Ini sebenarnya cerpen saya empat tahun yang lalu, kira-kira saya masih kelas sembilan. Tapi, ceritanya sudah saya rombak habis bahasanya karena berantakan banget. Tapi, inti ceritanya sama kok. So enjoy :)
Hari ini
matahari menyinarkan sinarnya dengan begitu semangat hingga kulit pun bisa
terbakar menjadi merah. Tapi, tampak enam orang laki-laki yang masih saja betah
berada di lapangan sekolah. Padahal saat itu sudah sore. Hampir semua anak-anak
sudah pulang.
Cakka,
salah satu dari mereka tengah sibuk menatap laki-laki di depannya dengan kesal.
Ya, laki-laki yang ada di hadapannya sekarang ini adalah penyebab mereka
berkumpul. Pertengkaran yang terjadi di kantin tadi siang benar-benar
membuatnya marah. “Siapa kau? Untuk apa kau mengajakku datang ke sini? Kita
bahkan tidak saling mengenal!”
J L J
Saat itu, kantin ramai sekali. Cakka tengah
berebutan dengan murid-murid lainnya untuk memesan nasi uduk di kantin.
Padahal, dia sudah sangat lapar. Perutnya belum ia isi sejak tadi pagi.
Sementara ia tak bisa memesan makanan yang lain karena dia tak begitu suka
makanannya. Untungnya, setelah beberapa lama dia akhirnya mendapatkan
kesempatan untuk memesan. Setelah mendapatkan makanan yang ia mau, dia langsung
buru-buru keluar dari keramaian tersebut. Ia kira masalahnya sudah selesai,
tapi ternyata dia tak sengaja tertabrak seseorang. Orang itu tampak baru datang
untuk memesan nasi uduk yang sama.
“Kau tak punya mata? Kau menabrakku begitu saja!”
omel orang yang menabrak Cakka tadi. Wajahnya tampak jelas memancarkan
kemarahan. Orang itu adalah anak laki-laki dari kelas sebelah.
Cakka yang merasa kesal langsung menatap orang
itu dengan geram. “Heh! Untuk informasimu, kau yang duluan menabrakku! Kenapa
aku yang harus meminta maaf?!”
“Belagu kau! Bukankah kau anak baru di sini?
Jangan bertingkah seenaknya di sekolah kami!” kata laki-laki itu sambil
mendorong sebelah bahu Cakka dengan kasar.
“Kau yang seenaknya menuduh orang!”
Laki-laki itu melotot tajam mendengarnya.
Telinganya panas mendengar ucapan Cakka. Amarahnya sudah akan meledak jika dia
tidak menahannya. “Awas! Aku tidak akan lupa dengan kejadian ini!”
Setelah berkata begitu, laki-laki itu pergi dari hadapan
Cakka bersama kedua temannya. “Wan, Dim, cabut!”
J L J
“Namaku
adalah Iza Aditya.” katanya dengan nada yang sama datarnya dengan nada Cakka
tadi. Dua orang teman di belakangnya, Iwan dan Dimas, juga ikut menatap Cakka
dengan tajam. Sebagai teman yang baik, mereka juga kesal melihat teman mereka
dimarahi oleh anak baru seperti Cakka.
“Dimas
Ellosi.” sahut laki-laki yang ada di sebelah kanan Iza.
“Iwan
Roberton.” sahut laki-laki yang ada di sebelah kiri Iza.
“Jadi kau
yang bernama Iza? Yang akan menjadi sainganku di lomba Festival Anak Bakat
nanti?” tanya Cakka. Ia tersenyum meremehkan ke arah Iza.
Festival
Anak Bakat adalah sebuah acara tahunan yang menampilkan anak–anak yang berbakat
nyanyi solo, duet ataupun band untuk bersaing memperebutkan satu gelar yaitu
Best Perfomer. Anak–anak yang ikut lomba itu adalah anak–anak yang di pilih
oleh guru mereka di setiap sekolah. Dan SMP Idola mengirim dua peserta untuk
mengikutinya. Kelompok CAD, Cakka Alvin Deva, dan IDI, Iza Dimas Iwan.
“Apa kau
tak pernah diajarkan kesopanan? Cepat perkenalkan dirimu!” tanya Iza sebal
karena Cakka tidak memperkenalkan diri kembali, apalagi dia berani-beraninya
meremehkannya.
“Cakka, laki-laki
yang sedang berhadapan dengan orang yang sok belagu, menyebalkan dan hobi tebar
pesona dengan para siswi saat istirahat!” kata Cakka diiringi dengan ejekan
untuk Iza.
“Apa kau bilang?!”
Dimas naik darah.
“Heh! Kau
berani-beraninya mengejek teman kami!” kata Iwan juga ikutan membela Iza. Ia
segera mendekati Cakka dan mendorong bahunya dengan kasar. Bagaimanapun juga,
Iwan adalah sahabat Iza dan ia tidak akan tinggal diam jika seseorang
memojokkan teman-temannya.
Iza juga melotot
ke arah Cakka karena mendengar sejumlah ejekan yang dilontarkannya tadi. Tapi,
dia tidak niat untuk membalas. Ia sudah memegang prinsip tidak akan membalas
ejekan orang lain, sekalipun dia sebal. Beda dengan kedua temannya yang mudah
naik darah dan meledak.
“Kau juga
berani-beraninya mendorong Cakka!” kata Alvin, teman yang berdiri sebelah
Cakka. Dia adalah salah satu teman Cakka semasa kecil. Sempat terpisah saat
kelas lima, tapi sekarang bertemu lagi di kelas tujuh. Dan ia benar-benar sebal
dengan tiga makhluk yang ada di depannya itu.
“Hanya
pecundang yang berani memakai kekerasan!” tambah Deva, teman Cakka yang ada di
sebelah kirinya ikutan nyahut. Dia juga teman Cakka semasa kecil, sama dengan
Alvin. Dan laki-laki yang satu ini sangat menyukai perdamaian.
“Aku tidak
ingin ribut sekarang, tapi kita akan bertanding di Festival Anak Bakat besok. Siapa
yang kalah, harus menuruti semua perintah yang menang.”
“Oke,
siapa takut?” kata Cakka, Alvin dan Deva serempak.
“Bagus! Sekarang
kau boleh lolos, tapi kalian harus ingat, sekeras apapun kalian berusaha,
kalian tidak akan pernah mengalahkan kita! Betul tidak, Za?” kata Dimas.
“Benar
sekali!” jawab Iza. Lalu, Iza dan teman-temannya langsung menertawakan lawan
mereka. Alvin yang sudah akan memukul mereka jika tidak ditahan Cakka. Berbeda
dengan Alvin, Cakka justru tersenyum sinis mendengar ejekan Iza dan Dimas.
“Kau bisa
merasa yakin sekarang, tapi kau tak akan tahu apa yang terjadi besok, Iza
Aditya. Dan aku harap, kau tak akan kecewa dengan kekalahanmu besok. Karena
kita akan mengalahkan kalian!” kata Cakka.
“Good
luck then!” Setelah berkata begitu, Iza dan teman-temannya langsung pergi
begitu saja meninggalkan Cakka, Alvin dan Deva.
Cakka yang
melihat kepergian mereka hanya diam saja. Kekesalan yang dirasakannya
benar-benar sudah memuncak. Ia jadi rindu dengan masa sekolahnya saat ia masih
di sekolah dasar. Setiap kali ia mengikuti lomba, dia selalu bersaing dengan
sahabatnya sendiri. Selain Alvin dan Deva, ia memiliki beberapa orang sahabat
yang lain. Tapi, entah dimana mereka sekarang.
J L J
Hari ini
adalah hari yang sudah Cakka, Iza beserta teman-temannya nantikan. Yap! Mereka
sedang berada di FAB sekarang, tepatnya di belakang panggung. Masing-masing
dari mereka sudah siap untuk menghibur para penonton dan memberikan yang
terbaik untuk sekolah mereka dengan lagu mereka juga sudah mereka kuasai.
Mereka hanya tinggal menunggu sang pembawa acara memanggil nama mereka untuk
tampil. Dan saat itu, salah seorang dari mereka tiba-tiba memecah keheningan.
“Lihat Za,
kostum CAD begitu keren, bukan?” tanya Iwan melirik ke arah Iza di hadapan Cakka,
Alvin dan Deva. CAD jelas tidak senang mendengar ucapan dari Iwan itu, mereka
langsung melotot. Mereka tahu kalau ucapannya itu bukannya untuk memuji, tapi
mengejek.
“Iya!
KEREN SEKALI! Aku sampai tidak tahan untuk tertawa lebar!” kata Iza sambil
tertawa. Iwan juga ikut-ikut menertawakan mereka. Cakka yang mendengarnya
langsung emosi.
“Oh ya,
TERIMA KASIH!” kata Cakka sambil mendekati Iza dan mendorong bahunya pelan,
lalu langsung pergi keluar panggung karena grupnya sudah dipanggil. Sedangkan
Iza, Iwan dan Dimas masih asyik tertawa lebar di belakang panggung melihat
kekesalan saingannya.
“Baik penonton,
mari kita sambut... CAD!” kata MC.
Semuanya
langsung teriak–teriak histeris begitu Cakka, Alvin dan Deva muncul di atas
panggung. Walaupun mereka ini masih grup baru dalam mengikuti lomba–lomba
seperti ini, tapi mereka sudah memiliki banyak penggemar. Aneh, tapi justru
merekalah yang membuat ketiga laki-laki itu sangat bersemangat untuk terus
berkarya.
“Selamat
pagi penonton! Selamat pagi juga untuk para juri!” kata Alvin yang berdiri di
paling depan karena sebagai vokalis. Sementara Cakka berdiri di sebelah kiri
belakang Alvin sebagai gitaris, Deva yang sebagai bassist berdiri di samping Cakka. Tak berapa lama terdengar banyak
orang yang memanggil-manggil nama mereka.
Cakka,
Alvin dan Deva tersenyum mendengar teriakan-teriakan itu. Deva bahkan
melambaikan tangannya sejenak untuk membahagiakan para penonton. Setelah
sedikit reda, Alvin melanjutkan kata–katanya. “Hari ini kami akan membawakan
sebuah lagu yang berjudul Meraih Mimpi. Selamat menikmati!”
Musik
langsung terdengar begitu Alvin selesai berbicara. Cakka dan Deva juga langsung
mulai asyik dengan jari-jari mereka yang memetik senar alat musik mereka
masing-masing. Alvin apalagi, dia sangat bersemangat bernyanyi untuk menghibur
para penonton. Sementara penonton melompat-lompat girang mengikuti musik. Setelah
CAD selesai, CAD berterima kasih kepada para penonton yang masih berteriak–teriak
histeris kepada mereka dan melangkah masuk lagi ke belakang panggung. MC muncul
kembali.
“Baiklah,
setelah ini peserta terakhir akan tampil, siapa lagi kalau bukan IDI!!” kata MC
memanggil Iza dan kedua temannya. Penonton kembali bersorak memanggil–manggil
nama IDI. Sama seperti saat CAD tampil, para penonton juga bersemangat meneriaki
para personilnya.
“Selamat
pagi semua!” sapa Iza yang sebagai vokalis. “Hari ini kita akan membawakan satu
lagu yang berjudul Ceria. Selamat menyaksikan!”
Musik mulai terdengar lagi. Dan Iza
sibuk menghibur penonton bersama kedua temannya. Sementara itu, Cakka, Alvin
dan Deva melihat mereka dari belakang panggung. Berbeda dengan Cakka dan Alvin
yang menatap mereka dengan sinis, Deva justru serius menikmati penampilan
mereka. Ia melihat setiap gerak-gerik Iza, Dimas dan juga Iwan. Tiba-tiba
kepalanya sakit. “Aduh....”
“Va, kau
kenapa?” tanya Cakka langsung kaget mendengar suara rintih Deva.
“Kepalaku
sakit, Kka!” kata Deva sambil memegang kepalanya.
“Kenapa?
Kau ingat sesuatu?” tanya Alvin ikut khawatir. Ah ya, benar. Deva mengalami
kecelakaan beberapa waktu yang lalu. Kira-kira tahun lalu, sehingga membuatnya
kehilangan beberapa memori masa lalunya.
“Entahlah,
tapi kepalaku sakit sekali!” kata Deva. Tiba-tiba tubuhnya lemas dan langsung
menutup mata. Dia pingsan! Untung saja Cakka dan Alvin segera menangkapnya.
Mereka langsung membawa Deva ke sebuah sofa yang ada di sana. Mereka menidurkan
Deva di sana.
Tak lama
kemudian, IDI sudah kembali ke belakang panggung. Mereka tersenyum sinis
melihat Deva yang tampak tidak baik. Iza langsung bersuara. “Kenapa dia?
Pingsan karena takut kalah?”
“Kau jangan sembarangan menuduh temanku!”
kata Cakka geram. “Kau jangan terlalu yakin menang karena bukan kau yang
menentukan hasil dari lomba FAB ini!”
“Ya,
memang benar! Yang menentukan siapa yang bakal menang adalah juri, bukan kami.
Tapi kalian tidak akan menang! Jadi kau tidak perlu belagu dan membanggakan
diri! Loser!” kata Dimas.
Setelah
itu, Iza, Dimas dan Iwan langsung pergi meninggalkan mereka Cakka dan Alvin.
Mereka berdua langsung menfokuskan diri kembali kepada Deva. Dalam hati mereka,
mereka berharap Deva segera sadar sebelum pengumuman tiba. Cakka menatap ke
arah Alvin. “Vin, aku akan mengambilkan minyak angin dan air minum untuk Deva,
jagalah dia untukku.”
Alvin
mengangguk. “Baik, Kka.”
J L J
Dua jam
berlalu, setelah ada beberapa pengisi acara yang memeriahkan Festival Anak
Berbakat, sekarang saatnya pengumuman untuk lomba musik yang diikuti Cakka dan
teman-temannya. Iza, Dimas dan Iwan tampak tersenyum yakin di belakang
panggung. Sementara Cakka dan Alvin sibuk berdoa dan menghela napas lega karena
Deva sudah sadar. Mereka bertiga saling bergandengan satu sama lain agar tidak
terlalu gugup mendengarkan pengumuman.
“Oke,
saatnya penentuan! Setelah para juri mengevaluasikan semua peserta yang telah
tampil, hanya akan ada dua grup yang akan menjadi juara di tahun ini!” kata MC.
“Dan yang mendapatkan juara dua adalah.... IDI....!!!”
Penonton
yang mendukung IDI langsung bersorak senang. IDI tersenyum licik ke arah CAD
yang langsung dibalas dengan tatapan datar dari Cakka dan Alvin. Sementara Deva
hanya diam saja. Setelah itu, IDI maju dengan bangganya ke atas panggung karena
mereka mendapatkan juara. Begitu mereka sampai di panggung, mereka langsung
menerima medali perak dari MC.
“Oke, mari
kita beri tepuk tangan sekali lagi untuk IDI!” kata MC yang langsung dituruti
oleh para penonton. Setelah itu, MC langsung melanjutkan ucapannya. “Sekarang
saatnya mengumumkan juara pertama. Siapakah yang akan mendapatkannya?”
“CAD! CAD!
CAD!” Penonton yang mendukung CAD berteriak sekencang– kencangnya. Mereka
benar-benar berharap kalau grup yang mereka dukung mendapatkan juara.
“Didi!
Didi! Didi!” Sebagian dari mereka berteriak nama peserta yang lain.
“Satria!
Satria! Satria!” Itu nama peserta yang lainnya juga.
“Oke! Tenang
semuanya! Mari kita sambut, sang juara tahun ini yaitu..... CAD!” kata MC
sekencang-kencangnya, diiringi dengan senyuman senang darinya. Penonton
langsung bersorak girang, terutama yang mendukung CAD. IDI langsung melongo
mendengarnya. CAD sendiri langsung maju dengan senyum puas. Kecuali Deva. Ia
masih tetap diam.
“Maaf!”
seru Deva sambil mengambil mikrofon dari tangan MC dengan cepat. MC itu tentu
saja kaget dan melotot ke arah Deva. “Maaf, Kak! Aku pinjam sebentar!”
“Apa yang
dia lakukan?” tanya Cakka heran kepada Alvin. Dia dan Alvin sudah berdiri di
sebelah Alvin bersama dengan IDI. Mereka benar-benar heran dengan sikap Deva
yang masih menjadi aneh semenjak ia sadar dari pingsannya itu.
Deva
menyadari kalau teman-temannya heran dengan tingkahnya. Tapi, Deva tidak
perduli. Tadi begitu ia sadar dari pingsannya, ia mengingat sesuatu tentang
masa lalunya. Dia tidak mau menyia-nyiakan kesempatan ini. “Saya mohon maaf
sebelumnya karena telah mengganggu pengumuman juara. Tapi, sebagian dari kalian
pasti tau, saya terkena amnesia tahun lalu dan saya melupakan sebagian masa
lalu saya.”
“Tapi,
saya selalu yakin Tuhan pasti mempertemukan saya lagi dengan sahabat-sahabat
saya. Dan ketika saya melihat penampilan IDI tadi, rasanya ingatan saya tiba–
tiba pulih kembali.”
Semua
penonton beserta dengan Cakka dan Alvin langsung kaget.
“Saya
ingat, selain Cakka dan Alvin, saya memiliki tiga orang teman masa kecil lagi.
Dan saya tidak menyangka saya bisa bertemu dengan mereka lagi di sini. Karena
itu, saya ingin meminta sesuatu.” Lalu, Deva menghadap ke MC, mengambil medali
emas yang di pegangnya yang seharusnya di berikan kepada CAD, lalu menghampiri
Dimas. “Dimas, aku ingin kau memiliki medali emas ini. Kau pantas
mendapatkannya.”
Dimas yang
tiba-tiba diberi medali emas oleh saingannya juga tak kalah kagetnya. Ia
menatap Deva dengan heran. “Apa maksudmu, Va?”
Deva tersenyum.
“Dim, tadi aku sudah mengatakan bahwa aku teringat dengan ketiga sahabatku
ketika aku melihatmu dan teman-temanmu tampil. Apa kau tidak mengerti juga? Kau
teman masa kecilku! Kau juga masa kecil teman masa kecil Cakka dan Alvin! Kau,
Iza dan Iwan adalah alumni SD Citra Bangsa, bukan?”
Dimas
langsung membesarkan matanya mendengar ucapan Deva. Iza dan Iwan juga ikut
kaget mendengarkan penuturan Deva. Mereka tidak menyangka bahwa yang selama ini
mereka hadapi adalah teman masa kecil mereka sendiri. Cakka dan Alvin yang juga
mendengar langsung membekap mulut mereka, menahan rasa kaget mereka.
“Dim, Za,
Wan, aku memberikan gelar Best Performer ini untuk IDI karena kalian pantas
mendapatkannya. Dan aku berharap setelah FAB selesai, CAD dan IDI bisa
berdamai. Kita bersahabat berenam, seperti dulu.” kata Deva sambil tersenyum. Ia menoleh ke arah teman-temannya yang
masih tampak kaget. “Bukankah begitu, Kka, Vin?”
Cakka dan
Alvin hanya diam. Mereka tidak bisa berkata-kata.
Dimas,
Iwan dan Iza menerima medali emas tersebut dari tangan Deva sambil tersenyum.
Kemudian, mereka langsung berpelukan. Kemudian, mereka juga memeluk Cakka dan
Alvin. Penonton yang ada di sana langsung bertepuk tangan meriah karena mereka
berdamai. Persahabatan mereka telah kembali.
Cerpenya panjang panjang dan bagus
BalasHapusbagus cerpennya nih
BalasHapusmantap nih cerpenya
BalasHapusbaguss juga nih cerpennya . bisa dijadikan referensi :)
BalasHapus