Rabu, 28 Mei 2014

Cerpen | Pria Sederhana


Deva tersenyum sambil memetik buah yang sudah tumbuh di sawahnya. Buah mangga dan apel yang tumbuh karena semangat orang tuanya benar-benar tidak pernah mengecewakan. Mereka selalu menghasilkan buah-buahan yang segar dan bagus untuk dijual maupun untuk dimakan bersama-sama di rumah. Belum lagi sinar matahari yang bersinar di atas sana, juga udara yang terasa sangat sejuk pagi itu. Deva menjadi tambah semangat mengerjakan tugasnya! Benar-benar hari panen yang menyenangkan.

Setelah selesai, ia mengelus dahinya sejenak, menyingkirkan peluh yang telah membasahi seluruh wajahnya. Kemudian, ia berdiri dan menoleh ke arah wanita paruh baya yang juga sedang memetik buah tak jauh darinya. Sambil membawa keranjang yang penuh dengan buah yang sudah ia petik, ia menghampirinya. “Bu, aku akan membawa buah-buah ini ke rumah dulu ya?”
Wanita paruh baya itu yang tak lain adalah ibu kandungnya mengangkat kepalanya. Kemudian ia mengangguk. “Kau bersemangat sekali, Deva. Tak ingin menunggu Ibu dulu seperti biasa?”
“Aku berpikir untuk memberikan satu atau dua buah ini kepada adik-adikku. Lumayan untuk menambah gizi, bukan?” kata Deva sambil tersenyum.
“Ya, kau benar. Ya sudah. Kalau kau sudah selesai, bantulah Ayahmu berdagang. Ibu akan segera menyusulmu.”
Deva mengangguk patuh. Ia langsung pamit kepadanya untuk pulang. Laki-laki itu melangkahkan kakinya menjauhi sawah dan segera pulang ke rumah. Dia merupakan anak sulung dari empat bersaudara. Ia mempunyai dua adik perempuan dan satu adik laki-laki yang masih bayi. Sejak kecil, Deva sudah terbiasa untuk menjaga adik-adiknya layaknya seorang Ayah. Walaupun ada Ayah dan Ibu di rumah, tapi ia selalu bersikeras agar dia yang memenuhi kebutuhan pangan adik-adiknya. Karena bagi Deva, menyuapi adik-adiknya makan, memandikan adik bayinya sudah merupakan kewajibannya sebagai kakak sulung.
Saat pagi hari tiba, ia harus membantu Ayah dan Ibu bekerja sebagai petani. Kemudian, siang hari orang tuanya harus berdagang, sementara Deva menjaga adik-adiknya di rumah selama mereka sibuk. Dan malam hari, ketika mereka sudah menutup dagangan, mereka akan bersempit-sempitan tidur di satu kamar yang berukuran kecil. Seperti itulah kurang lebih kehidupan Deva setiap hari.

Kehidupan keluarga Deva memang tidak bisa dibilang beruntung. Mereka tinggal di sebuah rumah kecil yang hanya memiliki satu ruangan kamar, satu ruang dapur dan satu ruang tamu. Akibatnya, sampai di usianya yang sudah menginjak enam belas tahun, ia jelas tidak memiliki biaya untuk membayar uang sekolah. Padahal seharusnya ia sudah mendapatkan pendidikan sampai tingkat SMA. Tapi hasil penjualan buah yang mereka dapatkan setiap harinya hanya cukup untuk membiayai hidup keempat anak mereka.
Tapi, Deva tidak termasuk anak yang bodoh. Walaupun tidak bersekolah, tapi dia bisa belajar dari orang-orang di sekitarnya. Selain ajaran-ajaran etika dan tanggung jawab dari Ayah dan Ibu, ia juga belajar banyak dari teman-temannya yang jauh lebih beruntung. Sesekali mereka mengajak Deva untuk belajar bersama di rumah mereka sehingga dia cukup mengerti apa-apa saja yang dipelajari di sekolah.
“Ayah, aku pulang!” seru Deva ketika ia melihat Ayah sudah siap berdagang di depan rumahnya. Ia meletakkan keranjang buahnya di meja dan menaruh buah-buah tersebut di tempat mereka berjualan.
“Wah, banyak sekali buah yang kau bawa.” kata Ayah sambil tersenyum.
“Ya, ini hasil kerja keras Ayah dan Ibu, kan?” kata Deva sambil tertawa senang. “Ayah, aku akan memberikan beberapa buah ini kepada Devi, Diva dan Dava. Setelah itu, aku pasti membantu Ayah berdagang.”
Ayah mengangguk. “Baiklah, masuklah. Mereka ada di kamar.”
Deva mengangguk, kemudian membawa beberapa buah ke dalam rumah. Ayah melihat punggung anak sulungnya itu sambil tersenyum. Ia benar-benar bahagia memiliki anak laki-laki yang berbakti seperti Deva. Dia selalu memiliki banyak akal untuk meringankan beban keluarganya. Dulu sebelum Deva lahir, Ayah dan Ibu sering kali putus asa dengan kehidupan mereka yang kurang mampu. Mereka juga was-was ketika Deva akan segera lahir karena takut tak ada rumah sakit yang mau menerima mereka. Untunglah ada satu rumah sakit yang memahami kondisi keluarga mereka. Dan lihatlah sekarang, Deva tumbuh menjadi anak yang sangat baik dan berbakti.
J L J

Hari ini hari Minggu. Itu artinya Ayah dan Ibu tidak berdagang, hanya bekerja di sawah dan membantu warga-warga sekitar yang juga bekerja sebagai petani. Tadinya Deva juga ingin membantu, tapi kali ini Ayah dan Ibu tidak mengizinkannya karena takut anak mereka tersebut kelelahan. Mereka bilang mereka membebaskan Deva untuk bermain-main dulu sampai sore karena selama ini Deva sudah terlalu banyak memberikan bantuan kepada mereka. Tugas untuk menjaga adik-adiknyapun diambil alih oleh Devi, adik pertamanya yang sudah berumur dua belas tahun.
Begitu tahu Deva dibebaskan dari tugas petani, salah seorang temannya, Gabriel, mengajaknya bermain di bukit. Deva tentu saja mengiyakan ajakannya. Mereka berdua duduk di bawah sebuah pohon yang rindang sambil menikmati pemandangan.
Gabriel memang bukan tipe anak yang suka berlari-larian seperti anak-anak lain. Ia lebih senang menyendiri di berbagai tempat yang indah untuk menjalankan hobinya. Dengan modal buku gambar kecil, pensil dan penghapus, ia menggambar berbagai macam benda dan pemandangan yang dilihatnya. Hampir setiap hari dia di sana. Sedangkan Deva sering sekali menemaninya jika benar-benar sedang tidak ada pekerjaan.
“Deva...” sahutnya sambil tetap sibuk melukis.
“Hm?” jawabnya singkat sambil menoleh ke arahnya.
“Aku senang sekali kau bisa menemaniku hari ini.” kata Gabriel sambil tersenyum. Namun tetap fokus pada lukisannya. “Biasanya kau selalu sibuk dengan pekerjaan rumahmu.”
Deva tersenyum. “Aku melakukannya untuk membahagiakan keluargaku.”
“Ya, aku tahu itu. Tapi, kau mempunyai orang tua yang sangat bekerja keras. Haruskah kau juga ikut lelah mengerjakan semuanya? Kau bahkan tidak mengeluh karena kau tak bisa bersekolah. Padahal, sekolah itu sangat penting untuk masa depan kita.”
“Tentu saja. Mereka bekerja di sawah dengan sangat giat untuk kami berempat. Aku juga harus melakukan yang sama untuk mereka berdua. Lagipula, ada teman-teman yang mengajariku.” kata Deva.
“Ajaran dari kami tidak cukup untuk pendidikanmu, Deva.”
“Apa sekolah lebih segala-galanya dibanding dengan kasih keluarga?”
“Ah, kau tidak berpikir luas. Maksudku, apa kau tidak berpikir bahwa di masa depan kau juga harus melakukan sesuatu yang hebat?” tanya Gabriel. “Aku memiliki cita-cita, suatu saat nanti ketika aku lulus sekolah, aku akan masuk ke sekolah seni dan menjadi pelukis terkenal seperti Pablo Picasso. Tanpa pendidikan yang baik, aku tidak akan mendapatkan semua itu.”
Deva tersenyum tipis. “Kalau begitu, wujudkanlah cita-citamu.”
“Hei, aku tak menyuruh kau untuk menyemangatiku. Aku mengatakannya supaya kau tahu bahwa kau juga harus melakukannya.” kata Gabriel. “Kau juga pasti punya cita-cita bukan?”
“Ah, tidak juga.” kata Deva. Kepalanya terangkat melihat ke arah langit. “Aku terlahir di keluarga yang tidak mampu dengan tiga orang adik dan orang tua yang bekerja sebagai petani. Sejak kecil, Ayah dan Ibu selalu bilang agar aku tidak mengecewakan orang lain. Karena itu, aku berjanji akan membahagiakan mereka semua.”
“Kau tak mungkin hanya bercita-cita untuk membahagiakan keluargamu, kan?” tanya Gabriel heran.
Deva tertawa kecil. “Kenapa tidak?”
Gabriel akhirnya ikut tertawa. Ia tak habis pikir bisa memiliki teman laki-laki yang begitu sederhana. Padahal, Deva seumuran dengannya. Dia sudah berteman dengan Deva sejak mereka masih kecil. Tapi, dari dulu sampai sekarang cara berpikirnya tetap saja tidak berubah. Dia tidak pernah mengeluh tentang apapun kepada orang tuanya. Dia hanya menjalankan hidupnya sesuai dengan apa yang ia dapatkan tanpa menuntut lebih. Ia benar-benar penasaran apa jadinya anak itu ketika ia sukses nanti. Akan jadi apa dia tanpa sekolah?
“Aku akan menjadi orang hebat dengan berbakti kepada orang tua. Lihat saja nanti. Kau akan terkejut melihatku di masa depan.” 

THE END..
Tuliskan komentar kalian di bawah,
Nantikan ceritaku selanjutnya!

10 komentar:

Makasih ya udah baca cerpenku. Silahkan tinggalkan komentar kamu ya.
Semua kritik dan saran aku terima. Pujian juga boleh :p