Hari ini
aku kembali duduk manis di depan komputerku sambil melakukan senam jari.
Kamarku sangat sunyi. Tentu saja, Ayah sedang bekerja siang-siang begini. Mas
Elang pasti sedang kuliah. Dan karena aku adalah anak bungsu dari dua
bersaudara, tentu aku tak ditemani siapa-siapa sekarang. Bunda? Dia sudah tiada
sejak aku masih sangat kecil.
Sebenarnya
ini adalah hari Sabtu. Ayah seharusnya libur, Mas Elang juga seharusnya tidak
masuk kuliah. Namun Ayah memiliki meeting yang sangat penting dengan klien,
sementara Mas Elang ada perkuliahan tambahan karena minggu lalu ia sempat libur
sehari. Rencanaku ingin mengajak mereka berdua jalan-jalan hari ini gagal
total!
Kulirik
ponselku yang terletak di meja. Ah, lagi-lagi dia yang membuat ponselku berisik.
Kuhentikan senam jariku sejenak dan langsung mengangkat telepon itu.
"Halo?"
"Hey,
bro! Nggak keluar lo? Hari Sabtu loh!" terdengar suara di seberang. Alvin.
Sahabatku tampaknya sedang ceria sekali. Tentu saja, aku yakin dia pasti sedang
tak sendiri. Gadis yang dikejar-kejarnya itu pasti sedang bersamanya. Hampir
setiap Sabtu mereka jalan-jalan. Entah ke mall, nonton bioskop, bahkan
kadang-kadang kalau mereka tak punya tempat rekreasi, rumah mereka pun jadi!
"Emangnya
kalo Sabtu mesti keluar apa?" tanyaku sambil berusaha tetap mengetik
dengan satu tanganku yang bebas.
"Yeee..
lo sensi amat. Katanya lo mau jalan-jalan sama keluarga? Atau sama temen lo
yang lain?" tanyanya lagi.
"Ayah
tiba-tiba harus meeting. Mas Elang harus kuliah. Gue sendiri di rumah sekarang.
Lo ngapain nelpon-nelpon gue? Gue yakin lo pasti lagi sama Laila, kan? Udahlah,
sana kencan sendiri! Ngapain ngajak-ngajak gue?" kataku lagi.
"Dih,
dasar sensian. Gue lagi sendiri kali. Laila lagi belanja tuh di dalem. Gue
disuruh tunggu di luar. Baik kan gue?" katanya dengan suara bangga. Ah,
rasanya tak ada yang bisa dibanggakan dari perlakuannya.
"Dih,
jadi babunya cewek aja mau." responku cuek.
"Enak
aja. Gue itu bukan jadi babunya dia. Tapi, jadi partnernya! Ini semua karena
gue sayang sama dia. Makanya, gue bakal ngelakuin apapun buat dia."
"Ah,
masa? Entar kalau lo disuruh ngejauhin dia juga lo nggak mau, kan?"
"Lo
jahat banget nyumpahin gue putus! Hhh.. makanya cepet-cepet punya pacar. Biar
tau rasanya sayang sama orang. Lo tuh, udah SMA 3, belum juga naksir orang
sekalipun. Gue jadi curiga lo homo!"
“Lo
sendiri kayak begitu, masih bilang gue jahat. Udah ah, gue lagi serius ngetik
tau di depan komputer. Ganggu gue aja lo.” kataku agak sebal. Tanpa menunggu
jawabannya, aku langsung menekan tombol end pada layar ponselku. Kemudian, aku
kembali fokus dengan komputerku.
Kadang-kadang
aku tak habis pikir mengapa aku bisa bersahabat baik dengan Alvin. Padahal, jika
dilihat-lihat, aku dan Alvin hampir setiap hari bertengkar kata seperti tadi.
Jarang sekali melihat kami berdua benar-benar akrab. Ia selalu saja mengejekku.
Apalagi tentang statusku yang masih lajang. Kalau saja aku tak hobi menutup
telepon secara tiba-tiba, mungkin pertengkaran kami tak akan pernah selesai.
“Kami adalah pria-pria kesepian
Jauh dari rumah dan ditinggalkan cinta
Coba dengar keluhan kami...
Pria kesepian...”
Sebenarnya
aku bukan tak normal atau bagaimana. Aku pernah menyukai perempuan. Gadis itu
adalah kakak kelasku di SMP. Aku sering melihatnya masuk ke dalam perpustakaan
setiap istirahat. Aku ingat, waktu itu aku menjadi hobi masuk ke sana hanya
untuk melihat gadis itu. Bahkan terkadang aku pura-pura membaca di sana.
Padahal, kenyataannya aku sama sekali tak suka membaca. Aku lebih suka menulis.
Apalagi jika aku memang punya pikiran yang tak bisa dibagikan kepada siapapun.
Namun,
siapa sangka karena sandiwaraku yang tak jelas itu, aku justru bisa berteman
dekat dengannya. Pernah suatu kali aku ketahuan olehnya. Pipiku merah ketika
dia bertanya apakah aku sengaja mengikutinya atau memang suka membaca. Hatiku
berbunga-bunga ketika ia mengajakku berkenalan. Sayangnya, hubungan kami hanya
sebatas teman dekat. Setiap kali aku berusaha untuk mengungkapkan perasaan, aku
selalu gagal. Entah kenapa, setiap kali aku mengajaknya keluar, ia selalu
mempunyai acara. Sekalinya ia bisa diajak pergi, aku selalu menggagalkannya.
Entah karena tiba-tiba berhalangan, sakit maupun terlalu gugup untuk memulai
semuanya. Sampai aku memergoki sebuah fakta. Ternyata gadis itu sudah mempunyai
kekasih.
“Ku t'lah berjanji dapat cinta malam ini
Tapi hujan badai telah datang menemaniku...”
Kuhentikan
kegiatan mengetikku. Kutopang kepalaku dengan kedua tanganku. Aku masih ingat,
dulu setelah mengetahui gadis itu ternyata setiap malam minggu sibuk dengan
seorang laki-laki, tak jarang aku diam ketika kami bertemu. Yang tadinya aku
bawel terhadapnya, waktu itu justru dia yang lebih banyak berbicara. Ia bahkan
tak menyadari perubahanku.
Aku sudah
tak bertemu dengannya semenjak SMA. Aku sengaja pindah sekolah ke sekolah lain
untuk melupakannya. Tak disangka ternyata aku dipertemukan dengan sahabat yang
begitu mengusik hidupku. Ah, tidak. Alvin tak mengusikku sampai aku benar-benar
membencinya. Namun, rasanya ia terlalu kepo dengan hidupku. Kalau kau ingin
tahu, Alvin hampir setiap malam meneleponku. Alasannya tak masuk akal, tak ada
yang bisa dia ajak bicara di rumah. Padahal, dia tinggal dengan adik dan Omanya
yang sama-sama dekat dengan Alvin. Justru aku yang patut curiga kepadanya kalau
dia homo, kan? Untung saja dia cepat-cepat jadian dengan Laila, anak kelas
sebelah. Walaupun itu artinya tambah heboh saja dia mengejek status lajangku.
Biarkan saja. Aku tak mau siapapun tahu tentang kisah sedih masa laluku itu.
“Kka?”
Lamunanku terbuyar begitu mendengar suara Mas Elang.
Aku
menoleh ke arahnya. “Sejak kapan Mas di sana?”
“Baru aja.
Lagian elo mikirin siapa coba? Sampe galau begitu tulisannya.” kata Mas Elang
sambil menatap layar komputer. Ia membaca sepotong kalimat yang telah kutulis
di sana. “Kamu tak perlu mengetahui perasaanku yang sebenarnya karena kamu tak
akan mengerti apapun tentang perasaanku saat itu.”
Aku
tersenyum melihat layar komputerku. Ternyata, lagi-lagi aku tak sengaja
mengetik semua yang kurasakan saat aku masih berteman dengannya. Selalu saja
begitu. Setiap kali menulis, aku selalu teringat dengannya. Ah ya, aku baru
ingat. Dia kan yang selalu menyemangatiku untuk menulis.
“Gue cuma
menikmati bagaimana pahitnya cinta, kok, Mas.”
“Menikmati pedihnya cinta
Pria kesepian...
Menikmati dinginnya hati
Pria kesepian...”
Kungjungan Balikny neng , sekalian minta nomor hpnya hehe
BalasHapusblognya yang mana? Hehe.. nomor hp inbox fb ajaa :D
Hapuswah... bole juga nih cerpennya...
BalasHapusbiar ngga kesepian .. hubungi cinta ya 08122706409
BalasHapusajib ceritanya pria kesepian. tenang anda tidak perlu menjadi pria kesepian. Kami ada solusinya obat kuat viagra asli
BalasHapus