Rabu, 02 Juli 2014

Cerpen | Surat Dari Surga




“Jagalah kalung itu dengan baik, Lalaku sayang.”
Gadis kecil yang berada di hadapannya langsung mengangkat kepalanya menatap sumber suara. Suara lirih Ayah itu membuat gadis kecil di hadapannya tersebut terpaku menatapnya. Sudah beberapa tahun ini, beliau terkena penyakit jantung karena usianya yang sudah tua. Lala kasihan melihatnya.
“Ya, Ayah. Aku akan menjaganya dengan baik.” kata Lala sambil mendekati dan memeluk erat Ayah yang sama sekali tak bisa bangkit lagi dari tempat tidurnya. Tubuhnya sudah tidak sekuat dulu.
Ayah membelai rambut Lala perlahan-lahan dengan tangannya yang sudah keriput. Ia benar-benar menyayangi anak semata wayangnya itu. Ia menyesal telah menempuh hidupnya tanpa memperbanyak olahraga dan kegiatan lainnya agar bisa mempertahankan stamina tubuh. Padahal, Lala masih kecil. Ia jelas butuh nafkah darinya agar bisa tumbuh besar. Istrinya yang bekerja sebagai ibu rumah tangga juga pasti masih butuh hasil jerih payahnya.
Lala melepaskan pelukannya dan menatap Ayah dengan wajah cemas. Ia benar-benar sedih melihat Ayah harus terbaring lemas di sana. Semenjak Ayah sakit, tidak pernah ada lagi yang bisa Lala sambut setiap sore. “Ayah, kau pasti akan selalu ada di sisiku, bukan?”
Ayah tersenyum pucat. “Ya, sayang. Ayah akan selalu ada di sisimu.”
“Janji?”
Ayah mengangguk pelan. Tangan kanannya terulur ke atas untuk merasakan bagaimana hangatnya pipi anak semata wayangnya itu, kemudian berlanjut ke rambut cokelat panjangnya yang dikepang dua. Ia jelas bahagia memiliki anak yang manis sepertinya. Tak sia-sia ia berdoa bertahun-tahun kepada Tuhan agar keluarganya dikaruniai seorang anak. Semenjak Lala lahir, kehidupannya selalu ceria dan berwarna. Tingkahnya yang patuh dan lucu membuatnya terus tersenyum menghadapi kehidupan.
“Lala.” panggilnya pelan.
“Ya, Ayah?”
“Jangan pernah nakal kepada Bunda. Kau harus menurut padanya. Walaupun kau sudah besar nanti. Karena Bunda adalah orang yang sudah berjuang melahirkanmu.”
Lala mengangguk. “Ya, Ayah. Aku akan menjadi anak yang baik.”
Ayah tersenyum. Kemudian, ia menatap langit-langit kamarnya dengan dalam. Dalam hitungan detik, ia memejamkan matanya perlahan-lahan. Mengakhiri hidupnya di umur delapan puluh tahun. Lala yang masih berdiri di sebelah Ayah hanya bisa diam seribu bahasa. Ia mencoba untuk memegang tangan Ayah, namun rasa dingin dari kulit Ayah membuatnya takut. Ia tak bisa menangis, juga tak bisa marah. Namun, ia merasakan sesuatu dalam hatinya melihat Ayah yang begitu menyedihkan.
“Lala.” tiba-tiba Bunda datang menghampirinya di kamar Ayah.
Lala menoleh ke arahnya. Dengan langkah pelan ia menghampiri Bunda dan meremas ujung baju Bunda. Ia berucap polos. “Bunda. Tangan Ayah dingin sekali.”
Setelah berkata begitu, Bunda langsung mendekati Ayah. Lala masih tetap diam di tempat. Saat itu, Lala melihat dengan mata kepalanya sendiri Bunda menangis dengan suara nyaring sambil memeluk Ayah. Sedih rasanya melihat air mata Bunda menetes membasahi baju Ayah. Tapi, Lala juga tidak tahu harus berbuat apa.

J L J

Lala menggeliat pelan saat sinar matahari masuk ke dalam kamarnya. Ia bergerak-gerak sejenak di balik selimutnya, kemudian perlahan-lahan terbangun dari tidurnya. Begitu matanya terbuka dengan sempurna, ia langsung duduk di tempat tidur dan menatap ke arah jendela kamar. Lagi-lagi mimpi itu datang ke dalam tidurnya.
Lala melirik kalendernya yang ada di meja belajarnya. Lima belas Juni. Ia menghela nafas melihat angka itu tercetak besar-besar di kalender. Tanggal itu menandakan bahwa hari ini adalah Father’s Day. Acara hari Ayah dalam luar negeri. Walaupun Indonesia biasanya tidak merayakannya, tapi Lala selalu memberikan Ayah hadiah jika tanggal itu tiba. Sebelum kejadian itu terjadi.
Sudah dua belas tahun Ayah meninggalkannya. Lala sudah menjadi gadis cantik berusia sembila belas tahun. Masa sekolahnya sudah usai bulan lalu dan ia akan memulai kuliahnya beberapa bulan ke depan. Namun, semenjak liburannya dimulai, Ayah selalu datang ke dalam mimpinya. Hari di saat kepergian Ayah terjadi selalu terulang-ulang beberapa hari sekali. Padahal, Lala sudah berusaha untuk melupakan masa lalunya itu agar tidak merasa sedih.
Lala beranjak dari tempat tidurnya dan segera mandi. Busana yang dia pakai hari ini adalah kaus putih bergambar kucing lucu dengan bawahan rok di atas lutut berwarna biru. Sementara rambutnya yang panjang dibiarkan tergerai di punggung. Ini baru jam tujuh, Bunda pasti sedang ke pasar untuk membeli makanan untuk nanti siang.
Setelah selesai mandi, Lala segera turun ke ruang makan untuk mencari sarapannya. Namun, sebelum sampai ke ruang makan, ia melihat seorang laki-laki berpakaian hoodie berwarna biru tengah mengutak-atik gadget di sofa ruang tengah. Ruangan yang menghubungkan ruang makan dan kamar tidurnya. Lala mengerutkan dahinya. “Kau sudah datang?”
Laki-laki itu mengangkat kepalanya dan tersenyum menatap Lala. Ia segera berdiri dan menghampiri gadis itu. Kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku celananya. “Ya. Aku bangun terlalu pagi dan aku berpikir untuk mengajakmu melihat matahari terbit. Tapi, tampaknya kau lelah sekali.”
“Jam berapa kau tiba?”
“Sekitar jam setengah tujuh.” katanya sambil memperlihatkan gigi bersihnya. “Bundamu mengatakan kau tak bisa tidur nyenyak beberapa hari ini. Tapi, kau tak pernah menceritakannya kepadaku.”
Lala tersenyum mendengarnya. “Aku hanya tak ingin merepotkan orang lain.”
“Hei, kita sudah satu sekolah semenjak SMP.” Ia segera menjitak dahi Lala.
Lala memanyunkan bibirnya melihat tingkah laki-laki itu. Ya, laki-laki itu memang sudah menjadi sahabatnya semenjak ia masuk SMP. Namun justru karena itulah Lala tidak mau menceritakan masalah ini kepadanya. Sudah hampir tujuh tahun sahabatnya itu membantunya dalam banyak hal. Ia tak mau menjadi anak yang manja. Tapi, ia selalu suka ikut campur dalam segala hal di dalam hidupnya.
“Karel, aku tidak apa-apa.” kata Lala. “Aku hanya teringat pada Ayah.”
“Ayah?”
Lala mengangguk. Ia duduk di sofa yang tadi diduduki Karel itu dan bersandaran padanya. “Semenjak liburan ini, Ayah selalu datang ke dalam mimpiku. Dia datang di saat aku sudah berhasil melupakannya.”
“Mungkin dia hanya tak ingin kau melupakannya.” kata Karel sambil tersenyum. Ia ikut duduk kembali di sebelah gadis itu.
“Entahlah.” kata Lala bingung. Ia mengeluarkan kalung itu dari dalam bajunya. Kalung pemberian Ayah itu masih ia pakai sampai sekarang. Kalung liontin perak yang berbandul liontin hati itu selalu ia rawat dengan sepenuh hati, sesuai dengan janjinya kepada Ayah. Ia tidak akan pernah membiarkan foto Ayah dan dirinya di dalam liontin itu hancur.
“Liontin yang indah.” puji Karel begitu melihat barang bersinar yang tergantung di leher sahabatnya itu.
“Ya. Liontin ini adalah pemberian terakhir Ayah.” kata Lala. “Aku tak bisa membayangkan bagaimana kerasnya ia bekerja sampai ia bisa membelikanku kalung seindah ini.”
“Aku yakin Ayahmu pasti sangat menyayangimu.” kata Karel.
Lala tersenyum. Ia menatap liontinnya dalam. “Ya. Ayah sangat menyayangiku. Dia selalu membahagiakanku dengan cara apapun yang dia bisa. Dia bekerja keras untukku dan Bunda. Dia juga sering membantuku mengerjakan tugas sekolah saat SD. Terkadang dia juga membelikanku baju baru jika akhir bulan tiba. Dan masih banyak lagi yang sudah ia lakukan untukku.”
“Kau beruntung memiliki Ayah sepertinya.” kata Karel sambil menatap depan. “Kau tak akan pernah tahu bagaimana sibuknya Ayahku hingga waktu bersama keluarganya terkuras habis.”
“Benarkah?” Lala menoleh ke arah sahabatnya itu dengan wajah kaget.
Karel mengangguk. “Dia bahkan tidak tahu perkembangan sekolahku, juga kakak dan adik-adikku. Ibu yang selama ini membanting tulang untuk membesarkan kami berempat.”
“Ayahku adalah pengusaha yang sibuk. Hampir setiap hari dia pergi keluar kota, bahkan keluar negeri. Sekalinya dia ada di sini, dia selalu bermalam di kantor hingga tengah malam.” kata Karel.
Lala diam mendengarnya. Ia bahkan tidak tahu Karel memiliki masalah keluarga yang cukup serius. Tak lama kemudian, ia bersuara kembali. “Aku tak pernah tahu kau mempunyai masalah itu.”
Karel tersenyum. “Aku ingin bangkit dari kesedihanku. Sama sepertimu.”
Lala tersenyum mendengarnya. Kemudian dia segera berdiri dari tempatnya. Ia melihat sekeliling rumahnya. “Ya. Kita memang harus bangkit. Dimanapun Ayah berada, aku tahu Ayah selalu ada di sini untuk memperhatikanku. Sama halnya juga dengan Ayahmu.”
“Ya, aku harap kau benar.” Karel ikut berdiri. Ia menepuk pundak Lala pelan. “Sudahlah, ayo kita sarapan. Setelah itu, kita akan bermain sepuas-puasnya untuk melupakan semua masalahmu.”
“Masalahmu juga, Ayah keduaku.”
“Ayah kedua?” tanya Karel dengan wajah heran.
“Ya. Karena kau selalu ikut campur dalam segala hal yang kulakukan. Sama seperti Ayah.” kata Lala sambil menjitak dahi Karel, balasan untuk jitakannya yang tadi. Kemudian, dia langsung berjalan mendahului Karel yang nyengir mendengar ucapan sahabatnya.
Mereka berdua langsung pergi menuju ruang makan dan membuat roti bakar untuk sarapan mereka. Setelah mereka meninggalkan ruang tengah, mereka sama sekali tidak menyinggungkan masalah-masalah Ayah mereka lagi. Bagi mereka, hidup memang harus berjalan apapun yang terjadi.
Happy Father’s Day, Ayahku yang ada di surga... Lala mencintaimu.

J L J

16 Juni 2009
Lagi-lagi Lala terbangun dari tidurnya. Namun, kali ini bukan mimpi itu lagi yang menyebabkan tidur nyenyaknya terganggu. Pagi itu, sebuah kertas jatuh tepat di wajah Lala. Begitu Lala sadar akan keberadaan kertas itu, ia langsung bangun dan menyingkirkan kertas itu dari wajahnya. Ia segera duduk di tempat tidur dan membaca tulisan yang ada di dalamnya.

Dear Lalaku sayang,
Kau sudah berubah menjadi gadis yang cantik. Kau juga sangat patuh kepada Bunda, seperti janjimu kepada Ayah. Maafkan Ayah jika Ayah selalu mengganggu tidurmu. Ayah hanya rindu padamu, sayang. Tapi, ingatlah selalu, La, Ayah selalu mencintaimu. Walaupun Ayah sudah tidak ada di dunia, Ayah selalu memantaumu dari surga. Jadilah anak yang baik seperti yang kau katakan pada Ayah dulu, Nak. Mulai besok Ayah tidak akan mengganggumu lagi. Bahagiakan Bunda untuk Ayah, ya.

Dari Ayahmu tersayang,
Landreys

Lala tersenyum melihat tulisan di kertas itu. Ia mengeluarkan lagi kalung liontinnya setelah selesai membaca. Ia pandang foto dirinya dengan Ayah di sana dengan perasaan campur aduk. “Aku juga mencintaimu, Ayah.”

THE END...
Tuliskan komentar kalian di bawah,
Nantikan ceritaku selanjutnya!

1 komentar:

Makasih ya udah baca cerpenku. Silahkan tinggalkan komentar kamu ya.
Semua kritik dan saran aku terima. Pujian juga boleh :p