“Jagalah
kalung itu dengan baik, Lalaku sayang.”
Gadis
kecil yang berada di hadapannya langsung mengangkat kepalanya menatap sumber
suara. Suara lirih Ayah itu membuat gadis kecil di hadapannya tersebut terpaku
menatapnya. Sudah beberapa tahun ini, beliau terkena penyakit jantung karena
usianya yang sudah tua. Lala kasihan melihatnya.
“Ya, Ayah.
Aku akan menjaganya dengan baik.” kata Lala sambil mendekati dan memeluk erat
Ayah yang sama sekali tak bisa bangkit lagi dari tempat tidurnya. Tubuhnya
sudah tidak sekuat dulu.
Ayah
membelai rambut Lala perlahan-lahan dengan tangannya yang sudah keriput. Ia
benar-benar menyayangi anak semata wayangnya itu. Ia menyesal telah menempuh
hidupnya tanpa memperbanyak olahraga dan kegiatan lainnya agar bisa
mempertahankan stamina tubuh. Padahal, Lala masih kecil. Ia jelas butuh nafkah
darinya agar bisa tumbuh besar. Istrinya yang bekerja sebagai ibu rumah tangga
juga pasti masih butuh hasil jerih payahnya.
Lala
melepaskan pelukannya dan menatap Ayah dengan wajah cemas. Ia benar-benar sedih
melihat Ayah harus terbaring lemas di sana. Semenjak Ayah sakit, tidak pernah
ada lagi yang bisa Lala sambut setiap sore. “Ayah, kau pasti akan selalu ada di
sisiku, bukan?”
Ayah
tersenyum pucat. “Ya, sayang. Ayah akan selalu ada di sisimu.”
“Janji?”
Ayah
mengangguk pelan. Tangan kanannya terulur ke atas untuk merasakan bagaimana
hangatnya pipi anak semata wayangnya itu, kemudian berlanjut ke rambut cokelat
panjangnya yang dikepang dua. Ia jelas bahagia memiliki anak yang manis
sepertinya. Tak sia-sia ia berdoa bertahun-tahun kepada Tuhan agar keluarganya
dikaruniai seorang anak. Semenjak Lala lahir, kehidupannya selalu ceria dan
berwarna. Tingkahnya yang patuh dan lucu membuatnya terus tersenyum menghadapi
kehidupan.
“Lala.”
panggilnya pelan.
“Ya,
Ayah?”
“Jangan
pernah nakal kepada Bunda. Kau harus menurut padanya. Walaupun kau sudah besar
nanti. Karena Bunda adalah orang yang sudah berjuang melahirkanmu.”
Lala
mengangguk. “Ya, Ayah. Aku akan menjadi anak yang baik.”
Ayah
tersenyum. Kemudian, ia menatap langit-langit kamarnya dengan dalam. Dalam
hitungan detik, ia memejamkan matanya perlahan-lahan. Mengakhiri hidupnya di
umur delapan puluh tahun. Lala yang masih berdiri di sebelah Ayah hanya bisa
diam seribu bahasa. Ia mencoba untuk memegang tangan Ayah, namun rasa dingin
dari kulit Ayah membuatnya takut. Ia tak bisa menangis, juga tak bisa marah.
Namun, ia merasakan sesuatu dalam hatinya melihat Ayah yang begitu menyedihkan.
“Lala.”
tiba-tiba Bunda datang menghampirinya di kamar Ayah.
Lala menoleh
ke arahnya. Dengan langkah pelan ia menghampiri Bunda dan meremas ujung baju
Bunda. Ia berucap polos. “Bunda. Tangan Ayah dingin sekali.”
Setelah
berkata begitu, Bunda langsung mendekati Ayah. Lala masih tetap diam di tempat.
Saat itu, Lala melihat dengan mata kepalanya sendiri Bunda menangis dengan
suara nyaring sambil memeluk Ayah. Sedih rasanya melihat air mata Bunda menetes
membasahi baju Ayah. Tapi, Lala juga tidak tahu harus berbuat apa.
J L J
Lala
menggeliat pelan saat sinar matahari masuk ke dalam kamarnya. Ia bergerak-gerak
sejenak di balik selimutnya, kemudian perlahan-lahan terbangun dari tidurnya.
Begitu matanya terbuka dengan sempurna, ia langsung duduk di tempat tidur dan
menatap ke arah jendela kamar. Lagi-lagi mimpi itu datang ke dalam tidurnya.
Lala
melirik kalendernya yang ada di meja belajarnya. Lima belas Juni. Ia menghela
nafas melihat angka itu tercetak besar-besar di kalender. Tanggal itu
menandakan bahwa hari ini adalah Father’s
Day. Acara hari Ayah dalam luar negeri. Walaupun Indonesia biasanya tidak
merayakannya, tapi Lala selalu memberikan Ayah hadiah jika tanggal itu tiba.
Sebelum kejadian itu terjadi.
Sudah dua
belas tahun Ayah meninggalkannya. Lala sudah menjadi gadis cantik berusia
sembila belas tahun. Masa sekolahnya sudah usai bulan lalu dan ia akan memulai
kuliahnya beberapa bulan ke depan. Namun, semenjak liburannya dimulai, Ayah
selalu datang ke dalam mimpinya. Hari di saat kepergian Ayah terjadi selalu
terulang-ulang beberapa hari sekali. Padahal, Lala sudah berusaha untuk
melupakan masa lalunya itu agar tidak merasa sedih.
Lala
beranjak dari tempat tidurnya dan segera mandi. Busana yang dia pakai hari ini
adalah kaus putih bergambar kucing lucu dengan bawahan rok di atas lutut
berwarna biru. Sementara rambutnya yang panjang dibiarkan tergerai di punggung.
Ini baru jam tujuh, Bunda pasti sedang ke pasar untuk membeli makanan untuk
nanti siang.
Setelah
selesai mandi, Lala segera turun ke ruang makan untuk mencari sarapannya.
Namun, sebelum sampai ke ruang makan, ia melihat seorang laki-laki berpakaian hoodie berwarna biru tengah
mengutak-atik gadget di sofa ruang
tengah. Ruangan yang menghubungkan ruang makan dan kamar tidurnya. Lala
mengerutkan dahinya. “Kau sudah datang?”
Laki-laki
itu mengangkat kepalanya dan tersenyum menatap Lala. Ia segera berdiri dan
menghampiri gadis itu. Kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku celananya. “Ya.
Aku bangun terlalu pagi dan aku berpikir untuk mengajakmu melihat matahari
terbit. Tapi, tampaknya kau lelah sekali.”
“Jam
berapa kau tiba?”
“Sekitar
jam setengah tujuh.” katanya sambil memperlihatkan gigi bersihnya. “Bundamu
mengatakan kau tak bisa tidur nyenyak beberapa hari ini. Tapi, kau tak pernah
menceritakannya kepadaku.”
Lala
tersenyum mendengarnya. “Aku hanya tak ingin merepotkan orang lain.”
“Hei, kita
sudah satu sekolah semenjak SMP.” Ia segera menjitak dahi Lala.
Lala
memanyunkan bibirnya melihat tingkah laki-laki itu. Ya, laki-laki itu memang
sudah menjadi sahabatnya semenjak ia masuk SMP. Namun justru karena itulah Lala
tidak mau menceritakan masalah ini kepadanya. Sudah hampir tujuh tahun
sahabatnya itu membantunya dalam banyak hal. Ia tak mau menjadi anak yang
manja. Tapi, ia selalu suka ikut campur dalam segala hal di dalam hidupnya.
“Karel,
aku tidak apa-apa.” kata Lala. “Aku hanya teringat pada Ayah.”
“Ayah?”
Lala
mengangguk. Ia duduk di sofa yang tadi diduduki Karel itu dan bersandaran
padanya. “Semenjak liburan ini, Ayah selalu datang ke dalam mimpiku. Dia datang
di saat aku sudah berhasil melupakannya.”
“Mungkin
dia hanya tak ingin kau melupakannya.” kata Karel sambil tersenyum. Ia ikut
duduk kembali di sebelah gadis itu.
“Entahlah.”
kata Lala bingung. Ia mengeluarkan kalung itu dari dalam bajunya. Kalung
pemberian Ayah itu masih ia pakai sampai sekarang. Kalung liontin perak yang
berbandul liontin hati itu selalu ia rawat dengan sepenuh hati, sesuai dengan
janjinya kepada Ayah. Ia tidak akan pernah membiarkan foto Ayah dan dirinya di
dalam liontin itu hancur.
“Liontin
yang indah.” puji Karel begitu melihat barang bersinar yang tergantung di leher
sahabatnya itu.
“Ya.
Liontin ini adalah pemberian terakhir Ayah.” kata Lala. “Aku tak bisa
membayangkan bagaimana kerasnya ia bekerja sampai ia bisa membelikanku kalung
seindah ini.”
“Aku yakin
Ayahmu pasti sangat menyayangimu.” kata Karel.
Lala
tersenyum. Ia menatap liontinnya dalam. “Ya. Ayah sangat menyayangiku. Dia
selalu membahagiakanku dengan cara apapun yang dia bisa. Dia bekerja keras
untukku dan Bunda. Dia juga sering membantuku mengerjakan tugas sekolah saat
SD. Terkadang dia juga membelikanku baju baru jika akhir bulan tiba. Dan masih
banyak lagi yang sudah ia lakukan untukku.”
“Kau
beruntung memiliki Ayah sepertinya.” kata Karel sambil menatap depan. “Kau tak
akan pernah tahu bagaimana sibuknya Ayahku hingga waktu bersama keluarganya
terkuras habis.”
“Benarkah?”
Lala menoleh ke arah sahabatnya itu dengan wajah kaget.
Karel
mengangguk. “Dia bahkan tidak tahu perkembangan sekolahku, juga kakak dan
adik-adikku. Ibu yang selama ini membanting tulang untuk membesarkan kami berempat.”
“Ayahku
adalah pengusaha yang sibuk. Hampir setiap hari dia pergi keluar kota, bahkan
keluar negeri. Sekalinya dia ada di sini, dia selalu bermalam di kantor hingga
tengah malam.” kata Karel.
Lala diam
mendengarnya. Ia bahkan tidak tahu Karel memiliki masalah keluarga yang cukup
serius. Tak lama kemudian, ia bersuara kembali. “Aku tak pernah tahu kau
mempunyai masalah itu.”
Karel
tersenyum. “Aku ingin bangkit dari kesedihanku. Sama sepertimu.”
Lala
tersenyum mendengarnya. Kemudian dia segera berdiri dari tempatnya. Ia melihat
sekeliling rumahnya. “Ya. Kita memang harus bangkit. Dimanapun Ayah berada, aku
tahu Ayah selalu ada di sini untuk memperhatikanku. Sama halnya juga dengan
Ayahmu.”
“Ya, aku
harap kau benar.” Karel ikut berdiri. Ia menepuk pundak Lala pelan. “Sudahlah,
ayo kita sarapan. Setelah itu, kita akan bermain sepuas-puasnya untuk melupakan
semua masalahmu.”
“Masalahmu
juga, Ayah keduaku.”
“Ayah
kedua?” tanya Karel dengan wajah heran.
“Ya.
Karena kau selalu ikut campur dalam segala hal yang kulakukan. Sama seperti
Ayah.” kata Lala sambil menjitak dahi Karel, balasan untuk jitakannya yang
tadi. Kemudian, dia langsung berjalan mendahului Karel yang nyengir mendengar
ucapan sahabatnya.
Mereka
berdua langsung pergi menuju ruang makan dan membuat roti bakar untuk sarapan
mereka. Setelah mereka meninggalkan ruang tengah, mereka sama sekali tidak
menyinggungkan masalah-masalah Ayah mereka lagi. Bagi mereka, hidup memang
harus berjalan apapun yang terjadi.
Happy Father’s Day, Ayahku yang ada di surga...
Lala mencintaimu.
J L J
16 Juni 2009
Lagi-lagi
Lala terbangun dari tidurnya. Namun, kali ini bukan mimpi itu lagi yang
menyebabkan tidur nyenyaknya terganggu. Pagi itu, sebuah kertas jatuh tepat di
wajah Lala. Begitu Lala sadar akan keberadaan kertas itu, ia langsung bangun
dan menyingkirkan kertas itu dari wajahnya. Ia segera duduk di tempat tidur dan
membaca tulisan yang ada di dalamnya.
Dear Lalaku sayang,
Kau sudah berubah menjadi gadis yang cantik. Kau
juga sangat patuh kepada Bunda, seperti janjimu kepada Ayah. Maafkan Ayah jika
Ayah selalu mengganggu tidurmu. Ayah hanya rindu padamu, sayang. Tapi, ingatlah
selalu, La, Ayah selalu mencintaimu. Walaupun Ayah sudah tidak ada di dunia,
Ayah selalu memantaumu dari surga. Jadilah anak yang baik seperti yang kau
katakan pada Ayah dulu, Nak. Mulai besok Ayah tidak akan mengganggumu lagi.
Bahagiakan Bunda untuk Ayah, ya.
Dari Ayahmu tersayang,
Landreys
Lala
tersenyum melihat tulisan di kertas itu. Ia mengeluarkan lagi kalung liontinnya
setelah selesai membaca. Ia pandang foto dirinya dengan Ayah di sana dengan
perasaan campur aduk. “Aku juga mencintaimu, Ayah.”
THE END...
Tuliskan komentar kalian di bawah,
Nantikan ceritaku selanjutnya!
bagus artikelnya. mampir ke blog ane ya
BalasHapus