Rabu, 04 Juni 2014

Cerpen | Sahabat Kecil


Ini sebenarnya cerpen saya empat tahun yang lalu, kira-kira saya masih kelas sembilan. Tapi, ceritanya sudah saya rombak habis bahasanya karena berantakan banget. Tapi, inti ceritanya sama kok. So enjoy :)



Hari ini matahari menyinarkan sinarnya dengan begitu semangat hingga kulit pun bisa terbakar menjadi merah. Tapi, tampak enam orang laki-laki yang masih saja betah berada di lapangan sekolah. Padahal saat itu sudah sore. Hampir semua anak-anak sudah pulang.
Cakka, salah satu dari mereka tengah sibuk menatap laki-laki di depannya dengan kesal. Ya, laki-laki yang ada di hadapannya sekarang ini adalah penyebab mereka berkumpul. Pertengkaran yang terjadi di kantin tadi siang benar-benar membuatnya marah. “Siapa kau? Untuk apa kau mengajakku datang ke sini? Kita bahkan tidak saling mengenal!”

                                                                  J L J

Saat itu, kantin ramai sekali. Cakka tengah berebutan dengan murid-murid lainnya untuk memesan nasi uduk di kantin. Padahal, dia sudah sangat lapar. Perutnya belum ia isi sejak tadi pagi. Sementara ia tak bisa memesan makanan yang lain karena dia tak begitu suka makanannya. Untungnya, setelah beberapa lama dia akhirnya mendapatkan kesempatan untuk memesan. Setelah mendapatkan makanan yang ia mau, dia langsung buru-buru keluar dari keramaian tersebut. Ia kira masalahnya sudah selesai, tapi ternyata dia tak sengaja tertabrak seseorang. Orang itu tampak baru datang untuk memesan nasi uduk yang sama.
“Kau tak punya mata? Kau menabrakku begitu saja!” omel orang yang menabrak Cakka tadi. Wajahnya tampak jelas memancarkan kemarahan. Orang itu adalah anak laki-laki dari kelas sebelah.
Cakka yang merasa kesal langsung menatap orang itu dengan geram. “Heh! Untuk informasimu, kau yang duluan menabrakku! Kenapa aku yang harus meminta maaf?!”
“Belagu kau! Bukankah kau anak baru di sini? Jangan bertingkah seenaknya di sekolah kami!” kata laki-laki itu sambil mendorong sebelah bahu Cakka dengan kasar.
“Kau yang seenaknya menuduh orang!”
Laki-laki itu melotot tajam mendengarnya. Telinganya panas mendengar ucapan Cakka. Amarahnya sudah akan meledak jika dia tidak menahannya. “Awas! Aku tidak akan lupa dengan kejadian ini!”
 Setelah berkata begitu, laki-laki itu pergi dari hadapan Cakka bersama kedua temannya. “Wan, Dim, cabut!”

J L J

“Namaku adalah Iza Aditya.” katanya dengan nada yang sama datarnya dengan nada Cakka tadi. Dua orang teman di belakangnya, Iwan dan Dimas, juga ikut menatap Cakka dengan tajam. Sebagai teman yang baik, mereka juga kesal melihat teman mereka dimarahi oleh anak baru seperti Cakka.
“Dimas Ellosi.” sahut laki-laki yang ada di sebelah kanan Iza.
“Iwan Roberton.” sahut laki-laki yang ada di sebelah kiri Iza.
“Jadi kau yang bernama Iza? Yang akan menjadi sainganku di lomba Festival Anak Bakat nanti?” tanya Cakka. Ia tersenyum meremehkan ke arah Iza.
Festival Anak Bakat adalah sebuah acara tahunan yang menampilkan anak–anak yang berbakat nyanyi solo, duet ataupun band untuk bersaing memperebutkan satu gelar yaitu Best Perfomer. Anak–anak yang ikut lomba itu adalah anak–anak yang di pilih oleh guru mereka di setiap sekolah. Dan SMP Idola mengirim dua peserta untuk mengikutinya. Kelompok CAD, Cakka Alvin Deva, dan IDI, Iza Dimas Iwan.
“Apa kau tak pernah diajarkan kesopanan? Cepat perkenalkan dirimu!” tanya Iza sebal karena Cakka tidak memperkenalkan diri kembali, apalagi dia berani-beraninya meremehkannya.
“Cakka, laki-laki yang sedang berhadapan dengan orang yang sok belagu, menyebalkan dan hobi tebar pesona dengan para siswi saat istirahat!” kata Cakka diiringi dengan ejekan untuk Iza.
“Apa kau bilang?!” Dimas naik darah.
“Heh! Kau berani-beraninya mengejek teman kami!” kata Iwan juga ikutan membela Iza. Ia segera mendekati Cakka dan mendorong bahunya dengan kasar. Bagaimanapun juga, Iwan adalah sahabat Iza dan ia tidak akan tinggal diam jika seseorang memojokkan teman-temannya.
Iza juga melotot ke arah Cakka karena mendengar sejumlah ejekan yang dilontarkannya tadi. Tapi, dia tidak niat untuk membalas. Ia sudah memegang prinsip tidak akan membalas ejekan orang lain, sekalipun dia sebal. Beda dengan kedua temannya yang mudah naik darah dan meledak.
“Kau juga berani-beraninya mendorong Cakka!” kata Alvin, teman yang berdiri sebelah Cakka. Dia adalah salah satu teman Cakka semasa kecil. Sempat terpisah saat kelas lima, tapi sekarang bertemu lagi di kelas tujuh. Dan ia benar-benar sebal dengan tiga makhluk yang ada di depannya itu.
“Hanya pecundang yang berani memakai kekerasan!” tambah Deva, teman Cakka yang ada di sebelah kirinya ikutan nyahut. Dia juga teman Cakka semasa kecil, sama dengan Alvin. Dan laki-laki yang satu ini sangat menyukai perdamaian.
“Aku tidak ingin ribut sekarang, tapi kita akan bertanding di Festival Anak Bakat besok. Siapa yang kalah, harus menuruti semua perintah yang menang.”
“Oke, siapa takut?” kata Cakka, Alvin dan Deva serempak.
“Bagus! Sekarang kau boleh lolos, tapi kalian harus ingat, sekeras apapun kalian berusaha, kalian tidak akan pernah mengalahkan kita! Betul tidak, Za?” kata Dimas.
“Benar sekali!” jawab Iza. Lalu, Iza dan teman-temannya langsung menertawakan lawan mereka. Alvin yang sudah akan memukul mereka jika tidak ditahan Cakka. Berbeda dengan Alvin, Cakka justru tersenyum sinis mendengar ejekan Iza dan Dimas.
“Kau bisa merasa yakin sekarang, tapi kau tak akan tahu apa yang terjadi besok, Iza Aditya. Dan aku harap, kau tak akan kecewa dengan kekalahanmu besok. Karena kita akan mengalahkan kalian!” kata Cakka.
 Good luck then!” Setelah berkata begitu, Iza dan teman-temannya langsung pergi begitu saja meninggalkan Cakka, Alvin dan Deva.
Cakka yang melihat kepergian mereka hanya diam saja. Kekesalan yang dirasakannya benar-benar sudah memuncak. Ia jadi rindu dengan masa sekolahnya saat ia masih di sekolah dasar. Setiap kali ia mengikuti lomba, dia selalu bersaing dengan sahabatnya sendiri. Selain Alvin dan Deva, ia memiliki beberapa orang sahabat yang lain. Tapi, entah dimana mereka sekarang.

J L J

Hari ini adalah hari yang sudah Cakka, Iza beserta teman-temannya nantikan. Yap! Mereka sedang berada di FAB sekarang, tepatnya di belakang panggung. Masing-masing dari mereka sudah siap untuk menghibur para penonton dan memberikan yang terbaik untuk sekolah mereka dengan lagu mereka juga sudah mereka kuasai. Mereka hanya tinggal menunggu sang pembawa acara memanggil nama mereka untuk tampil. Dan saat itu, salah seorang dari mereka tiba-tiba memecah keheningan.
“Lihat Za, kostum CAD begitu keren, bukan?” tanya Iwan melirik ke arah Iza di hadapan Cakka, Alvin dan Deva. CAD jelas tidak senang mendengar ucapan dari Iwan itu, mereka langsung melotot. Mereka tahu kalau ucapannya itu bukannya untuk memuji, tapi mengejek.
“Iya! KEREN SEKALI! Aku sampai tidak tahan untuk tertawa lebar!” kata Iza sambil tertawa. Iwan juga ikut-ikut menertawakan mereka. Cakka yang mendengarnya langsung emosi.
“Oh ya, TERIMA KASIH!” kata Cakka sambil mendekati Iza dan mendorong bahunya pelan, lalu langsung pergi keluar panggung karena grupnya sudah dipanggil. Sedangkan Iza, Iwan dan Dimas masih asyik tertawa lebar di belakang panggung melihat kekesalan saingannya.
“Baik penonton, mari kita sambut... CAD!” kata MC.
Semuanya langsung teriak–teriak histeris begitu Cakka, Alvin dan Deva muncul di atas panggung. Walaupun mereka ini masih grup baru dalam mengikuti lomba–lomba seperti ini, tapi mereka sudah memiliki banyak penggemar. Aneh, tapi justru merekalah yang membuat ketiga laki-laki itu sangat bersemangat untuk terus berkarya.
“Selamat pagi penonton! Selamat pagi juga untuk para juri!” kata Alvin yang berdiri di paling depan karena sebagai vokalis. Sementara Cakka berdiri di sebelah kiri belakang Alvin sebagai gitaris, Deva yang sebagai bassist berdiri di samping Cakka. Tak berapa lama terdengar banyak orang yang memanggil-manggil nama mereka.
Cakka, Alvin dan Deva tersenyum mendengar teriakan-teriakan itu. Deva bahkan melambaikan tangannya sejenak untuk membahagiakan para penonton. Setelah sedikit reda, Alvin melanjutkan kata–katanya. “Hari ini kami akan membawakan sebuah lagu yang berjudul Meraih Mimpi. Selamat menikmati!”
Musik langsung terdengar begitu Alvin selesai berbicara. Cakka dan Deva juga langsung mulai asyik dengan jari-jari mereka yang memetik senar alat musik mereka masing-masing. Alvin apalagi, dia sangat bersemangat bernyanyi untuk menghibur para penonton. Sementara penonton melompat-lompat girang mengikuti musik. Setelah CAD selesai, CAD berterima kasih kepada para penonton yang masih berteriak–teriak histeris kepada mereka dan melangkah masuk lagi ke belakang panggung. MC muncul kembali.
“Baiklah, setelah ini peserta terakhir akan tampil, siapa lagi kalau bukan IDI!!” kata MC memanggil Iza dan kedua temannya. Penonton kembali bersorak memanggil–manggil nama IDI. Sama seperti saat CAD tampil, para penonton juga bersemangat meneriaki para personilnya.
“Selamat pagi semua!” sapa Iza yang sebagai vokalis. “Hari ini kita akan membawakan satu lagu yang berjudul Ceria. Selamat menyaksikan!”
 Musik mulai terdengar lagi. Dan Iza sibuk menghibur penonton bersama kedua temannya. Sementara itu, Cakka, Alvin dan Deva melihat mereka dari belakang panggung. Berbeda dengan Cakka dan Alvin yang menatap mereka dengan sinis, Deva justru serius menikmati penampilan mereka. Ia melihat setiap gerak-gerik Iza, Dimas dan juga Iwan. Tiba-tiba kepalanya sakit. “Aduh....”
“Va, kau kenapa?” tanya Cakka langsung kaget mendengar suara rintih Deva.
“Kepalaku sakit, Kka!” kata Deva sambil memegang kepalanya.
“Kenapa? Kau ingat sesuatu?” tanya Alvin ikut khawatir. Ah ya, benar. Deva mengalami kecelakaan beberapa waktu yang lalu. Kira-kira tahun lalu, sehingga membuatnya kehilangan beberapa memori masa lalunya.
“Entahlah, tapi kepalaku sakit sekali!” kata Deva. Tiba-tiba tubuhnya lemas dan langsung menutup mata. Dia pingsan! Untung saja Cakka dan Alvin segera menangkapnya. Mereka langsung membawa Deva ke sebuah sofa yang ada di sana. Mereka menidurkan Deva di sana.
Tak lama kemudian, IDI sudah kembali ke belakang panggung. Mereka tersenyum sinis melihat Deva yang tampak tidak baik. Iza langsung bersuara. “Kenapa dia? Pingsan karena takut kalah?”
 “Kau jangan sembarangan menuduh temanku!” kata Cakka geram. “Kau jangan terlalu yakin menang karena bukan kau yang menentukan hasil dari lomba FAB ini!”
“Ya, memang benar! Yang menentukan siapa yang bakal menang adalah juri, bukan kami. Tapi kalian tidak akan menang! Jadi kau tidak perlu belagu dan membanggakan diri! Loser!” kata Dimas.
Setelah itu, Iza, Dimas dan Iwan langsung pergi meninggalkan mereka Cakka dan Alvin. Mereka berdua langsung menfokuskan diri kembali kepada Deva. Dalam hati mereka, mereka berharap Deva segera sadar sebelum pengumuman tiba. Cakka menatap ke arah Alvin. “Vin, aku akan mengambilkan minyak angin dan air minum untuk Deva, jagalah dia untukku.”
Alvin mengangguk. “Baik, Kka.”

J L J

Dua jam berlalu, setelah ada beberapa pengisi acara yang memeriahkan Festival Anak Berbakat, sekarang saatnya pengumuman untuk lomba musik yang diikuti Cakka dan teman-temannya. Iza, Dimas dan Iwan tampak tersenyum yakin di belakang panggung. Sementara Cakka dan Alvin sibuk berdoa dan menghela napas lega karena Deva sudah sadar. Mereka bertiga saling bergandengan satu sama lain agar tidak terlalu gugup mendengarkan pengumuman.
“Oke, saatnya penentuan! Setelah para juri mengevaluasikan semua peserta yang telah tampil, hanya akan ada dua grup yang akan menjadi juara di tahun ini!” kata MC. “Dan yang mendapatkan juara dua adalah.... IDI....!!!”
Penonton yang mendukung IDI langsung bersorak senang. IDI tersenyum licik ke arah CAD yang langsung dibalas dengan tatapan datar dari Cakka dan Alvin. Sementara Deva hanya diam saja. Setelah itu, IDI maju dengan bangganya ke atas panggung karena mereka mendapatkan juara. Begitu mereka sampai di panggung, mereka langsung menerima medali perak dari MC.
“Oke, mari kita beri tepuk tangan sekali lagi untuk IDI!” kata MC yang langsung dituruti oleh para penonton. Setelah itu, MC langsung melanjutkan ucapannya. “Sekarang saatnya mengumumkan juara pertama. Siapakah yang akan mendapatkannya?”
“CAD! CAD! CAD!” Penonton yang mendukung CAD berteriak sekencang– kencangnya. Mereka benar-benar berharap kalau grup yang mereka dukung mendapatkan juara.
“Didi! Didi! Didi!” Sebagian dari mereka berteriak nama peserta yang lain.
“Satria! Satria! Satria!” Itu nama peserta yang lainnya juga.
“Oke! Tenang semuanya! Mari kita sambut, sang juara tahun ini yaitu..... CAD!” kata MC sekencang-kencangnya, diiringi dengan senyuman senang darinya. Penonton langsung bersorak girang, terutama yang mendukung CAD. IDI langsung melongo mendengarnya. CAD sendiri langsung maju dengan senyum puas. Kecuali Deva. Ia masih tetap diam.
“Maaf!” seru Deva sambil mengambil mikrofon dari tangan MC dengan cepat. MC itu tentu saja kaget dan melotot ke arah Deva. “Maaf, Kak! Aku pinjam sebentar!”
“Apa yang dia lakukan?” tanya Cakka heran kepada Alvin. Dia dan Alvin sudah berdiri di sebelah Alvin bersama dengan IDI. Mereka benar-benar heran dengan sikap Deva yang masih menjadi aneh semenjak ia sadar dari pingsannya itu.
Deva menyadari kalau teman-temannya heran dengan tingkahnya. Tapi, Deva tidak perduli. Tadi begitu ia sadar dari pingsannya, ia mengingat sesuatu tentang masa lalunya. Dia tidak mau menyia-nyiakan kesempatan ini. “Saya mohon maaf sebelumnya karena telah mengganggu pengumuman juara. Tapi, sebagian dari kalian pasti tau, saya terkena amnesia tahun lalu dan saya melupakan sebagian masa lalu saya.”
“Tapi, saya selalu yakin Tuhan pasti mempertemukan saya lagi dengan sahabat-sahabat saya. Dan ketika saya melihat penampilan IDI tadi, rasanya ingatan saya tiba– tiba pulih kembali.”
Semua penonton beserta dengan Cakka dan Alvin langsung kaget.
“Saya ingat, selain Cakka dan Alvin, saya memiliki tiga orang teman masa kecil lagi. Dan saya tidak menyangka saya bisa bertemu dengan mereka lagi di sini. Karena itu, saya ingin meminta sesuatu.” Lalu, Deva menghadap ke MC, mengambil medali emas yang di pegangnya yang seharusnya di berikan kepada CAD, lalu menghampiri Dimas. “Dimas, aku ingin kau memiliki medali emas ini. Kau pantas mendapatkannya.”
Dimas yang tiba-tiba diberi medali emas oleh saingannya juga tak kalah kagetnya. Ia menatap Deva dengan heran. “Apa maksudmu, Va?”
Deva tersenyum. “Dim, tadi aku sudah mengatakan bahwa aku teringat dengan ketiga sahabatku ketika aku melihatmu dan teman-temanmu tampil. Apa kau tidak mengerti juga? Kau teman masa kecilku! Kau juga masa kecil teman masa kecil Cakka dan Alvin! Kau, Iza dan Iwan adalah alumni SD Citra Bangsa, bukan?”
Dimas langsung membesarkan matanya mendengar ucapan Deva. Iza dan Iwan juga ikut kaget mendengarkan penuturan Deva. Mereka tidak menyangka bahwa yang selama ini mereka hadapi adalah teman masa kecil mereka sendiri. Cakka dan Alvin yang juga mendengar langsung membekap mulut mereka, menahan rasa kaget mereka.
“Dim, Za, Wan, aku memberikan gelar Best Performer ini untuk IDI karena kalian pantas mendapatkannya. Dan aku berharap setelah FAB selesai, CAD dan IDI bisa berdamai. Kita bersahabat berenam, seperti dulu.” kata Deva sambil tersenyum.  Ia menoleh ke arah teman-temannya yang masih tampak kaget. “Bukankah begitu, Kka, Vin?”
Cakka dan Alvin hanya diam. Mereka tidak bisa berkata-kata.
Dimas, Iwan dan Iza menerima medali emas tersebut dari tangan Deva sambil tersenyum. Kemudian, mereka langsung berpelukan. Kemudian, mereka juga memeluk Cakka dan Alvin. Penonton yang ada di sana langsung bertepuk tangan meriah karena mereka berdamai. Persahabatan mereka telah kembali.

4 komentar:

Makasih ya udah baca cerpenku. Silahkan tinggalkan komentar kamu ya.
Semua kritik dan saran aku terima. Pujian juga boleh :p