Senin, 02 Juni 2014

Cerpen | Gardener's Dream



Seorang laki-laki tengah menghela nafasnya. Ia belum mau menyerah walaupun pelipisnya sudah mulai banjir dengan keringat. Kedua tangannya masih tetap sibuk mencabuti rumput-rumput mati yang ada di lapangan sepak bola tersebut. Sesekali tangannya menghapus peluh agar semangatnya tetap membara. Hidupnya sudah berjalan dengan berat selama ini. Bekerja keras adalah satu-satunya jalan agar hidupnya berubah lebih baik.

SMP STAR. Itulah tempat dimana dia berada sekarang. Sekolah itu bisa dibilang sekolah terbaik yang ada di Jakarta. Dulu dia pernah bermimpi bisa menjadi murid dalam sekolah itu agar bisa mendapatkan pendidikan yang lebih tinggi dan meraih mimpinya. Tapi, semua keinginannya lenyap ketika melihat betapa besarnya biaya untuk mendaftarkan diri.
Dia bukan termasuk anak yang cerdas. Nilai-nilai sekolah dasarnya tidak mencukupi untuk mendapatkan beasiswa. Pada waktu itu, dia benar-benar sedih. Mendengar kata-kata ‘tidak bisa diterima’ dari kepala sekolah membuatnya diam seribu bahasa.
“Pak, taman sekolah ini pasti indah jika ada yang merawatnya.” kata laki-laki itu pada hari pendaftaran dulu. “Kalau aku tidak bisa diterima menjadi murid, bolehkah aku bekerja di sini?”
Waktu itu, orang tuanya protes mendengar permintaan anaknya. Tapi, kemauan anaknya sangat tinggi. Ditambah dengan persetujuan dari kepala sekolah, akhirnya orang tuanya mengizinkannya untuk bekerja di sana. Itulah awal laki-laki itu bisa menjadi tukang kebun di sekolah SMP STAR itu.
Ia menghela nafasnya sejenak. Sebenarnya ia merasa bersalah kepada orang tuanya karena melakukan ini semua. Tapi, ia tak bisa membiarkan keluarganya hidup menderita seperti sekarang. Selain ingin mengejar mimpinya, ia juga ingin keluarganya mendapatkan hidup yang lebih layak. Penghasilan Ayah menjual bunga-bunga yang ditanam di kebunnya dan Ibu sebagai buruh cuci selama ini tidak cukup untuk kehidupan sehari-hari. Karena itu, hatinya tergerak untuk membantu mereka. Ia adalah anak satu-satunya mereka, kalau bukan dia yang membahagiakan mereka, siapa lagi?
Sayup-sayup terdengar bunyi bel berbunyi dari dalam gedung sekolah. Itu artinya pasti sudah waktunya jam istirahat bagi anak-anak yang bersekolah di sana. Tapi tidak bagi laki-laki itu. Dia tidak akan beristirahat jika dia belum menyelesaikan tugasnya sampai sore hari nanti.
“Ray Fillion!”
Laki-laki itu menoleh begitu mendengar suara itu. Ia melepaskan topinya, segera berdiri dan menatap ke arah sumber suara. Tampak seorang anak menghampirinya. Lacey Larayna, akrab dipanggil Lala. Dia adalah salah satu anak cerdas yang bersekolah di SMP STAR. Setiap jam istirahat dia selalu menemaninya bekerja. Dan dia satu-satunya murid yang mau berteman dengannya. Sementara yang lainnya, mereka geli menatap seorang tukang kebun yang selalu terlihat kotor.
“Kau tampak bekerja keras hari ini! Minumlah untuk memulihkan energimu.” kata Lala sambil tersenyum. Ia menyodorkan sebotol air mineral kepadanya.
Ray mengulurkan tangannya, menerima botol mineral itu dengan senang hati. Ia buka tutup botolnya dan menghabiskan air yang ada di dalamnya sampai setengah botol. “Terima kasih, La. Aku tak tahu sudah berapa banyak bantuan yang kau berikan padaku.”
“Orang tuaku selalu mengajarkanku untuk menolong sesama. Dengan begitu, aku pasti akan dapat banyak pahala.” kata Lala. Ia melihat ke arah kedua tangan Ray yang terbalut oleh sarung tangan. “Kau mencabuti rumput seharian?”
Ray mengangguk. “Setelah ini, aku akan menyirami bunga di taman sekolah.”
“Kalau begitu, akan kubantu.”
Ray menggeleng. “Tak perlu. Kau tau aku tak ingin merepotkan orang lain. Orang tuaku selalu bilang, kerjakanlah apa yang bisa kamu kerjakan sendiri. Jangan dibantu orang lain terus.”
Lala tersenyum. “Kalau begitu, aku akan menemanimu. Sudah lama juga aku tidak bermain-main di taman sekolah.”
Ray tertawa kecil. “Baiklah, aku menyerah. Lakukan apa yang kau mau.”
Lala diam, dia hanya tersenyum melihat Ray kembali bekerja. Botol mineral yang diberikannya barusan ditaruhnya di sebelahnya. Sebenarnya Lala cukup kagum dengan Ray. Walaupun impiannya untuk bersekolah di sana sudah hancur, ia tetap menggunakan segala cara untuk menbantu keluarganya. Ia adalah anak paling gigih yang pernah ia temui. Dia tahu segala cerita tentang bagaimana Ray bisa bekerja di sekolahnya. Saat pertama kali bertemu, Ray menceritakan semuanya.
“Hei, La, kau tidak ke kantin sekolah?” tanya Ray setelah mencabuti rumput terakhir. Ia menghapus peluhnya kembali dan menghela nafas lega karena sudah menyelesaikan pekerjaannya di lapangan itu.
Lala menggeleng. “Aku tidak lapar, makanya aku kemari.”
Ray manggut-manggut mengerti. “Kau ada waktu kosong sepulang sekolah?”
Lala mengangguk. “Memangnya kenapa?”
“Aku ingin mengajakmu ke suatu tempat jika kau tidak keberatan.”
Lala tertawa mendengarnya. “Kenapa aku harus keberatan?”
Ray tersenyum. Kemudian, dia mengajak Lala agar mengikutinya ke taman sekolah untuk menyirami bunga dan membersihkan taman itu. Taman sekolah SMP STAR sangat indah. Ada sebuah ayunan panjang berwarna putih yang dikelilingi oleh berbagai macam bunga yang tumbuh di sana. Mungkin terdengar aneh, tapi Ray sangat menyukai bunga. Sejak kecil, dia sering sekali merawat bunga mawar dan melati di kebun milik Ayahnya. Makanya, bunga sudah seperti sahabatnya sendiri. Tapi, karena itu juga, murid-murid SMP STAR menjauhinya. Mereka mengira Ray seperti banci karena menyukai bunga. Untunglah masih tersisa Lala yang mau menjadi temannya.

J L J

Setelah ia mendapat izin dari orang tuanya untuk pulang terlambat, ia membawa Lala ke museum. Museum itu memiliki banyak sekali lukisan-lukisan hebat. Tapi, dari semua itu ada satu lukisan yang menarik perhatiannya sejak dulu.
Kini Ray telah berdiri diam di hadapan lukisan besar yang dipajang di museum lukisan itu. Tangan Ray mengepal keras. Keringat dingin keluar membasahi pelipisnya. Sesekali mulutnya menelan air ludah yang ada di dalam mulutnya. Badannya bergetar hebat karena melihat betapa hebatnya lukisan itu. Semakin lama dilihat, Ray nafas Ray semakin kasar. Sebenarnya, ia telah lama mengagumi lukisan tersebut. Sering sekali dia mendatangi lukisan itu jika dia sedang ingin. Baru kali ini dia datang bersama Lala.
“Lukisan itu indah sekali.” kata Lala yang berdiri di samping Ray. Ia menolehkan kepalanya ke arah Ray. Ia tersenyum kepadanya.
Ray tersenyum balik menatap Lala, kemudian menatap ke arah lukisan itu kembali. “Ya. Lukisan itu merupakan karya yang sangat hebat. Lukisan itu juga yang telah lama menjadi alasan aku bekerja keras. Aku ingin sekali menjadi pelukis.”
“Benarkah?”
“Ya.” kata Ray mantap. Kemudian, ia menunduk. “Tapi...”
“Tapi?”
“Aku tak tahu apakah aku bisa melakukannya.”
Lala mengernyitkan dahinya. “Kenapa? Semua orang bisa mengejar mimpinya asal dia mau berusaha, bukan?”
Ray mengangguk. “Aku tahu itu, tapi entah butuh waktu berapa lama agar bisa lukisanku terpajang di museum seperti itu. Apalagi dengan keadaan keluargaku yang menyedihkan. Setiap kali aku menatap lukisan itu, aku selalu menyadari bahwa perjalananku benar-benar masih jauh.”
Lala diam.
Ray mengangkat kedua tangannya, dan ia tatap kedua tangan kotornya lekat-lekat. Kedua tangannya selalu kotor dengan tanah akibat berkebun seharian. Terkadang dia juga membantu merawat kebun Ayah agar dapat meringankan beban orang tuanya. Dan selama ini dia hanya bisa melukis dengan pensil, karena ia tak bisa memiliki pensil warna akibat masalah ekonomi.
Ia sadar, akan menjadi perjalanan yang panjang jika ia ingin lukisannya terpajang rapi di museum seperti itu. Pelukis yang membuat lukisan itu juga pasti menempuh perjalanan panjang agar ia dapat terkenal. Namun, ini berbeda. Ini bukan hanya persoalan perjuangan, ini juga akan menjadi persoalan latar belakang. Dengan latar belakang seperti ini, apa dia bisa menaiki tangga sampai pada puncaknya?
Sementara Ray diam, Lala asyik memikirkan jalan keluar. Tak lama ia bertanya, “Ray, selama ini kau selalu bilang kau ingin berjuang untuk meringankan beban orang tuamu. Apa aku boleh tahu, bagaimana kau bisa bersekolah sampai tamat kelas enam?”
“Dulu...” kata Ray mengingat-ingat kembali masa lalunya. “Karena aku sering melukis setelah aku selesai bekerja, lukisanku terkumpul banyak di rumah. Demi bisa sekolah, aku menjualnya kepada warga sekitar yang menyukai lukisanku. Mereka semua menolongku agar aku bisa sekolah.”
Lala manggut-manggut mengerti. Kemudian, tiba-tiba dia tersenyum. “Ray Fillion!”
Ia menoleh ke arah Lala. Wajahnya masih tetap gelisah walaupun Lala sudah tampak bersemangat. “Kenapa, La?”
“Kamu pasti bisa!” sahutnya sambil menepuk-nepuk pundak Ray.
Ray terdiam sejenak, kemudian menatap kembali ke arah kedua tangannya yang masih terbalut dengan sarung tangan yang sudah kotor. “Dengan tangan kotor ini?”
“Ya, dengan tangan kotor itu.” katanya lagi. Ia tersenyum kecil kepada Ray.
“Kau yakin?” tanya Ray dengan nada ragu.
“Tentu saja!” katanya lagi. Ia tersenyum kecil kepada Ray. “Kalau kau sudah berhasil dengan cara itu, mengapa kau tak memulai berjuang lagi? Kau pasti bisa kalau kau berusaha lebih keras lagi!”
“Aku hanya seorang lelaki berumur dua belas tahun. Setiap hari tanganku kotor karena merawat tanaman di sekolahmu dan membantu Ayah menanam berbagai bunga. Aku hanya melukis jika aku punya waktu senggang. Apa pantas tangan kotor ini menjadi pemilik lukisan besar seperti lukisan besar itu?”
“Memangnya siapa bilang tukang kebun kecil tidak bisa menjadi pelukis?” tanya Lala.
“Tapi, sekarang waktu melukisku sudah tersita karena bekerja di sekolahmu. Sepulang dari sana, aku membantu Ayah di kebun sampai malam. Kemudian, aku harus makan malam dan segera tidur.”
“Aku mempunyai satu buku gambar sekolahku yang tak terpakai saat kelas SD. Kau bisa membawanya kemana-mana beserta pensil dan penghapus selama kau bekerja. Bila perlu, aku akan meminjamkanmu pensil warna. Kalau kau memiliki alat melukis setiap waktu, kau pasti bisa menghasilkan gambar yang banyak!” kata Lala.
“Aku tidak ingin merepotkanmu, La.” kata Ray merasa tidak enak hati.
Lala menggelengkan kepalanya. “Sama sekali tidak repot, Ray. Aku yakin, kau pasti bisa mengalahkan rasa takutmu itu! Kau bisa menjadi pelukis!”
Ray tersenyum. “Terima kasih, Lala. Semoga saja kau benar.”

THE END...
Tuliskan komentar kalian di bawah ya,
Nantikan ceritaku selanjutnya!

4 komentar:

Makasih ya udah baca cerpenku. Silahkan tinggalkan komentar kamu ya.
Semua kritik dan saran aku terima. Pujian juga boleh :p