Seperti
biasanya, jam istirahat jelas sangat ramai. Dan kali ini Cakka dan
teman-temannya tentu saja tidak akan mengalah jika kantin sudah penuh karena
mereka akan makan bersama tim basket putri juga. Kalau dijumlahkan, mereka
bersepuluh. Makanya, mereka cepat-cepat pergi ke kantin sebelum kantin dihuni
banyak orang, kemudian langsung menduduki dua meja kantin. Cakka dan Ray
menduduki satu meja, Gabriel, Rio dan Alvin menduduki meja di sebelahnya.
"Oke.
Sekarang aku akan memesankan makanan dan minuman kalian. Es teh saja cukup
bukan?" tanya Ray yang langsung diangguki oleh keempat temannya. Ia
langsung pergi menuju tempat penjual mi ayam untuk memesan makanan.
"Kka,
sebaiknya kau saja yang mengatakan kepada kakakmu dan teman-temannya untuk
bergabung di sini." kata Gabriel. "Kau belum mengatakan apa-apa,
bukan? Biar aku yang menjaga mejamu."
Cakka
mengangguk, kemudian langsung mencari kakaknya sementara Gabriel menjaga
mejanya. Ia segera menuju ke kelas sembilan karena wujud kakaknya belum tampak
di kantin. Begitu sampai di kelas sembilan, Cakka melihat kakaknya masih sibuk
membereskan barang-barangnya. Ia langsung tersenyum begitu mendapati adiknya
datang. Dia dan teman-temannya langsung menghampiri Cakka di depan kelas.
"Ada
apa, Kka?" tanya Biru sambil mengacak rambut adiknya sejenak.
"Teman-temanku
mengajak kalian berlima makan bersama di kantin. Traktiran Ray." kata
Cakka sambil tersenyum. "Mereka sudah ada di kantin, Ray sedang memesan
makanan kami, yang lainnya menjaga meja untuk semuanya. Bagaimana?"
"Tentu
saja kita mau." kata Alia. "Kapan lagi bisa dapat makan gratis! Benar
tidak?"
Teman-temannya
mengangguk setuju serempak. Mereka tampak antusias dengan tawaran Cakka. Karena
itu, mereka langsung pergi menuju kantin bersama. Begitu mereka sampai,
ternyata makanan sudah datang. Ray segera memesankan lima porsi mi ayam lagi
untuk anggota tim basket putri. Kemudian, mereka menunggu di meja
masing-masing. Pembagiannya adalah Cakka, Ray, Biru, Alia dan Rika satu meja.
Sementara yang lainnya bergabung dengan meja Rio dan Alvin. Setelah semua makanan
datang, baru mereka menyantapnya bersama-sama.
"Terima
kasih traktirannya, Ray. Tapi, dalam rangka apa kau berbaik hati?" tanya
Rika di tengah-tengah acara makan.
"Dia
bertanding dengan Gabriel kemarin. Kekalahannya mengharuskan dia mentraktir
teman-temannya. Tapi, aku tidak tahu ternyata kita juga diundang." kata
Biru sambil tertawa. "Untung saja aku tidak membawa bekal.”
"Benarkah?
Sering-sering saja." kata Karin sambil tertawa.
"Enak
saja kau, Kak!" kata Ray melotot tajam ke arah kakak kelasnya di meja
sebelah itu. Tapi, Karin tertawa saja melihatnya.
"Omong-omong,
Kka, apa nanti bisa menemaniku ke toko buku? Mungkin sekitar jam tiga."
tanya Biru. "Kau tidak kemana-mana, kan?"
"Aku
mempunyai janji dengan orang lain, Kak." kata Cakka.
"Siapa?"
"Aku
tidak tahu namanya. Waktu itu dia menemuiku di depan sekolah. Dia memintaku
menemuinya di lapangan komplek matahari hari ini, jam tiga sore. Katanya dia
juga anak basket. Mungkin dia ingin mengajakku bertanding." kata Cakka.
"Anak
basket?" kata Biru. Wajahnya langsung berubah pucat. "Kka, kau kan
tahu Ayah akan ada di rumah selama seminggu ini. Aku tidak ingin kau dimarahi
Ayah gara-gara kau pergi untuk bermain basket."
Cakka
tersenyum. "Tenang saja."
Suasana
jam makan mereka menjadi hening seketika. Mereka tampak sibuk dengan pikiran
masing-masing karena penasaran dengan anak yang ciri-cirinya disebutkan Cakka
tersebut. Alvin mengerutkan dahinya, merasakan sesuatu yang familiar dengan
kalimat Cakka, Gabriel dan Rio yang berbeda meja langsung bertatapan. Biru dan
teman-temannya yang sudah tahu masalah keluarga Cakka dan Biru juga terlihat
gelisah. Sementara Ray menatap satu-satu teman-temannya, merasa aneh. Tapi,
Cakka sendiri terlihat yakin dengan pikirannya.
J L J
Seorang
laki-laki tampak melirik jam tangannya di lapangan. Jam tiga lewat. Ia sedang
menunggu seseorang. Dan sepertinya dia terlambat, karena dia sudah mengatakan
dengan tegas untuk menemuinya di sini tepat jam tiga. Benar-benar seperti
dugaannya.
Dari
pertama dia melihat kapten basket baru di mantan sekolahnya itu, dia sudah
yakin kalau dia hanyalah anak ingusan yang tak memiliki kemampuan hebat seperti
dirinya. Apalagi setelah ia mengetahui bahwa anak baru itu ternyata anak kelas
tujuh! Benar-benar masih polos. Baru ditantang pribadi saja, dia sudah tak
berani datang. Apalagi kalau disuruh memimpin tim basket yang akan melawan
banyak lawan dan tekanan berat. Dia yakin tim basket tersebut akan hancur.
“Sudah
kuduga. Dia tak pantas jadi kapten basket.” katanya sambil tersenyum miring.
Kemudian, ia langsung segera pergi meninggalkan lapangan. Hendak pulang. Namun,
beberapa saat kemudian, langkahnya terhenti karena mendengar suara seseorang.
"Kau
menungguku?"
Laki-laki
yang semula hendak meninggalkan lapangan langsung menghentikan langkahnya dan
berbalik badan. Ia mendapati seseorang yang sudah ditunggunya dari tadi telah
berdiri di hadapannya dengan baju santai. Sama sekali tidak tampak seperti
orang yang sudah siap diajak bermain basket. Ia tersenyum sinis menatap orang tersebut.
“Ternyata kau tidak kabur, Chase Karayne.”
Cakka
terdiam sejenak karena kaget mendengar namanya disebut. Padahal, mereka belum
saling berkenalan. Namun, beberapa saat kemudian, dia kembali tersenyum
mendengarnya. “Untuk apa aku kabur?”
“Karena
kau memang tidak pantas jadi kapten basket.” katanya lagi. Ia berjalan
mendekati orang tersebut dan menatapnya dari ujung rambut sampai ujung kaki.
“Huh, tampaknya kau memang tak berani melawanku. Kau bahkan tak memakai baju
basket.”
“Maaf,
tapi aku hanya ingin menunda pertandingan.” kata Cakka.
“Hanya
pecundang yang melakukan hal seperti itu terhadap suatu tantangan.” kata
laki-laki itu. “Tapi, kurasa kau memang salah satu dari mereka. Kau butuh waktu
untuk latihan sebelum melawanku, bukan? Loser.”
Cakka hanya
tersenyum mendengar hinaannya. Semua orang juga tahu kalau kata-kata seperti
itu hanya keluar dari mulut orang yang memiliki rasa dengki dan iri kepada
orang lain. Dan Cakka tidak pernah merasa kata-kata seperti itu perlu jawaban.
Karena itu, tanpa banyak bicara lagi, ia langsung berbalik badan untuk segera
meninggalkan lapangan karena merasa urusannya sudah selesai. Tapi, laki-laki
itu menahan langkahnya dengan sebuah teriakan.
“Verrell
Simonius Charell.” Seru laki-laki itu dengan nyaring. “Kapten basket SMPN 1.”
Cakka
hanya diam mendengar ucapan itu. Entah apa maksudnya dia mengucapkan kata-kata
itu. Ia menoleh kembali ke arah laki-laki tersebut dan tersenyum sejenak.
“Salam kenal.”
Setelah
itu, Cakka benar-benar pergi dari lapangan itu untuk segera pulang sebelum Ayah
mengetahui dia pergi keluar rumah di saat jam tiga sudah berlalu. Sementara
Verrell, laki-laki itu, tetap berdiri di tempatnya menatap kepergian juniornya
itu. Ia tersenyum sinis melihat punggungnya yang semakin menjauh. “Mari kita
lihat apakah sikap tenangmu itu bisa melawanku, Chase Karayne.”
J L J
Gabriel
dan Rio langsung masuk ke kamar begitu selesai melahap makan malam. Seharusnya
mereka mengerjakan tugas sekolah seperti jadwal mereka sehari-hari, namun
tampaknya hari ini mereka sama sekali tidak mempunyai niat untuk itu. Mereka
justru sibuk dengan pikiran masing-masing. Gabriel berbaring di tempat tidurnya
sambil menatap langit-langit. Sementara Rio hanya diam di kursi belajarnya,
menghadap ke arah kakak kembarnya.
Rio
menghela napasnya. “Kau memikirkan perkataan Cakka, Yel?”
Gabriel
menoleh ke arah Rio. “Ya. Kau juga mengkhawatirkannya, bukan?”
Rio
mengangguk. Wajahnya menunjukkan raut wajah cemas. “Kurasa dia benar-benar
serius dengan ucapannya waktu itu. Padahal, kejadian itu sudah berlalu cukup
lama.”
“Ah,
kurasa satu tahun bukan waktu yang cukup lama untuknya, Yo.” kata Gabriel.
“Tapi, aku tidak habis pikir, dulu dia yang menyebabkan semuanya terjadi. Tapi,
kita yang disalahkan!”
“Lalu,
bagaimana dengan Cakka? Dia tidak tahu apa-apa tentang hal ini.”
Gabriel
diam. Ia menunduk. Benar, teman baru mereka tersebut benar-benar tidak tahu
kejadian-kejadian yang terjadi di masa lalu. Gabriel jelas tidak mau dia juga
sampai terlibat karena dia telah menjadi bagian dari mereka.
“Yel?”
panggil Rio pelan, karena Gabriel justru melamun mendengar pertanyaannya.
Gabriel
mengangkat kepalanya kembali. “Aku yakin Cakka bisa mengalahkan dia, Yo. Kau
bukannya tidak tahu bagaimana tingginya kemampuan Cakka dalam olahraga basket.
Semoga saja tidak ada masalah lagi setelah ini. Atau semuanya akan berantakan.”
“Ya, kau
ingat bukan, apa katanya waktu itu?” tanya Rio.
Gabriel
mengangguk. Pikirannya melayang menuju saat-saat mereka baru saja baru masuk
sekolah. Saat mereka baru saja pulang dari pertandingan di sekolah. Waktu itu,
mereka adalah anggota basket yang pulang paling terakhir, sehingga sekolah
sepi. Dan dia tiba-tiba muncul di depan sekolah.
J L J
“Well, well, ternyata kalian berdua juga masih
ada di sini.”
Seseorang tiba-tiba menghampiri Gabriel dan Rio
ketika mereka akan segera pulang ke rumah. Mereka berdua menghentikan langkah
mereka begitu mendengar suara tersebut. Suara itu jelas tak asing bagi mereka.
Itu adalah sebuah suara orang yang mereka kenal. Namun, mereka tak menyangka
dia akan datang menemui mereka. Walaupun teman lama, tapi mereka jelas tidak
ingin bertemu dengannya lagi setelah dia pindah sekolah.
“Kau...” Gabriel dan Rio hampir bersamaan
bergumam menatap laki-laki yang tengah menghampiri mereka.
“Kenapa? Kaget?” tanya orang itu sambil tersenyum
sinis. “Gabriel dan Mario Astroken. Ternyata, setelah aku pergi dari sekolah
ini, kalian justru depresi karena tak memiliki kapten basket yang handal
sepertiku.”
Gabriel diam mendengar perkataannya. Ia berusaha
menahan emosinya dengan mengepalkan tangannya kuat-kuat. Sementara Rio menatap
orang itu dengan tajam. Ternyata, orang itu masih tetap menyebalkan seperti
dulu.
“Apa maumu?” kata Rio dengan nada yang datar.
“Oh, tidak. Aku hanya ingin melihat kapten basket
jelek seperti apa yang memimpin tim basket kita.” katanya lagi. “Aku yakin dia
tidak memiliki kemampuan sepertiku.”
“Oh ya, memang. Kapten basket kita yang sekarang
justru JAUH LEBIH BAIK daripada kau, manusia egois!” kata Gabriel nyaring. Ia
benar-benar emosi menghadapi manusia macam laki-laki itu.
Laki-laki itu tersenyum sinis. “Baik, kita lihat
apakah ucapanmu benar nanti. Aku yakin tim basket kalian jelas akan kalah dari
tim basketku! Lihat saja! Hahaha...”
Laki-laki itu segera meninggalkan Gabriel dan Rio
sambil tertawa meremehkan. Sementara Gabriel masih menatapnya dengan kesal. Rio
yang berada di sampingnya langsung menepuk pundaknya pelan. “Sudahlah, Yel. Dia
memang tidak pernah berubah. Ayo kita pulang.”
Gabriel mengangguk, kemudian mereka langsung
meninggalkan sekolah.
J L J
“Aku
benar-benar kesal dengan ucapannya waktu itu.” kata Gabriel. Emosinya mulai
naik lagi karena mengingat kejadian menyebalkan waktu itu.
“Ya, aku
juga. Tapi, tak ada gunanya kita emosi. Dia akan semakin senang melihat kita
putus asa.” kata Rio.
Gabriel
menghela nafasnya, berusaha tenang, kemudian mengangguk mengiyakan ucapan Rio.
“Ya, aku tahu kau benar.”
“Tapi,
Yel, kita belum lama mengenal Cakka dan kakaknya. Kau dengar apa yang dikatakan
Kak Biru tadi saat jam istirahat?” tanya Rio. “Aku penasaran dengan
kata-katanya tentang ketahuan Ayah pergi bermain basket. Jangan-jangan selama
ini mereka bermain basket tanpa persetujuan orang tua.”
“Ah, itu
bukan urusan kita, Yo. Cakka pasti bisa mengatasinya sendiri.” kata Gabriel.
“Aku justru lebih khawatir tentang mantan kapten basket kita itu.”
“Dia pasti
mencari data tim basket dari web sekolah kita.” kata Rio. Ia segera menopang
dagunya dengan kedua tangannya. “Yel, kurasa Alvin juga harus tahu tentang hal
ini. Dia pasti juga sudah tahu siapa yang mengajak Cakka ke lapangan itu.”
Gabriel
diam, ia menghela nafasnya gelisah. “Entahlah, Yo. Aku tidak yakin.”
Rio
menatap kakaknya diam. Kemudian, dia langsung meraih tas sekolahnya dan sibuk
membongkar isinya. Ia mengambil buku agenda sekolahnya dan segera membaca
tugas-tugas yang perlu dikerjakan hari ini. Beberapa saat kemudian, dia
langsung mengambil beberapa buku dari dalam tas dan menaruhnya di atas meja.
“Lebih baik kita selesaikan tugas sekolah dulu. Ini lebih penting.”
“Ah ya,
benar juga. Bisa gawat kalau tidak selesai.” Gabriel langsung beranjak dari
tempat tidurnya dan segera melakukan hal yang sama dengan Rio. Dia menaruh
buku-bukunya di meja dan mengerjakan tugas di samping Rio.
J L J
Biru
sedang menyeduh teh di dapur ketika Bunda menghampirinya. Saat itu, Biru
benar-benar butuh penyegaran. Hari-hari sekolahnya mulai terasa memusingkan
setelah banyaknya tugas dan juga masalah-masalah yang harus segera ia atasi.
Terlebih masalah Cakka. Sebentar lagi Ayah pulang, tapi Cakka belum muncul
juga. Padahal, tadi dia sudah berjanji hanya akan keluar sebentar untuk
membatalkan perjanjian dengan anak basket yang tak ia kenal itu.
“Kau
memikirkan Cakka, Bi?” tanya Bunda sambil tersenyum ketika ia sudah ada di
samping putrinya.
Biru
menoleh begitu mendengar suara Bunda. Kemudian, ia mengangguk. “Aku hanya takut
Ayah kembali marah dengan kita semua. Selama ini Cakka hanya ingin mengejar
cita-citanya, dia begitu senang dengan olahraga basket. Dia juga bisa bahagia
karena memiliki banyak teman dari sana. Seharusnya dia tidak harus menempuh
semua ini.”
“Iya,
Bunda mengerti maksudmu, Bi.” kata Bunda sambil tersenyum.
“Bunda
sudah bertanya kepada Ayah tentang hal ini?”
Bunda
mengangguk. “Bunda sudah berusaha. Tapi, Ayah tidak mau menceritakan sebenarnya
apa yang terjadi. Dia hanya berkata kalau basket hanya bisa mengancam nyawa
kalian.”
Biru
menghela nafasnya lelah. Lagi-lagi jawaban tidak jelas.
Bunda
tersenyum. “Ayah kalian tidak bermaksud buruk. Bersabarlah. Nanti Bunda pasti
akan berusaha membujuknya kembali untuk meringankan peraturannya. Bunda tahu
kalian sangat senang dengan basket.”
Biru
mengangguk. Ia tersenyum. “Terima kasih, Bunda.”
Bunda
tersenyum mendengarkan penuturan Biru, kemudian segera mengambil cangkir baru
untuk membantu putrinya tersebut menyeduh teh. Biru yang menyadari gerak-gerik
Bunda langsung menatapnya dengan dahi berkerut. “Teh untuk siapa, Bunda?”
“Ayah. Dia
pasti sebentar lagi pulang.” kata Bunda sambil tersenyum.
Biru
menoleh ke arah jam dinding yang berada di dapur. Benar, jam sudah menunjukkan
jam empat sore. Itu artinya Ayah pasti sudah dalam perjalanan pulang.
Perjalanan dari kantor menuju rumah memakan sekitar setengah jam. Saat Ayah
tiba nanti, ia harus menyiapkan mental untuk menjawab semua pertanyaan Ayah
seperti kemarin. Ia menghela nafasnya, membuang semua kekhawatiran yang ia
rasakan.
“Kau tak
perlu khawatir, semuanya pasti akan baik-baik saja, Bi.” kata Bunda sambil
menepuk-nepuk pelan punggung Biru. “Ayah tidak akan sejahat yang kau pikirkan.”
Biru
menghela nafas sekali lagi, kemudian menghadap ke arah Bunda. “Ya, aku sangat
berharap Bunda benar. Aku tidak tahu lagi apa yang akan terjadi jika Ayah
benar-benar meledak terhadap kami.”
“Walaupun
akhirnya nanti Ayah meledak, kita masih mempunyai Bunda yang baik hati.”
Tiba-tiba Elang masuk ke dalam dapur dan ikut dalam pembicaraan. Kemeja
kotak-kotak yang ia pakai untuk kuliah tadi siang masih melekat di tubuhnya.
Biru dan
Bunda segera menoleh melihat kehadiran Elang. Biru tersenyum mendengar
ucapannya. “Sejak kapan kau di sini? Kau diam-diam mendengar pembicaraan kami.
Kau tahu itu tidak baik, Kak.”
“Aku baru
saja pulang dan berniat untuk mengambil minum. Aku tidak sengaja mendengar
kalian berbicara.” kata Elang sambil tertawa. “Tapi, aku benar, bukan? Walaupun
kita memiliki Ayah yang tegas, kita juga memiliki Bunda yang sangat menyayangi
kita.”
“Tentu
saja. Aku sangat menyayangi Bunda.” kata Biru langsung memeluk Bunda dari
samping. “Sebenarnya, aku penasaran bagaimana caranya Ayah yang tegas seperti
Ayah kita mendapatkan hati Bunda dulu.”
“Ah, zaman
itu sudah lama sekali. Aku berani jamin sebelum Ayah dan Bunda menikah, Ayah
sangat baik kepada Bunda. Zaman kita dan zaman mereka sudah sangat berbeda, Bi.”
“Aduh,
kalian berbicara sembarangan. Sudah, lebih baik kalian mandi dulu. Sebentar lagi
Cakka dan Ayah pasti tiba di rumah, kita akan langsung makan malam.” kata Bunda
sambil tertawa gugup. Kedua pipinya memerah mendengarkan pembicaraan
anak-anaknya.
Elang dan
Biru tertawa melihat wajah Bunda yang memerah. Kemudian, mereka langsung pamit
untuk ke kamar. Tak lupa Biru juga membawa teh yang sudah ia buat ke dalam
kamar. Setelah mandi ia akan meminumnya. Dapur kembali sepi begitu mereka
meninggalkan Bunda sendiri di sana. Sambil melamun, Bunda melanjutkan
aktivitasnya.
Benar
juga, Elang dan Biru mengingatkannya pada perlakuan Ayah pada zaman dahulu
kala. Ketika mereka masih remaja seperti anak-anaknya, Ayah sama sekali tidak
memiliki sifat tegas yang berlebihan seperti sekarang. Dia sangat baik kepada
siapapun. Dari pembicaraan Elang dan Biru tersebut, Bunda menjadi semakin yakin
kalau Ayah pasti menyembunyikan alasan tertentu mengapa dia membuat peraturan
yang begitu ketat untuk ketiga anak mereka. Mungkin saja Ayah belum siap
bercerita.
TO BE CONTINUED...
Penasaran? Baca sampai tamat ya!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Makasih ya udah baca cerpenku. Silahkan tinggalkan komentar kamu ya.
Semua kritik dan saran aku terima. Pujian juga boleh :p