Serial Chase & Ellose ini adalah sebuah serial
yang menceritakan tentang keseharian sepasang kakak beradik bernama Chase Karayne
& Ellose Karayne alias Cakka dan Elang. Serial Chase & Ellose ini bukan
cuma dikemas dalam bentuk cerpen saja, tapi ada yang dalam bentuk drabble juga.
Setiap ceritanya tidak berhubungan satu sama lain. Jadi bisa dibilang mirip kumpulan
cerpen. Bedanya kalau kumpulan cerpen kan isinya cerpen semua, nah Serial Chase
& Ellose ini nggak cuma cerpen. Tapi, ada yang diceritakan dalam bentuk
lain juga.
Ellose Karayne sungguh tak suka memiliki adik. Setidaknya itulah kesimpulanku selama ini. Setelah menempuh hidup tak lebih dari lima belas tahun, aku selalu melihat kakakku itu menatap sinis setiap kali kami bertatap muka. Belum lagi, sikapnya yang begitu menolakku. Entahlah. Lama-kelamaan aku ngeri melihat kakakku sendiri.
Sesungguhnya ini semua berawal
dari kelahiranku. Tatapan tak bersahabat itu merupakan hal yang pertama kali
aku lihat setelah senyuman bahagia Bunda. Matanya yang begitu tajam menatapku seakan-akan
ia tak pernah mengharapkan aku lahir untuk menemaninya. Kedua tangannya
terlipat di depan dada, sama sekali tak berniat untuk menyambutku. Dan kedua
kakinya melangkah keluar ketika suaraku menghampiri telinganya. Setidaknya itu
yang kulihat di video yang direkam Ayah pada hari itu. Ayah memperlihatkannya
kepadaku ketika kami sekeluarga sedang menghabiskan waktu di akhir pekan lalu.
Semenjak hari itu, aku
benar-benar merasa sedih setiap kali melihat Ellose Karayne. Aku sering
memanggilnya Mas Elang, karena itu adalah nama pendeknya. Dia adalah kakakku
yang paling hebat. Sangat berprestasi dalam bidang musik, juga berkali-kali
mendapatkan juara pertama lomba fotografi, belum lagi ia sangat patuh kepada
Ayah dan Bunda. Tak ada orang lain yang lebih baik untuk menjadi kakakku selain
dia. Andai saja dia juga berpikiran sama tentang aku, Chase Karayne, alias
Cakka.
Aku menghentikan langkahku di
pinggir jalan. Kuangkat kepalaku menatap langit yang sudah mulai mendung. Aku
teringat kembali dengan kejadian dua hari yang lalu. Ketika Mas Elang
mengungkapkan sesuatu yang menyakitkan. Pernyataan itu membuatku berpikir
banyak.
Saat itu jam makan malam telah
tiba. Aku, Ayah dan Bunda sudah berkumpul di ruang makan. Sementara Mas Elang
belum turun. Sambil menunggunya, Bunda segera menyiapkan makanan untuk
semuanya. Sementara Ayah sedang membaca koran. Namun, Mas Elang tak juga turun
sampai Bunda menyelesaikan tugasnya untuk menyiapkan makan malam. Padahal, tadi
aku juga sudah memanggilnya. Bunda melirik jam dinding sejenak.
“Duh, ini sudah pukul tujuh.
Kakakmu kebiasaan sekali mengabaikan kesehatannya. Nanti kalau dia sakit,
diapun tidak akan bisa pergi sekolah.” kata Bunda. Ia menaruh piring yang belum
selesai ia isi dengan lauk pauk untuk makan malam. “Biar Bunda saja yang
memanggilnya. Kamu dan Ayah makan saja dulu.”
Aku mengangguk, kemudian
mengambil posisi tempat duduk di sebelah Ayah. Setelah mengucapkan doa singkat,
aku dan Ayah langsung mulai melahap makanan yang telah disiapkan Bunda.
Sebetulnya aku juga khawatir dengan Mas Elang. Beberapa hari ini, ia selalu
menunda jam makan demi mengerjakan tugas-tugas sekolah yang sudah menumpuk di
kamar. Ia khawatir dia tidak bisa menyelesaikannya tepat waktu jika ia tidak
mengerjakannya dari sekarang. Tapi, bagaimanapun juga, kesehatannya juga tidak
boleh terabaikan, kan?
Tak lama kemudian, Bunda dan
Mas Elang juga bergabung bersama kami. Aku sempat menghentikan kunyahanku
ketika mendengar pertengkaran mulut antara mereka. Pasti aku lagi penyebabnya.
Bunda pasti kesal karena ia tak mau turun walaupun aku sudah memanggilnya. Dan
dia jelas tak terima Bunda memarahinya dan membalikkan kesalahan kepadaku.
Selalu begitu.
“Bunda selalu membela Cakka. Sejak dia lahir, Bunda sudah
tak memberikan perhatian penuh kepadaku! Memangnya dia anak kecil, harus lebih
diperhatikan daripada aku?” keluh Mas Elang di tengah-tengah jam makan malam.
“Elang, tidak baik membawa
masalah ke dalam jam makan.” kata Bunda. “Sudah, lebih baik habiskan makananmu
tanpa banyak bicara, bukannya kamu ingin menyelesaikan tugasmu?”
“Aku akan membantu jika kamu
mau, Mas.” kataku mencoba membuka suara.
“Aku tak butuh bantuan bocah
untuk mengacaukan tugas-tugasku!” kata Mas Elang dengan sengit. Matanya kembali
menatapku tajam. Kedua tangannya mengepal keras memegang sendok dan garpu,
badannya bergetar karena emosi yang sedang menguasainya.
“Maaf, Mas.”
Bunda menatap Elang dengan
tatapan tak senang. “Elang, kamu harus ingat, Cakka itu adalah adikmu. Kamu tak
punya alasan untuk membencinya sampai seperti itu. Memangnya kesalahan apa yang
telah Cakka lakukan kepadamu?”
“Lihat, kan? Itulah kesalahan
terbesar Cakka kepadaku!” balas Elang. “Memangnya merebut perhatian Ayah dan
Bunda bukan kesalahan? Aku lebih suka menjadi anak tunggal!””
Kuremas bajuku di bagian dada.
Setelah itu, aku menepi ke trotoar untuk duduk. Ah, rasa sakit itu kembali
menyerang. Kesedihan yang memaksa air mataku menetes, kegelisahan yang
menghantui hati dan hancurnya benteng pertahanan yang memaksa suaraku untuk
terisak.
Sebetulnya akupun tak ingin
lahir jika Mas Elang tak mengharapkan aku lahir. Aku tak akan memilih untuk
menjadi adik dari Ellose Karayne jika aku bisa memilih dengan keluarga siapa
aku boleh melihat dunia. Karena
sesungguhnya lahir di keluarga yang tidak pernah mengharapkanku sudah menjadi
suatu kesalahan untukku. Aku tidak ingin melihat dunia jika aku memang tidak
bisa membuat orang-orang bahagia dengan kehadiranku. Aku tak akan mau dinamai
Chase Karayne jika nama itu justru membuat orang-orang marah ketika
mendengarnya. Namun, Bunda selalu mengajarkanku bahwa semua kehidupan manusia
sudah diatur oleh-Nya agar semua umat di muka bumi ini bahagia.
TIK.. Kurasakan setetes air
membasahi rambutku. Aku mendongak kembali menatap langit. Dengan cepat,
tanganku menghapus semua air mata yang telah membasahi pipiku. Mimik wajahku
berubah panik, cepat-cepat kupakai jaketku beserta penutup kepalanya supaya
terlindung. Satu per satu air hujan telah turun dengan deras. Langit pasti
sedang ikut merasakan bagaimana keadaan hatiku sekarang hingga iapun ikut
menangis.
Jam sudah menunjukkan pukul
delapan malam. Aku tak ingin cepat pulang. Aku sudah terlalu banyak membuat Mas
Elang merasa muak. Dan sekalipun aku tak pernah bisa menghiburnya agar
tersenyum kembali. Mungkin jika aku pulang sekarang, ia akan segera mencaci
maki dan menyuruhku masuk ke dalam kamar. Sudah berkali-kali ia mengatakan
bahwa wajahku adalah penyebabnya tak bisa tidur dengan nyenyak. Aku begitu
tidak berguna di matanya.
Sudah setengah jam berlalu.
Hujan masih belum berhenti. Jaketku telah basah kuyup karena diguyur
beribu-ribu tetes air hujan. Namun, aku sudah tak bisa merasakan air hujan
menhujaniku. Aku menolehkan kepalaku. Mataku terbelalak ketika mendapati
seseorang sedang memayungiku. Dengan wajah tanpa ekspresinya ia menatapku dalam
diam. Aku segera berdiri menghadap ke arahnya. “Apa yang kamu lakukan di sini?”
“Bunda benar. Sampai kapanpun
aku merasa kesal kepadamu, kamu tak akan bisa berubah menjadi orang lain. Kamu
tetaplah adikku. Mungkin perkataaanku tempo hari terdengar menyakitkan di
telingamu.”
“Ini bukan salahmu, Mas.
Sudahlah.”
“Tidak! Ini salahku. Tidak
seharusnya aku membenci saudaraku sendiri.”
“Bukankah membenci saudaramu
merupakan suatu kebahagiaan untukmu?” tanyaku. “Aku tak mengerti mengapa
kehadiranku justru membuat saudaraku sendiri kesal. Aku bahkan tak mengerti
mengapa aku dilahirkan.”
“Sebelum kamu dilahirkan, Ayah
dan Bunda selalu memanjakanku dengan berbagai cara. Mereka mengutamakan
kebutuhanku lebih dari apapun. Namun, setelah kamu lahir, justru kamu yang
mendapatkan semuanya.”
Aku menganggukkan kepalaku
mengiyakan. Akupun juga merasakan hal itu sejak dulu. Namun, jika aku protes,
Ayah dan Bunda pasti mengira aku tak suka diperhatikan. “Jika aku tidak ada di
rumah, kamu tidak akan merasa seperti itu kan, Mas?”
Mas Elang terdiam
mendengarnya. Kemudian, ia merangkul pundakku dan mengajakku pulang. “Bunda
sudah mencarimu. Lebih baik kita sampai di rumah sebelum jam sembilan malam.
Jangan berani-beraninya kamu kabur dari rumah. Kamu tentu tahu aku masih membutuhkan
bantuan seseorang untuk mengerjakan tugasku, kan?”
Aku menatap Mas Elang diam.
Kemudian, tersenyum tipis.
THE END..
Tuliskan komentar kalian di bawah,
Tunggu serial Chase & Ellose yang kedua ya :)
Tunggu serial Chase & Ellose yang kedua ya :)
Uwwwaaa, aku suka ceritanya. Keren (y)
BalasHapusSankyuu.. Ajak temen2 kamu buat baca dan komen juga ya, Inka... :)
HapusKeren nih ceritanya gak walaupun lama bacanya tapi asyik
BalasHapusbikin greget ceritanya... >_<
BalasHapusbagus gan ceritanya ^_^ belum pernah baca ane
BalasHapusMantap Ceritanya...
BalasHapusBlogwalking Gan... Di Jamin Fast Respons!!
http://alvinreborn.blogspot.com/2014/05/cara-meningkatkan-pengunjung-blog.html
wah cerita keren mbak
BalasHapuskelanjutan cepat di share ya
Kelanjutannya bisa dilihat di artikel yang lain. Uda ada kok :)
HapusEnggak, aku kalo bikin cerita selalu imajinasi sendiri. Biar melatih daya khayal (y)
BalasHapuswah yang ini kalau salah arti bisa gawat hehehe ""Kuremas bajuku di bagian dada."" overall bagus juga ceritanya.. :D :D
BalasHapusHahaha.. bener juga. Abis gimana ngomongnya? hehe :)
Hapus