Selasa, 29 April 2014

Serial Chase & Ellose | Nostalgia



Pagi itu langit sangat cerah. Matahari baru saja terbit, menyinari bumi hingga menembus jendela kamarku. Saat aku bangun dari tidurku, jam masih menunjukkan jam empat pagi. Padahal, aku belum pernah bangun sepagi ini sebelumnya. Menurut pandangan keluargaku, aku adalah anak berumur dua belas tahun yang selalu membuka mata setelah semua orang di rumah ini bangun. Untung saja hari ini adalah hari libur. Aku tak perlu terburu-buru untuk menyiapkan diri.

Kubuka jendela kamarku untuk menghirup udara segar. Mulutku tersenyum melihat pemandangan luar. Rumahku memiliki halaman yang cukup luas dan asri. Aku bisa melihat banyak pohon, bunga dan juga semak yang tumbuh di sana. Aku sangat suka bermain di sana bersama kakakku, apalagi ketika saat aku masih sangat kecil.

Aku ingat. Waktu itu, aku dan kakakku, Ellose Karayne, atau Mas Elang, suka bermain petak umpet di halaman rumah. Kami bisa menghabiskan waktu hingga jam makan siang tiba. Aku dan Mas Elang sering bergantian menjadi orang yang menghitung dan yang bersembunyi. Terkadang kami juga mengajak anak-anak dari tetangga untuk ikut bermain. Sayang sekali, mereka sudah pindah dari komplek ini karena satu dan dua hal.

Masa laluku sebenarnya tidak buruk. Kenangan bersama kakakku merupakan kenangan yang sampai sekarang masih membekas dalam ingatanku. Banyak sekali yang telah kami lewati, hingga kami memiliki sebuah kenangan yang begitu spesial untuk diingat sampai sekarang. Mungkin bukan hal yang menyenangkan bagi orang lain, tapi jelas menyenangkan bagi kami berdua.
Kutundukkan kepalaku menatap halaman rumahku yang tercinta. Kemudian, kusinggungkan senyuman manis kepadanya. Dulu aku pernah bermain petak umpet bersama Mas Elang. Hanya berdua saja, karena kami merasa bosan bermain-main dengan banyak orang. Saat itu, aku baru berumur tujuh tahun, sementara Mas Elang sudah berumur sebelas tahun. Aku ingat, waktu itu akulah yang mendapatkan giliran untuk bersembunyi sebelum Mas Elang selesai menghitung sampai dua puluh. Waktu itu, aku bersembunyi di balik salah satu semak-semak yang ada di halaman rumah kita.
Aku berjongkok di sana, menunggu sampai Mas Elang selesai menghitung dan segera mencari dimana persembunyianku berada. Namun, setelah lama menunggu, Mas Elang tak juga kunjung menemukanku. Aku sampai lelah menunggunya, hingga akupun tertidur di tempat persembunyianku.
Ketika aku membuka mataku kembali, langit sudah gelap. Matahari juga sudah bergantian tugas dengan bulan. Mungkin saja jam makan malam sudah tiba. Yang terdengar hanyalah suara jangkrik. Rasa ketakutan mulai menguasai tubuhku. Tadi saat aku mengajak Mas Elang untuk bermain petak umpet, jam masih menunjukkan angka lima. Mungkin saja sudah dua jam aku bersembunyi. Tapi, Mas Elang belum juga menemukanku.
Senyumanku semakin lebar ketika aku hampir sampai di kejadian tak terduga yang kualami saat itu. Ketika aku sedang asyik-asyiknya ketakutan, sebuah tangan terulur kepadaku. Aku mengangkat kepalaku begitu melihatnya. Aku langsung memeluknya begitu tahu bahwa dia adalah orang yang sejak tadi kutunggu-tunggu. Mas Elang.
“Aku pikir Mas Elang lupa untuk menemukanku.” rengekku saat itu.
Dan dia menjawabku dengan kata-kata yang selalu membuatku bersyukur memiliki kakak seperti dia. “Aku adalah kakakmu, Kka. Ketika kamu tersesat, aku akan selalu mencarimu sampai ketemu. Karena aku sayang padamu.”
Setelah berkata begitu, barulah ia menjelaskan bahwa dia sudah mencariku kemana-mana, tapi tidak ketemu sampai akhirnya Bunda memanggilnya untuk makan malam, sekitar jam setengah tujuh. Memang sih, aku bersembunyi di tempat yang cukup jauh. Waktu itu, Mas Elang sudah ingin meminta izin agar bisa mencariku dulu sampai ketemu, namun ada saja yang memotong ucapannya. Hingga akhirnya baru terwujud sekitar jam tujuh malam. Sebelum Bunda mengambilkannya makanan untuk ia lahap. Setelah itu, kami berdua langsung masuk ke dalam rumah dan makan malam bersama.
Kalau aku bisa mengatur waktu, aku ingin waktu itu terulang kembali sekarang juga. Walaupun aku harus mengalami ketakutan yang luar biasa karena rasa tak aman dan kesepian, aku selalu percaya bahwa ada seseorang yang selalu setia untuk mencariku. Dialah kakakku.
“Cakka, kamu sudah bangun?”
Aku menoleh ketika mendengar seseorang memanggilku. Dia masih memakai piyama, pasti baru bangun dan langsung memeriksa kamarku. Dasar. “Memangnya hanya kamu yang bisa bangun pagi, Mas Ellose Karayne?”
Dia tertawa. “Sudah, ayo kita sarapan. Ayah dan Bunda sudah menunggu.”
Aku mengangguk, kemudian mengikutinya keluar kamar. Ya, dialah satu-satunya Ellose Karayne yang sangat aku sayangi sampai kapanpun. Andai suatu saat aku diberi waktu untuk mengungkapkan rasa syukurku kepadanya, aku pasti akan mengatakan bagaimana berharganya dia untukku selama ini.

THE END...
Ini pendek, tapi semoga menghibur kalian semua ya :)
Tuliskan komentar kalian di bawah,
Nantikan Serial Chase & Ellose selanjutnya!

7 komentar:

Makasih ya udah baca cerpenku. Silahkan tinggalkan komentar kamu ya.
Semua kritik dan saran aku terima. Pujian juga boleh :p