Pagi itu
langit sangat cerah. Matahari baru saja terbit, menyinari bumi hingga menembus
jendela kamarku. Saat aku bangun dari tidurku, jam masih menunjukkan jam empat
pagi. Padahal, aku belum pernah bangun sepagi ini sebelumnya. Menurut pandangan
keluargaku, aku adalah anak berumur dua belas tahun yang selalu membuka mata
setelah semua orang di rumah ini bangun. Untung saja hari ini adalah hari
libur. Aku tak perlu terburu-buru untuk menyiapkan diri.
Kubuka
jendela kamarku untuk menghirup udara segar. Mulutku tersenyum melihat
pemandangan luar. Rumahku memiliki halaman yang cukup luas dan asri. Aku bisa
melihat banyak pohon, bunga dan juga semak yang tumbuh di sana. Aku sangat suka
bermain di sana bersama kakakku, apalagi ketika saat aku masih sangat kecil.
Aku ingat.
Waktu itu, aku dan kakakku, Ellose Karayne, atau Mas Elang, suka bermain petak
umpet di halaman rumah. Kami bisa menghabiskan waktu hingga jam makan siang
tiba. Aku dan Mas Elang sering bergantian menjadi orang yang menghitung dan
yang bersembunyi. Terkadang kami juga mengajak anak-anak dari tetangga untuk
ikut bermain. Sayang sekali, mereka sudah pindah dari komplek ini karena satu
dan dua hal.
Masa
laluku sebenarnya tidak buruk. Kenangan bersama kakakku merupakan kenangan yang
sampai sekarang masih membekas dalam ingatanku. Banyak sekali yang telah kami
lewati, hingga kami memiliki sebuah kenangan yang begitu spesial untuk diingat
sampai sekarang. Mungkin bukan hal yang menyenangkan bagi orang lain, tapi
jelas menyenangkan bagi kami berdua.
Kutundukkan
kepalaku menatap halaman rumahku yang tercinta. Kemudian, kusinggungkan
senyuman manis kepadanya. Dulu aku pernah bermain petak umpet bersama Mas
Elang. Hanya berdua saja, karena kami merasa bosan bermain-main dengan banyak
orang. Saat itu, aku baru berumur tujuh tahun, sementara Mas Elang sudah
berumur sebelas tahun. Aku ingat, waktu itu akulah yang mendapatkan giliran
untuk bersembunyi sebelum Mas Elang selesai menghitung sampai dua puluh. Waktu
itu, aku bersembunyi di balik salah satu semak-semak yang ada di halaman rumah
kita.
Aku
berjongkok di sana, menunggu sampai Mas Elang selesai menghitung dan segera
mencari dimana persembunyianku berada. Namun, setelah lama menunggu, Mas Elang
tak juga kunjung menemukanku. Aku sampai lelah menunggunya, hingga akupun
tertidur di tempat persembunyianku.
Ketika aku
membuka mataku kembali, langit sudah gelap. Matahari juga sudah bergantian
tugas dengan bulan. Mungkin saja jam makan malam sudah tiba. Yang terdengar
hanyalah suara jangkrik. Rasa ketakutan mulai menguasai tubuhku. Tadi saat aku
mengajak Mas Elang untuk bermain petak umpet, jam masih menunjukkan angka lima.
Mungkin saja sudah dua jam aku bersembunyi. Tapi, Mas Elang belum juga
menemukanku.
Senyumanku
semakin lebar ketika aku hampir sampai di kejadian tak terduga yang kualami
saat itu. Ketika aku sedang asyik-asyiknya ketakutan, sebuah tangan terulur
kepadaku. Aku mengangkat kepalaku begitu melihatnya. Aku langsung memeluknya
begitu tahu bahwa dia adalah orang yang sejak tadi kutunggu-tunggu. Mas Elang.
“Aku pikir
Mas Elang lupa untuk menemukanku.” rengekku saat itu.
Dan dia
menjawabku dengan kata-kata yang selalu membuatku bersyukur memiliki kakak
seperti dia. “Aku adalah kakakmu, Kka. Ketika kamu tersesat, aku akan selalu
mencarimu sampai ketemu. Karena aku sayang padamu.”
Setelah
berkata begitu, barulah ia menjelaskan bahwa dia sudah mencariku kemana-mana,
tapi tidak ketemu sampai akhirnya Bunda memanggilnya untuk makan malam, sekitar
jam setengah tujuh. Memang sih, aku bersembunyi di tempat yang cukup jauh.
Waktu itu, Mas Elang sudah ingin meminta izin agar bisa mencariku dulu sampai
ketemu, namun ada saja yang memotong ucapannya. Hingga akhirnya baru terwujud
sekitar jam tujuh malam. Sebelum Bunda mengambilkannya makanan untuk ia lahap.
Setelah itu, kami berdua langsung masuk ke dalam rumah dan makan malam bersama.
Kalau aku
bisa mengatur waktu, aku ingin waktu itu terulang kembali sekarang juga.
Walaupun aku harus mengalami ketakutan yang luar biasa karena rasa tak aman dan
kesepian, aku selalu percaya bahwa ada seseorang yang selalu setia untuk
mencariku. Dialah kakakku.
“Cakka,
kamu sudah bangun?”
Aku
menoleh ketika mendengar seseorang memanggilku. Dia masih memakai piyama, pasti
baru bangun dan langsung memeriksa kamarku. Dasar. “Memangnya hanya kamu yang
bisa bangun pagi, Mas Ellose Karayne?”
Dia
tertawa. “Sudah, ayo kita sarapan. Ayah dan Bunda sudah menunggu.”
Aku
mengangguk, kemudian mengikutinya keluar kamar. Ya, dialah satu-satunya Ellose
Karayne yang sangat aku sayangi sampai kapanpun. Andai suatu saat aku diberi
waktu untuk mengungkapkan rasa syukurku kepadanya, aku pasti akan mengatakan
bagaimana berharganya dia untukku selama ini.
menyedihkan,SUPER SEKALI :D
BalasHapussangat inspiratif ceritanya :)
BalasHapussangat terhibur.. :) salam kenal
BalasHapusSalam kenal balik :D
HapusSalam kenal balik :D
BalasHapuspasti :D
BalasHapuskalau baca semuanya pasti seru
BalasHapus