Siang itu,
Cakka sedang duduk-duduk di halaman belakangnya sambil bermain gitar ketika
ponselnya berbunyi. Tangannya yang sedang sibuk memetik senar langsung berhenti
dan segera memeriksa ponselnya. Bunyi yang barusan menandakan bahwa ada
seseorang yang mengirimnya sebuah pesan. Sambil memangku gitarnya, ia membuka
pesan itu.
Ayah dan Bunda akan pulang larut malam. Jika kamu
ingin makan, belilah di luar. Tapi ingat, jangan makanan pinggiran. Dan jaga
perilakumu. Bergaul dengan hal-hal yang setara dengan statusmu. Nanti Ayah dan
Bunda akan memberikanmu hadiah. Oke? Love ya, Chase Karayne!
Cakka
menghela napasnya melihat pesan singkat yang diberikan Bunda tersebut.
Lagi-lagi peraturan. Ayah dan Bunda selalu mengaturnya agar menjadi anak yang
bisa menjaga perilaku, hanya karena dia adalah anak dari konglomerat. Ya, Ayah
dan Bunda bekerja di perusahaan yang sama dan mereka berdua bisa dibilang
sebagai presiden dan wakil dari perusahaan tersebut. Belum lagi mereka
mempunyai satu vila yang cukup besar. Katanya vila itu bisa dipakai jika mereka
akan liburan. Dan katanya untuk ia pakai juga jika sudah besar nanti. Dan
karena alasan itulah yang membuat mereka gencar menyuruhnya agar menjaga sikap.
Selain melatih dirinya agar bisa sesukses orang tuanya, Cakka juga diharuskan
untuk menjaga nama baik Ayah dan Bunda.
Menurut
Cakka, kedua orang tuanya itu terlalu takut dengan jatuhnya reputasi mereka.
Padahal, Cakka tidak merasa bersikap tidak baik sekalipun dia tidak mengikuti
peraturan orang tuanya. Toh, Cakka tidak melakukan apapun yang berbau kriminal.
Jadi, dia tidak akan membuat Ayah dan Bunda dipandang rendah, bukan? Tapi
entahlah, mereka tidak akan pernah mengerti.
“Tuan.”
Cakka
menoleh ketika seseorang membuyarkan lamunannya. Ah, ternyata Joanne. Salah
satu pelayannya. “Ya. Ada apa?”
“Tuan
tidak keluar rumah hari ini? Saya akan menyiapkan makanan untuk Anda jika Anda
sudah lapar. Jam makan siang sudah lewat.” katanya lagi sambil tersenyum.
Cakka
melirik jam tangannya sejenak. Ternyata sudah jam dua siang. Pantas saja
perutnya mulai terasa lapar. Cakka beranjak dari tempat duduknya. “Tidak perlu,
Joanne. Aku akan makan di luar hari ini. Nanti akan kubawakan beberapa makanan
untukmu, Joey dan Jac.”
Joanne
segera membungkuk dan berterima kasih kepada Cakka, kemudian berbalik badan
untuk masuk kembali ke dalam rumahnya yang sudah seperti istana. Cakka yang
melihatnya hanya diam. Ia segera membereskan seperangkat alat musiknya dan
segera bersiap-siap untuk pergi. Ia tak ingin menyia-nyiakan kesempatan emas
saat kedua orang tuanya sedang lembur.
-------------
Lacey Larayna, gadis itu sedang sibuk memakai sepatu kedsnya di pintu depan rumahnya. Ah,
sebenarnya ia tak ingin keluar hari ini, tapi memorinya yang melayang ke masa
lalu memaksa untuk pergi. Hari ini tepat lima belas tahun Bunda meninggalkannya.
Dan akan tidak baik jika dia hanya berdiam diri di rumah dan membiarkan air
matanya menetes lagi, seperti saat kejadian itu terjadi. Lagipula, ini liburan
sekolah. Tak ada salahnya mencari angin sekali-kali.
Sambil
berjalan di pinggir jalan, ia melamun sendiri. Ia teringat lagi, dulu ia pernah
mendengar cerita dari Ayah, semasa beliau masih hidup. Katanya, Bunda bisa
kehilangan nyawanya karena telah melahirkanku yang masih ada di tahap tujuh
bulan. Waktu itu, Ayah sempat menyalahkannya atas kepergian Bunda. Tapi, lambat
laun Ayah mulai menyayangi gadis itu. Sayang sekali, Ayah harus menyusul Bunda
karena kecelakaan ketika aku baru berumur dua belas.
Sejak ia
menjadi anak yatim piatu, ia diasuh oleh Paman dan Bibinya. Namun, mereka tetap
saja tak bisa menggantikan kehadiran Ayah dan Bunda. Berbeda dengan Ayah yang
selalu menyayanginya, Paman dan Bibi terlalu sibuk dengan bisnis mereka,
sehingga membuat liburan sekolah kelulusan SMA gadis itu sangat membosankan. Teman-teman
sekolahnya sebagian besar sudah pergi berlibur keluar kota.
“Aku rindu
Ayah dan Bunda....”
---------------------
Melihat
keluar jendela. Itulah pekerjaan seorang laki-laki yang mencintai seni tari
modern itu kurang lebih selama satu tahun ini. Ia benar-benar berharap apa yang
dijanjikan orang tuanya benar-benar akan terjadi hari ini juga. Menebus
janji-janji yang telah mereka ingkar di masa lalu.
Pasalnya,
orang tuanya adalah pengusaha sibuk yang selalu bekerja di luar kota. Bahkan
terkadang sampai keluar negeri. Entahlah, ia sendiri tidak mengerti orang
tuanya memiliki pekerjaan sepenting apa sampai harus meninggalkan anaknya
sendiri di rumah. Ia kesal! Ia ingin sekali membenci orang tuanya, tapi jauh di
dalam lubuk hatinya, masih ada harapan kecil yang mewakili perasaan rindunya
kepada kedua orang tuanya tersebut. Memang sih, ia masih bisa bermain bersama
teman-temannya, tapi tidak setiap hari juga mereka bisa bermain dengan mereka.
Mereka jelas mempunyai kesibukan masing-masing di liburan mereka. Seperti hari
ini.
Laki-laki
itu melirik jam tangannya. Sudah jam dua siang. Sudah terlambat dua jam dari
waktu yang dijanjikan. Tanpa ada kabar apa-apa. “Ah! Sudahlah! Mereka tidak
akan datang!”
Ia segera
berjalan meninggalkan jendela dan keluar dari kamarnya. Ia mengambil tas
ranselnya yang ada di sofa, kemudian langsung memakai sepatu untuk bersiap
pergi. Saat itu, Bibi yang tak sengaja melihatnya langsung bertanya kepadanya.
“Mau kemana, Karel? Ayah dan Ibu kan sebentar lagi pulang.”
Karel
menggeleng. “Mereka tidak akan datang, Bi. Jadi untuk apa aku menunggu? Mereka
pasti lagi asyik bergaul dengan pekerjaan mereka sampai melupakan anaknya
sendiri!”
Tanpa
menunggu jawaban, Karel langsung pergi meninggalkannya. Bibi merasakan rasa
kasihan yang dalam begitu mendengar Karel membanting pintu depan. Kasihan Karel, dia pasti sangat kecewa
dengan orang tuanya, pikir Bibi. Kemudian, ia langsung kembali membersihkan
rumah.
----------------
Tiga anak
umur lima belas tahun yang memiliki kepribadian yang berbeda. Memiliki
kehidupan yang berbeda-beda pula. Dari Cakka yang ingin hidup sederhana, Lala
yang sedih kehilangan orang tuanya dan juga Karel yang benci dengan kemunafikan
orang tuanya. Masing-masing dari mereka memiliki takdir yang berbeda. Buruk.
Mungkin itu pikiran mereka tentang takdir yang sedang mereka hadapi. Namun,
setiap masalah pasti melewati sebuah cara yang akan menyelesaikan masalah
tersebut. Dan mungkin inilah cara dari Tuhan untuk menyelesaikan masalah
mereka.
“Hanya dua
yang bisa kusimpulkan dari cerita kalian berdua.” Lala menyahut kepada
laki-laki yang berada di hadapannya sekarang, membuat kedua laki-laki tersebut
menoleh ke arahnya. “Kau, Chase Karayne. Kau mungkin hanya tak tahu caranya
bersyukur. Dan kau Karel Alcander, kau hanya terlalu dikuasai oleh emosi.”
Ya. Mereka
bertiga yang tadinya sendiri-sendiri berjalan kini dipertemukan di sebuah taman
yang berada di komplek mereka. Dan akhirnya mengenal satu sama lain.
Cakka yang
sedang sibuk mengunyah burger yang
masih setengah itu hanya diam saja mendengar ocehan Lala. Tidak bersyukur
katanya? Huh, dia tidak pernah tahu betapa menderitanya menjadi anak dari Ayah
dan Bundanya. Dia tidak akan bersyukur kepada Tuhan hanya karena dia terlahir
sebagai anak orang kaya. Ia justru tak menyukainya.
“Dan
menurutmu kau tidak boleh emosi ketika orang tuamu meninggalkanmu hanya karena
pekerjaan?” tanya Karel langsung menyahut. “Kau itu harus merasakan bagaimana
kesepiannya aku di rumah!”
“Kau pikir
aku tidak kesepian di rumah? Walaupun aku diasuh oleh Paman dan Bibi, tapi
mereka selalu pulang larut malam karena serius bekerja. Apa bedanya dengan
hidup sendiri?” tanya Lala. “Dan apa kau tidak sedih jika mendengar Bunda
meninggalkan dunia ini karena melahirkanmu? Bahkan Ayah juga tega
meninggalkanmu!”
“Untuk
sekarang, aku tidak akan kenapa-kenapa tanpa mereka. Karena kehadiran mereka
satu kali di rumah tidak akan bisa menebus semua absen yang telah mereka
lewatkan!” kata Karel lagi.
"Kenapa kau menyebalkan sih?!" tanya Lala lantang.
"Kau yang menyebalkan! Taman ini selalu menjadi tempatku melarikan diri jika sedang kesal dengan orang tuaku! Tapi kau menempatinya!" balas Karel.
"Aku juga suka berada di sini untuk menenangkan diri!" kata Lala.
“Hei,
berhentilah berdebat!” kata Cakka setelah menelan makanannya, membuat keduanya
terdiam. Kemudian, Cakka menghela nafasnya. “Kalian masih punya hidup lebih
baik karena kalian tak diikat dengan setumpuk peraturan dari orang tua kalian! Dan tolong, taman ini tempat umum! Siapa saja boleh menggunakannya!”
“Lalu,
maumu apa?” tanya Karel dengan sebal menatap Cakka.
“Lebih
baik kita habiskan waktu kita hari ini dengan kegiatan yang bermanfaat! Aku
tidak ingin pulang ke rumah!” kata Cakka. “Kalian juga pasti bosan berada di
rumah kalian, bukan? Lebih baik kita pergi ke suatu tempat bersama!”
“TIDAK!”
kata Karel dan Lala serempak. Kemudian, langsung membuang muka masing-masing ke
arah yang berbeda. Mereka tampaknya sudah siap memulai perang lagi jika mereka
tidak menahan emosi.
Cakka
menghela nafasnya dan menggelengkan kepalanya melihat tingkah laku dua orang
yang baru setengah jam yang lalu ia kenal. Aneh! Padahal, ia hanya berniat
untuk mencari tempat makan yang cukup nyaman. Tapi, ia harus bertemu dengan dua
anak yang juga bermasalah seperti dirinya. Dua anak itu menyuguhkan perdebatan
singkat pula. Mengganggu ketenangannya saja. Tapi...
“Hei,
bagaimana kalau kita bertanding?” tanya Cakka tiba-tiba.
“Apa?”
tanya Karel datar.
“Bertanding?”
tanya Lala.
Cakka
mengangguk. “Masing-masing dari kita memiliki masalah yang hampir serupa,
bukan? Bagaimana jika aku menyelesaikan masalah Lala, Karel memecahkan
masalahku, Lala memecahkan masalah Karel? Dalam waktu dua minggu, kita
berkumpul lagi di sini, siapa yang lebih dulu selesai, dia pemenangnya!”
“Untuk apa
kita melakukan itu? Konyol!” kata Karel.
“Ya, untuk
apa aku memecahkan masalahmu? Manja!” kata Lala.
“Apa kau
bilang?!” kata Karel sebal.
“Oh, jadi
kalian tidak sanggup?” pancing Cakka sambil tersenyum misterius.
“Oke, siapa
takut?” kata Lala akhirnya menerima.
“Oke!”
kata Karel juga akhirnya setuju.
Jadilah,
dalam waktu dua minggu mereka berusaha mati-matian untuk memecahkan jatah
masalah mereka masing-masing. Mereka juga saling bertukar nomor ponsel untuk
jaga-jaga mereka membutuhkan sesuatu. Sampai akhirnya, dua minggu itupun tiba.
Mereka kembali berkumpul di taman dimana tempat mereka bertemu.
“Jadi,
siapa yang telah berhasil memecahkan jatah masalahnya?” tanya Cakka.
Tak ada
yang menyahut. Sama seperti dugaannya dua minggu yang lalu. Ia sendiri juga
belum bisa memecahkannya. Tapi, dari permainan itu Cakka bisa mendapatkan satu
hal penting. “Tidak ada yang bisa memecahkannya, bukan? Tapi, coba pikirkan
lagi, apa kalian berhasil melupakan sedikit demi sedikit masalah kalian karena
sibuk memikirkan bagaimana caranya agar menang?”
Karel dan
Lala diam sejenak.
“Kau
benar, Kka. Karena sibuk memikirkan bagaimana caranya memenangkan pertandingan
ini, aku bisa sedikit melupakan kesedihanku tentang kepergian Ayah dan Bunda.
Dan sekarang aku sudah tidak apa-apa.” Lala bersuara.
“Bagaimana
denganmu, Rel?” tanya Cakka.
“Ayah dan
Ibu masih belum pulang juga. Tapi, aku rasa dengan mengikuti permainan ini, aku
mendapatkan pelajaran untuk belajar merelakan. Merelakan orang tuaku pergi jauh
dalam waktu yang lama.” kata Karel. “Ayah dan Ibu bekerja untukku. Seharusnya
itu yang aku tanam dalam hati.”
“Ya, betul
itu.” kata Lala, kemudian mengulurkan tangannya ke arah Karel. “Aku minta maaf,
Karel. Soal dua minggu yang lalu.”
Karel
menggeleng, kemudian membalas tangannya. “Sama-sama. Aku juga minta maaf. Kau
benar, aku harusnya bersyukur, karena orang tuaku masih ada.”
Cakka
tersenyum. “Aku lega kalian menyadari hal itu, Karel, Lala. Dengan begitu,
rencanaku berhasil untuk membuat kalian berdua berdamai.”
Karel dan
Lala menatap ke arah Cakka dalam diam. Mereka baru sadar, ternyata permainan
itu ia berikan karena waktu itu Karel dan Lala berdebat di hadapannya. Padahal,
mereka mengira waktu itu Cakka hanya menantang mereka karena merasa sebal
dengan mereka berdua juga. Mereka langsung menggelengkan kepalanya karena
mengetahui hal itu.
“Kalau
begitu, kaulah yang memenangkan permainan ini, Kka.” kata Lala.
“Tentu
saja.” kata Cakka sambil menepuk dirinya sendiri.
“Sombong!”
kata Karel menjitak kepala Cakka.
Kemudian
mereka tertawa bersama. Semenjak hari itu, mereka menjadi sahabat baik. Mereka
juga mendaftar ke sekolah SMA yang sama agar bisa terus bersama. Walaupun
mereka masih sering bertengkar mulut, tapi justru itulah yang membuat
persahabatan mereka semakin erat. Mereka berjanji satu sama lain bahwa suatu
saat nanti mereka pasti bisa menyelesaikan masalah dengan orang tua mereka. Dan
ketika itu terjadi, mereka harus berbagi kebahagiaan. Dan tentu saja berbagi
makanan gratis juga. Alias ditraktir!
Mereka
juga sering berkumpul di taman itu jika ingin bermain bersama. Taman itu telah
menjadi kenangan tersendiri bagi mereka karena disanalah mereka memulai
persahabatan mereka. Disanalah mereka menemukan sebuah kebahagiaan di tengah
kegelisahan mereka. Taman itu mereka namakan Taman Kebahagiaan.
THE END...
Apa pendapatmu tentang cerpen ini? Tuliskan di komentar ya :)
Nantikan ceritaku yang selanjutnya ya!
Nantikan ceritaku yang selanjutnya ya!
keren gan.. saya suka
BalasHapusBagus cerpennya.. sepertinya ente mahir ya dalam menulis cerpen, kayaknya bisa jadi novelis nih :D
BalasHapusItu cita-citaku. Amin Ya Tuhan :"D
HapusEngga juga, al. Kan ngepost di notes fb juga. Kalo blog, ngepost kalo lagi ada ide aja. Tapi diusahain rutin hehe :)
BalasHapuscerpen bagus mbak update terus ya
BalasHapusoh ya kapan nih di bikin novel nya??
Lagi proses, doain ya! :)
Hapusceritanya hampir sama kaya cerita hidup saya :D tp pas saya masuk ke smp, semangat terus update nya mba
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapuskeren banget dahhh
BalasHapuswah mantaap cerpen nya gan
BalasHapusmantab cerpen nya gan,..
BalasHapuskeren ceritanya mbak...
BalasHapussemangat terus ya mbak jadi penulis
keren cerpernya :D !~
BalasHapuslanjutannya pasti saya tunggu nih :D
seru cerpennya gan :D
BalasHapuscepren nya bagus mba...
BalasHapusdi update terus mba :-)
cerpennya bagus gan, ditunggu cerita selanjutnya
BalasHapus