Deva
tersenyum sambil memetik buah yang sudah tumbuh di sawahnya. Buah mangga dan
apel yang tumbuh karena semangat orang tuanya benar-benar tidak pernah
mengecewakan. Mereka selalu menghasilkan buah-buahan yang segar dan bagus untuk
dijual maupun untuk dimakan bersama-sama di rumah. Belum lagi sinar matahari
yang bersinar di atas sana, juga udara yang terasa sangat sejuk pagi itu. Deva
menjadi tambah semangat mengerjakan tugasnya! Benar-benar hari panen yang
menyenangkan.
Setelah
selesai, ia mengelus dahinya sejenak, menyingkirkan peluh yang telah membasahi
seluruh wajahnya. Kemudian, ia berdiri dan menoleh ke arah wanita paruh baya
yang juga sedang memetik buah tak jauh darinya. Sambil membawa keranjang yang
penuh dengan buah yang sudah ia petik, ia menghampirinya. “Bu, aku akan membawa
buah-buah ini ke rumah dulu ya?”
Wanita
paruh baya itu yang tak lain adalah ibu kandungnya mengangkat kepalanya.
Kemudian ia mengangguk. “Kau bersemangat sekali, Deva. Tak ingin menunggu Ibu
dulu seperti biasa?”
“Aku
berpikir untuk memberikan satu atau dua buah ini kepada adik-adikku. Lumayan
untuk menambah gizi, bukan?” kata Deva sambil tersenyum.
“Ya, kau
benar. Ya sudah. Kalau kau sudah selesai, bantulah Ayahmu berdagang. Ibu akan
segera menyusulmu.”
Deva
mengangguk patuh. Ia langsung pamit kepadanya untuk pulang. Laki-laki itu
melangkahkan kakinya menjauhi sawah dan segera pulang ke rumah. Dia merupakan
anak sulung dari empat bersaudara. Ia mempunyai dua adik perempuan dan satu
adik laki-laki yang masih bayi. Sejak kecil, Deva sudah terbiasa untuk menjaga
adik-adiknya layaknya seorang Ayah. Walaupun ada Ayah dan Ibu di rumah, tapi ia
selalu bersikeras agar dia yang memenuhi kebutuhan pangan adik-adiknya. Karena
bagi Deva, menyuapi adik-adiknya makan, memandikan adik bayinya sudah merupakan
kewajibannya sebagai kakak sulung.
Saat pagi
hari tiba, ia harus membantu Ayah dan Ibu bekerja sebagai petani. Kemudian,
siang hari orang tuanya harus berdagang, sementara Deva menjaga adik-adiknya di
rumah selama mereka sibuk. Dan malam hari, ketika mereka sudah menutup
dagangan, mereka akan bersempit-sempitan tidur di satu kamar yang berukuran
kecil. Seperti itulah kurang lebih kehidupan Deva setiap hari.
Kehidupan
keluarga Deva memang tidak bisa dibilang beruntung. Mereka tinggal di sebuah
rumah kecil yang hanya memiliki satu ruangan kamar, satu ruang dapur dan satu
ruang tamu. Akibatnya, sampai di usianya yang sudah menginjak enam belas tahun, ia
jelas tidak memiliki biaya untuk membayar uang sekolah. Padahal seharusnya ia
sudah mendapatkan pendidikan sampai tingkat SMA. Tapi hasil penjualan buah yang
mereka dapatkan setiap harinya hanya cukup untuk membiayai hidup keempat anak mereka.
Tapi, Deva
tidak termasuk anak yang bodoh. Walaupun tidak bersekolah, tapi dia bisa
belajar dari orang-orang di sekitarnya. Selain ajaran-ajaran etika dan tanggung
jawab dari Ayah dan Ibu, ia juga belajar banyak dari teman-temannya yang jauh
lebih beruntung. Sesekali mereka mengajak Deva untuk belajar bersama di rumah
mereka sehingga dia cukup mengerti apa-apa saja yang dipelajari di sekolah.
“Ayah, aku
pulang!” seru Deva ketika ia melihat Ayah sudah siap berdagang di depan
rumahnya. Ia meletakkan keranjang buahnya di meja dan menaruh buah-buah
tersebut di tempat mereka berjualan.
“Wah,
banyak sekali buah yang kau bawa.” kata Ayah sambil tersenyum.
“Ya, ini
hasil kerja keras Ayah dan Ibu, kan?” kata Deva sambil tertawa senang. “Ayah,
aku akan memberikan beberapa buah ini kepada Devi, Diva dan Dava. Setelah itu,
aku pasti membantu Ayah berdagang.”
Ayah
mengangguk. “Baiklah, masuklah. Mereka ada di kamar.”
Deva
mengangguk, kemudian membawa beberapa buah ke dalam rumah. Ayah melihat
punggung anak sulungnya itu sambil tersenyum. Ia benar-benar bahagia memiliki
anak laki-laki yang berbakti seperti Deva. Dia selalu memiliki banyak akal
untuk meringankan beban keluarganya. Dulu sebelum Deva lahir, Ayah dan Ibu
sering kali putus asa dengan kehidupan mereka yang kurang mampu. Mereka juga
was-was ketika Deva akan segera lahir karena takut tak ada rumah sakit yang mau
menerima mereka. Untunglah ada satu rumah sakit yang memahami kondisi keluarga
mereka. Dan lihatlah sekarang, Deva tumbuh menjadi anak yang sangat baik dan
berbakti.
J L J
Hari ini
hari Minggu. Itu artinya Ayah dan Ibu tidak berdagang, hanya bekerja di sawah
dan membantu warga-warga sekitar yang juga bekerja sebagai petani. Tadinya Deva
juga ingin membantu, tapi kali ini Ayah dan Ibu tidak mengizinkannya karena
takut anak mereka tersebut kelelahan. Mereka bilang mereka membebaskan Deva
untuk bermain-main dulu sampai sore karena selama ini Deva sudah terlalu banyak
memberikan bantuan kepada mereka. Tugas untuk menjaga adik-adiknyapun diambil
alih oleh Devi, adik pertamanya yang sudah berumur dua belas tahun.
Begitu
tahu Deva dibebaskan dari tugas petani, salah seorang temannya, Gabriel,
mengajaknya bermain di bukit. Deva tentu saja mengiyakan ajakannya. Mereka
berdua duduk di bawah sebuah pohon yang rindang sambil menikmati pemandangan.
Gabriel
memang bukan tipe anak yang suka berlari-larian seperti anak-anak lain. Ia
lebih senang menyendiri di berbagai tempat yang indah untuk menjalankan
hobinya. Dengan modal buku gambar kecil, pensil dan penghapus, ia menggambar
berbagai macam benda dan pemandangan yang dilihatnya. Hampir setiap hari dia di
sana. Sedangkan Deva sering sekali menemaninya jika benar-benar sedang tidak
ada pekerjaan.
“Deva...”
sahutnya sambil tetap sibuk melukis.
“Hm?”
jawabnya singkat sambil menoleh ke arahnya.
“Aku
senang sekali kau bisa menemaniku hari ini.” kata Gabriel sambil tersenyum. Namun
tetap fokus pada lukisannya. “Biasanya kau selalu sibuk dengan pekerjaan
rumahmu.”
Deva
tersenyum. “Aku melakukannya untuk membahagiakan keluargaku.”
“Ya, aku
tahu itu. Tapi, kau mempunyai orang tua yang sangat bekerja keras. Haruskah kau
juga ikut lelah mengerjakan semuanya? Kau bahkan tidak mengeluh karena kau tak
bisa bersekolah. Padahal, sekolah itu sangat penting untuk masa depan kita.”
“Tentu
saja. Mereka bekerja di sawah dengan sangat giat untuk kami berempat. Aku juga
harus melakukan yang sama untuk mereka berdua. Lagipula, ada teman-teman yang
mengajariku.” kata Deva.
“Ajaran
dari kami tidak cukup untuk pendidikanmu, Deva.”
“Apa
sekolah lebih segala-galanya dibanding dengan kasih keluarga?”
“Ah, kau
tidak berpikir luas. Maksudku, apa kau tidak berpikir bahwa di masa depan kau
juga harus melakukan sesuatu yang hebat?” tanya Gabriel. “Aku memiliki
cita-cita, suatu saat nanti ketika aku lulus sekolah, aku akan masuk ke sekolah
seni dan menjadi pelukis terkenal seperti Pablo Picasso. Tanpa pendidikan yang
baik, aku tidak akan mendapatkan semua itu.”
Deva
tersenyum tipis. “Kalau begitu, wujudkanlah cita-citamu.”
“Hei, aku
tak menyuruh kau untuk menyemangatiku. Aku mengatakannya supaya kau tahu bahwa
kau juga harus melakukannya.” kata Gabriel. “Kau juga pasti punya cita-cita
bukan?”
“Ah, tidak
juga.” kata Deva. Kepalanya terangkat melihat ke arah langit. “Aku terlahir di
keluarga yang tidak mampu dengan tiga orang adik dan orang tua yang bekerja
sebagai petani. Sejak kecil, Ayah dan Ibu selalu bilang agar aku tidak
mengecewakan orang lain. Karena itu, aku berjanji akan membahagiakan mereka
semua.”
“Kau tak
mungkin hanya bercita-cita untuk membahagiakan keluargamu, kan?” tanya Gabriel
heran.
Deva
tertawa kecil. “Kenapa tidak?”
Gabriel
akhirnya ikut tertawa. Ia tak habis pikir bisa memiliki teman laki-laki yang
begitu sederhana. Padahal, Deva seumuran dengannya. Dia sudah berteman dengan
Deva sejak mereka masih kecil. Tapi, dari dulu sampai sekarang cara berpikirnya
tetap saja tidak berubah. Dia tidak pernah mengeluh tentang apapun kepada orang
tuanya. Dia hanya menjalankan hidupnya sesuai dengan apa yang ia dapatkan tanpa
menuntut lebih. Ia benar-benar penasaran apa jadinya anak itu ketika ia sukses
nanti. Akan jadi apa dia tanpa sekolah?
“Aku akan
menjadi orang hebat dengan berbakti kepada orang tua. Lihat saja nanti. Kau
akan terkejut melihatku di masa depan.”
THE END..
Tuliskan komentar kalian di bawah,
Nantikan ceritaku selanjutnya!
Cerpen nya bagus :)
BalasHapusbagus nih cerpen ny
BalasHapusthanks for share
apa ane termasuk pria sederhana :v ?
BalasHapusbagus sis cerpennya
wuihh keren ini cerpen nya sob,..
BalasHapusCerpennya bagus mbak
BalasHapussangat menghayati
ceritanya menarik gan, lanjutkan dan terus berkarya
BalasHapuskeren gan
BalasHapusbagus gan cerpennya
BalasHapuscerpenya bagus kk..
BalasHapuscantik kaya orangnya :D
Cerpen nya benar-benar bagus.... :) :) :)
BalasHapus