Sabtu, 26 April 2014

Serial Chase & Ellose | Brotherly Love



Serial Chase & Ellose ini adalah sebuah serial yang menceritakan tentang keseharian sepasang kakak beradik bernama Chase Karayne & Ellose Karayne alias Cakka dan Elang. Serial Chase & Ellose ini bukan cuma dikemas dalam bentuk cerpen saja, tapi ada yang dalam bentuk drabble juga. Setiap ceritanya tidak berhubungan satu sama lain. Jadi bisa dibilang mirip kumpulan cerpen. Bedanya kalau kumpulan cerpen kan isinya cerpen semua, nah Serial Chase & Ellose ini nggak cuma cerpen. Tapi, ada yang diceritakan dalam bentuk lain juga.


Ellose Karayne sungguh tak suka memiliki adik. Setidaknya itulah kesimpulanku selama ini. Setelah menempuh hidup tak lebih dari lima belas tahun, aku selalu melihat kakakku itu menatap sinis setiap kali kami bertatap muka. Belum lagi, sikapnya yang begitu menolakku. Entahlah. Lama-kelamaan aku ngeri melihat kakakku sendiri.
Sesungguhnya ini semua berawal dari kelahiranku. Tatapan tak bersahabat itu merupakan hal yang pertama kali aku lihat setelah senyuman bahagia Bunda. Matanya yang begitu tajam menatapku seakan-akan ia tak pernah mengharapkan aku lahir untuk menemaninya. Kedua tangannya terlipat di depan dada, sama sekali tak berniat untuk menyambutku. Dan kedua kakinya melangkah keluar ketika suaraku menghampiri telinganya. Setidaknya itu yang kulihat di video yang direkam Ayah pada hari itu. Ayah memperlihatkannya kepadaku ketika kami sekeluarga sedang menghabiskan waktu di akhir pekan lalu.

Semenjak hari itu, aku benar-benar merasa sedih setiap kali melihat Ellose Karayne. Aku sering memanggilnya Mas Elang, karena itu adalah nama pendeknya. Dia adalah kakakku yang paling hebat. Sangat berprestasi dalam bidang musik, juga berkali-kali mendapatkan juara pertama lomba fotografi, belum lagi ia sangat patuh kepada Ayah dan Bunda. Tak ada orang lain yang lebih baik untuk menjadi kakakku selain dia. Andai saja dia juga berpikiran sama tentang aku, Chase Karayne, alias Cakka.
Aku menghentikan langkahku di pinggir jalan. Kuangkat kepalaku menatap langit yang sudah mulai mendung. Aku teringat kembali dengan kejadian dua hari yang lalu. Ketika Mas Elang mengungkapkan sesuatu yang menyakitkan. Pernyataan itu membuatku berpikir banyak.
Saat itu jam makan malam telah tiba. Aku, Ayah dan Bunda sudah berkumpul di ruang makan. Sementara Mas Elang belum turun. Sambil menunggunya, Bunda segera menyiapkan makanan untuk semuanya. Sementara Ayah sedang membaca koran. Namun, Mas Elang tak juga turun sampai Bunda menyelesaikan tugasnya untuk menyiapkan makan malam. Padahal, tadi aku juga sudah memanggilnya. Bunda melirik jam dinding sejenak.
“Duh, ini sudah pukul tujuh. Kakakmu kebiasaan sekali mengabaikan kesehatannya. Nanti kalau dia sakit, diapun tidak akan bisa pergi sekolah.” kata Bunda. Ia menaruh piring yang belum selesai ia isi dengan lauk pauk untuk makan malam. “Biar Bunda saja yang memanggilnya. Kamu dan Ayah makan saja dulu.”
Aku mengangguk, kemudian mengambil posisi tempat duduk di sebelah Ayah. Setelah mengucapkan doa singkat, aku dan Ayah langsung mulai melahap makanan yang telah disiapkan Bunda. Sebetulnya aku juga khawatir dengan Mas Elang. Beberapa hari ini, ia selalu menunda jam makan demi mengerjakan tugas-tugas sekolah yang sudah menumpuk di kamar. Ia khawatir dia tidak bisa menyelesaikannya tepat waktu jika ia tidak mengerjakannya dari sekarang. Tapi, bagaimanapun juga, kesehatannya juga tidak boleh terabaikan, kan?
Tak lama kemudian, Bunda dan Mas Elang juga bergabung bersama kami. Aku sempat menghentikan kunyahanku ketika mendengar pertengkaran mulut antara mereka. Pasti aku lagi penyebabnya. Bunda pasti kesal karena ia tak mau turun walaupun aku sudah memanggilnya. Dan dia jelas tak terima Bunda memarahinya dan membalikkan kesalahan kepadaku. Selalu begitu.
  “Bunda selalu membela Cakka. Sejak dia lahir, Bunda sudah tak memberikan perhatian penuh kepadaku! Memangnya dia anak kecil, harus lebih diperhatikan daripada aku?” keluh Mas Elang di tengah-tengah jam makan malam.
“Elang, tidak baik membawa masalah ke dalam jam makan.” kata Bunda. “Sudah, lebih baik habiskan makananmu tanpa banyak bicara, bukannya kamu ingin menyelesaikan tugasmu?”
“Aku akan membantu jika kamu mau, Mas.” kataku mencoba membuka suara.
“Aku tak butuh bantuan bocah untuk mengacaukan tugas-tugasku!” kata Mas Elang dengan sengit. Matanya kembali menatapku tajam. Kedua tangannya mengepal keras memegang sendok dan garpu, badannya bergetar karena emosi yang sedang menguasainya.
“Maaf, Mas.”
Bunda menatap Elang dengan tatapan tak senang. “Elang, kamu harus ingat, Cakka itu adalah adikmu. Kamu tak punya alasan untuk membencinya sampai seperti itu. Memangnya kesalahan apa yang telah Cakka lakukan kepadamu?”
“Lihat, kan? Itulah kesalahan terbesar Cakka kepadaku!” balas Elang. “Memangnya merebut perhatian Ayah dan Bunda bukan kesalahan? Aku lebih suka menjadi anak tunggal!””
Kuremas bajuku di bagian dada. Setelah itu, aku menepi ke trotoar untuk duduk. Ah, rasa sakit itu kembali menyerang. Kesedihan yang memaksa air mataku menetes, kegelisahan yang menghantui hati dan hancurnya benteng pertahanan yang memaksa suaraku untuk terisak.
Sebetulnya akupun tak ingin lahir jika Mas Elang tak mengharapkan aku lahir. Aku tak akan memilih untuk menjadi adik dari Ellose Karayne jika aku bisa memilih dengan keluarga siapa aku boleh melihat dunia.  Karena sesungguhnya lahir di keluarga yang tidak pernah mengharapkanku sudah menjadi suatu kesalahan untukku. Aku tidak ingin melihat dunia jika aku memang tidak bisa membuat orang-orang bahagia dengan kehadiranku. Aku tak akan mau dinamai Chase Karayne jika nama itu justru membuat orang-orang marah ketika mendengarnya. Namun, Bunda selalu mengajarkanku bahwa semua kehidupan manusia sudah diatur oleh-Nya agar semua umat di muka bumi ini bahagia.
TIK.. Kurasakan setetes air membasahi rambutku. Aku mendongak kembali menatap langit. Dengan cepat, tanganku menghapus semua air mata yang telah membasahi pipiku. Mimik wajahku berubah panik, cepat-cepat kupakai jaketku beserta penutup kepalanya supaya terlindung. Satu per satu air hujan telah turun dengan deras. Langit pasti sedang ikut merasakan bagaimana keadaan hatiku sekarang hingga iapun ikut menangis.
Jam sudah menunjukkan pukul delapan malam. Aku tak ingin cepat pulang. Aku sudah terlalu banyak membuat Mas Elang merasa muak. Dan sekalipun aku tak pernah bisa menghiburnya agar tersenyum kembali. Mungkin jika aku pulang sekarang, ia akan segera mencaci maki dan menyuruhku masuk ke dalam kamar. Sudah berkali-kali ia mengatakan bahwa wajahku adalah penyebabnya tak bisa tidur dengan nyenyak. Aku begitu tidak berguna di matanya.
Sudah setengah jam berlalu. Hujan masih belum berhenti. Jaketku telah basah kuyup karena diguyur beribu-ribu tetes air hujan. Namun, aku sudah tak bisa merasakan air hujan menhujaniku. Aku menolehkan kepalaku. Mataku terbelalak ketika mendapati seseorang sedang memayungiku. Dengan wajah tanpa ekspresinya ia menatapku dalam diam. Aku segera berdiri menghadap ke arahnya. “Apa yang kamu lakukan di sini?”
“Bunda benar. Sampai kapanpun aku merasa kesal kepadamu, kamu tak akan bisa berubah menjadi orang lain. Kamu tetaplah adikku. Mungkin perkataaanku tempo hari terdengar menyakitkan di telingamu.”
“Ini bukan salahmu, Mas. Sudahlah.”
“Tidak! Ini salahku. Tidak seharusnya aku membenci saudaraku sendiri.”
“Bukankah membenci saudaramu merupakan suatu kebahagiaan untukmu?” tanyaku. “Aku tak mengerti mengapa kehadiranku justru membuat saudaraku sendiri kesal. Aku bahkan tak mengerti mengapa aku dilahirkan.”
“Sebelum kamu dilahirkan, Ayah dan Bunda selalu memanjakanku dengan berbagai cara. Mereka mengutamakan kebutuhanku lebih dari apapun. Namun, setelah kamu lahir, justru kamu yang mendapatkan semuanya.”
Aku menganggukkan kepalaku mengiyakan. Akupun juga merasakan hal itu sejak dulu. Namun, jika aku protes, Ayah dan Bunda pasti mengira aku tak suka diperhatikan. “Jika aku tidak ada di rumah, kamu tidak akan merasa seperti itu kan, Mas?”
Mas Elang terdiam mendengarnya. Kemudian, ia merangkul pundakku dan mengajakku pulang. “Bunda sudah mencarimu. Lebih baik kita sampai di rumah sebelum jam sembilan malam. Jangan berani-beraninya kamu kabur dari rumah. Kamu tentu tahu aku masih membutuhkan bantuan seseorang untuk mengerjakan tugasku, kan?”
Aku menatap Mas Elang diam. Kemudian, tersenyum tipis.

THE END..
Tuliskan komentar kalian di bawah,
Tunggu serial Chase & Ellose yang kedua ya :)

11 komentar:

  1. Uwwwaaa, aku suka ceritanya. Keren (y)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sankyuu.. Ajak temen2 kamu buat baca dan komen juga ya, Inka... :)

      Hapus
  2. Keren nih ceritanya gak walaupun lama bacanya tapi asyik

    BalasHapus
  3. bikin greget ceritanya... >_<

    BalasHapus
  4. bagus gan ceritanya ^_^ belum pernah baca ane

    BalasHapus
  5. Mantap Ceritanya...
    Blogwalking Gan... Di Jamin Fast Respons!!
    http://alvinreborn.blogspot.com/2014/05/cara-meningkatkan-pengunjung-blog.html

    BalasHapus
  6. wah cerita keren mbak
    kelanjutan cepat di share ya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kelanjutannya bisa dilihat di artikel yang lain. Uda ada kok :)

      Hapus
  7. Enggak, aku kalo bikin cerita selalu imajinasi sendiri. Biar melatih daya khayal (y)

    BalasHapus
  8. wah yang ini kalau salah arti bisa gawat hehehe ""Kuremas bajuku di bagian dada."" overall bagus juga ceritanya.. :D :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahaha.. bener juga. Abis gimana ngomongnya? hehe :)

      Hapus

Makasih ya udah baca cerpenku. Silahkan tinggalkan komentar kamu ya.
Semua kritik dan saran aku terima. Pujian juga boleh :p