Senin, 19 Mei 2014

Cerpen | Taman Kebahagiaan



Siang itu, Cakka sedang duduk-duduk di halaman belakangnya sambil bermain gitar ketika ponselnya berbunyi. Tangannya yang sedang sibuk memetik senar langsung berhenti dan segera memeriksa ponselnya. Bunyi yang barusan menandakan bahwa ada seseorang yang mengirimnya sebuah pesan. Sambil memangku gitarnya, ia membuka pesan itu.

Ayah dan Bunda akan pulang larut malam. Jika kamu ingin makan, belilah di luar. Tapi ingat, jangan makanan pinggiran. Dan jaga perilakumu. Bergaul dengan hal-hal yang setara dengan statusmu. Nanti Ayah dan Bunda akan memberikanmu hadiah. Oke? Love ya, Chase Karayne!
Cakka menghela napasnya melihat pesan singkat yang diberikan Bunda tersebut. Lagi-lagi peraturan. Ayah dan Bunda selalu mengaturnya agar menjadi anak yang bisa menjaga perilaku, hanya karena dia adalah anak dari konglomerat. Ya, Ayah dan Bunda bekerja di perusahaan yang sama dan mereka berdua bisa dibilang sebagai presiden dan wakil dari perusahaan tersebut. Belum lagi mereka mempunyai satu vila yang cukup besar. Katanya vila itu bisa dipakai jika mereka akan liburan. Dan katanya untuk ia pakai juga jika sudah besar nanti. Dan karena alasan itulah yang membuat mereka gencar menyuruhnya agar menjaga sikap. Selain melatih dirinya agar bisa sesukses orang tuanya, Cakka juga diharuskan untuk menjaga nama baik Ayah dan Bunda.
Menurut Cakka, kedua orang tuanya itu terlalu takut dengan jatuhnya reputasi mereka. Padahal, Cakka tidak merasa bersikap tidak baik sekalipun dia tidak mengikuti peraturan orang tuanya. Toh, Cakka tidak melakukan apapun yang berbau kriminal. Jadi, dia tidak akan membuat Ayah dan Bunda dipandang rendah, bukan? Tapi entahlah, mereka tidak akan pernah mengerti.
“Tuan.”
Cakka menoleh ketika seseorang membuyarkan lamunannya. Ah, ternyata Joanne. Salah satu pelayannya. “Ya. Ada apa?”
“Tuan tidak keluar rumah hari ini? Saya akan menyiapkan makanan untuk Anda jika Anda sudah lapar. Jam makan siang sudah lewat.” katanya lagi sambil tersenyum.
Cakka melirik jam tangannya sejenak. Ternyata sudah jam dua siang. Pantas saja perutnya mulai terasa lapar. Cakka beranjak dari tempat duduknya. “Tidak perlu, Joanne. Aku akan makan di luar hari ini. Nanti akan kubawakan beberapa makanan untukmu, Joey dan Jac.”
Joanne segera membungkuk dan berterima kasih kepada Cakka, kemudian berbalik badan untuk masuk kembali ke dalam rumahnya yang sudah seperti istana. Cakka yang melihatnya hanya diam. Ia segera membereskan seperangkat alat musiknya dan segera bersiap-siap untuk pergi. Ia tak ingin menyia-nyiakan kesempatan emas saat kedua orang tuanya sedang lembur.

-------------


Lacey Larayna, gadis itu sedang sibuk memakai sepatu kedsnya di pintu depan rumahnya. Ah, sebenarnya ia tak ingin keluar hari ini, tapi memorinya yang melayang ke masa lalu memaksa untuk pergi. Hari ini tepat lima belas tahun Bunda meninggalkannya. Dan akan tidak baik jika dia hanya berdiam diri di rumah dan membiarkan air matanya menetes lagi, seperti saat kejadian itu terjadi. Lagipula, ini liburan sekolah. Tak ada salahnya mencari angin sekali-kali.

Sambil berjalan di pinggir jalan, ia melamun sendiri. Ia teringat lagi, dulu ia pernah mendengar cerita dari Ayah, semasa beliau masih hidup. Katanya, Bunda bisa kehilangan nyawanya karena telah melahirkanku yang masih ada di tahap tujuh bulan. Waktu itu, Ayah sempat menyalahkannya atas kepergian Bunda. Tapi, lambat laun Ayah mulai menyayangi gadis itu. Sayang sekali, Ayah harus menyusul Bunda karena kecelakaan ketika aku baru berumur dua belas.

Sejak ia menjadi anak yatim piatu, ia diasuh oleh Paman dan Bibinya. Namun, mereka tetap saja tak bisa menggantikan kehadiran Ayah dan Bunda. Berbeda dengan Ayah yang selalu menyayanginya, Paman dan Bibi terlalu sibuk dengan bisnis mereka, sehingga membuat liburan sekolah kelulusan SMA gadis itu sangat membosankan. Teman-teman sekolahnya sebagian besar sudah pergi berlibur keluar kota.
“Aku rindu Ayah dan Bunda....”

---------------------


Melihat keluar jendela. Itulah pekerjaan seorang laki-laki yang mencintai seni tari modern itu kurang lebih selama satu tahun ini. Ia benar-benar berharap apa yang dijanjikan orang tuanya benar-benar akan terjadi hari ini juga. Menebus janji-janji yang telah mereka ingkar di masa lalu.
Pasalnya, orang tuanya adalah pengusaha sibuk yang selalu bekerja di luar kota. Bahkan terkadang sampai keluar negeri. Entahlah, ia sendiri tidak mengerti orang tuanya memiliki pekerjaan sepenting apa sampai harus meninggalkan anaknya sendiri di rumah. Ia kesal! Ia ingin sekali membenci orang tuanya, tapi jauh di dalam lubuk hatinya, masih ada harapan kecil yang mewakili perasaan rindunya kepada kedua orang tuanya tersebut. Memang sih, ia masih bisa bermain bersama teman-temannya, tapi tidak setiap hari juga mereka bisa bermain dengan mereka. Mereka jelas mempunyai kesibukan masing-masing di liburan mereka. Seperti hari ini.
Laki-laki itu melirik jam tangannya. Sudah jam dua siang. Sudah terlambat dua jam dari waktu yang dijanjikan. Tanpa ada kabar apa-apa. “Ah! Sudahlah! Mereka tidak akan datang!”
Ia segera berjalan meninggalkan jendela dan keluar dari kamarnya. Ia mengambil tas ranselnya yang ada di sofa, kemudian langsung memakai sepatu untuk bersiap pergi. Saat itu, Bibi yang tak sengaja melihatnya langsung bertanya kepadanya. “Mau kemana, Karel? Ayah dan Ibu kan sebentar lagi pulang.”
Karel menggeleng. “Mereka tidak akan datang, Bi. Jadi untuk apa aku menunggu? Mereka pasti lagi asyik bergaul dengan pekerjaan mereka sampai melupakan anaknya sendiri!”
Tanpa menunggu jawaban, Karel langsung pergi meninggalkannya. Bibi merasakan rasa kasihan yang dalam begitu mendengar Karel membanting pintu depan. Kasihan Karel, dia pasti sangat kecewa dengan orang tuanya, pikir Bibi. Kemudian, ia langsung kembali membersihkan rumah. 

----------------

Tiga anak umur lima belas tahun yang memiliki kepribadian yang berbeda. Memiliki kehidupan yang berbeda-beda pula. Dari Cakka yang ingin hidup sederhana, Lala yang sedih kehilangan orang tuanya dan juga Karel yang benci dengan kemunafikan orang tuanya. Masing-masing dari mereka memiliki takdir yang berbeda. Buruk. Mungkin itu pikiran mereka tentang takdir yang sedang mereka hadapi. Namun, setiap masalah pasti melewati sebuah cara yang akan menyelesaikan masalah tersebut. Dan mungkin inilah cara dari Tuhan untuk menyelesaikan masalah mereka.
“Hanya dua yang bisa kusimpulkan dari cerita kalian berdua.” Lala menyahut kepada laki-laki yang berada di hadapannya sekarang, membuat kedua laki-laki tersebut menoleh ke arahnya. “Kau, Chase Karayne. Kau mungkin hanya tak tahu caranya bersyukur. Dan kau Karel Alcander, kau hanya terlalu dikuasai oleh emosi.”
Ya. Mereka bertiga yang tadinya sendiri-sendiri berjalan kini dipertemukan di sebuah taman yang berada di komplek mereka. Dan akhirnya mengenal satu sama lain.
Cakka yang sedang sibuk mengunyah burger yang masih setengah itu hanya diam saja mendengar ocehan Lala. Tidak bersyukur katanya? Huh, dia tidak pernah tahu betapa menderitanya menjadi anak dari Ayah dan Bundanya. Dia tidak akan bersyukur kepada Tuhan hanya karena dia terlahir sebagai anak orang kaya. Ia justru tak menyukainya.
“Dan menurutmu kau tidak boleh emosi ketika orang tuamu meninggalkanmu hanya karena pekerjaan?” tanya Karel langsung menyahut. “Kau itu harus merasakan bagaimana kesepiannya aku di rumah!”
“Kau pikir aku tidak kesepian di rumah? Walaupun aku diasuh oleh Paman dan Bibi, tapi mereka selalu pulang larut malam karena serius bekerja. Apa bedanya dengan hidup sendiri?” tanya Lala. “Dan apa kau tidak sedih jika mendengar Bunda meninggalkan dunia ini karena melahirkanmu? Bahkan Ayah juga tega meninggalkanmu!”
“Untuk sekarang, aku tidak akan kenapa-kenapa tanpa mereka. Karena kehadiran mereka satu kali di rumah tidak akan bisa menebus semua absen yang telah mereka lewatkan!” kata Karel lagi.
"Kenapa kau menyebalkan sih?!" tanya Lala lantang.
"Kau yang menyebalkan! Taman ini selalu menjadi tempatku melarikan diri jika sedang kesal dengan orang tuaku! Tapi kau menempatinya!" balas Karel.
"Aku juga suka berada di sini untuk menenangkan diri!" kata Lala.
“Hei, berhentilah berdebat!” kata Cakka setelah menelan makanannya, membuat keduanya terdiam. Kemudian, Cakka menghela nafasnya. “Kalian masih punya hidup lebih baik karena kalian tak diikat dengan setumpuk peraturan dari orang tua kalian! Dan tolong, taman ini tempat umum! Siapa saja boleh menggunakannya!”
“Lalu, maumu apa?” tanya Karel dengan sebal menatap Cakka.
“Lebih baik kita habiskan waktu kita hari ini dengan kegiatan yang bermanfaat! Aku tidak ingin pulang ke rumah!” kata Cakka. “Kalian juga pasti bosan berada di rumah kalian, bukan? Lebih baik kita pergi ke suatu tempat bersama!”
“TIDAK!” kata Karel dan Lala serempak. Kemudian, langsung membuang muka masing-masing ke arah yang berbeda. Mereka tampaknya sudah siap memulai perang lagi jika mereka tidak menahan emosi.
Cakka menghela nafasnya dan menggelengkan kepalanya melihat tingkah laku dua orang yang baru setengah jam yang lalu ia kenal. Aneh! Padahal, ia hanya berniat untuk mencari tempat makan yang cukup nyaman. Tapi, ia harus bertemu dengan dua anak yang juga bermasalah seperti dirinya. Dua anak itu menyuguhkan perdebatan singkat pula. Mengganggu ketenangannya saja. Tapi...
“Hei, bagaimana kalau kita bertanding?” tanya Cakka tiba-tiba.
“Apa?” tanya Karel datar.
“Bertanding?” tanya Lala.
Cakka mengangguk. “Masing-masing dari kita memiliki masalah yang hampir serupa, bukan? Bagaimana jika aku menyelesaikan masalah Lala, Karel memecahkan masalahku, Lala memecahkan masalah Karel? Dalam waktu dua minggu, kita berkumpul lagi di sini, siapa yang lebih dulu selesai, dia pemenangnya!”
“Untuk apa kita melakukan itu? Konyol!” kata Karel.
“Ya, untuk apa aku memecahkan masalahmu? Manja!” kata Lala.
“Apa kau bilang?!” kata Karel sebal.
“Oh, jadi kalian tidak sanggup?” pancing Cakka sambil tersenyum misterius.
“Oke, siapa takut?” kata Lala akhirnya menerima.
“Oke!” kata Karel juga akhirnya setuju.
Jadilah, dalam waktu dua minggu mereka berusaha mati-matian untuk memecahkan jatah masalah mereka masing-masing. Mereka juga saling bertukar nomor ponsel untuk jaga-jaga mereka membutuhkan sesuatu. Sampai akhirnya, dua minggu itupun tiba. Mereka kembali berkumpul di taman dimana tempat mereka bertemu.
“Jadi, siapa yang telah berhasil memecahkan jatah masalahnya?” tanya Cakka.
Tak ada yang menyahut. Sama seperti dugaannya dua minggu yang lalu. Ia sendiri juga belum bisa memecahkannya. Tapi, dari permainan itu Cakka bisa mendapatkan satu hal penting. “Tidak ada yang bisa memecahkannya, bukan? Tapi, coba pikirkan lagi, apa kalian berhasil melupakan sedikit demi sedikit masalah kalian karena sibuk memikirkan bagaimana caranya agar menang?”
Karel dan Lala diam sejenak.
“Kau benar, Kka. Karena sibuk memikirkan bagaimana caranya memenangkan pertandingan ini, aku bisa sedikit melupakan kesedihanku tentang kepergian Ayah dan Bunda. Dan sekarang aku sudah tidak apa-apa.” Lala bersuara.
“Bagaimana denganmu, Rel?” tanya Cakka.
“Ayah dan Ibu masih belum pulang juga. Tapi, aku rasa dengan mengikuti permainan ini, aku mendapatkan pelajaran untuk belajar merelakan. Merelakan orang tuaku pergi jauh dalam waktu yang lama.” kata Karel. “Ayah dan Ibu bekerja untukku. Seharusnya itu yang aku tanam dalam hati.”
“Ya, betul itu.” kata Lala, kemudian mengulurkan tangannya ke arah Karel. “Aku minta maaf, Karel. Soal dua minggu yang lalu.”
Karel menggeleng, kemudian membalas tangannya. “Sama-sama. Aku juga minta maaf. Kau benar, aku harusnya bersyukur, karena orang tuaku masih ada.”
Cakka tersenyum. “Aku lega kalian menyadari hal itu, Karel, Lala. Dengan begitu, rencanaku berhasil untuk membuat kalian berdua berdamai.”
Karel dan Lala menatap ke arah Cakka dalam diam. Mereka baru sadar, ternyata permainan itu ia berikan karena waktu itu Karel dan Lala berdebat di hadapannya. Padahal, mereka mengira waktu itu Cakka hanya menantang mereka karena merasa sebal dengan mereka berdua juga. Mereka langsung menggelengkan kepalanya karena mengetahui hal itu.
“Kalau begitu, kaulah yang memenangkan permainan ini, Kka.” kata Lala.
“Tentu saja.” kata Cakka sambil menepuk dirinya sendiri.
“Sombong!” kata Karel menjitak kepala Cakka.
Kemudian mereka tertawa bersama. Semenjak hari itu, mereka menjadi sahabat baik. Mereka juga mendaftar ke sekolah SMA yang sama agar bisa terus bersama. Walaupun mereka masih sering bertengkar mulut, tapi justru itulah yang membuat persahabatan mereka semakin erat. Mereka berjanji satu sama lain bahwa suatu saat nanti mereka pasti bisa menyelesaikan masalah dengan orang tua mereka. Dan ketika itu terjadi, mereka harus berbagi kebahagiaan. Dan tentu saja berbagi makanan gratis juga. Alias ditraktir!  
Mereka juga sering berkumpul di taman itu jika ingin bermain bersama. Taman itu telah menjadi kenangan tersendiri bagi mereka karena disanalah mereka memulai persahabatan mereka. Disanalah mereka menemukan sebuah kebahagiaan di tengah kegelisahan mereka. Taman itu mereka namakan Taman Kebahagiaan.

THE END...
Apa pendapatmu tentang cerpen ini? Tuliskan di komentar ya :)
Nantikan ceritaku yang selanjutnya ya!


16 komentar:

  1. Bagus cerpennya.. sepertinya ente mahir ya dalam menulis cerpen, kayaknya bisa jadi novelis nih :D

    BalasHapus
  2. Engga juga, al. Kan ngepost di notes fb juga. Kalo blog, ngepost kalo lagi ada ide aja. Tapi diusahain rutin hehe :)

    BalasHapus
  3. cerpen bagus mbak update terus ya
    oh ya kapan nih di bikin novel nya??

    BalasHapus
  4. ceritanya hampir sama kaya cerita hidup saya :D tp pas saya masuk ke smp, semangat terus update nya mba

    BalasHapus
  5. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  6. keren ceritanya mbak...
    semangat terus ya mbak jadi penulis

    BalasHapus
  7. keren cerpernya :D !~
    lanjutannya pasti saya tunggu nih :D

    BalasHapus
  8. cepren nya bagus mba...
    di update terus mba :-)

    BalasHapus
  9. cerpennya bagus gan, ditunggu cerita selanjutnya

    BalasHapus

Makasih ya udah baca cerpenku. Silahkan tinggalkan komentar kamu ya.
Semua kritik dan saran aku terima. Pujian juga boleh :p