “Ya, aku tahu kau benar.”
“Tapi, Yel, kita belum lama mengenal Cakka dan kakaknya. Kau dengar apa yang dikatakan Kak Biru tadi saat jam istirahat?” tanya Rio. “Aku penasaran dengan kata-katanya tentang ketahuan Ayah pergi bermain basket. Jangan-jangan selama ini mereka bermain basket tanpa persetujuan orang tua.”
“Ah, itu bukan urusan kita, Yo. Cakka pasti bisa mengatasinya sendiri.” kata Gabriel. “Aku justru lebih khawatir tentang mantan kapten basket kita itu.”
“Dia pasti mencari data tim basket dari web sekolah kita.” kata Rio. Ia segera menopang dagunya dengan kedua tangannya. “Yel, kurasa Alvin juga harus tahu tentang hal ini. Dia pasti juga sudah tahu siapa yang mengajak Cakka ke lapangan itu.”
Gabriel diam, ia menghela nafasnya gelisah. “Entahlah, Yo. Aku tidak yakin.”
Rio menatap kakaknya diam. Kemudian, dia langsung meraih tas sekolahnya dan sibuk membongkar isinya. Ia mengambil buku agenda sekolahnya dan segera membaca tugas-tugas yang perlu dikerjakan hari ini. Beberapa saat kemudian, dia langsung mengambil beberapa buku dari dalam tas dan menaruhnya di atas meja. “Lebih baik kita selesaikan tugas sekolah dulu. Ini lebih penting.”
“Ah ya, benar juga. Bisa gawat kalau tidak selesai.” Gabriel langsung beranjak dari tempat tidurnya dan segera melakukan hal yang sama dengan Rio. Dia menaruh buku-bukunya di meja dan mengerjakan tugas di samping Rio.

J L J

Biru sedang menyeduh teh di dapur ketika Bunda menghampirinya. Saat itu, Biru benar-benar butuh penyegaran. Hari-hari sekolahnya mulai terasa memusingkan setelah banyaknya tugas dan juga masalah-masalah yang harus segera ia atasi. Terlebih masalah Cakka. Sebentar lagi Ayah pulang, tapi Cakka belum muncul juga. Padahal, tadi dia sudah berjanji hanya akan keluar sebentar untuk membatalkan perjanjian dengan anak basket yang tak ia kenal itu.
“Kau memikirkan Cakka, Bi?” tanya Bunda sambil tersenyum ketika ia sudah ada di samping putrinya.
Biru menoleh begitu mendengar suara Bunda. Kemudian, ia mengangguk. “Aku hanya takut Ayah kembali marah dengan kita semua. Selama ini Cakka hanya ingin mengejar cita-citanya, dia begitu senang dengan olahraga basket. Dia juga bisa bahagia karena memiliki banyak teman dari sana. Seharusnya dia tidak harus menempuh semua ini.”
“Iya, Bunda mengerti maksudmu, Bi.” kata Bunda sambil tersenyum.
“Bunda sudah bertanya kepada Ayah tentang hal ini?”
Bunda mengangguk. “Bunda sudah berusaha. Tapi, Ayah tidak mau menceritakan sebenarnya apa yang terjadi. Dia hanya berkata kalau basket hanya bisa mengancam nyawa kalian.”
Biru menghela nafasnya lelah. Lagi-lagi jawaban tidak jelas.
Bunda tersenyum. “Ayah kalian tidak bermaksud buruk. Bersabarlah. Nanti Bunda pasti akan berusaha membujuknya kembali untuk meringankan peraturannya. Bunda tahu kalian sangat senang dengan basket.”
Biru mengangguk. Ia tersenyum. “Terima kasih, Bunda.”
Bunda tersenyum mendengarkan penuturan Biru, kemudian segera mengambil cangkir baru untuk membantu putrinya tersebut menyeduh teh. Biru yang menyadari gerak-gerik Bunda langsung menatapnya dengan dahi berkerut. “Teh untuk siapa, Bunda?”
“Ayah. Dia pasti sebentar lagi pulang.” kata Bunda sambil tersenyum.
Biru menoleh ke arah jam dinding yang berada di dapur. Benar, jam sudah menunjukkan jam empat sore. Itu artinya Ayah pasti sudah dalam perjalanan pulang. Perjalanan dari kantor menuju rumah memakan sekitar setengah jam. Saat Ayah tiba nanti, ia harus menyiapkan mental untuk menjawab semua pertanyaan Ayah seperti kemarin. Ia menghela nafasnya, membuang semua kekhawatiran yang ia rasakan.
“Kau tak perlu khawatir, semuanya pasti akan baik-baik saja, Bi.” kata Bunda sambil menepuk-nepuk pelan punggung Biru. “Ayah tidak akan sejahat yang kau pikirkan.”
Biru menghela nafas sekali lagi, kemudian menghadap ke arah Bunda. “Ya, aku sangat berharap Bunda benar. Aku tidak tahu lagi apa yang akan terjadi jika Ayah benar-benar meledak terhadap kami.”
“Walaupun akhirnya nanti Ayah meledak, kita masih mempunyai Bunda yang baik hati.” Tiba-tiba Elang masuk ke dalam dapur dan ikut dalam pembicaraan. Kemeja kotak-kotak yang ia pakai untuk kuliah tadi siang masih melekat di tubuhnya.
Biru dan Bunda segera menoleh melihat kehadiran Elang. Biru tersenyum mendengar ucapannya. “Sejak kapan kau di sini? Kau diam-diam mendengar pembicaraan kami. Kau tahu itu tidak baik, Kak.”
“Aku baru saja pulang dan berniat untuk mengambil minum. Aku tidak sengaja mendengar kalian berbicara.” kata Elang sambil tertawa. “Tapi, aku benar, bukan? Walaupun kita memiliki Ayah yang tegas, kita juga memiliki Bunda yang sangat menyayangi kita.”
“Tentu saja. Aku sangat menyayangi Bunda.” kata Biru langsung memeluk Bunda dari samping. “Sebenarnya, aku penasaran bagaimana caranya Ayah yang tegas seperti Ayah kita mendapatkan hati Bunda dulu.”
“Ah, zaman itu sudah lama sekali. Aku berani jamin sebelum Ayah dan Bunda menikah, Ayah sangat baik kepada Bunda. Zaman kita dan zaman mereka  sudah sangat berbeda, Bi.”
“Aduh, kalian berbicara sembarangan. Sudah, lebih baik kalian mandi dulu. Sebentar lagi Cakka dan Ayah pasti tiba di rumah, kita akan langsung makan malam.” kata Bunda sambil tertawa gugup. Kedua pipinya memerah mendengarkan pembicaraan anak-anaknya.
Elang dan Biru tertawa melihat wajah Bunda yang memerah. Kemudian, mereka langsung pamit untuk ke kamar. Tak lupa Biru juga membawa teh yang sudah ia buat ke dalam kamar. Setelah mandi ia akan meminumnya. Dapur kembali sepi begitu mereka meninggalkan Bunda sendiri di sana. Sambil melamun, Bunda melanjutkan aktivitasnya.
Benar juga, Elang dan Biru mengingatkannya pada perlakuan Ayah pada zaman dahulu kala. Ketika mereka masih remaja seperti anak-anaknya, Ayah sama sekali tidak memiliki sifat tegas yang berlebihan seperti sekarang. Dia sangat baik kepada siapapun. Dari pembicaraan Elang dan Biru tersebut, Bunda menjadi semakin yakin kalau Ayah pasti menyembunyikan alasan tertentu mengapa dia membuat peraturan yang begitu ketat untuk ketiga anak mereka. Mungkin saja Ayah belum siap bercerita.

TO BE CONTINUED...
Penasaran? Baca sampai tamat ya!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Makasih ya udah baca cerpenku. Silahkan tinggalkan komentar kamu ya.
Semua kritik dan saran aku terima. Pujian juga boleh :p